Monday, January 28, 2008

HERMENEUTIKA DAN TAFSIR

HERMENEUTIKA DAN TAFSIR
Sebuah Study Komparatif

Dalam karyanya yang paling monumental, Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa peradaban yang kalah itu cenderung membeo kepada peradaban yang lebih superior. Budaya membeo itu tidak hanya dalam aspek budaya dan kultur saja. Tetapi juga menyentuh wilayah pemikiran. Apa yang dikatakan oleh cendikiawan muslim bahwa saat ini dunia Islam sedang mengalami invasi pemikiran dan imperealisme epistimologis adalah bukti nyata bahwa hegemoni intelektual itu benar-benar berusaha meluluhlantakkan struktur dan bangunan pemikiran Islam.
Salah satu bentuk hegemoni intelektual itu adanya tren dikalangan cendekiawan muslim modernis yang –katanya- liberal dan progresif yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an melalui hermeneutika.
Makalah ini akan berusaha menjelaskan irrasionalitas dan irrelevansi hermeneutika, disamping juga menunjukkan beberapa kesalahan fatal yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim, utamanya pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkon, ketika mereka berusaha memaksakan metode ini untuk menginterpretasi terhadap Al-Qur’an
BEBERAPA PRINSIP UTAMA
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang hermeneutika, maka ada baiknya kami tegaskan dua prinsip berikut:
1. Bahwa Al-qur’an yang ada sekarang adalah firman Allah SWT yang terpelihara dari kesalahan baik lafadz dan maknanya. Karena itu tafsir sebagai metode yang paling abash dan taken for granted dalam memahami Al-qur’an juga selamat subyektifitas penafsirnya dan secara otomatis penafsiran itu memuat nilai kebenaran mutlak. Tidak ada ruang relativisme dalam tafsir.
2.Bahwa setiap agama memiliki kitab keagamaan, dan setiap kitab keagamaan memiliki sejarah tradisi dan pemahamannya sendiri-sendiri. Problem pemahaman teks suatu agama tidak dapat diselesaikan oleh metode pemahaman teks agama lain. Sesungguhnya sejarah lahirnya hermeneutika sebagai metode interpretasi tidak dapat dipisahkan dari problem teks Bible. Hermeneutika diperlukan oleh para teolog Kristen untuk menemukan kebenaran Bible. 1
Karena hermeneutika merupakan respon terhadap problema teks Bible, maka masalah ini juga perlu disampaikan walaupun dengan penjelasan yang ringkas.
Problematika Teks Bible#
Istilah Bible digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya berbagai irisan dalam Bible. Hingga kini Bible biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak kristen disebut sebagai The Old Testament. Istilah ini ditolak oleh Yahudi karena istilah mengandung makna bahwa perjanjian (Testament) Tuhan dengan Yahudi adalah “Perjanjian Lama” yang sudah dihapus dan digantikan dengan perjanjian baru (New Testament) dengan kedatangan Jesus yang dipandang bagi kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak Klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.
Bagi Yahudi, yang disebut Bible adalah 39 Kitab dalam Perjanjian Lamanya kaum Kriseten, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bible yang didalamnya termuat torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital.
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin yang paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa kini siapa yang sebenarnya yang menulis Kitab ini masih merupakan misteri. Ia selanjutnya mengatakan “adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita.2
Begitu juga problema teks yang terjadi dalam kitab Perjanjian Baru. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princenton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satunya buku yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration”, menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam bukunya yang lain berjudul “Al-qur’an Textual Commentary on the Greek New testament”, Metsger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu:
1.Tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan
2.Bahan-bahan yang adapun sekarang ini bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya yang menjadi persoalan akut dalam Bible adalah persoalan bahasa yang menjadi sebab utama timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Karena hingga kini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible yang berbahasa Greek, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Jadi karena Bible asli tidak ditemukan makna teks standar untuk membuat berbagai versipun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi dengan tradisi kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja. Dan inilah yang akar masalahnya sehingga Bible memerlukan Hermeneutika. Itulah sebabnya dalam buku “The New Ensyclopedia Britanica” hermeneutika didefinisikan sebagai studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible yang tujuannya: untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.3
Metodologi Kritik Bible dan Hermeneutika
Tidak seperti Al-qur’an yang terpelihara dan terjaga dari kesalahan, kekurangan dan penyimpangan, Bible dalam sejarahnya banyak mengandung kesalahan dan kekurangan. Ketika para teolog Yahudi dan Kristen mengkaji Bible secara kritis, Bible yang selama ini dianggap sebagai textus receptus ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar. Puncaknya pada abad ke-19 textus receptus perjanjian baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin untuk mengkritik Bible telah mapan. Kata kritik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Maknanya telah berubah menjadi positif.
Setidaknya ada dua metode kritik terhadap Bible, yaitu
1. Kritik Sumber
Bible, bagi Yahudi Kristen adalah sebuah kitab suci yang dihasilkan dari diskursus kesejarahan yang panjang. Ia adalah produk sejarah. Sebab, ia dipercaya ditulis oleh individu-individu yang terinspirasi dan berlainan masa. Tuhan telah mendiktekannya pada penulis-penulis yang terinspirasi tersebut melalui visi, mimpi dan berbagai macam ilham. Namun, penulis-penulis yang terinspirasi itu bagaimanapun tetap manusia. Oleh sebab itu, pengaruh unsur kemanusiaan Bible sangat kental. Gaya bahasa, style penulisan, pengaruh kondisi sosio histories, ragam penulisan yang berlainan tersebut menghasilkan beragam variasi Bible.Para sarjana Yahudi Kristen pun berkeyakinan bahwa karena unsur kemanusiaan itulah maka Bible boleh dikritisi dan dievaluasi karena hakikat teksnya adalah tidak tetap dan terus berevolusi.
PL bagi Yahudi adalah sangat vital. Louise Jacobs seorang teolog Yahudi mengatakan “A Judaism without God is no Judaism. Ajudaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism” . Yang dimaksud Torah adalah lima kitab pertama atau Pentateuch dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (kejadian), Exodus (Keluaran), Letivicus (Imamat), Numbers (Bilangan) dan Deutronomy (Ulangan).
Menurut Elliot Friedman, meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin juga paling banyak dikaji manusia, tapi ia tetap masih misteri hingga kini. The Five Book of Moses tersebut adalah “It is one of the oldest puzzle in the world” karena sampai sekarang penulisnya daalah misteri.
Selama berabad-abad yang lalu kalangan Yahudi Kristen berkeyakinan PL (The Five Book of Torah / Pentateuch) ditulis oleh Musa sendiri. Namun saat ini, keyakinan itu tidak berlaku lagi dikalangan mayoritas sarjana teologi Yahudi Kristen. Salah satu orang yang menyatakan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat adalah Jerome (342-420 M). Ia menterjemahkan Septuagint kedalam bahasa latin (Vulgata) dan terjemahannya dianggap “textus receptus” bagi kalangan Kristen. Menurut Jerome, terdapat sejumlah paragraf dalam Taurat yang bukan karangan Musa. Namun, paragraf-paragraf tersebut telah dimasukkan oleh penulis lain. Menurutnya, “until this day” dalam sejarah kejadian 35:4 (LXX) dan ulangan (34:5-6) menunjukkan paragraf-paragraf tersebut telah ditulis setelah Musa.
Abraham Ibnu Ezra (1092-1167),seorang sarjana Yahudi berpendapat ada sejumlah paragraf di dalam Taurat yang menunjukkan Musa bukanlah pengarangnya. Andreas Bodenstein yang lebih dikenal dengan nama Karlstadt dalam karyanya menulis buku kecil “Die Canonicis Scripturis Libellus” (1520 M). Di dalam karyanya Karlstadt menegaskan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat (C. Houtman, The Pentateuch). Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris dalam karyanya Leviathan (1651), menyatakan kejadian 12:6 dan bilangan 21:14 bukanlah karangan Musa. Issac de la Peyrere (1592-1676), seorang pendeta Protestan berpendapat pengarang Taurat lebih dari seorang. Sebabnya banyak kisah dalam Taurat / PL yang kabur (obscurity), membingungkan (confusion), tidak lengkap (unfinished), terdistorsi (distorted), dan bertentangan (contradictions).
Baruch Spinoza (1632-1677) yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Benedict de Spinoza, seorang Teolog & Filosof Yahudi menegaskan Musa bukanlah pengarang Taurat. Spinoza beralasan (1). Penulis Taurat bukan saja berbicara tentang Musa sebagai orang ketiga, tetapi juga menyaksikan berbagai perkara yang detil mengenainya. Seperti “God talked with Moses”, “God spoke with Moses face to face”, “Moses was the meekest of men”, (Number 12:3), “Moses was wrath woth the captains of the host” (Number 31:41), “Moses, the servant of God, died”, “There was never arisen in Israel a prophet like Moses”, dan lain sebagainya. (2). Taurat bukan saja memuat kematian Musa, penguburannya, dan 30 hari ratapan orang-orang Yahudi, tetapi perbandingan antara Musa dengan semua nabi-nabi yang datang setelahnya. (3). Taurat memuat berbagi nama tempat yang ada setelah zaman Musa. (4). Berbagai kisah terkadang tersambung setelah meninggalnya Musa.
Spinoza kemudian berkesimpulan “Thus from the foregoing it is clear beyond a shadow of doubt that Pentat euch was not written by Moses, but by someone who lived many generation after Moses’. Kesimpulan Spinoza itu ternyata juga sama dengan kesimpulan Richard Simon (1638-1712), seorang pastor Katolik asal Prancis. Dalam hasil penelitiannya yang termuat dalam bukunya, Histoire critique du Vieux Testament (Historis-kritis Perjanjian Lama, tahun 1678) menyatakan Taurat adalah hasil dari proses kompilasi yang panjang (the result of a long process of compilation).
Kajian serius untuk meneliti bagaimana Taurat dihimpun, disusun sehingga menjadi sebuah teks yang utuh dilakukan oleh Jean Astruc (1684-1766). Ia meneliti sumber-sumber yang digunakan Musa untuk menyusun Taurat. Belakangan ini, diketahui sumber-sumber yang diperkirakan sumber dokumentasi dari Musa tersebut ternyata adalah merupakan hasil gabungan dokumentasi yang dilakukan oleh para editor yang tidak diketahui namanya. Jadi, mereka (para editor, red) yang sebenarnya bertanggungjawab atas susunan Kejadian (Genesis) yang ada sekarang ini
Jean Astruc dalam merekonstruksi dokumentasi Musa tersebut, membagi Taurat menjadi dua sumber dokumentasi. Dokumen pertama adalah dokumen yang teratur menggunakan kata Elohim untuk menyebut nama Tuhan (Kejadian 1) dan dokumen kedua secara teratur menggunakan kata Yahweh (Kejadian 2 & Kejadian 4). Dengan meneliti sumber yang digunakan untuk mengarang PL, Jean Astruc telah memformulasikan apa yang kelak disebut dengan metode kritik sumber (Source Criticism). Metode Source Criticism ini berkembang dan matang setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menerbitkan bukunya “Prolegomena to the History of Israel” tahun 1878.
Wellhausen lebih lanjut menyatkaan, sumber Musa untuk menulis Taurat berasa dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D, P. Materi dalam dokumen “J” (singkatan Jehova atau Yahweh) diduga ditulis sekitar 850 SM di kawasan kerajaan bagian selatan (kerajaan Yehuda). Materi dokumen “E” (singkatan dari Elohim) ditulis sekitar tahun 750 SM di kawasan kerajaan bagian utara (kerajaan Israel). Dokumen “E” dianggap lebih obyektif, kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis serta cenderung kepada kasus particular yang konkrit. Beberapa ilmuwan setelah Wellhausen, menyatakan menyatakan kedua dokumen tersebut sebenarnya sudah digabungkan sekitar tahun 650 SM oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE”, karangan tersebut menjadi lengkap setelah dengan materi “D” dan “P”. D ditulis sekitar tahun 621 SM dan P sekitar 570 sampai 445 SM. Material dalam dokumen P menyentuh asal muasal dan institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan. (Allan P Ross, Genesis).
1.Kritik Sejarah
Pendekatan Kritik Historis ini pertama kali diformulasikan oleh Herman Gunkel (1862-1932). Berbeda dengan kritik sumber yang hanya memfokuskan pada para pengarang atau penulis Bible dan kapan pengarang atau penulis itu berkarya, kritik historis lebih menekankan pada penelusuran latar belakang kemunculan teks dan pemikiran keagamaan para pengarang atau penulis. Mencari asal mula (Sitz im Leben) dari bentuk (Gattungen) yang digunakan, serta menelusuri asal mula motif dan tema di dalam dokumen-dokumen. Oleh sebab itu, kritik histories mencoba mensetting kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi oral dalam sejarah Bible, suatu zaman dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk dikaji.Menurut Gunkel, kritik sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitive yang masih ada dalam Taurat. Padahal memahami sruktur, seting, dan maksud dari setiap unit susastra di belakang materi PL yang eksis, merupakan hal yang penting. Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai dengan pengarang dan dokumen bagai mambangun rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan kritik sumber yang dilakukan Wellhausen, namun dalam pandangannya, penelitian genre PL adalah penelitian mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui genre atau jeni-jenis sastra yang terwakili dalam PL, maka kesusastraan Israel kuno secara menyeluruh, yaitu hubungan yang fungsional dengan seluruh kehidupan masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami. (C. Houtmann, Pentateuch)
Terinspirasi dengan analisa sejarah bentuk yang dibawa Gunkel, para ilmuwan lain seperti Gerhard von Rad (1901-1971) dan Martin Nort (1902-1968) memfokuskan perhatian kepada proses transmisi materi dalam fase-fase berikutnya, bukan pada fase-fase awal. Mereka meneliti unit-unit yang lebih kecil yang selama berabad-abad mengalami perubahan didalam bentuk serta isi dan dimasukkan kedalam Taurat dan sebagainya. Metode ini pada akhirnya disebut sebagai metode kritik-historis.
Dalam metode yang luas ini, terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (litetary criticism), kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun didalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.
kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup study bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
kritik sastra (litetary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan didalam gaya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan kandungan Bible akan lebih mudah dipahami. Jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bible diteliti.
Kata form criticism (kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Fongeschichte, yang artinya “sejarah bentuk” dan kata Fonngeschichte muncul pertama kalinya didalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibelius (1919). Disebabkan Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L. Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam study Perjanjian Baru. Ketika form criticism diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang mempercayainya, yang mendahului penulisan Bible. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikannya menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bible adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bible didalam berbagai bentuk.
Kritik redaksi (redaction criticism) didalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada ditangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui pengarang Bible. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.
Karena itu menjadi sebuah keniscayaan akademis untuk melacak sejarah lahirnya ilmu hermenutika sebagai metode eksgesis terhadap Bible, agar kita mendapat pemahaman yang utuh dan objektif. Karena bagimanapun suatu konsep tidaklah lahir dari sebuah kevakuman ruang dan waktu. Setiap ilmu, konsep, atau teori termasuk, termasuk hermenutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban. Implikasinya, suatu ilmu tidaklah bebas nilai dan karenanya proses mengimpor suatu ilmu tidak dapat dilakukan begitu saja kecuali melaui proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut oleh Profesor Arpalslan dengan “Borrowing Process”4. Artinya jika dalam Borrowing Process suatu ilmu tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam maka sah-sah saja untuk dipakai tetapi jika bertentangan maka harus ada sikap negoisasi yang jelas sehingga kemurnian konsep-konsep ilmu dalam Islam tidak tercemari dan pada waktu yang sama dapat terjaga orisinalitasnya.

SURVEI KRONOLOGIS KELAHIRAN HERMENEUTIKA
Dalam perspektif pandangan hidup, hermeneutika merupakan konsep atau teori yang lahir dan berkembang dari suatu milleu masyarakat. Milleui yang dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuwan.5
Werner menyebutkan tiga melliu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama Mellieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua mellieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga mellieu masyarkat Eropah di jaman Pencerahan (enlightment) yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika ke luar konteks keagamaan.6
Dengan menggunakan data tentang millieu yang mengitari perkembangan hermeneutika sebagai metode interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas, kita dapat menggambarkan pengaruh pendangan hidup terhadap hermeneutika dalam tiga fase, yaitu:
1.Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen
2.Dari teologi Yahudi dan Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3.Dari Hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika

Dari Mitologi ke Teologi
Dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya kepada Tuhan dalam bentuk mitologi. Aristotle, misalnya mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover itu menggerakkan tapi tidak bergerak, kuantitasnya satu secara absolut, tapi jumlahnya ada 55. Selain itu dalam mitologi Yunani juga terdapat dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan dari langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutika kemudian digunakan. Konsep ini resminya hanyalah digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makn, peran dan fungsi teks-teks kesusastraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.7 8
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani. Namun istilah Hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika.9
Selanjutnya dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, masyarakat Yunani menyelesaikannya dengan rasional lagos (kepercayaan pada prinsip-prinsip rasional adanya zat yang mengatur alam semesta).10 Pada tahap ini hermeneutika masih bersifat literal.
Selanjutnya Stoicism (300 SM) mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris; metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal.
Metode Alegoris ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode Alegoris, dimana dia secara kreatif menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi Yunani.11 Metode yang juga disebut tipologi ini mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau informasi dari teks, tetapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu diluar teks.12 Ia tidak mengabaikan makna literal, tetapi makna literal dipandang rendah, primitif, dan perlu diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan).
Metode Hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.13 Dimana dengan pendekatan in idia mengkategorikan makna Bible dalam tiga kategori, yaitu: literal, moral, allegoris. Yang terakhir itulah yang paling tertinggi tingkatannya. Teorinya ini merupakan pengembangan dari filsafat Paulus dan Yunani bahwa tubuh manusia terdiri atas body, soul, spirit.14 Selanjutnya teorinya tentang tiga lapis makna Bible dikembangkan lagi oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna dengan menambah satu makna lagi yaitu anagogis (spiritual).
Namun metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini mendapat resistensi dan perlawanan dari aliran literan dan historis yang berpusat di Antioch. Pertentangan ini merepresentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Aliran ini simbolik berada di bawah bayang-bayang hermeneutika Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Peri Hermenias. Hanya saja kalangan Kristen menganggap karya Aristotle yang lebih menekankan pada semantik dan logika dapat membahayakan keimanan Kristiani.15
Dari perseteruan dua aliran hermeneutika muncul seorang tokoh Kristen yang sangat terkenal yaitu St. Augustine of Hippo (354-430), yang mencoba mengambil jalan tengah dengan cara mencoba memadukan dua aliran tersebut, yaitu dengan memberi makna baru kepada hermenutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris terhadap teks Bible yang cenderung arbitrer dan juga literalisme yang terlalu simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis. Meskipun munculnya St. Augustine dianggap awal terjadinya assimilasi teologis dalam hermeneutika, namun pemikirannya belum bisa menghilangkan pengaruh world view Yunani, khususnya Platonisme. Konsepnya tentang Tuhan dan cosmos bercampur dengan worldview Yunani, sehingga resistensi dari kalangan gereja tidak dapat dihindari. Tokohnya Vincent of Lerins mengarahkan pembacaan teks menajdi lebih formalistis dan cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks.16
Perkembangan pemikiran hermeneutika yang patut dicatat dalam teologi Kristen terjadi pada awal abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-247). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan Neo-Platonisme St. Augustine. Ia mengatakan bahwa “Pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk pada peri hermeniasnya Aristotle. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi teologis kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus penolakannya terhadap interpretasi allegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang sangat berharga bagi pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi kitab yang sakral. Padahal teks-teks Bible itu dieksploitasi untuk menjustifikasi premis-premis teologis mereka yang telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran spekulasi filosofis. Dimana spekulasi filosofis mereka banyak dipengaruhi oleh filsafat humanisme yang sudah mulai berkembang di tengah masyarakat barat dan diterima oleh para pendeta waktu itu.17 Dan teori interpretasi humanis, sebenarnya sangat bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja.
Kondisi dan kecenderungan seperti itu makin berkembang dikalangan teolog Kristen. Hal ini diperparah lagi oleh sikap para tokoh reformis Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) yang menunjukkan perlawanan terhadap otoritas gereja.
Prinsip hermeneutika yang diyakini protestan, khususnya Luther, adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa kita tumbuh dan bukan dari luar teks. Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung pada pengalaman yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura (cukup hanya kitab suci) yaitu Bible saja telah merupakan petunjuk yang jelas untuk memahami Tuhan.
Hanya saja teori mereka dianggap naif dan tidak memuaskan karena tidak dapat mengatasi kesulitan bacaan dalam suatu peragaraf dan tidak dapat mengelak interpretasi yang arbitrer.
Ternyata dengan kedua model hermeneutika diatas para teolog tidak dapat mengatasi problema teks Bible. Mereka dibingungkan oleh pilihan antara mengikuti mellieu masyarakat barat atau setia pada teks Bible. Kebingungan ini terjadi karena, seperti yang ditegaskan oleh Huston Smith, rasionalisme telah merasuki teologi pada awal abad pertengahan, tapi pada waktu yang sama pandangan dan keimanan Kristiani masih menguasai alam pikiran orang-orang Kristen, sehingga apapun keadaannya mereka tetap berpihak kepada pernyataan Tuhan dalam Kitab “Suci” itu. Bukti yang paling jelas adalah ketika para teolog, baik Katholik maupun protestan, bersama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624).18
Kondisi pertentangan teologis inilah dan tentu saja juga karena adanya problema teks Bible sendiri yang terjadi di sekitar lahirnya hermenutika pada awal abad pertengahan, dimana saat itu hermeneutika masih berada dibawah sangkar teologi Kristen yang bercampur di bawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Hermeneutika yang diadopsi oleh para teolog Kristen untuk menyelesaikan problema teks dan teologis Kristen, ternyata tidak dapat membantu. Hermeneutika sebagai sebuah metode exegesis tidak dapat menemukan kebenaran-kebenaran Bible. Sehingga ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan mulai goyahnya otoritas gereja oleh pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasionalisme barat, maka hermeneutika dimaknakan dan didevinisikan pada makna yang bersifat filosofis.

Dari Teolog ke Filsafat
Beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah dan rasional barat. Dalam masa itu, dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata pada masa lampau menjadi relevan dan berarti bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan inti pesannya. Bagi mereka repitisi atau reproduksi ungkapan-ungkapan dalam Bible hanya akan membuat pesan-pesan Bible menjadi tidak relevan. Disini, hermeneutika dalam pengertian tradisional tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang memadai untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Karena itu hermeneutika berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi interpretasi, tapi metodologi memahami dan obyek yang difahami pun menjadi terbuka.19
Karya J. C Dannheucer, berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacracum Litterarum (Sacred Method or Method of Explanatio of Sacred Literature) terbit pada tahun 1654, dianggap karya yang pertama kali memaknai hermeneutika sebagai the art of interpretation. Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dengan exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipunpengertiannya sama tapi obyeknya diperluas kepada non-biblical literature. Bahkan mulai timbul pandangan bahwa interpretasi Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi teks-teks lain. Disini mereka sudah mulai menempatkan Bible bukanlagi sebagai kitab keagamaan yang sakral.20
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan reformasi Protestan pada abad ke 16, pada abd pencerahan (Enlightment). Derasnya arus pemikiran Enlightment ini banyak dipengaruhi oleh Universitas Halle, dimana dosen-dosen yang terdiri dari para teolog dan filsof, yang mengajarkan pada Universitas itu, seperti Christian Wolf, Siemnd J Baumgarten, dalam kuliah-kuliah mereka selalu menunjukkan semangat penggunaan akal yang berlebihan. Akibatnya, saat itu, masyarakat Eropa sudah cenderung kepada penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas tradisional.21
Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleimermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle, menandai babak baru metode filsafat hermeneutika. Materi kuliahnya “Universal Hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpengaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Dia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Pandangannya terhadap agama sama dengan Immanuel Kant. Menurutnya, beragama tidak bisa diartikan sebagai usaha mencapai ilmu transendent, sebab ilmu ini tidakmungkin dicapai.22
Filsafat hermeneutikanya bermula dari pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi?. Dalam hal ini, ia mengajukan dua teori pemahaman hermenutikanya; pertama pemahaman ketatabahasaan terhadap semua ekspresi, kedua, pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini, Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut dengan intuitive understanding yang dalam bentuk operasionalnya merupakan suatu kerja rekonstruksi, yaitu: hermeneutika bertugas merekonstruksi pikiran pengarang.23 Dan kerja rekonstruksi ini hanya dapat dilakukan dengan kegiatan an act of devination (devinasi atau ramalan dan dugaan) yang dengan itu sang interpreter menghadirkan kemabli kesadaran pengarang.
Itulah sebabnya, Al-Attas menegaskan bahwa epistimologi hermeneutika berangkat dari spekulasi filosofis yang bertumpu pada akal belaka.24 Dalam kaitannya dengan Al-qur’an teori Fredrich Schleiermacher ini sangat irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin bisa memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al-qur’an.24 Tidak ada seorangpun mufassir dikalangan mufassir akan mengatakan bahwa mereka lebih bisa menerti daripada pengarang Al-qur’an, Allah SWT.25 Bahkan sebaliknya para mufassir dalam banyak kitab tafsir lebih banyak mengatakan wallahu Al-qur’an’lam bimuradihi ketika misalnya berhadapan dengan ayat-ayat muqata’ah.
Hermeneutika Schleiermacher mendapat kritikan dan juga makan baru dari seorang filsof, kritikus sastra, sejarahwan asal Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurutnya hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan.26 Berdasarkan devinisi ini, Dilthey menegaskan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.27 Pemikiran hermeneutikanya berangkat dari kegelisahannya akan ketiadaan metode yang tepat bagi ilmu-ilmu kultural28, karena itu ia mencoba mengangkat hermeneutika sebagai suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam. Ringkasnya, menurutnya hermeneutika universalnya layak dipertimbangkan sebagai landasan epistimologis bagi ilmu-ilmu sosial kultural (humaniora), dan tidak sekedar sebagai ilmu pemahaman atau penafsiran teks, karena itu ia mencurahkan pemikiran dan waktunya menulis gagasan Critique of Historical Reason.
Hermeneutika historisnya Dilthey yang diarahkan menjadi dasar teori bagi ilmu kemanusiaan, dikembangkan lagi oleh Martin Heideger (1889-1976) ke arah kajian ontologis; yaitu bahwa teks tidak hanya sekedar dipahami dengan kamus dan grammer, tetapi ia memerlukan pemahaman terhadap makna kehidupan, situasi pengarang dan audiennya.
Bagi Heidegger hermeneutika berarti penafsiran esensi (being). Dalam kenyataannya esensi itu selalu tampil dalam eksistensinya. Suatu peristiwa kebenaran tidak lagi ditandai dengan kesesuaian antara konsep dengan realitas obyektif, tetapi dilihat sebagai peristiwa tersingkapnya esensi tersebut, sementara itu satu-satunya wahana bagi penampakan being atau esensi tersebut adalah eksistensi manusia itu sendiri, maka hermeneutika adalah penafsiran terhadap manusia itu sendiri (Dasein) melalui bahasa.29 Jadi Dasein (Suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan obyek atau orang) itu sendiri merupakan pemahaman dan interpretasi esensial dan terus-menerus. Dan kesadaran eksistensi itu juga harus menginterpretasikan berbagai entitas dalam dunia, seperti meja sebagai meja dan kursi sebagai kursi.30
Maka, menurutnya hermeneutika adalah ciri khas yang sebenarnya dari manusia, dimana memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar bagi eksistensi manusia.31
Pemahamannya yang demikian terhadap hermeneutika, karena landasan filosofis dan epistimologi Heidegger berada dibawah pengaruh aliran filsafat fenomonologi yang ditafsirkan dan dipimpin oleh Edmund Husserl (1859-1938) yang diantara prinsipnya adalah bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.
Tentu hermeneutika model ini juga tidak dapat diterapkan sebagai metode interpretasi terhadap Al-qur’an. Hal ini karena manusia tidak mungkin bisa mempersepsikan seluruh bentuk wujud. Bagaimanakah cara manusia menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian transendental dan supranatural yang wilayahnya berada diluar kesadaran manusia.??
Bisa jadi hermeneutika model ini akan membuang ayat-ayat tentang zat Allah, dengan alasan tidak bisa dijangkau oleh kesadaran manusia.
Pemikiran hermeneutik Heidgger ini diteruskan oleh Hans Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Methods. Dalam buku itu ia tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi tapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya, ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada ontologis bukan metedologis. Artinya kebenaran tidak dapat dicapai melalui dialektika.32
Berkaitan dengan aktifitas pemahaman teks tertulis, Gadamer menegaskan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya pada apa yang dimaksud oleh pengarang atau penulisnya saja, atau hanya kepada audiens yang dituju oleh tulisan itu, karena itu menurutnya pemahaman dan pengalaman manusia itu unik dan tidak sama. Itulah sebabnya, Gadamer sangat membenci adanya pemutlakan suatu metode untuk mencapai kebenaran.33
Dalam proses memahami suatu teks selalu didahului oleh pra pemahaman sang pembaca terhadap teks dan kepentingannya untuk berpartisipasi dalam makna teks. Kita selalu mendekati teks dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan dalam teks yang akan kita coba masuki dalam konteks ruang dan waktu kita sebagai penafsir.34 Berangkat dari sini, untuk memahami tradisi dan teks masa lampau, Gadamer merumuskan satu teori hermeneutikanya yang dikenal ia sebut dengan effective historical consciousnes, yang medium struktur utamanya adalah bahasa. Teori ini melihat adanya tiga kerangka waktu yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau dimana teks itu dilahirkan. Dari teks masa lampau itu bukan milik si penyusun lagi melainkan milik setiap orang. Mereka bebas menafsirkannya. Kedua, masa kini yang didalamnya ada penafsir dengan prejudice (persangkaan) masing-masing. Prasangkaan-prasangkaan tersebut pada akhirnya akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul satu penafsiran yang sesuai dengan konteks sang penafsir. Ketiga, masa depan dimana didalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.dalam masa depan inilah terkandung effective historical.35
Inti pemikiran hermenutika adalah bahwa penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Mereka senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsiran merupakan reinterpretation memahami teks secara baru dan makna baru pula.36
Pendapat ini tentu saja akan mengacaukan nilai kebenaran mutlak Al-qur’an, dengan alasan karena antara satu penafsir pada jaman yang satu dengan satu penafsir pada jaman yang lain akan berbeda hasil penafsirannya, dan karenanya relatif, oleh karena ada perbedaan konteks dan tradisi masing-masing interpreter. Bagi kaum muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan yang akan datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial budaya. Tafsir yang dilakukan dan dihasilkan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih banyak terdapat kesepakatan diantara para mufassir, sekalipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.37
Jurgen Habermas mengkritik Gadamer sebagai kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Bagi Gademer pemahaman didahului penilaian (pre-judgment), bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon adalah kepentingan sosial (social interes) yang melibatkan kepentingan kekuasaan sang interpreter dan khususnya komunitas-komunitas inerpreter yang terlibat dalam dalam interpretasi.38 Gaya hermeneutikanya sangat dipengaruhi oleh epistimologi marxis. Karena memang dia berada di bawah atmosfer kesarjanaan universitas dan aliran Frankfrut yang sangat setia pada paradigma marxis.39
Demikian perubahan dan perkembangan hermeneutika. Kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan itu sangat berkait erat dengan melliu yang membentuk pandangan hidup masing-masing penggagasnya, yang itu sangat berpengaruh terhadap style of though, gaya berpikir mereka.

Hermeneutika: Devinisi, Konsep, dan aliran-alirannya
Hermeneutika, yang meminjam bahasa Inggris hermeneutics, dan juga berasal dari perkataan Greek Hermeneutikos, bukan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (worldview, weltanchauung).40 Apabila perkataan ini dikaitkan dengan Al-Qur’an ataupun dengan Beblical studies arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki arti sendiri. Karena itu akan kita bahas terlebih dahulu makna hermeneutika dari dimensi bahasanya.
Dari segi bahasa, misalnya Aristoteles pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya peri hermeneis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpeitation. Namun sebelum terjemahan bahasa latin, Al-Farabi seorang filsafat muslim terkemuka, telah diterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles itu terlebih dahulu ke dalam bahasa arab dengan judul Fi al-Irabah.41
Hermeneutika berasal dari akar kata kerja herme-neunei (menafsirkan) atau kata benda herme-neia (interpretasi). Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bible”. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja herme-neuien dan kata benda herme-neia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Mediasi dan proses membawa pesan ”agar dapat dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung didalam tiga bentuk makna dasar dari herme-neuien dan herme-neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari herme-neuien, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3) makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata bahasa Inggris, to explaine, dan to translate atau to interpret.42
Pengasosiasian hermeneutika dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur utama dalam hermeneutika atau aktifitas penafsiran, yaitu:43
1.Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran
2.Perantara atau penafsir
3.Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (pembaca)
Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneutika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri. Pertama, hermeneutika sebagai teori eksegesis Bible. Pada mulanya hermeneutika memang ditujukan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam interpretasi Bible. Kedua, hermeneutika sebagai metode filologis. Perkembangan rasionalisme yang kemudian lahir bersamaan dengan filologi klasik pada abad VIII memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan hermeneutika. Hermeneutika selanjutnya muncul sebagai metode kritik historis dalam teologi; baik mazhab interpretsi Bible “gramatis,” maupun “historis”. Pada akhirnya, metode interpretasi yang diaplikasikan pada Bible ternyata juga digunakan pada buku yang lain. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bible, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam interpretasi teks. Keempat, hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur utama pada perkembangan hermeneutika tahap ini. Ia melihat bahwa hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften, yakni semua pemahaman yang memfokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya akan dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik. Ia mengatakan bahwa Sang Ada yang dapat dipahami adalah bahasa. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna versus inkonaklasme. Titik balik kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan sentral dalam hermeneutika. Menurut Paul Ricour, yang dimaksud denga hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan lain perkataan, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna tependam yang tersembunyi.44
Patut dijelaskan, bahwa Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah yang berkembang di jaman modern ini. Hermenias yang dia kemukakan sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pikiran dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentences), ungkapan (preposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa.45
Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa ke pengertian istilah merupakan suatu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan telah sepakat bahwa perpindahan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang teks-teks kitab suci mereka.46
Selanjutnya, hermeneutika dalam kapasitasnya sebagai seni menafsir dan memahami teks untuk menguak dan mencapai kebenaran, dalam disiplin filsafat, memiliki dua aliran, yaitu:
1.Aliran objektif. Aliran objektif didukung oleh antaranya Freidrich Schleimacher (1768-1834), Wilheim Dilthey (1833-1911), dan Emilio Batti (1890-1968).
Hermenutik, meurut aliran ini, menghasilkan kefahaman yang objektif. Hermeneutik, menurut Schleimacher (1768-1834), melibatkan dua rangka utama, yaitu memahami teks melalui pendekatan tata bahasa dan pendekatan psikologi. Wilheim Dilthey (1833-1911) berpendapat hermeneutik tertakluk kepada sejarah, yaitu melibatkan tiga proses utama; (1) memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli; (2) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah; dan (3) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup. Hermenutik, menurut Betti, melibatkan proses “triadic”, yang melibatkan; (1) pengarang (creative mind); (2) penghurai (interpreter); dan (3) “meaningful forms” sebagai perantara. Beliau merangka empat aturan atau prinsip umum (canon) dalam usaha untuk memahami teks secara yang objektif. (1) teks sebagai objek yang coba dipahami itu mempunyai autonominya yang tersendiri. (2) teks harus dipahami dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. (3) Pengurai harus memahami proses atau pengalaman kreatif. (4) Pengurai harus menyamakan pengalaman hidupnya sedekat mungkin atau secara harmoni dengan pengalaman yang dilalui oleh pengarang.
2.Aliran Subjektif. Aliran subjektif pula didukung antaranya oleh Martin Heidegger (1889-1976)47 dan Hans-Georg Gadamer. Gadamer mengalih perhatian kepada perbahasan tentang prasyarat (conditions) yang memungkinkan kefahaman yang objektif. Beliau menegaskan bahwa kaedah yang diambil dalam memahami fenomena sosial atau alam tertakluk kepada sejarah (effective history). Dengan kata lain, seseorang yang coba memahami suatu objek telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh andaian-andaian terdahulu (sejarah) tentang objek yang menjadi kajiannya dan juga dalam menentukankaedah yang harus diambil. Oleh karena itu, telah ada “bias” atau “prejudice” dalam setiap kefahaman. Kefahaman dengan itu adalah gabungan atau pertemuan di antara dua pandangan yaitu pandangan-pandangan terdahulu dan kini atau diantara para pembaca dan penulis (fusion of horizons). Kefahaman, menurut Gadamer, adalah subjektif.48

Hermeneutika dan Akal Muslim Modernis. Studi Kritsi atas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arqon.
Pemikiran Hermeneutika Abu Zayd
Merebaknya gagasan untuk menjadikan hermenutika sebagai salah satu metode untuk menafsirkan Al-Qur’an dikalangan cendekiawan muslim modernis, termasuk adanya kecenderungan yang kuat menggunakan metode ini di kalangan muslim modernis Indonesia, bahkan hermeneutika menjadi salah satu mata kuliah wajib di beberapa IAIN di Indonesia49, patut mendapat perhatian dan studi kritis analitis untuk menemukan sejumlah kesalahan dan kekurangannya. Ide mereka tentang hermeneutika Al-qur’an perlu merupakan imperialisme epistimologi yang wajib dilawan. Bgaimanapun hermeneutika bertentangan secara diametral dengan kaidah-kaidah epistimologi Islam.
Salah satu penggagas hermeneutika Al-qur’an yang pemikiran dan idenya perlu dibumi hanguskan dari dunia pemikiran Islam adalah Nashr Hamid Abu Zayd.
Menyimak sejumlah buku Abu Zayd, dengan mudah dapat dibaca ia begitu menaruh perhatian pada aspek teks. Ia katakan bahwa peradaban Arab Islam adalah “peradaban teks”. Maka, ia tulis buku-buku yang berkaitan dengan persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti mafhum al-Nash Dirasah fil ulumul Qur’an dan Naqd al-Khitab ad-Dini.50
Konsep Nashr Hamid ini dalam kedua bukunya itu membawa dampak pada metode penafsiran teks Al-Qur’an, dimana ia mengecam keras metode tafsir Ahlu Sunnah yang menempatkan hadith Nabi saw sebagai penafsir utama utama ayat-ayat Al-Qur’an. Jika Bible memiliki pengarangnya masing-masing, maka Nasr Hamid, dengan kecerdasan yang bercampur dengan kelicikan sehingga cenderung keculas mencoba menempatkan Nabi Muhammad saw dalam posisi “seperti” pengarang Al-Qur’an.
Menurutnya Al-Qur’an diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad sebagai seorang manusia. Bahwa Muhammad sebagai penerima pertama dan sekaligus sebagai penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat. Muhammad bukanlah penerima pasif. Membicarakan Muhammad, kata Abu Zayd, juga harus berarti membicarakannya yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya Muhammad adalah bagian dari realitas sosial, budaya, dan sejarah masyarakatnya.50
Mengenai Al-qur’an, Abu Zayd tidak menganggapnya bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya, Zayd menganggap Muhammad bukanlah sebagai seorang ummi; seorang penerima pasif, tapi juga mengolah redaksi Al-Qur’an. 51 Konsepnya tentang nash Al-qur’an yang dianggapnya hanya sebagai spirit wahyu mengindikasikan dia mengadopsi konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi kristen, khususnya tradisi kritik teks Bible. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj as-tsaqafi). Disini Abu Jayd telah mendekonstruksi makna wahyu.
Berikut ini kami paparkan pokok kesesatan pemikiran Abu Zayd dan bantahannya
1.Menganggap Al-quran sebagai produk budaya
Menganggap Al-Qur’an sebagai produk sejarah jelas merupakan kesalahan dan kesesatan yang menjadikan pelakunya murtad. Pendekatannya terhadap Al-Qur’an memang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas ini digunakan, maka seseorang juga akan dipengaruhi oleh metode, pandangan hidup, dan idiologinya. Dan metode ini sangat sulit menghindar dari unsur subyektivitas. Dan itulah akar masalahnya. Karena dari awal ia sudah berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, maka pemaknaan kesimpulannya akan mengkondisikan seluruh struktur berpikirnya diatas semua asumsi dan karena ia terjebak pada rasionalisme subyektivitasnya sendiri.
Teks-teks Al-Qur’an memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tapi Al’Qur’an tidak tunduk pada budaya, melainkan sebaliknya. Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun suatu pola pemikiran dan peradaban yang baru, sebutlah misalnya istilah-istilah dan konsep-konsep yang sudah mapan dalam budaya dan tradisi masyarakat Arab seperti kata muruwwah dan karim, ternyata dirubah oleh Al-Qur’an.
Kata penghormatan (karim) merupakan istilah kata kunci dalam kosa kata jahiliyah yang secara apa adanya berarti “kemuliaan garis keturunan yang berkaitan erat dengan kedermawanan yang luar biasa. Meskipun demikian Al-Qur’an menggantikan medan semantiknya sebagaimana yang dikenal oleh jahiliyah dan menjadikannya mempunyai arti di sekitar makna taqwa.52
Begitu juga kata ikhwah yang berkonotasi kekuatan dan kesombongsukuan, yang terkait dengan darah dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah53 proses perubahan medan semantik ini, oleh al-Attas disebut sebagai Islamisasi bahasa.
Ini berarti bahwa Al-Qur’an bukanlah produk yang dibentuk oleh budaya, tradisi dan realitas sejarah waktu itu. Seandainya Al-Qur’an merupakan produk budaya, mengapa sampai saat itu, saat ini dan pasti saat yang akan datang tak ada orang yang mampu menandingi makna dan lafadz A-lQur’an, minimal dari keindahan bahasanya.
Kaum muslim selama ini yakin bahwa Al-Qur’an, baik makna atau lafadznya adalah dari sisi Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat dan seketika itu. Posisi beliau dalam menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum. Al-Qur’an menyebutnya: “ Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (Q.S An-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima wahyu. (Q. S Fushilat: 6).54
2. Pengusungan ideologi sekularisme (baca hasil analisis Dr. Anis Malik Toha dalam majalah Islamia Thn I, No 2, Agustus 2004, hal 28-32)

Hermeneutika dan Tasfir: Studi Komparatif
Akhir-akhir ini, hermeneutika sebagai sebuah metode tafsir sedang digandrungi oleh para intelektual muslim Indonesia. Diskusi-diskusi tentang hermeneutika marak dikembangkan kelompok-kelompok Islam seperti Paramadina, JIL, dan lain sebagainya. Hermeneutika identik dengan kajian sebuah teks. Karena berkaitan dengan sesuatu yang berupa teks, merekapun mencoba metode tersebut untuk menguji berbagai teks Islam, termasuk juga Al-Qur’an. Al-Qur’an berupa teks. Maka tentu Al-Qur’an juga dipelajari dengan hermeneutika. Alasannya, dengan hermeneutika hal-hal yang berbau kemapanan, hegemoni ideologisasi dan standarisasi penafsiran teks akan tampak jelas dan rasional.55 Artinya mereka menuduh bahwa tafsir sebagai metode yang dipakai oleh para ulama tidak obyektif. Benarkah demikian?
Ilmu pertama yang lahir dikalangan umat Islam adalah ilmu tafsir. Ia menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah bahasa Arab.55 Ilmu tafsir adalah penting karena ia merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya imam at-Thabrani menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang digunakan umat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab Suci Al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.56