Tuesday, April 30, 2013

SAINS ATEISTIK

Saya masih percaya dengan tesis yang disampaikan oleh Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa krisis yang melanda masyarakat kita adalah krisis ilmu. Beliau mengatakan bahwa kerusakan ilmu berakibat pada rusaknya tatanan adab, kepemimpinan, politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya Salah satu bentuk kerusakan ilmu adalah materi keilmuan yang tidak pernah mengaitkan peran Tuhan atau agama. Fakta ini lebih banyak terjadi pada materi-materi ilmu sains seperti fisika, biologi dan lain-lain. Sains seperti ini oleh Dr. Wendi Zarman diistilah dengan Sains Ateis. Salah satu bukti adanya sain ateis ini, misalnya di dalam Pelajaran Fisika diajarkan hukum kekekalan energi dan materi. Di dalam ini hukum ini dinyatakan bahwa energi dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan (Lihat, buku teks IPA Terpadu kelas IX, keluaran Pusbuk Depdiknas, 2008). Kata-kata “tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan” jelas memuat pandangan hidup yang ateistik karena bertentangan dengan doktrin teologi agama bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan (Khaaliqu kulli syai’in) Jika ditelusuri lebih jauh, sesunguhnya fakta sains ateis ini merupakan produk keilmuan khas Barat. Karen Amstrong, dalam bukunya masa depan Tuhan, menceritakan sebuah kisah, bahwa suatu ketika Napoleon bertanya kepada Laplace, seorang matematikawan besar Perancis, tentang siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu”. Bagi Laplace, ada atau tidak ada Tuhan, bukanlah hal penting bagi sains, sebab dengan mengetahui hukum alam, semua pertanyaan dapat terjawab. Jawaban Laplace ini dapat dikatakan mewakili pandangan ilmuwan Barat terhadap sains dan agama. Semenjak Copernicus melempar gagasan tentang Heliosentrisme di abad ke-16, sains modern secara perlahan bergerak menjauhi agama. Sejak itu, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai gagasan absurd dan sia-sia. Segala keberadaan dan dinamika yang terjadi di alam bersumber dari hukum-hukum alam semata. Inilah yang dikatakan Hawking dalam The Grand Design(2010), “Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika). Di dunia Barat, mengaitkan sains dengan Tuhan dan agama dipandang sebagai hal yang haram. Sebab, agama dipandang bukan sumber ilmu. Agama dianggap kumpulan dogma yang tidak ilmiah, karena tidak bersifat empiris dan rasional. Agama bukan ilmu. Paradigma semacam ini turut mewarnai konsep pendidikan sains mereka. Nah, pengajaran dan pembelajaran materi sains-sains yang memuat pandangan ateistik jelas bertentangan dengan konsitusi negara dan tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa. Muatan kurikulum yng tidak sevisi dengan tujuan pendidikan, tentu perlu didekontruksi dan kemudian dikonstruksi ulang agar sesuai dengan epistimelogi paradigma keilmuan yang bernafaskan ketuhanan yang Maha Esa. Upaya ini dalam waktu dekat tentu sangatlah berat, sementara perubahan juga merupakan sebuah keniscayaan. Karena itu salah satu langkah praktis dan sederhana adalah melalui islamisasi pemikiran guru-gurunya; bentuknya adalah yaitu para guru bidang studi yang berkaitan harus berupaya menjelaksan materi dalam perspektif epistimelogi ketuhanan yang Maha Esa sehingga diharapkan anak didik timbul kesadaran bertauhidnya melalui ayat-ayat yang terdapat di alam semesta. Saya kira salah satu referensi agar para guru tidak kesulitan dalam menjelaskan masalah ini buku-buku yang dikarang oleh Harun Yahya. Sebagai penutup dari catatan ini, saya sangat menyadari bahwa ada banyak kelemahan dalam metodologi penulisan ataupun istilah istilah teknis keilmuan yang tidak populer. Tetapi yang jelas persoalan kerancuan ilmu (seperti sains ateistik) ini harus segera diperbaiki untuk terwujudnya peradabab indonesia yang beriman dan bertakwa.

Sunday, May 29, 2011

Kedudukan Al-Qur'an Dalam Perspektif Epistimelogi Islam

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah Kalamullah, la diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana Idtab Taurat, Injil dan Zabur yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum baginda Rasulullah SAW. Al-Qur’an merupakan rujukan asal kepada risalah Islam. Siapa yang tidak rnerujuk kepada al-Qur’an bermakna dia jauh dari panduan dan rujukan Islam. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan pembawa rahmat kepada sekalian alam. Segala panduan terhadap aturan hidup dan kehidupan telah termuat di dalam al-Qur’an. Siapa yang mendekati sumber hidayah ini insya Allah akan tersentuh dengan petunjuknya dan siapa yang tidak mendekatinya wal’iyaazubillah maka akan jauh dari hidayahnya.

Al-Qur’an merupakan mukjizat yang cukup hebat, tetap dan kekal walaupun melalui peredaran zaman. Mukjizat yang menjadikan semua pendukung kesesatan dan ekstrimis nafsu terduduk membisu. Allah SWT telah rnenjadikan al-Qur’an sebagai basahan hati kepada mereka yang mempunyai penglihatan dan makrifat. Mukjizat al-Qur’an ini tidak menjadi usang lantaran penolakan berterusan oleh golongan yang tidak beriman dan juga peredaran masa. Mukjizat ini tetap dijaga oleh Allah seperti yang dijanjikan-Nya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)

Allah SWT telah menyebutkan di dalam al-Qur’an ini dengan berbagai sebutan terhadap kitab-Nya. Ada yang disebut sebagai hudan (petunjuk) karena ia betul-betul membawa petunjuk kepada manusia, rahmatan (rahmat) karena siapa yang mengikuti petunjuknya akan mendapat rahmat, nur (cahaya) karena ia menyinarkan jalan hidup manusia, syifa’ dan lain-lain. Setiap nama itu adalah menunjukkan kepada ciri-ciri yang dimiliki al-Qur’an. Al-Qur’an menerangkan hukum-hukum syariat dari segi halal-haram dan sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Ia juga membawa kisah-kisah dan berita-berita pengajaran sebagai bahan berfikir terhadap peristiwa-peristiwa yang berlaku di dalam sejarah seperti ashabul kahfi, tentara bergajah, kaum ‘Aad, Tsamud, Firaun dan lain-lain. Al-Qur’an juga merupakan panduan seluruh manusia beriman tentang jihad, skop dan pelaksanaannya dan al-Qur’an memainkan fungsi utama di dalam mendidik dan mentarbiyah jiwa-jiwa manusia menjadi hamba yang sebenar-benarnya.

Al-Qur’an banyak sekali memiliki keutamaan yang sangat besar, diajarkan dan disampaikan oleh baginda Rasul Muhammad SAW kepada seluruh ummat manusia di bumi Allah ini. Bukti konkrit keutamaan al-Qur’an bisa kita lihat dari beberapa ayat berikut :
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,” (QS. al-Baqarah [2]: 2

“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (QS. al-An’am [6]: 92)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. al-Isra [17]: 9)

Dalam satu hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Utsman bin Affan ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ كُمْ مِنْ تَعْلَمَ الْقُرْانَ وَعَلٌمَهُ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Ketika manusia mencoba mengupas keagungan al-Qur’an, maka ketika itu pulalah manusia harus tunduk mengakui keagungaan dan kebesaran Allah SWT. Karena dalam al-Qur’an terdapat lautan makna yang tiada batas, lautan keindahan bahasa yang tiada dapat dilukiskan oleh kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan dalam jiwa manusia dan berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan oleh indra kita. Oleh karenanya, mereka yang telah dapat berinteraksi dengan al-Qur’an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran keagungan’ yang tidak ada bandingannya. Mereka dapat merasakan sebuah keindahan yang tidak terhingga, yang dapat menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang sangat kecil sekali. Seperti ungkapan Sayid Qutb.”

Di dalam al-Qur’an juga dinyatakan bahwasa orang-orang Yahudi dan Kristen memang tidak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara untuk mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah : 120)
Mereka ingin umat Islam melakukan seperti yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan. Sehingga timbul keraguan terhadap yang shahih dan benar untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif. Orientalis-missionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang jauh (far eastern) seperti Jepang, Cina dan India. Maupun yang dekat (near estern) seperti Persia, Mesir dan Arabia.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.” Mengapa orientalis-missionaris satu ini menyeru demikian? Karena hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan karena kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Dan perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campurtangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan. Sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland.

Dan yang paling memprihatinkan lagi, ada salah satu cendekiawan Islam yang berpikir sama yang menjurus kepada orientalis-missionaris itu. Dia adalah Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir dan juga pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa al-Qur’an adalah “Produk Budaya Arab”. Berbagai karyanya telah ditelaah dan diberikan kritiknya. Ia memang telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian lari ke Belanda. Di negara kolonial inilah, ia diberi tempat terhormat sebagai guru besar ilmu al-Qur’an di Universitas Leiden. Dari sini pula ia mengkader banyak dosen UIN/IAIN untuk menyebarkan pahamnya di Indonesia. Karena itu, tidak heran, jika hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang paham Liberal keagamaan di sekitar kampus UIN Yogyakarta menyatakan, bahwa bagi kaum liberal: ”Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad SAW, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakannya adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.” Buku-buku Nasr Hamid Abu Zayd sudah banyak diterjemahkan di Indonesia (terjemahan dalam bahasa Indonesia). Dan penghormatan terhadapnya pun banyak dilakukan, salah satunya oleh sebuah lembaga penyebar paham Pluralisme Agama pimpinan Dr. Syafii Anwar dan Rektor Uin Yogya, Prof. Dr. Amin Abdullah. Kini, berbagai kampus di Indonesia pun sudah mulai dijejali dengan pemuja Nasr Hamid Abu Zayd. Bahkan, pendapat-pendapatnya sudah mulai di ekspose melalui media massa. Sejumlah murid kesayangan Abu Zayd pun sudah menduduki pos-pos terhormat sebagai dosen-dosen ilmu al-Qur’an di UIN Jakarta dan UIN Yogya. Mereka leluasa mendiktekan pemikirannya kepada para mahasiswa, dan bahkan berwenang menyusun kurikulum dalam studi al-Qur’an yang sejalan dengan pemikiran Abu Zayd. Kaum Muslimin di Indonesia, banyak yang tidak menyadari masalah besar ini dan membiarkan anak-anaknya dicekoki paham Nasr Hamid Abu Zayd.

Mengenai pemikiran-pemikiran sekuler-liberal yang dianut Nasr Hamid Abu Zayd, kita mencoba mencari jawaban dan bantahannya. Henri Shalahuddin, berhasil membongkar kekeliruan pemikiran Abu Zayd dan menyimpulkan, bahwa yang dilakukan Abu Zayd beserta para pemujanya di lingkungan UIN/IAIN lebih merupakan hujatan terhadap al-Qur’an, bukan merupakan kajian ilmiah yang ikhlas dan serius. Karena itulah, dia tidak ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa apa yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd dan para pemujanya adalah sebuah upaya menghujat dan merusak al-Qur’an. Menurut Henri, dewasa ini al-Qur’an dihujat tidak hanya secara fisik, tetapi juga melalui penyelewengan konsep wahyu dan metodologi tafsir. Penghujatan al-Qur’an yang saat ini marak dilakukan bukan dengan membuang mushaf ke toilet, atau menginjak dan membakarnya di depan kaum Muslimin. Namun penghujatan al-Qur’an juga dilakukan secara non-fisik dengan menggunakan ‘metode ilmiah’ yang tidak mudah dipahami dan disadari oleh kebanyakan kaum Muslimin. Sebab, banyak di antara pelakunya adalah cendekiawan dengan titel professor, doktor maupun rektor, sehingga banyak yang kemungkinan mudah tertipu dan menyangkanya sebagai suatu kebenaran ilmiah. Dan Nasr Hamid Abu Zayd adalah salah satu garda terdepan penghujat al-Qur’an saat ini.

Di samping memandang al-Qur’an sebagai “Produk Budaya” (Muntaj Tsaqafi), Nasr Hamid Abu Zayd juga memposisikan al-Qur’an sebatas teks manusiawi (nash insani), teks linguistik (nash lughawi) dan fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah). Sebagai teks linguistik, misalnya, ia mengklaim bahwa al-Qur’an terpengaruh oleh tradisi dan budaya Arab pra-Islam. Sebab baginya, dengan menggunakan bahasa Arab, berarti wahyu tidak turun ditempat yang hampa. Ibarat kata pepatah, bahwa bahasa menunjukkan budaya, maka demikian halnya dengan al-Qur’an. Sebagai teks manusiawi, ia mengatakan bahwa kebenaran al-Qur’an yang bersifat mutlak hanya berada di lauhul mahfuzh. Namun kebenaran yang mutlak tersebut menjadi relatif ketika masuk dan berinteraksi dengan akal pikiran manusia. Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh mengklaim bahwa pemahamannya terhadap al-Qur’an lebih benar dari orang lain, atau bahwa pemahamannya sudah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Karena manusia adalah relatif, maka kebenaran yang dicapainya pun juga relatif. Sehingga Abu Zayd mengkategorikan orang yang mengatakan bahwa kebenaran al-Qur’an yang dia pahami adalah absolut, berarti telah menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Ide Nasr Hamid Abu Zayd tentang teks manusiawi ini, --di samping ide-idenya yang lain--, banyak diminati dan dipropagandakan oleh para tokoh-tokoh Islam yang menganut pada paham relativisme kebenaran. Sebuah paham yang mendasari aliran-aliran liberalisme, sekularisme, feminisme dan pluralisme agama. Sebagai teks manusiawi dan teks linguistik sekaligus, ia mendudukkan al-Qur’an sama seperti Bibel yang semua isi ajarannya tidak harus diterapkan. Sehingga tidak aneh, jika ia lalu menggugat pengharaman homoseksual dan mengecam keras orang yang masih menganggapnya sebagai prilaku menyimpang. Karena menurutnya, haramnya homoseksual lebih karena konteks lokalitas budaya. Sehingga, di bukunya yang lain, ia menyeru umat Islam untuk meninggalkan al-Qur’an dan Hadits, karena dianggapnya telah memasung kebebasan akal manusia. Tidak puas menghujat al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd juga menghujat para ulama yang menjunjung tinggi kewahyuan al-Qur’an. Di antara ulama yang dijadikan sasaran hujatannya itu adalah Imam Syafi’i. Beliau dituduh sebagai ulama oportunis yang suka bekerjasama dengan penguasa demi mendapatkan dunia. Beliau juga dituduh telah mengangkat kedudukan hadits, sehingga menjadi kitab nomor dua setelah al-Qur’an di mata kaum Muslimin. Lebih dari itu, Imam Syafi’i juga dituduh menyebarkan hegemoni suku Quraisy atas suku-suku Arab lainnya dalam agama Islam, terkait dengan pandangan beliau tentang bahasa Arab al-Qur’an. Dengan keberanian Abu Zayd dalam menghujat al-Qur’an dan Imam Syafi’i, jangan heran, jika kaum liberal di Indonesia pun menyambut pendapat Abu Zayd dengan gegap gempita dan menganggapnya sebagai tokoh hebat. Selain di ruang-ruang kuliah di bangku UIN/IAIN/STAIN dan sebagainya, para penganut dan pemuja Abu Zayd pun sudah berani secara terbuka menghujat al-Qur’an melalui media massa. Sebelumnya, telah berjubel artikel, buku, makalah seminar dan sebagainya yang cenderung menghujat al-Qur’an. Ternyata jika diteliti, ujung-ujungnya, yang dijadikan rujukan para penghujat al-Qur’an itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Bahkan, saat ia berkunjung ke Indonesia, di antara aktivis liberal di Indonesia, ada yang begitu memujanya, sampai-sampai menuliskan kekagumannya tentang selera makan Abu Zayd dan cara memilih toilet. Sebuah alasan yang tidak seharusnya dilakukan oleh kalangan yang mengidentitaskan dirinya dengan sikap rasional dan keterbukaan.

Bahaya terbesar dari penghujatan al-Qur’an non-fisik adalah menyesatkan akal pikiran umat Islam yang hendak kembali pada ajaran al-Qur’an dan Hadits secara benar. Sebab konsep wahyu al-Qur’an yang bersifat final dan universal untuk segala tempat dan zaman akan digeser dengan konsep evolusi Darwin. Dengan itu, kebenaran al-Qur’an hanya bersifat temporal dan lokal, khusus untuk suatu masa, bangsa dan tempat tertentu. Begitu juga, hukum-hukum Islam akan dinilai sebagai hukum yang bersifat temporal dan spasial, hanya berlaku untuk kurun waktu dan tempat tertentu. Maka, mereka rajin membuat perbedaan, bahwa ajaran dan hukum-hukum Islam harus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman. Nasr Hamid Abu Zayd juga seorang hermeneut. Metodologi tafsir al-Qur’an yang telah dikembangkan oleh para ulama berwibawa yang memperhatikan segala aspek dalam memahami al-Qur’an digusur dengan metodologi hermeneutika produk Yahudi dan Kristen. Padahal, metode tafsir al-Qur’an jauh lebih ilmiah, dibanding teori interpretasi hermeneutika yang tengah dikembangkan neo-orientalis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Inilah sesungguhnya salah satu tantangan kontemporer yang terbesar yang dihadapi umat Islam Indonesia dewasa ini. Umat Islam saat ini memerlukan puluhan ribu hujjatul Islam, syeikhul Islam dan generasi al-Qur’an yang memperjuangkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam menghadapi perongrongan global akidah dan syariat Islam.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Di makalah ini, selain menjelaskan tentang pengertian al-Qur’an beserta kedudukannya dalam perspektif epistimologi Islam, yang kami korelasikan dengan hadits “Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”, penyusun juga mencoba mendeskripsikan secara singkat mengenai pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd yang sangat membahayakan bagi kalangan umat Islam dan mahasiswa para penuntut ilmupada khususnya, diantaranya:
1. Melihat dari sisi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd yang berorientasi pada orientalis yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan Kalamullah (firman Allah) yang sakral, melainkan hanya sebatas “Produk Budaya” (Muntaj Tsaqofi)?
2. Dan diakhir pembahasan penulis juga memberikan bantahan atas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Bantahan ini diambil dari beberapa referensi yang salah satunya dari penulis Henri Shalahuddin dalam resume bukunya yang berjudul “Al-Qur’an Dihujat”, dan “Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal” tulisan Fahmi Salim, M.A?

BAB II
MA’RIFATUL QUR’AN

2.1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
2.1.1. Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)

Dari segi bahasa, kata al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar ”qara’a” (membaca), sebagaimana kata ”rujhan” dan ”ghufran”. Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW. Penamaan ini termasuk kategori ”tasmiyah al-maf’ul bi al-mashdar” (penamaan isim maf’ul dengan isim mashdar). Sedangkan ”qira’ah” berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya dengan susunan yang rapi. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]: 17-18)

2.1.2. Pengertian Secara Terminologi (Istilah)
Adapun dari segi istilahnya, penulis mengambil dari beberapa pendapat para ulama diantaranya:
a. Menurut Manna’ al-Qaththan; al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan orang yang membacanya akan memperoleh pahala.
b. Menurut al-Jurjani; al-Qur’an adalah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.
c. Menurut Abu Syahbah; al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan –baik lafazh maupun maknanya– kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW), serta ditulis pada mushaf, mulai dari awal surah al-Fatihah [1] sampai akhir surah an-Naas [114].

Dari definisi di atas dapat diuraikan keterangan sebagai berikut:
1. Kalam Allah (كلام الله).
Bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang Dia ucapkan (turunkan) kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan malaikat Jibril as. Firman Allah merupakan kalam (perkataan), yang tentu saja tetap berbeda dengan kalam manusia, kalam hewan ataupun kalam para malaikat. Allah SWT berfirman :
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 4)
2. Mukjizat (اَلْمُعْجِز).
Kemukjizaan al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah terbukti dari semenjak zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita sekarang dan hingga akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga kini, al-Qur’an dijadikan rujukan oleh para pakar bahasa. Dari segi isi kandungannya, al-Qur’an juga sudah menunjukkan mukjizat, mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’ (sebagaimana yang terdapat dalam surat ar-Rum mengenai bangsa Romawi yang mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dan sebagainya. Salah satu bukti konkrit bahwa al-Qur’an itu merupakan mukjizat adalah bahwa sejak diturunkannya senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia untuk membuat semisal ‘al-Qur’an tandingan’, jika mereka memiliki keraguan bahwa al-Qur’an merupakan Kalamullah. Allah SWT berfirman,
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 23-24)

Bahkan dalam ayat lain, Allah menentang mereka yang ingkar terhadap kebenaran al-Qur’an untuk membuat semisalnya, meskipun mereka mengumpulkan seluruh umat manusia dan seluruh bangsa jin sekaligus, Allah SWT berfirma:
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (QS. al-Isra [17]: 88)

3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Nabi terakhir/penutup para Nabi)
Allah SWT menjelaskan:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 192-195)
4. Diriwayatkan secara Mutawatir (اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتُرِ).
Setelah Rasulullah SAW mendapatkan wahyu dari Allah SWT, beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya. Diantara beberapa orang sahabat yang secara khusus mendapatkan tugas dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu. Ada yang menuliskannya di pelepah korma, di tulang-tulang, kulit hewan, dan sebagainya. Diantara yang terkenal sebagai penulis al-Qur’an adalah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubay ibn Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Demikianlah, para sahabat yang lain pun banyak yang menulis al-Qur’an meskipun tidak mendapatkan instruksi secara langsung dari Rasulullah SAW. Namun pada masa beliau tersebut, al-Qur’an belum terkumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana yang ada pada saat sekarang ini. Pada saat itu, Hudzaifah bin al-Yaman melaporkan ke Utsman bin Affan ra, dan disepakati oleh para sahabat untuk menyalin Mushaf Abu Bakar dengan bacaan (qira’at) yang tetap pada satu huruf. Utsman memerintahkan kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubair, (3) Sa’ad bin ‘Ash, (4) Abdul Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya al-Qur’an ditulis dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisy-lah al-Qur’an diturunkan. Setelah usai penulisan al-Qur’an dalam beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf, serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf yang ada atau lembaran yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah al-Qur’an dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai di tangan kita sekarang.
5. Membacanya sebagai Ibadah (اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ)
Dalam setiap huruf al-Qur’an yang kita baca, memiliki nilai ibadah yang tiada terhingga besarnya, dan inilah salah satu keistimewaan al-Qur’an yang signifikan bagi manusia, yang tidak dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi ini. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah mengatakan, ”Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an), maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim sebagai satu haruf. Namun Alif merupakan satu huruf, Lam satu huruf dan Mim juga satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

2.2. KEDUDUKAN AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI ISLAM
Al-Qur’an memiliki kemuliaan yang dipelihara oleh Allah SWT dan memiliki fungsi yang begitu besar dalam mengatur tatacara hidup manusia dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Diantara kedudukan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an adalah Kitab Berita/Kabar (Kitabul Naba wal Akhbar). Allah SWT berfirman:
b. “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar” (QS. an-Naba [78]: 1-2)

c. Al-Qur’an adalah Kitab Hukum dan Aturan (al-Hukmu wasy syari’ah). Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik, apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah [5]: 49-50).

d. Al-Qur’an adalah Kitab Berjuang (Kitabul Jihad).
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut [29]: 69)

e. Al-Qur’an adalah Kitab Pendidikan (Kitabut Tarbiyah). Allah SWT berfirman:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. ali Imron [3]: 79)

f. Al-Qur’an adalah Kitab Ilmu Pengetahuan (Kitabul ‘Ilmi). Allah SWT berfirman:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-Alaq [96]: 1-5)

g. Al-Qur’an adalah Pedoman Hidup (Minhajul Hayah)
Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari kejahiliahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemuliaan mereka. Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat. Sayyid Quthb, mengemukakan , terdapat 3 hal yang melatarbelakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah: Pertama, karena mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebagainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya. Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ‘ketotalitasan’ mereka ketika berinteraksi dengan al-Qur’an, yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya al-Qur’an lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
BAB III
BEBERAPA KONSEP PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAYD
DALAM MENAFSIRKAN ALQUR’AN MELALUI METODE HERMENEUTIKA
DAN BANTAHANNYA

3.1. DIALEKTIKA ANTARA TEKS AL-QUR’AN DAN REALITAS

Nasr Hamid Abu Zayd menilai teks al-Qur’an telah mengandung sejarah kelahirannya dan problematika dunia yang dulu pernah dihadapinya. Oleh sebab itu, pemahaman internal saja tidak cukup dan memungkinkan untuk memanfaatkan produk metodologi dan teori kontemporer dalam mengkaji al-Qur’an, membaca ulang dengan metode modern. Dalam kaitan ini, ia memilih metode susastra yang bertujuan melakukan kajian teks secara ilmiah dan kritis. Ia menulis, “Penelitian tentang konsep teks pada hakikatnya adalah penelitian atas substansi al-Qur’an dan karakternya sebagai teks bahasa, yang mendekati al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar dan karya yang abadi. Kajian susastra al-Qur’an yang tidak menilik aspek agama itulah yang kita inginkan dan diharapkan oleh bangsa-bangsa Arab yang lain, sebagai tujuan awal dan utama yang mendahului semua tujuan lain. Setelah itu, setiap orang bisa menelaah al-Qur’an dari aspek lain seperti hukum perundangan, aqidah, akhlak, dan reformasi sosial. Pasalnya, aspek-aspek tersebut baru dapat direalisasikan dengan baik setelah melakukan kajian linguistik dan sastra al-Qur’an secara utuh dan komprehensif. Hanya metode susastra –yang mana konsep teks menjadi porosnya– itulah yang menjamin terwujudnya kesadaran kritis dan ilmiah untuk melampaui persepsi ideologis dalam kebudayaan dan pemikiran kita.

Dari kutipan diatas, kita cukup merasakan nada yang tegas mengeleminir metode lain dengan menganggap metode susastra sebagai satu-satunya metode yang menjamin terjadinya lompatan ilmiah. Jadi dapat dipastikan bahwa diskursus ilmiah yang dilontarkan telah dikhianati sendiri oleh Nasr Hamid Abu Zayd melalui ungkapan-ungkapan yang tidak menyediakan ruang bagi metode-metode lain untuk memperkaya studi al-Qur’an. Bahkan, ia menuduh metode tafsir yang sudah mapan telah mengalami ideologisasi mengkhianati teks al-Qur’an untuk melayani kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, metode ilmiah yang ingin ia tempuh telah membuatnya jatuh terjerembab dalam kubangan ideologis juga karena telah mengaduk-aduk kepentingan ilmiah dengan ideologis.

3.1.1. Kajian Susastra Marxisme dan Pengaruhnya bagi Al-Qur’an

Nashr Hamid Abu Zayd menulis, “Realitas adalah asal mula teks dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas, teks itu terbentuk. Dari bahasa dan sistem budayanya, konsep teks itu dikonstruksi, dan dari intensitas pergulatan manusia, petunjuknya senantiasa diperbarui. Yang pertama, kedua, dan terakhir adalah realitas.” Dengan premis dasar semacam itu, ia tidak sekadar mengkritisi produk pemikiran ulama dari berbagai mazhab, namun terlampau jauh telah menohok jantung teks yang menjadi poros peradaban Islam, yaitu al-Qur’an. Seluruh kaum beriman membaca kitabullah dan membaca janji Allah bahwa:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)
Namun, Nasr Hamid Abu Zayd telah menjebol konsep teks al-Qur’an dan terang-terangan menyerang konsep teks al-Qur’an tersebut dengan kritik, analisis, wacana, dan juga tahrif dengan menulis beberapa buku seperti buku yang ditulisnya khusus untuk tujuan itu. Dari judul bukunya saja sudah menunjukkan tren kajian dalam ilmu al-Qur’an yang ingin memakai pendekatan kajian humaniora Barat dalam mendekonstruksi ilmu al-Qur’an yang telah mapan. Pengaruh filsafat materialis-marxis telah merasuk begitu jauh dalam kajian dan penelitian sumber-sumber primer Islam. Nasr Hamid Abu Zayd begitu jelas mengumbar ungkapan-ungkapan yang konotasinya al-Qur’an itu dibentuk oleh realitas manusia. Ada sesuatu yang janggal jika ia beriman kepada al-Qur’an, namun keimanannya itu bertolak dari filsafat materialisme dan menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) Al-Qur’an dibentuk oleh realitas. Wahyu itu bottom-up (dari bumi ke langit) dan bukan top-down (dari langit ke bumi);
2) Sebelum dibaca oleh Nabi SAW, al-Qur’an tidak memiliki wujud transenden yang berbeda dari realitas yang telah membentuk wahyu dari semua segi (redaksi, konsep, dan petunjuknya);
3) Wahyu adalah produk realitas/budaya.

Bagi Nasr Hamid Abu Zayd, keimanan terhadap sumber ke-ilahi-an al-Qur’an hanya akan menimbulkan khurafat dalam pemikiran keagamaan. Karena dalam filsafat materialisme-atheis, ide tidak bisa mendahului realitas sosial, juga tidak ada sumber yang transenden bagi alam semesta dan realitas. Filsafat tersebut telah menganggap suatu pemikiran itu sebagai pantulan realitas yang objektif. Pemikiran adalah proses kreatif yang memantulkan dunia yang objektif dalam tataran konsep, hukum, dan teori. Ia adalah produk sosial dari segi cara permulaannya, metode konstruksinya, fungsi-fungsi, dan berbagai hasilnya.

3.1.2. Pijakan Epistemologis Al-Qur’an sebagai “Produk Budaya”
1) Konsep Dialektik, dari Realitas ke Teks

Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan filsafat materialis-marxis ketika memperlakukan al-Qur’an dan juga saat menentang berbagai metode wacana studi Islam yang mapan, ia juga menafikan wujud transenden al-Qur’an yang berada di luar realitas. Eksistensi al-Qur’an itu bukanlah dialektika yang turun melainkan dialektika yang naik –ia berasal dari realitas– yang telah membentuk konsep al-Qur’an. Ia menulis, “Jika teks-teks ini (al-Qur’an dan Hadits) telah terbentuk di dalam realitas dan kultur, maka keduanya berperan membentuk teks itu. Kemungkinan besar, poin krusial inilah yang menjadi garis pemisah dan pembeda antara metode studi Islam (termasuk al-Qur’an) yang kami gagas dengan metode-metode lain yang telah mapan dalam studi Islam klasik dan kontemporer ketika mendiskusikan persoalan ini. Metode-metode studi Islam klasik selalu menitikberatkan pada kajian tentang Allah (pemilik teks), lalu berturut-turut Nabi Muhammad SAW (penerima pertama), dan realitas manusia (yang biasa dikaji dalam bahasan asbab nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh).

Itulah tipologi epistemologi studi Islam dalam format dialektika top-down (dari atas ke bawah). Sementara epistemologi penulis adalah format dialektika bottom-up (piramida terbalik). Metodologi pertama bertolak dari yang absolut dan ideal ke arah gerakan turun ke bawah (alam dunia yang riil). Sementara itu, metodologi yang kedua berangkat dari alam dunia yang naik, mulai dari fakta sosiologis untuk sampai kepada sesuatu yang tidak diketahui (majhul) dan untuk menyingkap sesuatu yang samar (ghaib). Lebih jauh lagi, Nasr Hamid mengungkapkan bahwa “Keimanan terhadap wujud metafisik (absolut) yang ada sebelum hadirnya teks akan memupuskan fakta –yang disepakati dan tidak perlu pembuktian lagi– bahwa teks al-Qur’an dalam hakikat dan substansinya telah terbentuk oleh realitas dan kultur manusia, sebagaimana juga hal itu akan mengeruhkan kemungkinan suatu pemahaman yang ilmiah untuk fenomena teks al-Qur’an. Jadi, tampak secara vulgar bahwa Nasr Hamid Abu Zayd bertujuan untuk menegaskan aspek humanitas al-Qur’an, juga sebagai potret realitas dan produk budaya Arab. Menurutnya, al-Qur’an lahir disebabkan pengaruh lingkungan tempat ia pertama kali hidup dalam dimensi tempat, waktu, dan fenomena hidup (material-spiritual-sosial). Padahal demikian banyak ayat-ayat muhkamat yang menyatakan entitas al-Qur’an sebagai suatu tanzil (yang diturunkan) dari Allah SWT melalui malaikat Jibril as yang dihujamkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW. Bukankah al-Qur’an itu jelas dan tegas seperti yang ditegaskan Allah SWT. Lihat Qur’an Surah asy-Syu’ara [26]: 192-194.

Semuanya menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa al-Qur’an itu turun dari Allah SWT kepada realitas bumi dan dunia manusia. Selayaknya segala entitas seperti al-Qur’an yang turun dari Allah, ia memiliki wujud transenden yang berbeda dengan realitas kultur dan sosial yang turun di dalamnya sebelum al-Qur’an diturunkan. Sementara bagi Nasr Hamid, teks al-Qur’an justru menyatakan sebaliknya. Dan umat Islam sepakat seluruhnya dan percaya bahwa sumber al-Qur’an itu berasal dari Allah SWT, sehingga –seperti halnya Tuhan itu sakral– ia pun (al-Qur’an) memiliki kualitas kesakralan tersebut. Tetapi bagi Nasr Hamid, kepercayaan semacam itu hanya akan memupuskan fakta –yang disepakati dan tidak perlu pembuktian lagi.–

2) Konsep Keaslian Realitas-Materiil
Mari kita telaah apa yang dimaksud dengan orisinalitas realitas manusia oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Dalam salah satu bagian bukunya, ia menulis “Realitas adalah asal mula teks yang tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab dari realitas teks al-Qur’an terbentuk. Konsep-konsepnya diadopsi dari sistem bahasa dan kultur masyarakat saat itu. Dan melalui persinggungan dengan akal manusia, petunjuk-petunjuk teks itu selalu diperbarui. Realitas manusia adalah yang pertama, kedua, dan terakhir. Pengabaian realitas ini untuk kepentingan teks yang rigid (makna dan petunjuknya tetap) akan mengubah keduanya menjadi mitos. Teks berubah menjadi mitos karena dimensi humanistik terabaikan dan sebaliknya fokus kepada transendensi ilahiah. Hal tersebut merintis jalan bagi pertanyaan-pertanyaan yang mandul seputar karakter teks, bentuknya, model penulisannya, apakah Jibril as menyampaikannya dalam bahasa Arab atau lainnya. Disisi lain, realitas juga berubah menjadi mitos sebagai imbas dari pembakuan makna dan petunjuk ayat, dan finalisasi makna yang dibangun oleh sumber ilahiah, serta upaya memaksakan makna yang baku dan abadi itu diterapkan kepada tataran sosiologis manusia. Demikianlah, wacana keagamaan konservatif telah memaksa kita untuk berputar dalam wacana kosong dan rigid. Selain juga akan memusnahkan berbagai kemungkinan pemaknaan yang kaya dan cocok untuk kondisi sosiologis dan historis kita saat ini. Dan yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang adalah seberapa hebat dan efektifkah makhluk yang bernama “realitas” manusia itu sehingga Nasr Hamid Abu Zayd menyerahkan sepenuhnya otoritas pembentukan dan produksi makna teks al-Qur’an kepada makhluk saat ini?

a) Apa itu Realitas?
Kita bisa mendefinisikan realitas itu sebagai perwujudan alam semesta dan pergerakan manusia secara historis dalam pelbagai manisfestasinya. Atau definisi realitas adalah gambaran dari aktivitas alam semesta dan kerangka umum yang menaungi peran-peran manusia dalam interaksinya dengan entitas lain. Atau bisa jadi realitas itu adalah produk dan manifestasi peran-peran kemanusiaan dalam konteks sejarah. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa orisinalitas realitas pada hakikatnya adalah orisinalitas faktor-faktor yang memproduksinya. Pasalnya, realitas bukanlah unsur independen dalam wujud dan pengaruhnya. Ia tidak bisa tegak hanya dengan struktur-strukturnya yang unik bekerja terpisah dari pergerakan dinamis alam semesta dan manusia. Menampilkan realitas secara ekstravaganza berarti menyiratkan hegemoni realitas secara eksistensial dan masif atas seluruh faktor-faktor yang memproduksinya. Padahal, realitas adalah sekadar kulit luar dari isi dan substansi yang tidak lain adalah perwujudan dari alur sejarah alam semesta dan manusia beserta jaringan hukum, hubungan, dan sistem-sistem yang telah dinaungi oleh panggung kosmis. Jadi, sejatinya yang memberikan isi, serta menentukan substansi dan bentuknya adalah sejumlah faktor yang aktif bekerja di dalam alur sejarah semesta dan manusia. Disinilah pentingnya kita mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam memproduksi realitas. Setelah itu kita juga mempelajari unsur-unsur semesta dan manusia sebagai faktor pembentuk realitas. Jadi, sangat jelas bahwa unsur-unsur tersebutlah yang efektif bekerja untuk memproduksi realitas, bukan sebaliknya.

b) Pemikiran yang Pincang?
Dari analisis di atas, anggitan Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Sebab dari realitaslah teks al-Qur’an terbentuk, konsep-konsepnya diadobsi dari sistem bahasa dan kultur masyarakat saat itu.” Berarti realitaslah yang membentuk dan mementukan isi, sistem, dan tujuan teks al-Qur’an. Jika itu adalah kondisi teks, maka nilai apalagi yang tersisa baginya? Peran apalagi yang bisa diberikan bagi pergerakan manusia dan sejarah? Eksistensi nash yang sudah dikebiri itu menjadikannya ada atau tidak ada al-Qur’an sama saja, jika kita telah menghapus unsur yang paling sederhana berupa “petunjuk” dari teks tersebut. Pasalnya, teks apa pun tidak mungkin dipisahkan dari petunjuknya terutama ketika sang penulis/pengucap/pembicara sengaja menginginkan maksud tertentu. Nah, dalam kondisi inilah, pernyataan Qadhi ‘Abdul Jabbar (w.415 H), “Wajib bagi kita menilik suatu pembicaraan tak ubahnya seperti perilaku yang berasal dari pelakunya”, amat relevan.

Kondisi tersebut amat paradoksal jika kita bandingkan antara realitas jahili dengan visi ideal al-Qur’an. Pasalnya, jika dikatakan, “Dari kultur manusia, konsep-konsep teks dibuat”, maka jika dibenturkan dengan fakta empiris ternyata amat paradoks. Seringkali al-Qur’an dan realitas jahili berseberangan. Di satu sisi, al-Qur’an ingin merombak tatanan realitas jahili. Di sisi lain, realitas jahili itulah yang bekerja keras dan brutal memerangi al-Qur’an. Bukankah pergerakan sejarah adalah cermin dari konflik antara teks dan realitas, sehingga bagaimana mungkin realitas itu yang membentuk konsep-konsep teks al-Qur’an? Jika kita temukan adanya keserasian antara teks dan realitas, maka itu artinya teks al-Qur’an sesuai dengan fakta-fakta kodifikasi dan pembentukan semesta dan manusia. Karena setiap fakta atau nilai yang cocok dengan “semesta manusia” itu merupakan kesatuan organik dengan sistemnya yang komprehensif serta tidak berbenturan dalam tataran hakikat dan nilai-nilai. Tentu saja, misi dasar teks menampilkan visi yang berseberangan dengan realitas pada umumnya baik dalam pemikiran, pengalaman maupun mekanismenya. Kalau tidak demikian, untuk apa urgensinya menurunkan teks jika sama saja dengan yang sudah ada? Konsep-konsep apalagi yang telah dibentuk oleh realitas bagi teks al-Qur’an, sementara realitas jahili itu dalam pandangan al-Qur’an adalah realitas yang rusak, tersesat, dan menyimpang dari trek yang ideal? Kita sudah tahu bahwa al-Qur’an datang dan turun untuk mengubahnya dan merevolusi yang ada serta menetapkan alternatif sistem kehidupan yang ideal yang sama sekali jauh berbeda dengan sebelumnya. Dalam memantapkan hal itu, al-Qur’an menghadapi konflik dan perlawanan yang luar biasa. Bahkan, mengobarkan peperangan dan pengorbanan yang tidak sedikit dari Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan sebagian sahabat beliau yang beriman, sampai realitas itu berhasil ditundukkan agar sesuai dengan nilai dan tujuan al-Qur’an secara sukarela. Jika al-Qur’an adalah cermin dari realitas, maka tentunya ia akan sesuai (dengan realitas masyarakat jahili) dan tidak bertentangan satu sama lain.

c) Fungsi Teks yang Minus Petunjuk?
Kalau teks al-Qur’an sebatas cermin dari realitas, maka untuk apa ada teks tersebut jika realitas adalah yang pertama, kedua, dan terakhir? Apalagi jika teks itu telah kehilangan sistem petunjuknya yang intrinsik, lalu realitaslah yang kemudian mengisi konsep dan memberikan isinya. Bagaimana bisa dikatakan realitas telah melahirkan teks padahal al-Qur’an banyak menentang fakta-fakta realitas masyarakat jahili, yang sudah semestinya harus serasi dan sejalan dengan realitas yang telah melahirkannya? Visi Nasr Hamid Abu Zayd ingin menyatukan antara teks dengan realitas sehingga tercipta keserasian, bukankah teks telah dikendalikan sepenuhnya oleh realitas? Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pasalnya, realitas justru menolak dan memerangi teks. Hal ini bisa dirasakan dalam beberapa ayat. Dan jika realitas dinilai telah membentuk substansi teks, lalu mengapa bisa terjadi “pengacuhan”, “penghalangan”, dan “penyerangan”, bahkan menuntut alternatif lain dari teks al-Qur’an yang sudah eksis?

Pertanyaan krusial yang patut diajukan adalah, apakah nash yang membentuk realitas ataukah realitas yang membentuk nash dalam pergerakan sejarah manusia dan agama? Bukankah para Nabi dan Rasul –sebagai pengemban amanah wahyu/teks suci– membawa program-program revolusioner untuk ukuran waktu itu? Gerakan revolusioner mereka bertujuan mengubah realitas lama yang sudah lapuk kepada realitas baru yang mencerahkan karena bertolak dari wahyu/teks suci yang sesuai dengan alur sejarah semesta dan manusia. Pasalnya, tugas suci mereka tidak lain untuk mengarahkan realitas manusia agar sesuai dan senapas dengan teks-teks suci yang mereka emban dari “langit”, selain juga untuk memberdayakan “misi langit” itu di muka bumi.

d) Teks yang Membentuk Realitas
Pada tataran inilah, dalam persinggungannya dengan realitas, terbukti teks sucilah yang telah membentuk realitas pada saat ia ditolak atau diterima. Ketika ditolak dan diperangi oleh realitas jahili, maka teks suci telah menciptakan pergerakan realitas menuju ke arah teks itu. Karena penolakan itu justru akan melahirkan sekian banyak hasil-hasil positif dalam bentuk dan tahapan-tahapan sosio-kultur. Itulah yang dapat dilihat ketika kita menginduksi sejarah hubungan teks dengan realitasnya. Terlebih lagi jika realitas secara positif menerima arahan teks suci, maka akan lahir respons-respons positif sesuai substansi, ajaran, dan sistem yang dikembangkan oleh teks suci.

e) Tidak Ada Pengabaian terhadap Teks
Kita tidak bisa mengatakan bahwa teks telah mengabaikan realitas karena asumsi bahwa teks telah membeku dan secara petunjuk operasionalnya juga tetap, padahal petunjuk yang tetap tidak berarti jumud/statis. Terlebih lagi teks suci juga menolak statisme yang hanya menyuburkan kejumudan. Padahal, kalau kita tilik ternyata teks suci amat kaya dengan retorika yang sangat dinamis dan menjadi motor penggerak realitas manusia. Teks suci hanya dikatakan bermakna “tetap” karena di dalamnya pasti dan harus ada aspek-aspek dan nilai-nilai abadi yang dari situ akan tercipta petunjuk makna yang membedakannya dengan proyek-proyek lain yang berusaha mengarahkan realitas. Pengabaian teks baru akan terjadi jika kita sengaja menyingkirkan fakta-fakta yang sah atau karena tak mampu menyelaraskan diri dengan realitas di dalam derap langkahnya yang selalu berubah dan berkembang. Kecerobohan kita dalam hal-hal yang tetap –apalagi dalam hal undang-undang, semesta dan manusia serta aplikasinya dalam kenyataan hidup baru– akan mengantar kita pada kesimpulan bahwa kita telah mengacuhkan realitas. Dan perlu diingat bahwa realitas tidak akan mampu tegak kecuali apabila ia berada di atas dasar fakta-fakta beserta implikasinya berupa karya dan pengalaman-pengalaman semesta dan manusia.

f) Humanisasi Teks dengan Dalih Realitas
Metode humanisasi teks al-Qur’an tidak lain adalah cara untuk melontarkan keraguan seputar teks dengan dalih dibenturkan dengan realitas kemanusiaan. Humanisasi teks al-Qur’an akan membajak dan memberangus setiap potensi untuk mengetahui petunjuk dan maksud ayat dari Pemiliknya, yaitu Allah SWT. Jika maksud teks al-Qur’an diserahkan penentuannya kepada masing-masing pembaca, maka akan terjadi kekacauan nilai karena tidak ada standar dan patokan yang dijadikan pegangan bersama. Implikasi metodenya amat besar, sebab ia akan merembet kepada semua jenis diskursus dan pembicaraan dikarenakan metode ini ingin menghancurkan teori bahwa pemilik tekslah yang paling mengetahui apa yang dimaksud oleh teks yang dilontarkannya. Sama halnya dengan al-Qur’an, semua teks sains, sastra, hukum, dan filsafat tidak akan bisa menyingkap rahasia maksudnya jika diserahkan kepada otoritas pembaca. Bisa dijamin bahwa setiap pendengar atau pembaca teks tersebut tidak akan berhasil memahami maksud dan tujuan setiap pembicara di bidang apa pun yang menjadi topiknya. Absurditas inilah sejatinya yang mengancam realitas manusia itu sendiri. Selain itu, humanisasi teks akan mengantarkan kepada penisbian kebenaran yang telah menjadi fakta. Karena seluruh kebenaran faktual (de facto dan de jure), dalam teori ini, akan selalu berubah akibat terpengaruh oleh faktor pemahaman manusia baik intrinsik maupun ekstrinsik, prakonsepsi maupun prasangka. Oleh sebab itulah, bahwa sebuah teks dapat selalu progresif dan responsif meskipun usianya sudah sangat tua dan berasal dari masa silam, selama dia masih merefleksikan kebenaran faktual yang abadi dan absolut. Artinya, teks itu terbebas dari imbas kadaluarsa dari aspek waktu, dan asal-muasal teks masa silam itu tidak berpengaruh apa pun untuk menyurutkan efektivitasnya dalam ranah kemanusiaan. Tidak benar jika selalu digemborkan bahwa teks hanya berorientasi ke belakang (jumud dan beku) dan realitas berorientasi ke depan (progresif). Sangkaan semacam ini diproyeksikan untuk satu tujuan agar teks suci tidak bisa berperan dalam membangun, mengatur dan mengarahkan realitas manusia. Akibatnya, teks suci itu terisolir dari hiruk pikuknya dinamika kehidupan manusia, sehingga yang berkuasa menentukan masa depan manusia adalah manusia itu sendiri tanpa melibatkan nilai-nilai ilahiyah yang terkandung di dalam kitab suci (al-Qur’an).

Memang masih banyak di beberapa kalangan skrip-turalis yang menyandera teks-teks suci dan melumpuhkannya serta berorientasi ke belakang karena mereka tidak mampu memahami hubungan antara teks suci dan realitas. Diakui pula bahwa sikap-sikap jumud dan kedangkalan pemahaman (fiqih) sebagai faktor yang turut menyusutkan peran dan efektivitas teks suci dalam sejarahnya yang panjang. Namun kedua hal itu tidak boleh menyebabkan kita terjebak ke dalam titik ekstrem lain, yaitu saat kita mencoba untuk menon-aktifkan petunjuk intrinsik yang ada di dalam teks suci dan serta merta kita serahkan otoritas sepenuhnya kepada realitas manusia dalam menentukan petunjuk teks. Teks suci ingin dikesankan tidak memiliki makna yang tetap dan pasti sebagai suatu nilai fundamental bagi perilaku manusia. Kedua sikap yang ekstrem itu harus ditolak karena berdampak negatif terhadap eksistensi teks suci al-Qur’an. Di satu sisi kelompok liberalis ingin memberangus dan menganulir Al-Qur’an agar tidak berlaku efektif di dalam kehidupan manusia. Dan di sisi lain, kelompok tekstualis tidak mempedulikan realitas manusia yang dinamis dan tidak memperhatikan fiqhul waqi’ (kesadaran realistis) dalam upaya membumikan al-Qur’an secara efektif dalam ranah kemanusiaan.

3.2. SIAPA DR. NASR HAMID ABU ZAYD
Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tanta, pada 07 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Ia pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980) saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu menguasai bahasa Inggris secara lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama 4 tahun (1985-1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain:
1. Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982);
2. Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi (Filsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut 1983);
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Cairo 1987);
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo 1992);
5. Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992), dan
6. Imam Asy-Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo 1992).

Dari karya tulisnya tersebut kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisannya telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Ia mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di Fakultas Sastra Universitas Cairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. 6 bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 3 Desember 1992 keluar keputusannya: promosi ditolak. Ia tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. Ia pun tidak bisa menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada hari Jum’at 2 April 1993, Prof. Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khotbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Nasr Hamid Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti pula oleh khatib di masjid-masjid pada hari Jum’at berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya, 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Cairo agar Nasr Hamid Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad memperkarakan Nasr Hamid Abu Zayd ke Pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada tanggal 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Cairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Cairo menyatakan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan perkawinannyapun dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari isterinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita Muslimah. Ia pun mengajukan banding. Sementara itu, Majelis Ulama al-Azhar meminta Pemerintah turun tangan: Nasr Hamid Abu Zayd mesti disuruh bertobat atau kalau ia tidak mau maka harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, pada tanggal 23 Juli 1995, bersama isterinya, ia pun terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Nasr Hamid Abu Zayd dinyatakan murtad. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Nasr Hamid Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘Arasy, malaikat, setan, jin, surga dan neraka adalah mitos belaka;
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz;
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau;
4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) adalah “tradisi reaksioner” dan syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam;
5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos;
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia;
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy;
8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW;
9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” (maksudnya al-Qur’an dan Hadits);
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Menariknya, di Mesir Nasr Hamid Abu Zayd dikafirkan, di Belanda ia justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki The Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di Universitas itu. Tidak lama kemudian Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan “the Freedom of Worship Medal” kepadanya sebagai penghargaan atas segala yang telah ia lakukan selama ini. Lembaga Amerika ini menyanjungnya karena pikiran-pikirannya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan. Prof. Dr. M. Amin Abdullah dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu dan cendekiawan lainnya di tanah air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan adanya keputusan Majelis Ulama al-Azhar.









BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab 1 mengenai definisi al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian besar pengaruhnya terhadap umat (masyarakat) dan sangat signifikan perannya dalam sejarah peradaban manusia. Dan tidak ada kitab lain yang dapat menandingi kesakralannya (kesuciannya) karena dari abad ke abad sejak diturunkannya kepada Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang langsung diturunkan Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril as, al-Qur’an telah menjadi sumber inspirasi (motivation insfluence) bagi para penuntut ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya dan para ulama tidak habis-habis membahasnya. Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab suci yang bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhan isinya (wa inna lahu la haafizun), dan tidak mungkin bisa dibuat tandingannya (la ya’tuna bi mitslihi). Ia ibarat kompas pedoman arah penunjuk jalan, laksana obor penerang di kegelapan. Sehingga karakteristik-karakteristik seperti inilah yang membuat kalangan non-Muslim –khususnya orientalis-missionaris– iri dengki (hasadan min ‘indi anfusihim). Disamping fakta bahwa mengenai keaslian, kebenaran, dan kemukjizatan al-Qur’an sebagai Kalamullah, seluruh umat Islam sepakat dan sependapat, dari dulu sampai sekarang, dari Maroko sampai Merauke.

Adapun secara istilah, al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah [1] sampai akhir surat an-Naas [114]. Dan melihat fungsi serta kedudukan al-Qur’an, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
1. Al-Qur’an sebagai kitab berita atau kabar (Kitabul Naba wal Akhbar), QS. an-Naba’ [7]: 1-2);
2. Al-Qur’an sebagai Hukum Syari’at (Kitabul Hukmi wa Syari’ah), QS. al-Maidah [5]: 49-50;
3. Al-Qur’an sebagai Jihad (Kitabul Jihad), QS. al-Ankabut [29]: 69);
4. Al-Qur’an sebagai kitab Pendidikan (Kitabut Tarbiyah), QS. ali Imron [3]: 79;
5. Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup (Minhajul Hayah);
6. Al-Qur’an sebagai Ilmu Pengetahuan (Kitabul ’Ilmi), QS. al-Alaq [96]: 1-5.

Ketika kita melihat dan menyaksikan sendiri bahwa al-Qur’an merupakan target utama (target operation) serangan kaum orientalis-missionaris –sekuler-liberal– Yahudi dan Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah SAW. Maka mereka terus mempertanyakan status kenabian beliau SAW, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Dan melihat konsep pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, secara intensitas pemahaman Islam menurut pendapat para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama al-Azhar Mesir, banyak sekali kesalahan-kesalahannya yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘Arasy, malaikat, setan, jin, surga dan neraka adalah mitos belaka. Dan mengimaninya merupakan indikator akal yang larut dalam mitos;
2. Al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafi), dan mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz;
3. Al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau. Sama halnya ia mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW;
4. Ia mengatakan ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) adalah “tradisi reaksioner” dan syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam;
5. Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia;
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy;
7. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” (maksudnya Al-Qur’an dan Hadits). Dan ia mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
4.2. SARAN
Setelah melihat penjelasan singkat mengenai pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam prinsip-prinsip dan paradigma yang ia lontarkan yang menyebabkan presisi pemikiran tingkat tinggi yang mudah sekali untuk dibantah dan dimentahkan, maka ada beberapa catatan kritis yang harus ditujukan kepadanya, diantaranya:
1. Soal pemisahan antara maqashid syari’ah (tujuan syariat) dengan bentuk formal atau cara-cara baku syariah untuk mewujudkan maqashid itu. Hal itu dapat kita bantah dengan menyatakan bahwa kelengkapan dan keunggulan sistem hukum al-Qur’an telah menyebutkan secara tegas setiap maqashid (tujuan hukum) di balik aturan-aturan hukum yang ada, lengkap dengan tata cara implementasi hukum itu (bentuk formal hukuman) yang dapat menjamin terealisasinya maqashid syari’ah itu dengan baik dan memenuhi unsur keadilan bagi semua. Bentuk formal hukuman itu dibunyikan (manthuq) secara tegas (sharih) seperti halnya maqashid, maka keduan-duanya bersifat mengikat dan harus berjalan seiring dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Misalnya, dengan menetapkan maqashid, tetapi tata caranya diserahkan kepada akal dan pertimbangan zaman untuk menentukan bentuk hukuman yang layak. Tujuan syariat untuk membahagiakan manusia amat jelas dilihat dari keumuman lafazhnya. Sedangkan perincian implementasi maqashid itu, terkadang ada yang jelas karena tersurat dari teks-teks terkait yang menjelaskan, dan bisa jadi ada yang kurang jelas dan tegas, sehingga aturan-aturan hukum yang ditetapkan dalam teks itulah yang menjadi indikator bahwa bentuk formal itulah satu-satunya cara untuk mewujudkan maqashid tersebut. Imam asy-Syathibi menyatakan, “Bentuk perintah (al-amru) diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan perintah karena menuntut terlaksananya perbuatan, sehingga terlaksananya ketika ada sebuah perintah itu sangat ditekankan oleh syar’i (Allah SWT). Demikian pula bentuk larangan (an-nahyu) diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan larangan karena menuntut dijauhi perbuatan itu, sehingga tidak terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh syar’i (Allah SWT) dan melanggarnya berarti menentang maksud Allah SWT tersebut. Dengan demikian, menjadi jelaslah kedudukan bentuk formal hukum dalam tata sistem syari’ah yang diusung al-Qur’an untuk kebaikan manusia. Tidak ada pemisahan antara maqashid syari’ah dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat dan gamblang di dalam nash al-Qur’an. Bahkan, filsafat hukum Islam menyatakan bahwa maqashid syari’ah telah terwakili dan terserap secara utuh dalambentuk formal hukum syari’ah, dalam pengertian bahwa maqashid itu tidak akan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum sebagaimana tersurat di dalam teks al-Qur’an. Sebagian besar bentuk formal hukum itu tersurat di dalam nash-nash yang qath’i. Sehingga jika dipaksakan maka hal tersebut sama saja ingin menganulir dan melumpuhkan maqashid yang menjadi sandaran kelompok liberal.

2. Soal upaya mengaitkan teks al-Qur’an dengan peristiwa dan kondisi khusus yang melatari turunnya ayat, sehingga pemahaman teks harus dikhususkan kepada peristiwa tersebut. Paradigma liberal dalam studi al-Qur’an mengandaikan bahwa perintah dan larangan al-Qur’an untuk mewujudkan maqashid syari’ah itu hanya berlaku bagi komunitas yang pertama kali menjadi sasaran (khithab) dan turun untuk merespons mereka saja. Artinya, hukum Islam itu tidak berlaku lagi untuk masyarakat muslim yang hidup dalam rentang waktu yang berjauhan, apalagi kondisinya juga jauh lebih kompleks. Hassan Hanafi –misalnya– menyatakan, “Teks-teks wahyu bukanlah sebuah buku yang diturunkan sekaligus dalam satu waktu dan dipaksakan untuk diterima oleh semua manusia dari nalar ilahiah, melainkan ia adalah sekumpulan solusi bagi problem keseharian yang dihadapi oleh individu maupun komunitas muslim. Beberapa solusi hukum atas problem keseharian itu kini telah banyak berubah karena kualitas pengalaman manusia yang meningkat. Apalagi banyak dari solusi kasus itu pada masanya bukanlah given langsung dari wahyu, melainkan usulan-usulan ide dari individu maupun komunitas yang kemudian dijustifikasi oleh wahyu. Lebih dari itu, Hassan Hanafi tidak hanya memilih sebagian hukum syariat, tetapi juga menggeneralisirnya kepada semua teks wahyu, karena baginya, “Asal-usul turats –yaitu wahyu– dibangun di atas pilar realitas manusia, sehingga wahyu dapat berubah-ubah mengikuti iramanya. Asal-usul syariat pun demikian halnya. Ia adalah rasionalisasi dan teoritisasi terhadap realitas. Hanya saja realitas lama telah dilangkahi oleh syariah untuk menuju ke arah realitas yang lebih maju. Namun ironisnya, yang terjadi kini adalah pembaruan yang kita canangkan tidak mampu dilangkahi oleh syariah.” Paradigma seperti ini bertentangan dengan keumuman lafazh syariah, sehingga seakan metode khilafah manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci al-Qur’an hanya membebankan segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi umat manusia. Padahal metode khilafah menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri’ membawa taklif bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid syariah semata tapi juga satu paket dengan bentuk formal hukum tersebut yang mampu mewujudkan maqashid. Bukankah Allah SWT berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ [34]: 28)

Demikian pula respons Nabi Muhammad SAW atas kasus pertanyaan yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ada seorang laki-laki mencium pipi seorang perempuan tanpa disengaja. Ia lalu bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadiannya. Lalu Allah SWT menurunkan ayat 11 di surah Hud [11]. Laki-laki itu bertanya, “Wahai baginda Rasul, apakah ayat itu berlaku khusus bagi saya saja?” Nabi menjawab, “Itu berlaku bagi seluruh ummatku!” Para pakar ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tidak pernah menutup-nutupinya bahwa banyak dalil syariat yang muncul karena peristiwa khusus. Namun, hal tersebut bagi para ulama Islam dipahami tidak lain sebagai media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem hukum Islam. Keumuman lafazh wahyu juga telah menetapkan bahwa seluruh umat terkena kewajiban taklif karena tuntutan kaidah bahasa Arab yang mewajibkan taklif kepada manusia secara umum dan absolut terlepas dari waktu dan tempat dimana pun mereka berada. Kita perhatikan lagi pernyataan Imam asy-Syathibi yang amat penting direnungkan, “Syariat bagi para mukallaf itu bersifat umum dan menyeluruh. Dalam pengertian bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Tidak ada yang dikecualikan dari semua hukum syariat tersebut seorang mukallaf pun.”

3. Pemahaman terhadap nash qath’i, selain berlaku khusus pada konteks asbab nuzul-nya, juga harus tunduk dan mengikuti kondisi realitas dan pragmatis sesuai kebutuhan manusia modern. Teori dan praktik penafsiran semacam ini begitu jelas dalam aplikasinya terhadap beberapa hukum syar’i seperti hukuman hudud, halalnya poligami, dan haramnya riba. Dalam konteks penerapan hudud dan poligami, pemahaman yang aslinya perintah alias halal justru berubah menjadi suatu larangan dan menjadi haram. Sementara itu, dalam konteks transaksi riba di perbankan konvensional, pemahaman yang asalnya haram justru berubah menjadi sesuatu yang halal. Semua itu terjadi dengan alasan pragmatisme realitas yang berfungsi untuk mewujudkan maqashid syari’ah.

Adapun mengenai isu keaslian naskah al-Qur’an, kembali ke masalah otentisitasnya, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan senantiasa diingat adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ qira’ah al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan” (qara’a an zhahri qalbin, yakni to recite from memory). Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata. Sebabnya, karena ayat-ayat al-Qur’an dicatat, yakni dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, pelapah kurma, kayu, kertas, daun, dan sebagainya, berdasarkan hafalan, yang bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang Qari’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammad SAW dan diteruskan kepada para sahabat, demikian hingga sampai kepada kita.

2. Meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi SAW dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela-sela ayat yang mereka tulis. Baru kemudian, ketika jumlah penghafal al-Qur’an dari kalangan para sahabat menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) al-Qur’an mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Shiddiq ra sehingga al-Qur’an dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar ra sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Utsman ra. Pada Utsman inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah komisi ahli dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi Muhammad SAW.

3. Kesalahpahaman sarjana orientalis mengenai rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis ‘gundul’, tanpa tanda-baca walau sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‘Utsman sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Disinilah para orientalis salah paham dan keliru.

Kedudukan Dalam Perspektif Epistimelogi Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah Kalamullah, la diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana Idtab Taurat, Injil dan Zabur yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum baginda Rasulullah SAW. Al-Qur’an merupakan rujukan asal kepada risalah Islam. Siapa yang tidak rnerujuk kepada al-Qur’an bermakna dia jauh dari panduan dan rujukan Islam. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan pembawa rahmat kepada sekalian alam. Segala panduan terhadap aturan hidup dan kehidupan telah termuat di dalam al-Qur’an. Siapa yang mendekati sumber hidayah ini insya Allah akan tersentuh dengan petunjuknya dan siapa yang tidak mendekatinya wal’iyaazubillah maka akan jauh dari hidayahnya.

Al-Qur’an merupakan mukjizat yang cukup hebat, tetap dan kekal walaupun melalui peredaran zaman. Mukjizat yang menjadikan semua pendukung kesesatan dan ekstrimis nafsu terduduk membisu. Allah SWT telah rnenjadikan al-Qur’an sebagai basahan hati kepada mereka yang mempunyai penglihatan dan makrifat. Mukjizat al-Qur’an ini tidak menjadi usang lantaran penolakan berterusan oleh golongan yang tidak beriman dan juga peredaran masa. Mukjizat ini tetap dijaga oleh Allah seperti yang dijanjikan-Nya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)

Allah SWT telah menyebutkan di dalam al-Qur’an ini dengan berbagai sebutan terhadap kitab-Nya. Ada yang disebut sebagai hudan (petunjuk) karena ia betul-betul membawa petunjuk kepada manusia, rahmatan (rahmat) karena siapa yang mengikuti petunjuknya akan mendapat rahmat, nur (cahaya) karena ia menyinarkan jalan hidup manusia, syifa’ dan lain-lain. Setiap nama itu adalah menunjukkan kepada ciri-ciri yang dimiliki al-Qur’an. Al-Qur’an menerangkan hukum-hukum syariat dari segi halal-haram dan sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Ia juga membawa kisah-kisah dan berita-berita pengajaran sebagai bahan berfikir terhadap peristiwa-peristiwa yang berlaku di dalam sejarah seperti ashabul kahfi, tentara bergajah, kaum ‘Aad, Tsamud, Firaun dan lain-lain. Al-Qur’an juga merupakan panduan seluruh manusia beriman tentang jihad, skop dan pelaksanaannya dan al-Qur’an memainkan fungsi utama di dalam mendidik dan mentarbiyah jiwa-jiwa manusia menjadi hamba yang sebenar-benarnya.

Al-Qur’an banyak sekali memiliki keutamaan yang sangat besar, diajarkan dan disampaikan oleh baginda Rasul Muhammad SAW kepada seluruh ummat manusia di bumi Allah ini. Bukti konkrit keutamaan al-Qur’an bisa kita lihat dari beberapa ayat berikut :
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,” (QS. al-Baqarah [2]: 2

“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (QS. al-An’am [6]: 92)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. al-Isra [17]: 9)

Dalam satu hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Utsman bin Affan ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ كُمْ مِنْ تَعْلَمَ الْقُرْانَ وَعَلٌمَهُ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Ketika manusia mencoba mengupas keagungan al-Qur’an, maka ketika itu pulalah manusia harus tunduk mengakui keagungaan dan kebesaran Allah SWT. Karena dalam al-Qur’an terdapat lautan makna yang tiada batas, lautan keindahan bahasa yang tiada dapat dilukiskan oleh kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan dalam jiwa manusia dan berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan oleh indra kita. Oleh karenanya, mereka yang telah dapat berinteraksi dengan al-Qur’an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran keagungan’ yang tidak ada bandingannya. Mereka dapat merasakan sebuah keindahan yang tidak terhingga, yang dapat menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang sangat kecil sekali. Seperti ungkapan Sayid Qutb.”

Di dalam al-Qur’an juga dinyatakan bahwasa orang-orang Yahudi dan Kristen memang tidak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara untuk mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah : 120)
Mereka ingin umat Islam melakukan seperti yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan. Sehingga timbul keraguan terhadap yang shahih dan benar untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif. Orientalis-missionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang jauh (far eastern) seperti Jepang, Cina dan India. Maupun yang dekat (near estern) seperti Persia, Mesir dan Arabia.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.” Mengapa orientalis-missionaris satu ini menyeru demikian? Karena hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan karena kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Dan perlu diketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campurtangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan. Sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland.

Dan yang paling memprihatinkan lagi, ada salah satu cendekiawan Islam yang berpikir sama yang menjurus kepada orientalis-missionaris itu. Dia adalah Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir dan juga pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa al-Qur’an adalah “Produk Budaya Arab”. Berbagai karyanya telah ditelaah dan diberikan kritiknya. Ia memang telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian lari ke Belanda. Di negara kolonial inilah, ia diberi tempat terhormat sebagai guru besar ilmu al-Qur’an di Universitas Leiden. Dari sini pula ia mengkader banyak dosen UIN/IAIN untuk menyebarkan pahamnya di Indonesia. Karena itu, tidak heran, jika hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang paham Liberal keagamaan di sekitar kampus UIN Yogyakarta menyatakan, bahwa bagi kaum liberal: ”Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad SAW, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakannya adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.” Buku-buku Nasr Hamid Abu Zayd sudah banyak diterjemahkan di Indonesia (terjemahan dalam bahasa Indonesia). Dan penghormatan terhadapnya pun banyak dilakukan, salah satunya oleh sebuah lembaga penyebar paham Pluralisme Agama pimpinan Dr. Syafii Anwar dan Rektor Uin Yogya, Prof. Dr. Amin Abdullah. Kini, berbagai kampus di Indonesia pun sudah mulai dijejali dengan pemuja Nasr Hamid Abu Zayd. Bahkan, pendapat-pendapatnya sudah mulai di ekspose melalui media massa. Sejumlah murid kesayangan Abu Zayd pun sudah menduduki pos-pos terhormat sebagai dosen-dosen ilmu al-Qur’an di UIN Jakarta dan UIN Yogya. Mereka leluasa mendiktekan pemikirannya kepada para mahasiswa, dan bahkan berwenang menyusun kurikulum dalam studi al-Qur’an yang sejalan dengan pemikiran Abu Zayd. Kaum Muslimin di Indonesia, banyak yang tidak menyadari masalah besar ini dan membiarkan anak-anaknya dicekoki paham Nasr Hamid Abu Zayd.

Mengenai pemikiran-pemikiran sekuler-liberal yang dianut Nasr Hamid Abu Zayd, kita mencoba mencari jawaban dan bantahannya. Henri Shalahuddin, berhasil membongkar kekeliruan pemikiran Abu Zayd dan menyimpulkan, bahwa yang dilakukan Abu Zayd beserta para pemujanya di lingkungan UIN/IAIN lebih merupakan hujatan terhadap al-Qur’an, bukan merupakan kajian ilmiah yang ikhlas dan serius. Karena itulah, dia tidak ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa apa yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd dan para pemujanya adalah sebuah upaya menghujat dan merusak al-Qur’an. Menurut Henri, dewasa ini al-Qur’an dihujat tidak hanya secara fisik, tetapi juga melalui penyelewengan konsep wahyu dan metodologi tafsir. Penghujatan al-Qur’an yang saat ini marak dilakukan bukan dengan membuang mushaf ke toilet, atau menginjak dan membakarnya di depan kaum Muslimin. Namun penghujatan al-Qur’an juga dilakukan secara non-fisik dengan menggunakan ‘metode ilmiah’ yang tidak mudah dipahami dan disadari oleh kebanyakan kaum Muslimin. Sebab, banyak di antara pelakunya adalah cendekiawan dengan titel professor, doktor maupun rektor, sehingga banyak yang kemungkinan mudah tertipu dan menyangkanya sebagai suatu kebenaran ilmiah. Dan Nasr Hamid Abu Zayd adalah salah satu garda terdepan penghujat al-Qur’an saat ini.

Di samping memandang al-Qur’an sebagai “Produk Budaya” (Muntaj Tsaqafi), Nasr Hamid Abu Zayd juga memposisikan al-Qur’an sebatas teks manusiawi (nash insani), teks linguistik (nash lughawi) dan fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah). Sebagai teks linguistik, misalnya, ia mengklaim bahwa al-Qur’an terpengaruh oleh tradisi dan budaya Arab pra-Islam. Sebab baginya, dengan menggunakan bahasa Arab, berarti wahyu tidak turun ditempat yang hampa. Ibarat kata pepatah, bahwa bahasa menunjukkan budaya, maka demikian halnya dengan al-Qur’an. Sebagai teks manusiawi, ia mengatakan bahwa kebenaran al-Qur’an yang bersifat mutlak hanya berada di lauhul mahfuzh. Namun kebenaran yang mutlak tersebut menjadi relatif ketika masuk dan berinteraksi dengan akal pikiran manusia. Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh mengklaim bahwa pemahamannya terhadap al-Qur’an lebih benar dari orang lain, atau bahwa pemahamannya sudah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Karena manusia adalah relatif, maka kebenaran yang dicapainya pun juga relatif. Sehingga Abu Zayd mengkategorikan orang yang mengatakan bahwa kebenaran al-Qur’an yang dia pahami adalah absolut, berarti telah menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Ide Nasr Hamid Abu Zayd tentang teks manusiawi ini, --di samping ide-idenya yang lain--, banyak diminati dan dipropagandakan oleh para tokoh-tokoh Islam yang menganut pada paham relativisme kebenaran. Sebuah paham yang mendasari aliran-aliran liberalisme, sekularisme, feminisme dan pluralisme agama. Sebagai teks manusiawi dan teks linguistik sekaligus, ia mendudukkan al-Qur’an sama seperti Bibel yang semua isi ajarannya tidak harus diterapkan. Sehingga tidak aneh, jika ia lalu menggugat pengharaman homoseksual dan mengecam keras orang yang masih menganggapnya sebagai prilaku menyimpang. Karena menurutnya, haramnya homoseksual lebih karena konteks lokalitas budaya. Sehingga, di bukunya yang lain, ia menyeru umat Islam untuk meninggalkan al-Qur’an dan Hadits, karena dianggapnya telah memasung kebebasan akal manusia. Tidak puas menghujat al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd juga menghujat para ulama yang menjunjung tinggi kewahyuan al-Qur’an. Di antara ulama yang dijadikan sasaran hujatannya itu adalah Imam Syafi’i. Beliau dituduh sebagai ulama oportunis yang suka bekerjasama dengan penguasa demi mendapatkan dunia. Beliau juga dituduh telah mengangkat kedudukan hadits, sehingga menjadi kitab nomor dua setelah al-Qur’an di mata kaum Muslimin. Lebih dari itu, Imam Syafi’i juga dituduh menyebarkan hegemoni suku Quraisy atas suku-suku Arab lainnya dalam agama Islam, terkait dengan pandangan beliau tentang bahasa Arab al-Qur’an. Dengan keberanian Abu Zayd dalam menghujat al-Qur’an dan Imam Syafi’i, jangan heran, jika kaum liberal di Indonesia pun menyambut pendapat Abu Zayd dengan gegap gempita dan menganggapnya sebagai tokoh hebat. Selain di ruang-ruang kuliah di bangku UIN/IAIN/STAIN dan sebagainya, para penganut dan pemuja Abu Zayd pun sudah berani secara terbuka menghujat al-Qur’an melalui media massa. Sebelumnya, telah berjubel artikel, buku, makalah seminar dan sebagainya yang cenderung menghujat al-Qur’an. Ternyata jika diteliti, ujung-ujungnya, yang dijadikan rujukan para penghujat al-Qur’an itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Bahkan, saat ia berkunjung ke Indonesia, di antara aktivis liberal di Indonesia, ada yang begitu memujanya, sampai-sampai menuliskan kekagumannya tentang selera makan Abu Zayd dan cara memilih toilet. Sebuah alasan yang tidak seharusnya dilakukan oleh kalangan yang mengidentitaskan dirinya dengan sikap rasional dan keterbukaan.

Bahaya terbesar dari penghujatan al-Qur’an non-fisik adalah menyesatkan akal pikiran umat Islam yang hendak kembali pada ajaran al-Qur’an dan Hadits secara benar. Sebab konsep wahyu al-Qur’an yang bersifat final dan universal untuk segala tempat dan zaman akan digeser dengan konsep evolusi Darwin. Dengan itu, kebenaran al-Qur’an hanya bersifat temporal dan lokal, khusus untuk suatu masa, bangsa dan tempat tertentu. Begitu juga, hukum-hukum Islam akan dinilai sebagai hukum yang bersifat temporal dan spasial, hanya berlaku untuk kurun waktu dan tempat tertentu. Maka, mereka rajin membuat perbedaan, bahwa ajaran dan hukum-hukum Islam harus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman. Nasr Hamid Abu Zayd juga seorang hermeneut. Metodologi tafsir al-Qur’an yang telah dikembangkan oleh para ulama berwibawa yang memperhatikan segala aspek dalam memahami al-Qur’an digusur dengan metodologi hermeneutika produk Yahudi dan Kristen. Padahal, metode tafsir al-Qur’an jauh lebih ilmiah, dibanding teori interpretasi hermeneutika yang tengah dikembangkan neo-orientalis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Inilah sesungguhnya salah satu tantangan kontemporer yang terbesar yang dihadapi umat Islam Indonesia dewasa ini. Umat Islam saat ini memerlukan puluhan ribu hujjatul Islam, syeikhul Islam dan generasi al-Qur’an yang memperjuangkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam menghadapi perongrongan global akidah dan syariat Islam.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Di makalah ini, selain menjelaskan tentang pengertian al-Qur’an beserta kedudukannya dalam perspektif epistimologi Islam, yang kami korelasikan dengan hadits “Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”, penyusun juga mencoba mendeskripsikan secara singkat mengenai pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd yang sangat membahayakan bagi kalangan umat Islam dan mahasiswa para penuntut ilmupada khususnya, diantaranya:
1. Melihat dari sisi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd yang berorientasi pada orientalis yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan Kalamullah (firman Allah) yang sakral, melainkan hanya sebatas “Produk Budaya” (Muntaj Tsaqofi)?
2. Dan diakhir pembahasan penulis juga memberikan bantahan atas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Bantahan ini diambil dari beberapa referensi yang salah satunya dari penulis Henri Shalahuddin dalam resume bukunya yang berjudul “Al-Qur’an Dihujat”, dan “Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal” tulisan Fahmi Salim, M.A?
BAB II
MA’RIFATUL QUR’AN

2.1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
2.1.1. Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)
Dari segi bahasa, kata al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar ”qara’a” (membaca), sebagaimana kata ”rujhan” dan ”ghufran”. Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW. Penamaan ini termasuk kategori ”tasmiyah al-maf’ul bi al-mashdar” (penamaan isim maf’ul dengan isim mashdar). Sedangkan ”qira’ah” berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya dengan susunan yang rapi. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]: 17-18)

2.1.2. Pengertian Secara Terminologi (Istilah)
Adapun dari segi istilahnya, penulis mengambil dari beberapa pendapat para ulama diantaranya:
a. Menurut Manna’ al-Qaththan; al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan orang yang membacanya akan memperoleh pahala.
b. Menurut al-Jurjani; al-Qur’an adalah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.
c. Menurut Abu Syahbah; al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan –baik lafazh maupun maknanya– kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW), serta ditulis pada mushaf, mulai dari awal surah al-Fatihah [1] sampai akhir surah an-Naas [114].

Dari definisi di atas dapat diuraikan keterangan sebagai berikut:
1. Kalam Allah (كلام الله).
Bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang Dia ucapkan (turunkan) kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan malaikat Jibril as. Firman Allah merupakan kalam (perkataan), yang tentu saja tetap berbeda dengan kalam manusia, kalam hewan ataupun kalam para malaikat. Allah SWT berfirman :
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 4)
2. Mukjizat (اَلْمُعْجِز).
Kemukjizaan al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah terbukti dari semenjak zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita sekarang dan hingga akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga kini, al-Qur’an dijadikan rujukan oleh para pakar bahasa. Dari segi isi kandungannya, al-Qur’an juga sudah menunjukkan mukjizat, mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’ (sebagaimana yang terdapat dalam surat ar-Rum mengenai bangsa Romawi yang mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dan sebagainya. Salah satu bukti konkrit bahwa al-Qur’an itu merupakan mukjizat adalah bahwa sejak diturunkannya senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia untuk membuat semisal ‘al-Qur’an tandingan’, jika mereka memiliki keraguan bahwa al-Qur’an merupakan Kalamullah. Allah SWT berfirman,
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 23-24)

Bahkan dalam ayat lain, Allah menentang mereka yang ingkar terhadap kebenaran al-Qur’an untuk membuat semisalnya, meskipun mereka mengumpulkan seluruh umat manusia dan seluruh bangsa jin sekaligus, Allah SWT berfirma:
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (QS. al-Isra [17]: 88)

3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Nabi terakhir/penutup para Nabi)
Allah SWT menjelaskan:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 192-195)
4. Diriwayatkan secara Mutawatir (اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتُرِ).
Setelah Rasulullah SAW mendapatkan wahyu dari Allah SWT, beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya. Diantara beberapa orang sahabat yang secara khusus mendapatkan tugas dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu. Ada yang menuliskannya di pelepah korma, di tulang-tulang, kulit hewan, dan sebagainya. Diantara yang terkenal sebagai penulis al-Qur’an adalah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubay ibn Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Demikianlah, para sahabat yang lain pun banyak yang menulis al-Qur’an meskipun tidak mendapatkan instruksi secara langsung dari Rasulullah SAW. Namun pada masa beliau tersebut, al-Qur’an belum terkumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana yang ada pada saat sekarang ini. Pada saat itu, Hudzaifah bin al-Yaman melaporkan ke Utsman bin Affan ra, dan disepakati oleh para sahabat untuk menyalin Mushaf Abu Bakar dengan bacaan (qira’at) yang tetap pada satu huruf. Utsman memerintahkan kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubair, (3) Sa’ad bin ‘Ash, (4) Abdul Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya al-Qur’an ditulis dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisy-lah al-Qur’an diturunkan. Setelah usai penulisan al-Qur’an dalam beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf, serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf yang ada atau lembaran yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah al-Qur’an dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai di tangan kita sekarang.
5. Membacanya sebagai Ibadah (اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ)
Dalam setiap huruf al-Qur’an yang kita baca, memiliki nilai ibadah yang tiada terhingga besarnya, dan inilah salah satu keistimewaan al-Qur’an yang signifikan bagi manusia, yang tidak dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi ini. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah mengatakan, ”Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an), maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim sebagai satu haruf. Namun Alif merupakan satu huruf, Lam satu huruf dan Mim juga satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

2.2. KEDUDUKAN AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI ISLAM
Al-Qur’an memiliki kemuliaan yang dipelihara oleh Allah SWT dan memiliki fungsi yang begitu besar dalam mengatur tatacara hidup manusia dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Diantara kedudukan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an adalah Kitab Berita/Kabar (Kitabul Naba wal Akhbar). Allah SWT berfirman:
b. “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar” (QS. an-Naba [78]: 1-2)

c. Al-Qur’an adalah Kitab Hukum dan Aturan (al-Hukmu wasy syari’ah). Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik, apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah [5]: 49-50).

d. Al-Qur’an adalah Kitab Berjuang (Kitabul Jihad).
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut [29]: 69)

e. Al-Qur’an adalah Kitab Pendidikan (Kitabut Tarbiyah). Allah SWT berfirman:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. ali Imron [3]: 79)

f. Al-Qur’an adalah Kitab Ilmu Pengetahuan (Kitabul ‘Ilmi). Allah SWT berfirman:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-Alaq [96]: 1-5)

g. Al-Qur’an adalah Pedoman Hidup (Minhajul Hayah)
Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari kejahiliahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemuliaan mereka. Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat. Sayyid Quthb, mengemukakan , terdapat 3 hal yang melatarbelakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah: Pertama, karena mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebagainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya. Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ‘ketotalitasan’ mereka ketika berinteraksi dengan al-Qur’an, yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya al-Qur’an lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
BAB III
BEBERAPA KONSEP PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAYD
DALAM MENAFSIRKAN ALQUR’AN MELALUI METODE HERMENEUTIKA
DAN BANTAHANNYA

3.1. DIALEKTIKA ANTARA TEKS AL-QUR’AN DAN REALITAS
Nasr Hamid Abu Zayd menilai teks al-Qur’an telah mengandung sejarah kelahirannya dan problematika dunia yang dulu pernah dihadapinya. Oleh sebab itu, pemahaman internal saja tidak cukup dan memungkinkan untuk memanfaatkan produk metodologi dan teori kontemporer dalam mengkaji al-Qur’an, membaca ulang dengan metode modern. Dalam kaitan ini, ia memilih metode susastra yang bertujuan melakukan kajian teks secara ilmiah dan kritis. Ia menulis, “Penelitian tentang konsep teks pada hakikatnya adalah penelitian atas substansi al-Qur’an dan karakternya sebagai teks bahasa, yang mendekati al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar dan karya yang abadi. Kajian susastra al-Qur’an yang tidak menilik aspek agama itulah yang kita inginkan dan diharapkan oleh bangsa-bangsa Arab yang lain, sebagai tujuan awal dan utama yang mendahului semua tujuan lain. Setelah itu, setiap orang bisa menelaah al-Qur’an dari aspek lain seperti hukum perundangan, aqidah, akhlak, dan reformasi sosial. Pasalnya, aspek-aspek tersebut baru dapat direalisasikan dengan baik setelah melakukan kajian linguistik dan sastra al-Qur’an secara utuh dan komprehensif. Hanya metode susastra –yang mana konsep teks menjadi porosnya– itulah yang menjamin terwujudnya kesadaran kritis dan ilmiah untuk melampaui persepsi ideologis dalam kebudayaan dan pemikiran kita.

Dari kutipan diatas, kita cukup merasakan nada yang tegas mengeleminir metode lain dengan menganggap metode susastra sebagai satu-satunya metode yang menjamin terjadinya lompatan ilmiah. Jadi dapat dipastikan bahwa diskursus ilmiah yang dilontarkan telah dikhianati sendiri oleh Nasr Hamid Abu Zayd melalui ungkapan-ungkapan yang tidak menyediakan ruang bagi metode-metode lain untuk memperkaya studi al-Qur’an. Bahkan, ia menuduh metode tafsir yang sudah mapan telah mengalami ideologisasi mengkhianati teks al-Qur’an untuk melayani kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, metode ilmiah yang ingin ia tempuh telah membuatnya jatuh terjerembab dalam kubangan ideologis juga karena telah mengaduk-aduk kepentingan ilmiah dengan ideologis.

3.1.1. Kajian Susastra Marxisme dan Pengaruhnya bagi Al-Qur’an
Nashr Hamid Abu Zayd menulis, “Realitas adalah asal mula teks dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas, teks itu terbentuk. Dari bahasa dan sistem budayanya, konsep teks itu dikonstruksi, dan dari intensitas pergulatan manusia, petunjuknya senantiasa diperbarui. Yang pertama, kedua, dan terakhir adalah realitas.” Dengan premis dasar semacam itu, ia tidak sekadar mengkritisi produk pemikiran ulama dari berbagai mazhab, namun terlampau jauh telah menohok jantung teks yang menjadi poros peradaban Islam, yaitu al-Qur’an. Seluruh kaum beriman membaca kitabullah dan membaca janji Allah bahwa:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)
Namun, Nasr Hamid Abu Zayd telah menjebol konsep teks al-Qur’an dan terang-terangan menyerang konsep teks al-Qur’an tersebut dengan kritik, analisis, wacana, dan juga tahrif dengan menulis beberapa buku seperti buku yang ditulisnya khusus untuk tujuan itu. Dari judul bukunya saja sudah menunjukkan tren kajian dalam ilmu al-Qur’an yang ingin memakai pendekatan kajian humaniora Barat dalam mendekonstruksi ilmu al-Qur’an yang telah mapan. Pengaruh filsafat materialis-marxis telah merasuk begitu jauh dalam kajian dan penelitian sumber-sumber primer Islam. Nasr Hamid Abu Zayd begitu jelas mengumbar ungkapan-ungkapan yang konotasinya al-Qur’an itu dibentuk oleh realitas manusia. Ada sesuatu yang janggal jika ia beriman kepada al-Qur’an, namun keimanannya itu bertolak dari filsafat materialisme dan menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1) Al-Qur’an dibentuk oleh realitas. Wahyu itu bottom-up (dari bumi ke langit) dan bukan top-down (dari langit ke bumi);
2) Sebelum dibaca oleh Nabi SAW, al-Qur’an tidak memiliki wujud transenden yang berbeda dari realitas yang telah membentuk wahyu dari semua segi (redaksi, konsep, dan petunjuknya);
3) Wahyu adalah produk realitas/budaya.

Bagi Nasr Hamid Abu Zayd, keimanan terhadap sumber ke-ilahi-an al-Qur’an hanya akan menimbulkan khurafat dalam pemikiran keagamaan. Karena dalam filsafat materialisme-atheis, ide tidak bisa mendahului realitas sosial, juga tidak ada sumber yang transenden bagi alam semesta dan realitas. Filsafat tersebut telah menganggap suatu pemikiran itu sebagai pantulan realitas yang objektif. Pemikiran adalah proses kreatif yang memantulkan dunia yang objektif dalam tataran konsep, hukum, dan teori. Ia adalah produk sosial dari segi cara permulaannya, metode konstruksinya, fungsi-fungsi, dan berbagai hasilnya.

3.1.2. Pijakan Epistemologis Al-Qur’an sebagai “Produk Budaya”
1) Konsep Dialektik, dari Realitas ke Teks
Nasr Hamid Abu Zayd menegaskan filsafat materialis-marxis ketika memperlakukan al-Qur’an dan juga saat menentang berbagai metode wacana studi Islam yang mapan, ia juga menafikan wujud transenden al-Qur’an yang berada di luar realitas. Eksistensi al-Qur’an itu bukanlah dialektika yang turun melainkan dialektika yang naik –ia berasal dari realitas– yang telah membentuk konsep al-Qur’an. Ia menulis, “Jika teks-teks ini (al-Qur’an dan Hadits) telah terbentuk di dalam realitas dan kultur, maka keduanya berperan membentuk teks itu. Kemungkinan besar, poin krusial inilah yang menjadi garis pemisah dan pembeda antara metode studi Islam (termasuk al-Qur’an) yang kami gagas dengan metode-metode lain yang telah mapan dalam studi Islam klasik dan kontemporer ketika mendiskusikan persoalan ini. Metode-metode studi Islam klasik selalu menitikberatkan pada kajian tentang Allah (pemilik teks), lalu berturut-turut Nabi Muhammad SAW (penerima pertama), dan realitas manusia (yang biasa dikaji dalam bahasan asbab nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh).

Itulah tipologi epistemologi studi Islam dalam format dialektika top-down (dari atas ke bawah). Sementara epistemologi penulis adalah format dialektika bottom-up (piramida terbalik). Metodologi pertama bertolak dari yang absolut dan ideal ke arah gerakan turun ke bawah (alam dunia yang riil). Sementara itu, metodologi yang kedua berangkat dari alam dunia yang naik, mulai dari fakta sosiologis untuk sampai kepada sesuatu yang tidak diketahui (majhul) dan untuk menyingkap sesuatu yang samar (ghaib). Lebih jauh lagi, Nasr Hamid mengungkapkan bahwa “Keimanan terhadap wujud metafisik (absolut) yang ada sebelum hadirnya teks akan memupuskan fakta –yang disepakati dan tidak perlu pembuktian lagi– bahwa teks al-Qur’an dalam hakikat dan substansinya telah terbentuk oleh realitas dan kultur manusia, sebagaimana juga hal itu akan mengeruhkan kemungkinan suatu pemahaman yang ilmiah untuk fenomena teks al-Qur’an. Jadi, tampak secara vulgar bahwa Nasr Hamid Abu Zayd bertujuan untuk menegaskan aspek humanitas al-Qur’an, juga sebagai potret realitas dan produk budaya Arab. Menurutnya, al-Qur’an lahir disebabkan pengaruh lingkungan tempat ia pertama kali hidup dalam dimensi tempat, waktu, dan fenomena hidup (material-spiritual-sosial). Padahal demikian banyak ayat-ayat muhkamat yang menyatakan entitas al-Qur’an sebagai suatu tanzil (yang diturunkan) dari Allah SWT melalui malaikat Jibril as yang dihujamkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW. Bukankah al-Qur’an itu jelas dan tegas seperti yang ditegaskan Allah SWT. Lihat Qur’an Surah asy-Syu’ara [26]: 192-194.

Semuanya menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa al-Qur’an itu turun dari Allah SWT kepada realitas bumi dan dunia manusia. Selayaknya segala entitas seperti al-Qur’an yang turun dari Allah, ia memiliki wujud transenden yang berbeda dengan realitas kultur dan sosial yang turun di dalamnya sebelum al-Qur’an diturunkan. Sementara bagi Nasr Hamid, teks al-Qur’an justru menyatakan sebaliknya. Dan umat Islam sepakat seluruhnya dan percaya bahwa sumber al-Qur’an itu berasal dari Allah SWT, sehingga –seperti halnya Tuhan itu sakral– ia pun (al-Qur’an) memiliki kualitas kesakralan tersebut. Tetapi bagi Nasr Hamid, kepercayaan semacam itu hanya akan memupuskan fakta –yang disepakati dan tidak perlu pembuktian lagi.–

2) Konsep Keaslian Realitas-Materiil
Mari kita telaah apa yang dimaksud dengan orisinalitas realitas manusia oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Dalam salah satu bagian bukunya, ia menulis “Realitas adalah asal mula teks yang tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab dari realitas teks al-Qur’an terbentuk. Konsep-konsepnya diadopsi dari sistem bahasa dan kultur masyarakat saat itu. Dan melalui persinggungan dengan akal manusia, petunjuk-petunjuk teks itu selalu diperbarui. Realitas manusia adalah yang pertama, kedua, dan terakhir. Pengabaian realitas ini untuk kepentingan teks yang rigid (makna dan petunjuknya tetap) akan mengubah keduanya menjadi mitos. Teks berubah menjadi mitos karena dimensi humanistik terabaikan dan sebaliknya fokus kepada transendensi ilahiah. Hal tersebut merintis jalan bagi pertanyaan-pertanyaan yang mandul seputar karakter teks, bentuknya, model penulisannya, apakah Jibril as menyampaikannya dalam bahasa Arab atau lainnya. Disisi lain, realitas juga berubah menjadi mitos sebagai imbas dari pembakuan makna dan petunjuk ayat, dan finalisasi makna yang dibangun oleh sumber ilahiah, serta upaya memaksakan makna yang baku dan abadi itu diterapkan kepada tataran sosiologis manusia. Demikianlah, wacana keagamaan konservatif telah memaksa kita untuk berputar dalam wacana kosong dan rigid. Selain juga akan memusnahkan berbagai kemungkinan pemaknaan yang kaya dan cocok untuk kondisi sosiologis dan historis kita saat ini. Dan yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang adalah seberapa hebat dan efektifkah makhluk yang bernama “realitas” manusia itu sehingga Nasr Hamid Abu Zayd menyerahkan sepenuhnya otoritas pembentukan dan produksi makna teks al-Qur’an kepada makhluk saat ini?

a) Apa itu Realitas?
Kita bisa mendefinisikan realitas itu sebagai perwujudan alam semesta dan pergerakan manusia secara historis dalam pelbagai manisfestasinya. Atau definisi realitas adalah gambaran dari aktivitas alam semesta dan kerangka umum yang menaungi peran-peran manusia dalam interaksinya dengan entitas lain. Atau bisa jadi realitas itu adalah produk dan manifestasi peran-peran kemanusiaan dalam konteks sejarah. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa orisinalitas realitas pada hakikatnya adalah orisinalitas faktor-faktor yang memproduksinya. Pasalnya, realitas bukanlah unsur independen dalam wujud dan pengaruhnya. Ia tidak bisa tegak hanya dengan struktur-strukturnya yang unik bekerja terpisah dari pergerakan dinamis alam semesta dan manusia. Menampilkan realitas secara ekstravaganza berarti menyiratkan hegemoni realitas secara eksistensial dan masif atas seluruh faktor-faktor yang memproduksinya. Padahal, realitas adalah sekadar kulit luar dari isi dan substansi yang tidak lain adalah perwujudan dari alur sejarah alam semesta dan manusia beserta jaringan hukum, hubungan, dan sistem-sistem yang telah dinaungi oleh panggung kosmis. Jadi, sejatinya yang memberikan isi, serta menentukan substansi dan bentuknya adalah sejumlah faktor yang aktif bekerja di dalam alur sejarah semesta dan manusia. Disinilah pentingnya kita mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam memproduksi realitas. Setelah itu kita juga mempelajari unsur-unsur semesta dan manusia sebagai faktor pembentuk realitas. Jadi, sangat jelas bahwa unsur-unsur tersebutlah yang efektif bekerja untuk memproduksi realitas, bukan sebaliknya.

b) Pemikiran yang Pincang?
Dari analisis di atas, anggitan Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Sebab dari realitaslah teks al-Qur’an terbentuk, konsep-konsepnya diadobsi dari sistem bahasa dan kultur masyarakat saat itu.” Berarti realitaslah yang membentuk dan mementukan isi, sistem, dan tujuan teks al-Qur’an. Jika itu adalah kondisi teks, maka nilai apalagi yang tersisa baginya? Peran apalagi yang bisa diberikan bagi pergerakan manusia dan sejarah? Eksistensi nash yang sudah dikebiri itu menjadikannya ada atau tidak ada al-Qur’an sama saja, jika kita telah menghapus unsur yang paling sederhana berupa “petunjuk” dari teks tersebut. Pasalnya, teks apa pun tidak mungkin dipisahkan dari petunjuknya terutama ketika sang penulis/pengucap/pembicara sengaja menginginkan maksud tertentu. Nah, dalam kondisi inilah, pernyataan Qadhi ‘Abdul Jabbar (w.415 H), “Wajib bagi kita menilik suatu pembicaraan tak ubahnya seperti perilaku yang berasal dari pelakunya”, amat relevan.

Kondisi tersebut amat paradoksal jika kita bandingkan antara realitas jahili dengan visi ideal al-Qur’an. Pasalnya, jika dikatakan, “Dari kultur manusia, konsep-konsep teks dibuat”, maka jika dibenturkan dengan fakta empiris ternyata amat paradoks. Seringkali al-Qur’an dan realitas jahili berseberangan. Di satu sisi, al-Qur’an ingin merombak tatanan realitas jahili. Di sisi lain, realitas jahili itulah yang bekerja keras dan brutal memerangi al-Qur’an. Bukankah pergerakan sejarah adalah cermin dari konflik antara teks dan realitas, sehingga bagaimana mungkin realitas itu yang membentuk konsep-konsep teks al-Qur’an? Jika kita temukan adanya keserasian antara teks dan realitas, maka itu artinya teks al-Qur’an sesuai dengan fakta-fakta kodifikasi dan pembentukan semesta dan manusia. Karena setiap fakta atau nilai yang cocok dengan “semesta manusia” itu merupakan kesatuan organik dengan sistemnya yang komprehensif serta tidak berbenturan dalam tataran hakikat dan nilai-nilai. Tentu saja, misi dasar teks menampilkan visi yang berseberangan dengan realitas pada umumnya baik dalam pemikiran, pengalaman maupun mekanismenya. Kalau tidak demikian, untuk apa urgensinya menurunkan teks jika sama saja dengan yang sudah ada? Konsep-konsep apalagi yang telah dibentuk oleh realitas bagi teks al-Qur’an, sementara realitas jahili itu dalam pandangan al-Qur’an adalah realitas yang rusak, tersesat, dan menyimpang dari trek yang ideal? Kita sudah tahu bahwa al-Qur’an datang dan turun untuk mengubahnya dan merevolusi yang ada serta menetapkan alternatif sistem kehidupan yang ideal yang sama sekali jauh berbeda dengan sebelumnya. Dalam memantapkan hal itu, al-Qur’an menghadapi konflik dan perlawanan yang luar biasa. Bahkan, mengobarkan peperangan dan pengorbanan yang tidak sedikit dari Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan sebagian sahabat beliau yang beriman, sampai realitas itu berhasil ditundukkan agar sesuai dengan nilai dan tujuan al-Qur’an secara sukarela. Jika al-Qur’an adalah cermin dari realitas, maka tentunya ia akan sesuai (dengan realitas masyarakat jahili) dan tidak bertentangan satu sama lain.

c) Fungsi Teks yang Minus Petunjuk?
Kalau teks al-Qur’an sebatas cermin dari realitas, maka untuk apa ada teks tersebut jika realitas adalah yang pertama, kedua, dan terakhir? Apalagi jika teks itu telah kehilangan sistem petunjuknya yang intrinsik, lalu realitaslah yang kemudian mengisi konsep dan memberikan isinya. Bagaimana bisa dikatakan realitas telah melahirkan teks padahal al-Qur’an banyak menentang fakta-fakta realitas masyarakat jahili, yang sudah semestinya harus serasi dan sejalan dengan realitas yang telah melahirkannya? Visi Nasr Hamid Abu Zayd ingin menyatukan antara teks dengan realitas sehingga tercipta keserasian, bukankah teks telah dikendalikan sepenuhnya oleh realitas? Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pasalnya, realitas justru menolak dan memerangi teks. Hal ini bisa dirasakan dalam beberapa ayat. Dan jika realitas dinilai telah membentuk substansi teks, lalu mengapa bisa terjadi “pengacuhan”, “penghalangan”, dan “penyerangan”, bahkan menuntut alternatif lain dari teks al-Qur’an yang sudah eksis?

Pertanyaan krusial yang patut diajukan adalah, apakah nash yang membentuk realitas ataukah realitas yang membentuk nash dalam pergerakan sejarah manusia dan agama? Bukankah para Nabi dan Rasul –sebagai pengemban amanah wahyu/teks suci– membawa program-program revolusioner untuk ukuran waktu itu? Gerakan revolusioner mereka bertujuan mengubah realitas lama yang sudah lapuk kepada realitas baru yang mencerahkan karena bertolak dari wahyu/teks suci yang sesuai dengan alur sejarah semesta dan manusia. Pasalnya, tugas suci mereka tidak lain untuk mengarahkan realitas manusia agar sesuai dan senapas dengan teks-teks suci yang mereka emban dari “langit”, selain juga untuk memberdayakan “misi langit” itu di muka bumi.

d) Teks yang Membentuk Realitas
Pada tataran inilah, dalam persinggungannya dengan realitas, terbukti teks sucilah yang telah membentuk realitas pada saat ia ditolak atau diterima. Ketika ditolak dan diperangi oleh realitas jahili, maka teks suci telah menciptakan pergerakan realitas menuju ke arah teks itu. Karena penolakan itu justru akan melahirkan sekian banyak hasil-hasil positif dalam bentuk dan tahapan-tahapan sosio-kultur. Itulah yang dapat dilihat ketika kita menginduksi sejarah hubungan teks dengan realitasnya. Terlebih lagi jika realitas secara positif menerima arahan teks suci, maka akan lahir respons-respons positif sesuai substansi, ajaran, dan sistem yang dikembangkan oleh teks suci.

e) Tidak Ada Pengabaian terhadap Teks
Kita tidak bisa mengatakan bahwa teks telah mengabaikan realitas karena asumsi bahwa teks telah membeku dan secara petunjuk operasionalnya juga tetap, padahal petunjuk yang tetap tidak berarti jumud/statis. Terlebih lagi teks suci juga menolak statisme yang hanya menyuburkan kejumudan. Padahal, kalau kita tilik ternyata teks suci amat kaya dengan retorika yang sangat dinamis dan menjadi motor penggerak realitas manusia. Teks suci hanya dikatakan bermakna “tetap” karena di dalamnya pasti dan harus ada aspek-aspek dan nilai-nilai abadi yang dari situ akan tercipta petunjuk makna yang membedakannya dengan proyek-proyek lain yang berusaha mengarahkan realitas. Pengabaian teks baru akan terjadi jika kita sengaja menyingkirkan fakta-fakta yang sah atau karena tak mampu menyelaraskan diri dengan realitas di dalam derap langkahnya yang selalu berubah dan berkembang. Kecerobohan kita dalam hal-hal yang tetap –apalagi dalam hal undang-undang, semesta dan manusia serta aplikasinya dalam kenyataan hidup baru– akan mengantar kita pada kesimpulan bahwa kita telah mengacuhkan realitas. Dan perlu diingat bahwa realitas tidak akan mampu tegak kecuali apabila ia berada di atas dasar fakta-fakta beserta implikasinya berupa karya dan pengalaman-pengalaman semesta dan manusia.

f) Humanisasi Teks dengan Dalih Realitas
Metode humanisasi teks al-Qur’an tidak lain adalah cara untuk melontarkan keraguan seputar teks dengan dalih dibenturkan dengan realitas kemanusiaan. Humanisasi teks al-Qur’an akan membajak dan memberangus setiap potensi untuk mengetahui petunjuk dan maksud ayat dari Pemiliknya, yaitu Allah SWT. Jika maksud teks al-Qur’an diserahkan penentuannya kepada masing-masing pembaca, maka akan terjadi kekacauan nilai karena tidak ada standar dan patokan yang dijadikan pegangan bersama. Implikasi metodenya amat besar, sebab ia akan merembet kepada semua jenis diskursus dan pembicaraan dikarenakan metode ini ingin menghancurkan teori bahwa pemilik tekslah yang paling mengetahui apa yang dimaksud oleh teks yang dilontarkannya. Sama halnya dengan al-Qur’an, semua teks sains, sastra, hukum, dan filsafat tidak akan bisa menyingkap rahasia maksudnya jika diserahkan kepada otoritas pembaca. Bisa dijamin bahwa setiap pendengar atau pembaca teks tersebut tidak akan berhasil memahami maksud dan tujuan setiap pembicara di bidang apa pun yang menjadi topiknya. Absurditas inilah sejatinya yang mengancam realitas manusia itu sendiri. Selain itu, humanisasi teks akan mengantarkan kepada penisbian kebenaran yang telah menjadi fakta. Karena seluruh kebenaran faktual (de facto dan de jure), dalam teori ini, akan selalu berubah akibat terpengaruh oleh faktor pemahaman manusia baik intrinsik maupun ekstrinsik, prakonsepsi maupun prasangka. Oleh sebab itulah, bahwa sebuah teks dapat selalu progresif dan responsif meskipun usianya sudah sangat tua dan berasal dari masa silam, selama dia masih merefleksikan kebenaran faktual yang abadi dan absolut. Artinya, teks itu terbebas dari imbas kadaluarsa dari aspek waktu, dan asal-muasal teks masa silam itu tidak berpengaruh apa pun untuk menyurutkan efektivitasnya dalam ranah kemanusiaan. Tidak benar jika selalu digemborkan bahwa teks hanya berorientasi ke belakang (jumud dan beku) dan realitas berorientasi ke depan (progresif). Sangkaan semacam ini diproyeksikan untuk satu tujuan agar teks suci tidak bisa berperan dalam membangun, mengatur dan mengarahkan realitas manusia. Akibatnya, teks suci itu terisolir dari hiruk pikuknya dinamika kehidupan manusia, sehingga yang berkuasa menentukan masa depan manusia adalah manusia itu sendiri tanpa melibatkan nilai-nilai ilahiyah yang terkandung di dalam kitab suci (al-Qur’an).

Memang masih banyak di beberapa kalangan skrip-turalis yang menyandera teks-teks suci dan melumpuhkannya serta berorientasi ke belakang karena mereka tidak mampu memahami hubungan antara teks suci dan realitas. Diakui pula bahwa sikap-sikap jumud dan kedangkalan pemahaman (fiqih) sebagai faktor yang turut menyusutkan peran dan efektivitas teks suci dalam sejarahnya yang panjang. Namun kedua hal itu tidak boleh menyebabkan kita terjebak ke dalam titik ekstrem lain, yaitu saat kita mencoba untuk menon-aktifkan petunjuk intrinsik yang ada di dalam teks suci dan serta merta kita serahkan otoritas sepenuhnya kepada realitas manusia dalam menentukan petunjuk teks. Teks suci ingin dikesankan tidak memiliki makna yang tetap dan pasti sebagai suatu nilai fundamental bagi perilaku manusia. Kedua sikap yang ekstrem itu harus ditolak karena berdampak negatif terhadap eksistensi teks suci al-Qur’an. Di satu sisi kelompok liberalis ingin memberangus dan menganulir Al-Qur’an agar tidak berlaku efektif di dalam kehidupan manusia. Dan di sisi lain, kelompok tekstualis tidak mempedulikan realitas manusia yang dinamis dan tidak memperhatikan fiqhul waqi’ (kesadaran realistis) dalam upaya membumikan al-Qur’an secara efektif dalam ranah kemanusiaan.

3.2. SIAPA DR. NASR HAMID ABU ZAYD
Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tanta, pada 07 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Ia pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980) saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu menguasai bahasa Inggris secara lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama 4 tahun (1985-1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain:
1. Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982);
2. Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi (Filsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut 1983);
3. Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Cairo 1987);
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo 1992);
5. Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992), dan
6. Imam Asy-Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo 1992).

Dari karya tulisnya tersebut kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisannya telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Ia mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di Fakultas Sastra Universitas Cairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. 6 bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 3 Desember 1992 keluar keputusannya: promosi ditolak. Ia tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. Ia pun tidak bisa menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada hari Jum’at 2 April 1993, Prof. Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khotbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Nasr Hamid Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti pula oleh khatib di masjid-masjid pada hari Jum’at berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya, 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Cairo agar Nasr Hamid Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad memperkarakan Nasr Hamid Abu Zayd ke Pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada tanggal 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Cairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Cairo menyatakan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan perkawinannyapun dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari isterinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita Muslimah. Ia pun mengajukan banding. Sementara itu, Majelis Ulama al-Azhar meminta Pemerintah turun tangan: Nasr Hamid Abu Zayd mesti disuruh bertobat atau kalau ia tidak mau maka harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, pada tanggal 23 Juli 1995, bersama isterinya, ia pun terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Nasr Hamid Abu Zayd dinyatakan murtad. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Nasr Hamid Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘Arasy, malaikat, setan, jin, surga dan neraka adalah mitos belaka;
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz;
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau;
4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) adalah “tradisi reaksioner” dan syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam;
5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos;
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia;
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy;
8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW;
9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” (maksudnya al-Qur’an dan Hadits);
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Menariknya, di Mesir Nasr Hamid Abu Zayd dikafirkan, di Belanda ia justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki The Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di Universitas itu. Tidak lama kemudian Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan “the Freedom of Worship Medal” kepadanya sebagai penghargaan atas segala yang telah ia lakukan selama ini. Lembaga Amerika ini menyanjungnya karena pikiran-pikirannya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan. Prof. Dr. M. Amin Abdullah dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu dan cendekiawan lainnya di tanah air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan adanya keputusan Majelis Ulama al-Azhar.









BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab 1 mengenai definisi al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian besar pengaruhnya terhadap umat (masyarakat) dan sangat signifikan perannya dalam sejarah peradaban manusia. Dan tidak ada kitab lain yang dapat menandingi kesakralannya (kesuciannya) karena dari abad ke abad sejak diturunkannya kepada Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang langsung diturunkan Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril as, al-Qur’an telah menjadi sumber inspirasi (motivation insfluence) bagi para penuntut ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya dan para ulama tidak habis-habis membahasnya. Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab suci yang bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhan isinya (wa inna lahu la haafizun), dan tidak mungkin bisa dibuat tandingannya (la ya’tuna bi mitslihi). Ia ibarat kompas pedoman arah penunjuk jalan, laksana obor penerang di kegelapan. Sehingga karakteristik-karakteristik seperti inilah yang membuat kalangan non-Muslim –khususnya orientalis-missionaris– iri dengki (hasadan min ‘indi anfusihim). Disamping fakta bahwa mengenai keaslian, kebenaran, dan kemukjizatan al-Qur’an sebagai Kalamullah, seluruh umat Islam sepakat dan sependapat, dari dulu sampai sekarang, dari Maroko sampai Merauke.

Adapun secara istilah, al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah [1] sampai akhir surat an-Naas [114]. Dan melihat fungsi serta kedudukan al-Qur’an, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
1. Al-Qur’an sebagai kitab berita atau kabar (Kitabul Naba wal Akhbar), QS. an-Naba’ [7]: 1-2);
2. Al-Qur’an sebagai Hukum Syari’at (Kitabul Hukmi wa Syari’ah), QS. al-Maidah [5]: 49-50;
3. Al-Qur’an sebagai Jihad (Kitabul Jihad), QS. al-Ankabut [29]: 69);
4. Al-Qur’an sebagai kitab Pendidikan (Kitabut Tarbiyah), QS. ali Imron [3]: 79;
5. Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup (Minhajul Hayah);
6. Al-Qur’an sebagai Ilmu Pengetahuan (Kitabul ’Ilmi), QS. al-Alaq [96]: 1-5.

Ketika kita melihat dan menyaksikan sendiri bahwa al-Qur’an merupakan target utama (target operation) serangan kaum orientalis-missionaris –sekuler-liberal– Yahudi dan Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah SAW. Maka mereka terus mempertanyakan status kenabian beliau SAW, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Dan melihat konsep pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, secara intensitas pemahaman Islam menurut pendapat para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama al-Azhar Mesir, banyak sekali kesalahan-kesalahannya yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘Arasy, malaikat, setan, jin, surga dan neraka adalah mitos belaka. Dan mengimaninya merupakan indikator akal yang larut dalam mitos;
2. Al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafi), dan mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz;
3. Al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau. Sama halnya ia mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW;
4. Ia mengatakan ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) adalah “tradisi reaksioner” dan syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam;
5. Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia;
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy;
7. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” (maksudnya Al-Qur’an dan Hadits). Dan ia mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
4.2. SARAN
Setelah melihat penjelasan singkat mengenai pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam prinsip-prinsip dan paradigma yang ia lontarkan yang menyebabkan presisi pemikiran tingkat tinggi yang mudah sekali untuk dibantah dan dimentahkan, maka ada beberapa catatan kritis yang harus ditujukan kepadanya, diantaranya:
1. Soal pemisahan antara maqashid syari’ah (tujuan syariat) dengan bentuk formal atau cara-cara baku syariah untuk mewujudkan maqashid itu. Hal itu dapat kita bantah dengan menyatakan bahwa kelengkapan dan keunggulan sistem hukum al-Qur’an telah menyebutkan secara tegas setiap maqashid (tujuan hukum) di balik aturan-aturan hukum yang ada, lengkap dengan tata cara implementasi hukum itu (bentuk formal hukuman) yang dapat menjamin terealisasinya maqashid syari’ah itu dengan baik dan memenuhi unsur keadilan bagi semua. Bentuk formal hukuman itu dibunyikan (manthuq) secara tegas (sharih) seperti halnya maqashid, maka keduan-duanya bersifat mengikat dan harus berjalan seiring dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Misalnya, dengan menetapkan maqashid, tetapi tata caranya diserahkan kepada akal dan pertimbangan zaman untuk menentukan bentuk hukuman yang layak. Tujuan syariat untuk membahagiakan manusia amat jelas dilihat dari keumuman lafazhnya. Sedangkan perincian implementasi maqashid itu, terkadang ada yang jelas karena tersurat dari teks-teks terkait yang menjelaskan, dan bisa jadi ada yang kurang jelas dan tegas, sehingga aturan-aturan hukum yang ditetapkan dalam teks itulah yang menjadi indikator bahwa bentuk formal itulah satu-satunya cara untuk mewujudkan maqashid tersebut. Imam asy-Syathibi menyatakan, “Bentuk perintah (al-amru) diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan perintah karena menuntut terlaksananya perbuatan, sehingga terlaksananya ketika ada sebuah perintah itu sangat ditekankan oleh syar’i (Allah SWT). Demikian pula bentuk larangan (an-nahyu) diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan larangan karena menuntut dijauhi perbuatan itu, sehingga tidak terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh syar’i (Allah SWT) dan melanggarnya berarti menentang maksud Allah SWT tersebut. Dengan demikian, menjadi jelaslah kedudukan bentuk formal hukum dalam tata sistem syari’ah yang diusung al-Qur’an untuk kebaikan manusia. Tidak ada pemisahan antara maqashid syari’ah dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat dan gamblang di dalam nash al-Qur’an. Bahkan, filsafat hukum Islam menyatakan bahwa maqashid syari’ah telah terwakili dan terserap secara utuh dalambentuk formal hukum syari’ah, dalam pengertian bahwa maqashid itu tidak akan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum sebagaimana tersurat di dalam teks al-Qur’an. Sebagian besar bentuk formal hukum itu tersurat di dalam nash-nash yang qath’i. Sehingga jika dipaksakan maka hal tersebut sama saja ingin menganulir dan melumpuhkan maqashid yang menjadi sandaran kelompok liberal.

2. Soal upaya mengaitkan teks al-Qur’an dengan peristiwa dan kondisi khusus yang melatari turunnya ayat, sehingga pemahaman teks harus dikhususkan kepada peristiwa tersebut. Paradigma liberal dalam studi al-Qur’an mengandaikan bahwa perintah dan larangan al-Qur’an untuk mewujudkan maqashid syari’ah itu hanya berlaku bagi komunitas yang pertama kali menjadi sasaran (khithab) dan turun untuk merespons mereka saja. Artinya, hukum Islam itu tidak berlaku lagi untuk masyarakat muslim yang hidup dalam rentang waktu yang berjauhan, apalagi kondisinya juga jauh lebih kompleks. Hassan Hanafi –misalnya– menyatakan, “Teks-teks wahyu bukanlah sebuah buku yang diturunkan sekaligus dalam satu waktu dan dipaksakan untuk diterima oleh semua manusia dari nalar ilahiah, melainkan ia adalah sekumpulan solusi bagi problem keseharian yang dihadapi oleh individu maupun komunitas muslim. Beberapa solusi hukum atas problem keseharian itu kini telah banyak berubah karena kualitas pengalaman manusia yang meningkat. Apalagi banyak dari solusi kasus itu pada masanya bukanlah given langsung dari wahyu, melainkan usulan-usulan ide dari individu maupun komunitas yang kemudian dijustifikasi oleh wahyu. Lebih dari itu, Hassan Hanafi tidak hanya memilih sebagian hukum syariat, tetapi juga menggeneralisirnya kepada semua teks wahyu, karena baginya, “Asal-usul turats –yaitu wahyu– dibangun di atas pilar realitas manusia, sehingga wahyu dapat berubah-ubah mengikuti iramanya. Asal-usul syariat pun demikian halnya. Ia adalah rasionalisasi dan teoritisasi terhadap realitas. Hanya saja realitas lama telah dilangkahi oleh syariah untuk menuju ke arah realitas yang lebih maju. Namun ironisnya, yang terjadi kini adalah pembaruan yang kita canangkan tidak mampu dilangkahi oleh syariah.” Paradigma seperti ini bertentangan dengan keumuman lafazh syariah, sehingga seakan metode khilafah manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci al-Qur’an hanya membebankan segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi umat manusia. Padahal metode khilafah menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri’ membawa taklif bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid syariah semata tapi juga satu paket dengan bentuk formal hukum tersebut yang mampu mewujudkan maqashid. Bukankah Allah SWT berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ [34]: 28)

Demikian pula respons Nabi Muhammad SAW atas kasus pertanyaan yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ada seorang laki-laki mencium pipi seorang perempuan tanpa disengaja. Ia lalu bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadiannya. Lalu Allah SWT menurunkan ayat 11 di surah Hud [11]. Laki-laki itu bertanya, “Wahai baginda Rasul, apakah ayat itu berlaku khusus bagi saya saja?” Nabi menjawab, “Itu berlaku bagi seluruh ummatku!” Para pakar ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tidak pernah menutup-nutupinya bahwa banyak dalil syariat yang muncul karena peristiwa khusus. Namun, hal tersebut bagi para ulama Islam dipahami tidak lain sebagai media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem hukum Islam. Keumuman lafazh wahyu juga telah menetapkan bahwa seluruh umat terkena kewajiban taklif karena tuntutan kaidah bahasa Arab yang mewajibkan taklif kepada manusia secara umum dan absolut terlepas dari waktu dan tempat dimana pun mereka berada. Kita perhatikan lagi pernyataan Imam asy-Syathibi yang amat penting direnungkan, “Syariat bagi para mukallaf itu bersifat umum dan menyeluruh. Dalam pengertian bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Tidak ada yang dikecualikan dari semua hukum syariat tersebut seorang mukallaf pun.”

3. Pemahaman terhadap nash qath’i, selain berlaku khusus pada konteks asbab nuzul-nya, juga harus tunduk dan mengikuti kondisi realitas dan pragmatis sesuai kebutuhan manusia modern. Teori dan praktik penafsiran semacam ini begitu jelas dalam aplikasinya terhadap beberapa hukum syar’i seperti hukuman hudud, halalnya poligami, dan haramnya riba. Dalam konteks penerapan hudud dan poligami, pemahaman yang aslinya perintah alias halal justru berubah menjadi suatu larangan dan menjadi haram. Sementara itu, dalam konteks transaksi riba di perbankan konvensional, pemahaman yang asalnya haram justru berubah menjadi sesuatu yang halal. Semua itu terjadi dengan alasan pragmatisme realitas yang berfungsi untuk mewujudkan maqashid syari’ah.

Adapun mengenai isu keaslian naskah al-Qur’an, kembali ke masalah otentisitasnya, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan senantiasa diingat adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ qira’ah al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan” (qara’a an zhahri qalbin, yakni to recite from memory). Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata. Sebabnya, karena ayat-ayat al-Qur’an dicatat, yakni dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, pelapah kurma, kayu, kertas, daun, dan sebagainya, berdasarkan hafalan, yang bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang Qari’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Malaikat Jibril as kepada Nabi Muhammad SAW dan diteruskan kepada para sahabat, demikian hingga sampai kepada kita.

2. Meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi SAW dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela-sela ayat yang mereka tulis. Baru kemudian, ketika jumlah penghafal al-Qur’an dari kalangan para sahabat menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) al-Qur’an mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Shiddiq ra sehingga al-Qur’an dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar ra sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Utsman ra. Pada Utsman inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah komisi ahli dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi Muhammad SAW.

3. Kesalahpahaman sarjana orientalis mengenai rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, al-Qur’an ditulis ‘gundul’, tanpa tanda-baca walau sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‘Utsman sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Disinilah para orientalis salah paham dan keliru.