Sunday, September 2, 2007

Pembuka

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan yang mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

(QS. An Nuur:55)

Kita yakin janji Allah swt. pasti akan terjadi. Apa yang tersaji pada tulisan ini adalah satu upaya penulis untuk memberikan penafsiran perwujudan “iman” dan “amal shalih” yang akan menjadi wasilah (sarana) kejayaan umat, dalam bangunan paradigma[1] sains Islam dan wujud teknologi berwajah Muslim yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.
Makna Sains bagi Pembangunan Peradaban[2]

Sains (ilmu pengetahuan) adalah sarana pemecahan masalah mendasar dari setiap peradaban. Tanpa sains suatu peradaban tidak dapat mempertahankan struktur-struktur politik dan sosialnya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat dan budayanya. Sebagai perwujudan eksternal suatu epistimologi[3], sains membentuk lingkungan fisik, intelektual dan budaya serta memajukan cara produksi ekonomis yang dipilih oleh suatu peradaban. Pendeknya, sains adalah sarana yang pada akhirnya mencetak suatu peradaban: sains merupakan ungkapan fisik dari pandangan dunia[4] (world-view) tempat dia dilahirkan.

Di bawah pengayoman peradaban Islam sains dan teknologi telah terbukti menjadi sarana penebar rahmat bagi umat manusia. Pada abad VII masehi ilmuwan Muslim menuntaskan kodifikasi sumber-sumber pandangan dunia Islam: ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ushul fiqh. Sejak abad VIII ilmuwan Muslim memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam dan dunia. Berbagai disiplin ilmu dikembangkan: aljabar, geometri, astronomi, fisika, kimia, farmasi, kedokteran, sejarah, ilmu sosial dll[5]. Perkembangan sains dan teknologi terus berlangsung sampai pada sekitar abad XV-XVI mulai terjadi kemunduran peradaban Islam.

Pada abad XVI Barat mulai secara pesat mengembangkan sains dan teknologinya. Ini ditandai dengan peristiwa Pencerahan (Enlightenment, Renaisance).
Jiwa Sains Modern dan Kritik Atasnya

Sains modern yang berkembang saat ini telah matang dan berkembang dalam lingkungan Barat, yang sekularistik dan materialistik. Barat telah memisahkan apa yang menjadi milik Tuhan dan apa yang menjadi milik kaisar. Serta membatasi ontologi dan epsitimologi ilmu pada hal-hal material dan yang dapat di-indera saja. Dengan kata lain sains telah dipisahkan dari nilai-nilai[6].

Selanjutnya sains modern tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkembang dengan ciri-ciri antara lain:

Ø Sains Barat lahir dari semangat penyiksaan dan dominasi. Francis Bacon berkata:”alam menyerahkan rahasia-rahasianya karena disiksa”;

Ø Akal diangkat ke satu posisi dimana dia menjadi satu-satunya penilai bagi seluruh pemikiran dan tindakan manusia, nilai-nilai dan norma-norma;

Ø Pandangan dunia “mekanistik/atomistik”, “reduksionis” dan “materialistik” menyingkirkan pandangan dunia “organik”, “holistik” dan “magis/metafisis”;

Ø “Pengetahuan dan kekuasaan bertemu dalam satu wadah,” kata Bacon. Kekuasaan menjadi nilai dominan yang menggantikan nilai-nilai pribadi intuitif dan kontemplatif yang selama bergenerasi-generasi mengarahkan pengolahan alam. Pencarian pengetahuan yang tak kenal belas kasihan menjadi sah demi kekuasaan materi dan politik.

“Bahaya-bahaya” sains Barat mewujudkan diri dalam bentuk gudang-gudang penyimpanan senjata nuklir, kimia dan biologi yang menakutkan; suatu penghancuran total lingkungan; kekhawatiran akan kemajuan-kemajuan ilmiah yang potensil di bidang rekayasa genetika dan sosio-biologi yang melabrak nilai-nilai kodrat kemanusiaan; dukungan sains terhadap imperialisme dalam bentuk penyerapan riset universitas ke dalam riset rahasia departemen pertahanan; keterpisahan manusia dari alam; serangan komputer terhadap kebebasan pribadi. Kesemuannya membawa kemanusiaan kepada kondisi yang meresahkan.

Perkembangan ini merupakan hasil dari sains yang sesungguhnya tidak “netral” dan “bebas nilai”, melainkan sains yang secara nyata mencari nilai-nilai yang membentuk pondasi dasarnya: pemisahan pengetahuan dari pemikiran-pemikiran sosial, moral, dan etika; Ini diperkuat dengan pencarian pengetahuan demi kekuasaan dan kontrol sekular dan material terhadap manusia dan alam.

Sains bukan hanya berupa kumpulan dan analisis data serta susunan teori yang didasarkan atas analisis ini. Dia merupakan aktifitas dari umat manusia yang bertindak dan berintekasi, dan dengan demikian menimbulkan aktifitas. Sains melibatkan manusia dan nilai-nilai. Jika para ilmuwan itu adalah manusia-manusia hidup dan sains adalah bidang kerja mereka, bagaimana mungkin bagi mereka untuk dapat memusatkan perhatian pada alam dengan memisahkan diri darinya? Bagaimana mungkin para ilmuwan mengesampingkan nilai-nilai, prasangka-prasangka dan kecenderungan mereka dari apa yang mereka lakukan?

Para ilmuwan akan memecahkan masalah-masalah dalam kerangka-kerangka yang membuat penemuan-penemuan sesuai dengan pandangan yang telah diterima. Kerangka dari kepercayaan (paradigma) menentukan masalah-masalah apa yang akan diselidiki dan gaya pemecahan mana yang akan dipilih, serta kriteria apa yang harus dipenuhi dalam pemecahan masalah ini. Paradigma ini silih berganti mengiringi perkembangan sains, tapi ia tidak dipilih secara netral atau rasional. Dia tidak bebas dari pengaruh pribadi atau pendukung para ilmuwan itu. Jika dia tidak dipilih secara objektif, lalu bagaimana dengan objektifitas dan kenetralan sains? Thomas Kuhn termasuk ilmuwan yang tajam mengungkapkan hal ini[7].

Pendekatan terhadap Sains Islam

Seiring otokritik ilmuwan Barat terhadap sains modern di tahun 70-an, ilmuwan Muslim pun mulai menyadari pentingnya bersikap kritis dalam memanfaatkan sains dan teknologi negara-negara Barat. Maka pada tahun 1976 dilangsungkan Seminar Internasional Pendidikan Islam di Jedah. Kemudian mulailah ilmuwan Muslim menggagas seminar-seminar tentang hal ini pada era 80-an.

Pendekatan yang berkembang untuk menemukan lagi sains Islam dapat dihimpun pada 4 katagori:
Pembuktian bahwa al Quran telah menerangkan dan sesuai dengan capaian-capaian sains modern[1]. Ide ini dikenal juga dengan pendekatan "i'jazul Quran", menemukan mu'jizat al Quran;
Melalui proses pembandingan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-books orisinil dari ilmuwan Muslim[2]. Ini mengilhami usaha "Islamization of disiplines";
Membangun sains pada pemerintahan Islami. Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk pada tujuan mulia[3];
Menggali epistimologi sains Islam dari pandangan dunia (world view) Islam; Di atas pandangan dunia dan dengan epistimologi Islam dibangun sains, teknologi dan peradaban Islam[4].

Sekelompok ilmuwan Muslim mendapatkan bahwa al Quran banyak mengungkap fakta dan teori ilmiah yang kesemuannya didukung oleh penemuan-penemuan dan kemajuan-kemajuan sains modern. Jika fakta dan teori ilmiah modern mendapatkan cerminannya dalam al Quran, maka sains modern pasti memperoleh keabsahan yang universal dan kekal sebagaimana al Quran. Buku tulisan Maurice Bucaille diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa negeri Muslim dan mendapatkan banyak sekali pengikut dari kalangan intelektual Muslim. Telaah Bucaille telah mendorong banyak ilmuwan Muslim untuk mencari fakta-fakta dan teori-teori ilmiah dalam al Quran.

Akan tetapi al Quran bukanlah kitab sains dan terlebih lagi pada pendekatan Bucaillisme melekat bahaya besar. Yaitu meletakkan sains ke dalam bidang suci dan membuat wahyu Ilahi menjadi subjek pembuktian sains Barat. Jika suatu teori tertentu yang “dibenarkan” al Quran dan diterima luas saat ini, kemudian satu ketika teori ini digugurkan, apakah itu berarti bahwa al Quran itu sah hari ini dan tidak sah hari esok? Yang tepat dilakukan ilmuwan Muslim adalah menjadikan al Quran sebagai isyarat dan motivasi untuk menggali kebenaran melalui penemuan-penemuan sains.

Adapun al Faruqi, sesungguhnya dia menterjemahkan kritik Syed Muhammad Naquib al-Attas yang berambisi untuk melakukan usaha dewesternisasi sains. Ini kepanjangan dari kritik al-Attas terhadap sekularisme. Adapun rencana Islamisasi pengetahuan al Faruqi bertujuan:
Penguasaan disiplin ilmu modern (berikut survei disipliner dan penilaian disiplin modern);
Penguasaan warisan Islam (analisis warisan Islam dan penilaian warisan Islam);
Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern;
Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survei masalah umat Islam dan masalah umat manusia seluruhnya);
Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola ilahiyah dari Allah (melalui analisis dan perpaduan);
Realisasi praktis Islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.

Ide al Faruqi telah menerima dukungan besar sekali. Dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington pada tahun 1981[5], yang merupakan sebuah lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.

Sardar (1985) mengkritisi ide al Faruqi untuk mengislamisasi ilmu-ilmu sosial Barat: ilmu ekonomi, politik, sosiologi, psikologi dan antropologi. Pertama, karena sebetulnya sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia. Pengetahuan sains dan teknologi merupakan sarana-sarana utama penjajahan epistimologi Barat. Epistimologi Baratlah yang telah menciptakan masyarakat modern, karenanya ini yang harus ditangani usaha Islamisasi pengetahuan. Kedua, tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi ke dalam kotak-kotak kedap udara bercap “psikologi”, “sosiologi” dan “ilmu politik”. Disiplin dilahirkan di dalam suatu pandangan dunia tertentu dan secara hierarkis selalu ditempatkan di bawah pandangan dunia. Karenanya menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan sebagaimana mereka yang hidup dalam epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat.

Ide membangun sains dalam dalam pemerintahan Islami masih mengakui netralitas dan universalitas sains. Cita-cita menempatkan sains dalam kerangka kebijakan Islami akan berhasil membuat sains tunduk pada cita-cita dan nilai-nilai masyarakat Muslim. Namun untuk ini diperlukan kewaspadaan dan jangan meremehkan kekuatan sains untuk merubah masyarakat mengikuti paradigma di mana dia dikembangkan pada awalnya.
Membangun Paradigma Sains Islam

Yang menjadi inti pandangan dunia Islam adalah syariah. Dialah perangkat pengetahuan yang memberi peradaban Muslim ketentuan-ketentuan sikap yang tak berubah dan juga sarana-sarana pokok untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Secara teoretis, syariah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia: pribadi, sosial, politik dan intelektual. Dalam prakteknya, dia memberi makna dan isi pada perilaku kaum Muslim dalam upaya-upaya kehidupan duniawi mereka.


Sumber utama syariah adalah al Quran, Sunnah, ijma’ dan ijtihad. Masih ada sumber-sumber pendukung lainnya. Menurut pendapat Said Ramadhan adalah[6]:

a) al Istihsan: atau modifikasi hal-hal tertentu, dari aturan satu ke aturan yang lain agar memperoleh penalaran hukum yang lebih relevan;

b) al Istishlah: atau penilaian yang belum pernah ada sebelumnya karena dorongan kepentingan umumyang tidak mengacu kepada al Quran dan as Sunnah secara eksplisit;

c) al ‘Urf: atau adat istiadat dan prakteknya di dalam suatu masyarakat tertentu, baik dalam perkataan maupun tindakan.

Sains Islam sebagaimana dibuktikan dari sejarahnya, jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia-nya dan peradaban Islam, tidak seperti sains barat yang berusaha mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya akan kesatuan agama dengan sains, pengetahuan dengan nilai-nilai, fisika dengan metafisika. Penekanannya pada keragaman metoda dan penggunaan sarana-sarana yang benar untuk meraih cita-cita yang benar itulah yang memberikan gaya yang khas pada sains Islam, dan keharmonisan menjadi ciri utamanya.

Penemuan kembali sifat dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tentangan paling menarik dan penting secara intelektual. Sesungguhnyalah, kemunculan dari suatu peradaban Muslim yang mandiri dan hidup di masa yang akan datang tergantung pada cara masyarakat-masyarakat Muslim masa kini menangani tantangan ini.

Langkah pertama untuk menghadapi tantangan ini adalah dengan meneliti sains modern dan kebijakan sains di dalam kerangka konsep-konsep yang membentuk cita-cita masyarakat Muslim. Dalam seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-nilai”[7], dikaji sepuluh konsep Islam yang meliputi dan melukiskan sifat pencarian ilmiah dalam totalitasnya: tawhid (keesaan), khilafah (perwalian manusia), ‘ibadah (pemujaan), ‘ilm (pengetahuan), halal (diizinkan), haram (dilarang), ‘adl (keadilan sosial), zhulm (kelaliman), istishlah (kepentingan umum), dan dziya’ (pemborosan). Nilai-nilai positif berperan sebagai prinsip-prinsip penuntun bagi aktifitas ilmiah dan kebijakan sains di dalam kebudayaan Muslim, sementara nilai-nilai negatif seperti haram, zhulm dan dziya’ dianggap sebagai indikator yang menunjukkan bahwa batas-batas keabsahan dari sains Islam telah dilanggar.

Ketiga konsep pokok yaitu tawhid, khilafah dan ‘ibadah membentuk paradigma sains Islam. Di dalam paradigma inilah sains Islam bergerak melalui sarana ‘ilm untuk menyebarkan ‘adl dan istishlah dan menghancurkan zhulm serta dziya’. Konsep-konsep ‘adl, istishlah dan zhulm sangat luas dan meliputi aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan psikologi. Lebih-lebih konsep tersebut bukan hanya terbatas pada manusia saja tetapi juga mencakup makhluk-makhluq Tuhan yang lain termasuk lingkungan hidup. Konsep-konsep halal dan haram, yang bergerak atas ‘adl dan zhulm, menentukan ketanggapan sosial dan sifat tak berfaedah dari sains. Semua yang bersifat merusak fisik, materi, emosi, budaya, lingkungan dan rohani adalah haram; sementara semua yang mendukung parameter kebaikan masyarakat adalah halal. Jadi aktifitas ilmiah yang mendukung keadilan sosial dan mempertimbangkan kepentingan umum adalah halal; sementara sains dan teknologi yang mendorong pengasingan dan dehumanisasi, konsumerisme dan penumpukan kekayaan di tangan sejumlah kecil orang, pengangguran, perusakan lingkungan adalah zhalim dan karena itu haram. Satu ciri utama sains yang zhalim adalah merusak sumber daya manusia, lingkungan dan rohani serta melahirkan pemborosan. Sains semacam ini karenanya dikatagorikan dziya’ (boros). Aktifitas sains yang menyebarkan ‘adl memperoleh keabsahannya dari istishlah (kepentingan umum), yang merupakan salah satu sumber syariah Islam.

Tentu saja model sains Islam ini memerlukan pelaksanaan lebih jauh sebagai landasan kebijakan sains praktis bagi negeri-negeri Muslim. Secara lebih umum, konsep ini dapat digunakan sebagai kerangka kritik atas sains modern, yaitu kritik yang akan menonjolkan kenyataan bahwa rasionalitas yang tidak manusiawi dari sains modern dapat dijinakkan, bahkan dipadukan, dengan visi kemanusiaan dari pengetahuan demi kebaikan seluruh ummat manusia.
Mengejar Ketertinggalan Teknologi

Kurangnya pemikiran tentang sifat dan peranan teknologi dalam masyarakat berasal dari keyakinan yang begitu kuat bahwa semua teknologi itu bagus dan harus diambil alih dari negara-negara maju dengan cara apapun. Penekanannya adalah pada pengambilan teknologi dan bukan menentukan apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat-masyarakat Muslim dalam mengembangkan kemampuan diri mereka untuk menghasilkan pembaharuan-pembaharuan terknologi yang diinginkan.

Untuk membangun teknologi alternatif yang berwajah Muslim, Sardar mengajukan dua kriteria utama[1]:
Teknologi ini diciptakan oleh negeri Muslim sendiri (hasil analisa kebutuhan sosial masyarakat sendiri)[2];
Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia Muslim.

Bekerja di luar paradigma yang dominan sangat berat, tetapi beberapa eksperimen menunjukkan banyak penemuan dan model-model kerja. Diantaranya adalah pembuatan bio-shelter seukuran kapal samudra yang mencoba membantu nelayan dari Dunia Ketiga[3]. Kriteria kapal nelayan ini adalah: dia harus digerakkan oleh tenaga angin, tetapi sekaligus sama cepatnya dengan perahu motor yang hendak digantikan; teknologi konstruksi harus sesuai dengan pembangunan di daerah tropis, yaitu di kalangan mereka sendiri; materi konstruksi utamanya harus diambil dari pohon yang dapat tumbuh cepat; dan terakhir, materi-materi import-nya harus tidak lebih dari 20% dari keseluruhan biaya kapal. Usaha ini berhasil dan bahkan tidak hanya cocok, tetapi juga memberikan keuntungan besar bagi Dunia Ketiga.
Rekomendasi Agenda Praktis[4] dan Penutup

Ada dua usulan agenda yang ingin penulis sampaikan pada forum diskusi ini, yaitu agenda jangka pendek dan jangka panjang, sebagai berikut:
Untuk agenda jangka pendek adalah membekali para ilmuwan muslim yang sudah expert pada bidang masing-masing dengan khazanah keislaman agar itu bisa memberi pengaruh pada dinamika keilmuan mereka.
Adapun agenda jangka panjang adalah melalui perumusan kurikulum pendidikan yang akan mencetak ilmuwan yang menguasai (mastery) bidang keilmuan dan memahami khazanah Islam dengan baik bahkan sudah terinternalisasi.

Untuk agenda pertama aktifitas pengajian dan pengkajian Islam secara rutin dan komprehensif diharapkan dapat menjadi patron utama realisasi praktisnya[5]. Sedangkan pembangunan sekolah-sekolah Islam Terpadu (SDIT, SMPIT, SMUIT dst.) digolongkan pada agenda jangka panjang. Agenda kedua ini pun tengah direalisasikan pada pendirian-pendirian sekolah-sekolah tersebut.

Pembicaraan tentang Islamisasi sains (ilmu pengetahuan) telah dimulai sekitar tahun 70-an. Pada tahun 80-an gagasan-gagasan yang penulis paparkan pada makalah ini mulai mengkristal. Selanjutnya pada tahun 90-an sampai sekarang berbagai institusi Islam mengadakan pertemuan-pertemuan untuk melaksanakan konsep-konsep yang telah terbangun tersebut.

Semoga komunitas yang hadir pada forum diskusi ini termasuk diantara kafilah panjang pejuang Islamisasi Iptek dan pada gilirannya pembangun peradaban Islam di muka bumi. Amin.


[1] Sardar, 1985, bab Mengembangkan Teknologi Berwajah Muslim.

[2] Akhir-akhir ini muncul satu studi tentang social connstruction of technology (ScoT). Ide utamanya adalah bahwa pada artifak teknologi dapat ditelusuri kondisi sosial yang melatarbelakangi penemuan dan pertumbuhannya.

[3] John and Nancy Todd mengembangkan kerangka metafisika yang menjadi landasan karya mereka dan dipaparkan dalam tulisan Bioshelter, Ocean Arks, and City Farming.Sierra Club, San Francisco, 1984

[4] Hasil diskusi dengan partner diskusi saya, Mohamad S. Iman, yang menyarankan untuk memanfaatkan capaian studi Islamisasi Iptek, yang diadakan oleh ISTECS-Pusat pada tahun 1996, dirangkum dalam Prosiding Seminar Trend Islamisasi Iptek.

[5] Aktifitas pengajian dan pengkajian Islam idealnya merekonstruksi akal, mensucikan jiwa dan membangun fisik muslim sehingga terbangun kepribadian muslim teladan. Untuk rekonstruksi akal muslim, yaitu membekali dengan 3 tingkatan tsaqafah (pengetahuan): tsaqafah dzatiyah (inti/dasar), tsaqafa