Wednesday, April 23, 2008

STRATEGI PENDIDIKAN

STRATEGI PENDIDIKAN
Rangka Pikir konsep Abdullah dan Khalifatullah
Dalam Upaya Meningkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan
di Kepulauan Sapeken
By: Umar Hadi bin Makka

Dan ketika Allah Swt mendeklarasikan kehendaknya kepada para seisi langit, bahwa ia hendak menurunkan wakil-Nya di atas persada bumi, maka Allah telah membekali khalifah-Nya dengan keunggulan-keunggulan kompetitif yang memungkinnya bisa menjalankan peran pentingnya (visi misinya); memakmurkan dunia, mewujudkan sebuah peradaban agung dan luhur yang seluruh rancangannya dan desainnya berdasarkan bimbingan, petunjuk dan arahan Allah Swt. yang terdapat dalam kalam-Nya yang mulia, al-Qur’an dan as-Sunnah.
Fakta penciptaan ini menjelaskan hakekat fundamental, bahwa ilmu dan pendidikan merupakan elemen, faktor dan institusi yang paling strategis dalam upaya meningkatkan mutu kualitas sebuah masyarakat dan peradabannya. Ilmu dan pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam usaha-usaha kita dalam memajukan masyarakat. Peran penting sebuah ilmu dan pendidikan dalam kehidupan, ditunjukkan oleh kenyataan sejarah. Bahwa bangsa yang maju dan bermartabat ditentukan oleh sejauh mana kecintaan masyarakat tersebut terhadap tradisi dan budaya ilmu dan menghormati pendidikan. Mereka memiliki kerja keras intelektual yang berusaha menyelesaikan problematika kehidupan. Contohnya bangsa Jepang.
Dalam sejarah ditunjukkan, bahwa setelah Jepang mengalami kekalahan dan mengalami kehancuran dalam seluruh infrastrukurnya pada masa perang dunia II, mereka hanya membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk bangkit dari keterpurukannya. Keajaiban ini, banyak membuat ilmuwan Barat heran, bagaimana bangsa yang kalah dalam perang dunia II ini mampu mengalahkan Barat dalam berbagai bidang. Profesor Ezra Vogel dari Harvard University, merumuskan, bahwa kejayaan Jepang ialah berkat kepekaan pemimpin, institusi dan rakyat Jepang terhadap ilmu dan informasi serta kesungguhan mereka menghimpun dan menggunakan ilmu untuk faedah mereka
Sebagai seorang muslim, semua fakta-fakta itu, haruslah membuat kita sadar, dam kita bisa menegaskan satu aksioma, bahwa semua usaha apapun ke arah kemajuan dan kebangkitan (renaisnce), tidak akan pernah terjadi dan berhasil terwujudkan, kecuali kita menemukan kembali cinta kita kepada ilmu dan pendidikan, dan pada waktu yang sama kita juga tetap mengormati identitas, tradisi dan budaya kita. Kita ingin menyampaikan, bahwa sesungguhnya kemajuan kita tidaklah terjadi oleh faktor semangat menyerap seluruh kebudayaan asing (Barat dengan semangat modernisasi termasuk modernisasi agama) yang pada bagiannya justru sangat bertentangan dengan budaya, tradisi dan pandangan hidup kita. Misalnya sekulerisasi. Apa yang ditunjukkan oleh kemajuan Jepang dalam berbagai bidang ilmu tidaklah ditentukan oleh semangat taklid buta dalam mengadopsi dan mengadaptasi semua segi-segi kebudayaan Barat. Mereka hanya mengambil yang bermamfaat saja dari kebudayaan titisan bangsa Romawi itu. Untuk memperkuat tesis ini, cukuplah kita menampilkan fakta negara Turki yang tidak mengalami kemajuan apapun ketika Mustafa Kamal melakukan modernisasi dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk wilayah agama
Bahwa ternyata untuk memajukan sebuah peradaban yang maju, terhormat dan beradab haruslah bertitik tolak dan berlandaskan pada ilmu dan pendidikan, maka tentu saja langkah awal utama dan yang pertama adalah meningkatkan mutu dan kualitas serta sumber daya manusia sebanyak mungkin. Hal ini karena manusia adalah subyek atau pelaku peradaban. Manusia harus diberi penyadaran bahwa kesadaran berperadan merupakan bagian dari kesadaran akan penciptaan (kesadaran transendental). Saya ingin mengatakan, bahwa manusia yang tidak mau berperadan di atas muka bumi ini, susungguhnya itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tujuan penciptaan dan risalah. Di sinilah peran penting lembaga pendidikan, baik yang formal maupun informal (utamanya keluarga) menyadarkan manusia muslim dan menghantarkan mereka pada kualitas insan kamil sehingga mereka mampu mewujudkan visi misinya sebagai abdullah dan khalifatullah.
Konsep abdullah dan khalifatullah adalah dua Gagasan dan isu yang paling fundamental dalam al-Qur’an setelah tema tauhid. Konsep inilah yang menjelaskan kepada kita bahwa dalam konsepsi al-Qur’an, menegakkan peradaban adalah merupakan salah satu aspek ibadah yang terbesar kepada Allah Swt. Karena hanya dengan peradaban-lah kita mampu menampakan keagungan, keindahan dan keunggulan-keunggulan agama dan ajaran Tuhan (baca: Islam) kepada dunia. Menegakkan peradaban Islam, kunci penting yang bisa mewujudkan visi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Tentu saja semua itu diperoleh dari usaha-usaha pendidikan yang kita lakukan secara sadar yang seluruh desain kurikulumnya kita elaborasi dari konsep-konsep Islam tentang ilmu dan pendidikan. Apa yang ditegaskan di atas, menjadi dalil dan hujjah bagi kita, bahwa dualisme kurikulum tidak menemukan tempatnya dalam sistem metafisika pendidikan dan epistimologi Islam. Dualisme kurikulum, seperti yang ditegaskan oleh al-Faruqi akan menyebabkan keislaman siswa akan melemah dan akan menjadi pintu masuknya pemikiran sekularisme dalam struktur pemikiran kita. Maka berdasarkan bimbingan konsep ilmu, kita memandang bahwa ilmu naqliyyah (baca ilmu agama) dan ilmu aqliyyah (meliputi disiplin ilmu kedokteran, fisika, biologi, matematika, filsafat, sastra dan lainnya) sama pentingnya, walapun tingkatan keutamaannya berbeda dalam sistem klasifikasi ilmu. Seperti yang ditegaskan oleh imam al-Ghazali dalam sistem klasifikasinya, dimaba dia menempatkan ilmu agama sebagai ilmu fardhu ain (kewajiban individu) dan menempatkan ilmu naqliyah sebagai ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Dan ini, seperti yang dikatakan oleh imam al-Ghazali, adalah merupakan keadilan, hikmah dan kearifan dalam ilmu. Bahwa kedudukan dan derajat keutamaan sebuah ilmu ditentukan oleh signifikansi fundamentalnya dalam kehidupan. Dan menempatkannya pada posisinya yang tepat adalah sebuah prilaku keadilan dalam ilmu.
Sesungguhnya masa depan Islam dan penganutnya secara tidak langsung akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyediakan jenis pendidikan bagi kaum mudanya yang berjalan dengan bimbingan wahyu dan tentu saja harus sesuai dengan minat, bakat dan aspirasi-aspirasi mereka. Sungguh kebangkitan dan renaisance masyarakat sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh kaum terpelajar, cendikiawan, intelektual, pemikir strategis yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Di sini, pendidikan bertanggung jawab menyediakan lapisan inti dari sebuah masyarakat. Jika konsep abdullah dan khalifatullah dalam pendidikan ini kita kaitkan dengan konsep ummah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan tujuan esensial dari pendidikan adalah menciptakan para pemimpin yang kharismatik, sistem yang baik, dan kelompok pengikut. Semua komponen makna yang terkandung dalam kata ummah, jika kita hubungkan secara terpadu, maka hasil yang kita dapatkan adalah terwujudnya masyarakat madani. Fakta ini, jika kita korelasikan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kepulauan Sapeken, kita akan temukan fakta, bahwa jumlah kaum intelektual di dalam masyarakat kita sangat minim dan akibatnya kita juga mengalami krisis kepemimpinan dan kelangkaan pahlawan. Bahwa kita kekurangan sumber daya manusia yang berkualiatas dalam seluruh lapangan profesi, jabatan dan keahlian, adalah kenyataan yang sangat memiriskan dan memilukan hati. Penyebab semua itu, menurut hemat saya, karena kita tidak memiliki pemahaman yang benar tentang konsep ilmu dan kaitannya dengan konsep khilafah dan ibadah serta ummah.
Lebih jauh saya juga ingin menegaskan, bahwa abdullah dan khalifatullah merupakan konsep yang paling fundamental dalam sistem metafisika pendidikan Islam. Dua gagasan ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki kesiapan dasar menegakkan peradaban Tuhan, karena manusia telah ditanam di dalam dirinya sifat-sifat Tuhan. Karena sifat-sifat ini tidak terbatas, maka kemajuan moral, spiritual dan intelektual manusia juga tidak terbatas.
Dua gagasan ini harus mampu dipahami secara benar dan adil oleh pra pendidik di lembaga pendidikan Islam. Sehingga dalam perumusan visi misinya, mereka tidak boleh melupakan dan melalaikan hakekat ini. Lembaga pendidikan Islam harus bertanggung jawab terhadap masa depan peradaban Islam, dengan merancang seluruh unsur-unsur pendidikan yang berbasis pada dua gagasan tersebut.
Dalam konteks ini, jika kita munasbahkan dalam konteks masyarakat kepulauan Sapeken, maka upaya kita dalam meningkatkn kualiatas pendidikan di kepulauan Sapeken, haruslah dimulai dari mengubah cara berpikir kita dalam memandang dan mempersepsi manusia muslim Sapeken. Yang saya maksud adalah, bahwa manusia muslim Sapeken tidak boleh dipasung lagi dalam lingkaran syetan profesi-lokalistik yang bisa menyebabkan kemiskinan strukutural (misalnya karena ayahnya nelayan, maka anaknya juga harus menjadi nelayan dan begitu seterusnya) Mereka harus dipandang sebagai seorang khalifah dan Abdullah, dan karena itu lembaga pendidikan yang ada di kepulauan Sapeken bertanggung jawab menghantarkan mereka pada gerbang itu. Sehingga eksistensi dari peran abdullah dan khalifah mereka tidak hanya sebatas lokal kepulauan Sapeken saja. Tapi Sapeken untuk Indonesia bahkan untuk dunia. Saya yakin, sangat sedikit sekali, untuk tidak menyebut semuanya, para pemikir pendidikan di kepulauan Sapeken melupakan dan melalaikan dua gagasan penting ini. Padahal Allah Swt berfirman:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan kepada manusia dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Ummat terbaik adalah cara al-Qur’an melekaktkan gelar kesarjanaan kepada kita. Istilah ini merujuk pada keadaan umat yang paripurna yang memiliki peran sejarah; menebarkan rahmat.
Demikianlah bimbingan wahyu kepada kita. Apa yang saya tulis di atas hanyalah muqaddimah dari mega proyek kita meningkatkan kualitas pendidikan di kepulauan kita yang tercipta. Namun sebelum saya pamit dari sidang pembaca mungkin ada yang bertanya, dimanakah hubungan antara dua konsep di atas dengan strategi pendidikannya? Nah....ada yang mau menjelaskan!!??

Sunday, April 13, 2008

MAHKUM ALAIHI

Konsep Dasar.
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’. jadi mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu zahrah menndevinisikan mahkum alaih dengan “orang mukallaf, karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dantermasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan
Secare etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampubertindak hukum,baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Dasar Taklif
Seorang mukallaf dianggap shah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua syarat:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Sementara kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang mempunyai akal itu dapat diterima pemahaman nya oleh akal mereka. Sebab akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu.
Jadi akal-lah yang menjadi raison de etre atau alasan utama adanya taklif dari Allah Swt. Imam al-Amidy mengatakan “Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan paham. Karena taklif adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak paham, seperti benda mati atau binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman global (mujnal) terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintaha atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau bahwa yang memerintah adalah Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu tuntutan dasar. Orang yang demikian dimaaafkan dalam hal tidak mampu memahami dalil taklif, karena talif tidak saja terganntung kepada pemahaman dasar tuntutan tetapi juga pada pemahaman yang terperinci (tafsiliy).”
Berangkat dari dasar filosofi hukum tersebut, maka pendidikan hukum di dalam Islam sangat menghargai nilai-nilai intelektualitas manusia, karena ketika Allah menurunkan aturan dan norma-norma obyekti kepada umat manusia, Allah Swt menjelaskan alasan dibalik pembebanan itu dengan melakukan dialog kepada akal manusia. Sehingga prilaku mukallaf di hadapan hukum Tuhan, bukan karena atas dasar paksaan, akan tetapi bertitik tolak dari pemahaman yang mendalam, bahwa semua itu dimaskudkan untuk memberikan kemaslahatan umat manusia. Inilah yang dimaksud dengan maqashid as-Syari’ah.
Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diindrawi secara lahiriyah, maka syar’i telah menghubungkan taklif dengan hal yang nyata dan dapat diindra, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yaitu kedewasaan. Maka orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempura untuk terkena beban hukum. Adapun indiksi kedewasaan manusia. Bagi laki adalah mimpi basah. Sedang bagi pereampuan keluar darah haidh. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nur: 59


“Apabila anakmu samapi umur baigh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti oarang-orang yang sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah orang gila dan anak-anak tidak dikenai baban hukum karena tidak adanya kal yang digunakan untka memahami apa yang dibebankan. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Sebagaimana Hadist Rasulullah:



”Diangkatlah pena itu( tidak dicatat amal perbuatan manusia)dari tiga orang: orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”.
Belaiu juga bersabda:


“Barang siapa yang tidur sampai tidak melakukan sholat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia sholatketika dia ingat, karena sesungguhnya waktu ingatnya itulah waktu sholatnya”
Namun, dalam syarat yang pertama ini bukan tidak terdapat permasalahan, kerena dalam beberapa hal, anak kecil adan orang gilapun dikenakan beberapa kewajiban seperti membayar zakat dari hartanya. Imam al-Ghazali, al-Amidy, adan asy-Syaukni menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar zakat fitrah,nafkah diri mereka sendiri dan ganti rugi bila mereka merusak atau menghilangkan harta orang lain. Bahkan para ulama sepakat bahwa adanya wajib zakat atas tanaman dan buah-buahan mereka. Hal ini jelas suatu taklif, sehingga mereka tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak kena taklif. Hanya saja taklif itu, tidak berkaitan atau lahir dari diri pribadi perbuatan anak kecil atau orang gila tersebut, tetapi berkaitan dengan harta mereka. Karenanya menurut ketiga ulama ushul yang tesebut di atas, bahwa dalam kasaus tersebut yang bertindak membayarkan zakat pada harta mereka, mengambil nafkah untuk diri mereka dan ganti rugi (dhaman) yang disebabkan kelalaian mereka adalah wali mereka masing-masing.
Seperti yang telah diegaskan bahwa landasan taklif adalah akal yang ditanamkan oleh Allah kepada diri manusia, yaitu akal yang kemampuannya tidak hanya memahami maksud khitab syar’i secara global, melainkan juga harus secara terperinci. Sementara khitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab?
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan “adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nas-nash bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka”
Itulah sebabnya, dalam perspektif fiqh belajar bahasa Arab merupakan kewajiban yang bersifat individu (wajib ‘aini) dan kolektif (wajib kifayah), karena bahasa Arab-lah satu-satunya yang menjadi wasilah dalam memahami hukum-hukum Allah yang wahyukan dalam bahasa Arab. Maka jika kita diwajibkan atau diperintah menegakkan dan mengejewantahkan hukum-hukum Allah (tathbiiqu asy-syari’ah), maka tentu juga kita diperintah untuk menegakkan sarana-sarananya, dan salah satu suprastruktur fundamental penegakan hukum Allah adalah mempelajari dan memahami bahasa Arab dengan baik. Terlebih lagi pada mellenium yang ketiga ini, dimana ada upaya sistematis dan tidak kenal lelah untuk memojokkan bahasa Arab dengan melebelinya sebagai bahasa yang konservatif, ketinggalan jaman dan predikat-predikat buruk lainnya. Sungguh kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga keagungan bahasa Arab ini.

Qaidah ushul mengatakan

“Sesuatu yang tidak menjadi sempurna melainkan dengannya, maka dengannya itu juga wajib”

2. Mukallaf adalah haruslah ahli (harus cakap dalm bertindak hukum) dengan sesuatau yang dibebankan kepadanya.
Berdasarkan konsep ini, maka seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang gila.
Kerena pembahasan ahli lumayan panjang, maka akan kami akan dibahas secara terpisah dalam sub judul

Konsep Dasar Ahliyyah
secara etimologi, ahliyyah maknanya adalah ash-shalahiyyah; kepantasan atau kelayakan. bila ada sesorang yang memilki kemampuan dalam satu bidang maka dia dianggap ahli.
Secara terminologi, para ahli ushul mendefinisikan ahlyyah dengan:


”Suatu sifat yang dimiliki sesorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan ahliyyah dengan “kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya oarng itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain dan pantas melaksanakannya.”
Dari kedua devinisi di atas, maka ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh aktivitas dan prlikakunya memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum. Pada tahap ini dia telah menjadi subyek hukum yang harus bertanggung jawab secara indepennden terhadap amal perbuatannya sendiri. Maka jika dia berzina, dia akan dirajam sampai meninggal dunia, bila ia pezina mukhson (telah dan pernah menikah). Bila ia melakukan aktivitas perniagaan, maka dianggap shah.
Karena yang menjadai subyek hukum (muhkam alaih/mukallaf) adalah manusia, sedang manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah didesain oleh Allah Swt, maka kemampuan bertindak hukum seseorang tidak datang secara sekaligus, melainkan secara evolusi melalaui tahapan-tahapan tertentu, sesuai tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahilyyah kepada dua bagian.
1. Keahlian wajib (Ahliyyatul al-wujub)
Keahlian wajib Ahliyyatul al-wujub adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. misalnya ia telah berhak menerima hibah, akan tetapi ia tidak sah memberikan hibah. Ia telah dianggap berhak menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk menegakkannya seperti sholat, zakat, maupun ibadah lainya. Kalaupun dia menunaikannya, semua itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan dan pembiasaan
Karena itu ahliyyah al-wujub ini, merupakan kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali. Keahlian wajib ini merupakan konsekuensi logis dari sifat kemanusiaan manusia yang telah diberikan kemampuan memahami dan dianugrahi keunggulan konpetitif (baca: akal) oleh Allah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Akal yang ditanamkan itulah yang membuat manusia mendapatkan keistimewaan sehingga memiliki kelayakan dan kepantasan (ash-shalahiyyah) mendapatkan hak dan kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama fiqh disebu dengan adz-Dzimmah; yaitu sifat naluri manusia yang denngan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk orang lain pula.
Maka keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai maupun bodoh. Tidak ada manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena keahlian wajib merupakan sifat kemanusiaannya.
Berdasarka konsep ini, maka seseorang yang baru lahir, apabila ada orang yang berwasiat kepadanya,maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga dengan seorang bayi, lalu ayahnya wafat, maka ia berhak atas pembagian warisan dari ayahnya. Hanya saja pengelolaannya tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang doberi wasiat memelihar hartanya), karena mereka belum dianggap cakap dan mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Jika kehalian wajib ini hibungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua bagian, yaitu:
a. Keahlian Wajib yang tidak sempurna.
Yaitu mukallaf layak mendapatkan hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam kandungan. Janin sudah dainggap memiliki Ahliyyatul al-wujub, tetapi belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak keturunan dari ayahnya, memperoleh bagian waris mendapatkan wasiat dan mendapatkan seperempat yang ditujukan kepadanya namun dia tidak wajib melaksanakan kewajiban itu bagi orang lain.
b. Keahlian wajib yang tidak sempurna
Yaitu jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini berlaku bagi seorang anak ayang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara umum, baik ia cakap atau tidak cakap.
Perlu ditegaskan, bahwa dalam status keahlian wajib (ahliyyatul al-wujub), baik yang sempurna maupun yang tidak, seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah maupun yang bersifat hukum-hukum duniawi. Namun demikian, menurut ksepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukakn tindakan yang berkaitan dengan hukum perdata yang merugikan orang lain, maka mereka wajib mempertanggungjawakannya dengan memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Akan tetapi jika perbuatannya berkaitan dengan tindak hukum pidana, sepert seorang anak kecil yang melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum aaak kecil yang memilkiki ahliyyatul wujub tersebut, belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia belum dia dianggap cakap bertindak hukum, sehingga hukumannya-pun cukup dengan dikenakan diyat.
Adapau bagi oarng yang memiliki status ahliyyah al-ada’, apabila melakukan tindakan hukum perdata mapun pidana,maka ia beratnggung jawab secara penuh. Ia bahkanbisa diqishah jika membuh nyawa manusia.

2. Keahlian Melaksanakan (ahliyyah al-ada’)
Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknakan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang lain kerena pebrbuatannya.
Jadi, keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana seorang mukallaf telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di hadapan hukum.
Para ulama ushul telah sepakat bahwa masa datanganya Ahliyyatul al-ada’ menurut syara’ adalah bersamaa dengan tibanya usia taklif yang ditandai dengan akal dan baligh. Dalam hal ini mereka mendasarkan pendapanya dengan merujuk kapada surah an-Nisa’: 46



“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudia jika menurut pendapatmumereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka”
Menurut ulama ushul fiqh, kalimat cukup umur dalam ayat ini merujuk pada pengertian seseoramg yang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan haid bagi perempuan.
Jadi Tolak ukur ahliyyah al-ada’adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.
Manusia sebagai subyek hukum, bila dikaitka dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada tiga bagian, yaitu:
a. Terkadang tidak memiliki keahlian sama sekali
Keadaa ini dimilki oleh anak kecil dan orang gila, karema keduanya belum memiliki, sehingga mereka belum memilkiki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakuakan akad jual beli, akad mereka dianggag batal. Maka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum perdata maupun hukum pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat harta, bukan pada fisiknya. Inilah makna aksioma yang dirumuskan oleh ahli fiqh

“Kesengajaan anak kecil atau orang gila termasuk keliru
b. Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna
Keadaan ini terjadi pada bayi di uia tamyiz sampai dewasa termasuk oarng yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk konsdisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap shah melakukan pengeloloaan yang bermamfaat (possitif0 untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya
c. Terkadang manusi memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang baligh dan berakal sehat. Pada fase ini, aeluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’; 5.

Penghalang Keahlian (awarid al-ahliyyah)
Karena yang menjadi subyek hukum itu adalah manusia dimana alasan penetaapan taklifnya adalah adanya akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia dan kondisi mereka yang telah balig. Akan tetapi karena manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah digariskan oleh Allah,di mana mungkin saja, manusia itu pada satu titik kehidupannya, akal mereka melemah, berkurang bahkan mungkin menghilang, sehingga mereka kemudian dia dianggap tidak layak dan pantas bertindak hukum. Disini kita menemukan sisi humanistik hukum Islam. Islam dalam berbagai demensinya sepanjang sejarah kemanusiaan, akan tetap sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Allah yang telah menciptakan kita, maka tentu saja Dia pulalah yang lebih tentang kebutuhan kita.
Sesungguhnya keadaan manusia yang demikian itu, terkadang menyebabkan mereka terhalang dari aktivitas-aktivitas hukum. Para ulama ushul memabagi sifat pengalang itu kepada dua bagian, yaitu:
1. ‘Arid Samawiy, yaitu halangan yang datangnya dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan dan diusahakan oleh manusia, seperti gila
2. ‘Arid Kasbiy, yaitu halanganyang disebabkan oleh manusia. Halangan ini ada sumbernya ada dua:
a. dari diri sendiri, yaitu mabuk, alpa
b. dari orang lain seperti dipaksa




KESIMPULAN & PENUTUP

Mahkum alaih merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam disiplinn ilmu ushul fiqh. Dikatakan penting karena dalam pokok bahasannya dijelaskan beberapa konsep penting dan fundamenntal yang terkait dengan eksistensi manusiasebagai pelaku atau subyek hukum. Dalam konsep ini ditegaskan posisi manusia di mata hukum. Ada dua syarat yang harus mereka miliki, sehingga mereka baru dianggap shah melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki implikasi-implikasi hukum. Konsep ini akan memberikan gagasan, ide dan referensi bagi para mujtahid , fuqaha, dan dan para qadhi dalam menilai aktivitas-aktivitas manusia.
Manusia sebagai subyek hukum, dalam konsep ini diperlakukan sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Konsep ini menegaskan bahwa penerapan hukum Ilahi kepada manusia selalu disosialisasikan dengan selalu melibatkan nilai-nilai intelektualitas manusia. Manusia senantiasa diajak berdialog untuk memahami kehendak Ilahi dibalik semua hukum-hukum itu. Karena itu Allah selalu menantang manusia untuk mencari adakah hukum selain hukum Allah yang paling baik. Sesungguhnya norma-norma obyektif yang diturukan oleh Allah tidak lain melainkan untuk kemaslahatan manusia.
Akhirnnya hanya kepada Allahllah kita serahkan segala urusan kita dan salah satu bentuk penyerahan itu adalah kita senantiasa selalu damai dan bahagia diatur oleh hukum-hukum Allah. Maha benar Allah dalam perkataannya “dan tiadaklah Aku mengutusmu hai Muhammad, melainkan untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam”

Surabaya 3/04/2008
Penulis

HIWAR HARAKI

Sabtu pagi yang cerah, saya dan segenap rombongan BEM STAIL, bertolak dari kampus peradaban, begitu kami menyebut kampus hijau ini, tepat pukul 07.00 wib. Suasana Surabaya pagi dikala mentari masih malu-malu menampakkan badannya, memang sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan suasana kota metropolis di tengah hari. Suasana Surabaya di tengah hari akan meliarkan imajinasi anda yang membawanya pada pembayangan suasana di padang makhsyar kelak. Dan ini jauh berbeda diwaktu pagi, kondisinya memang agak mendingan, walaupun tetap saja yang namanya polusi udara, tetap komitmen berdemontrasi dijalanan. Entahlah sampai kapan mereka akan begitu ???
Agenda BEM kali ini, melakukan silaturrahim dengan bebarapa organisisasi pergerakan mahasiswa di kota Pendidikan; Malang, Jawa Timur. Kunjungan dipusatkan di BEM-BEM pada tiga perguruan tinggi papan atas di kota pelajar itu; BEM UIN, UMM dan UNIBRAW. Diharapkan dengan wisata pergerakan ini, BEM STAIL mampu membangun komunikasi dan jaringan yang kuat dan dapat menimba ilmu dan pengalaman, sehingga sehingga ke depan mereka mampu melakukan perbaikan perbaikan yang komprehensif, baik dalam aspek manajemen, struktur, metode pergerakan (manhaj haraki), dan program program strategis dalam tubuh organisisasi. Dengan begitu BEM STAIL diharapkan memiliki peran yang sangat strategis dalam usaha-usaha mencerahkan dan mencerdaskan manusia muslim indonesia secara khusus, dan manusia Indonesia secara umum.
Karenanya kunjungan kali ini, saya menyebutnya dengan hiwar haraki (dialog pergerakan). Istilah ini mengisyaratkan bahwa gerakan mahasiswa Idonesia harus mampu menyamakan persepsi tentang agenda-agenda keummatan dan kebangsaan yang harus dibahas dan dilakukan. Mereka dengan semangat keiklhlasan dan visi kemanusiaan yang bediri di atas nilai-nilai kebenaran universal, mampu memberikan solusi solusi yang cerdas, rasional argumentatif, dan meyakinkan terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara dan pada waktu yang sama aktif melakukan pembenahan dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Mereka dengan semangat jihad intelektual yang kokoh mampu meluluhlantakkan krisis multidimensi yang melilit bangsa ini. Hiwar haraki akan membuat mereka mengalami dan melakukan pengayaan dan penguatan-penguatan visi politik, keagamaan, budaya dan pemikiran.
Hiwar haraki adalah konsep yang menegaskan bahwa ”kita bekerja dengan apa-apa yang kita sepakati dan kita saling menhormati dengan perbedaan-perbedaan persepsi yang kita dapati”. Hiwar haraki akan menjembatani lahirnya aliansi strategis di dunia pergerakan mahasisawa. Sebuah aliansi yang membuat mereka berani menyatukan persepsi tentang bagaimana melakukan perbaikan (ishlah) di semua sektor kehidupan bangsa dan negara. Maka perbedaan agama, suku, budaya, dan latar belakang sosial dan pendidikan, tidak lagi dijadikan alasan untuk menghalangi niat mereka menyatukan langkah menata kembali taman Indonesia tercinta.
Akhirnya dengan hiwar haraki yang konsisten dan berkelanjutan yang dikerudungi dengan semangat keikhlasan yang kokoh, tradisi ilmiah yang kuat, dan budaya toleransi dan saling menghargai yang baik, akan mampu menghantarkan kembali dunia pergerakan mahasiswa pada fitrah dan takdirnya sebagai pelaku perubahan perbaikan dalam sejarah. Takdir primordial ini, hanya akan terwujud dengan sempurna bila “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” tidak lagi sekedar lagu yang dinyanyikan secara fasih, tidak lagi sekedar retorika yang dkhotbahkan mendayu-dayu, melainkan telah membumi dan menjadi realitas sosial budaya kita; dia menhunjam kokok dalam struktur kepribadian kita. Dan tahukah kamu bagaimana semua itu akan menyejarah? Hanya dengan hiwar haraki, insya Allah
Semoga Allah menyatukan hati-hati kita yang berserakan ini dalam semangat keislaman dan kebangsaan.

REVITALISASI PERAN PESANTREN

Oleh Umar Hadi

Zaman telah menemukan takdirnya dalam suatu fase sejarah yang baru.; globalisasi. Dalam faseini, batas batas territorial dan geografis suatu bangsa sudah tidak memiliki fungsi dan makna lagi. Betapa tidak, karena dalam abad –yang biasa disebut dengan abad informasi- sejarah telah dan akan menyuguhkan drama baru sepanjang sejarah kemanusiaan. Di mellinium yang ke tiga ini, suatu bangsa, masyarakat, komunitas dan individu saling terkoneksi dalam satu jaringan internet global yang sangat memungkinkan mereka saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Maka dunia dalam abad ini hanyalah sebuah global village. Dunia tak ubahnya seperti selebar daun kelor. Maka kita-pun akan menyaksikan the end of history; akhir sebuah sejarah dengan kematian konsep nation state. Maka manusia dalam abad ini mendapatkan dinamika baru dalam hubungan inter-relasi sosial kemasyarakatan mereka.
Sesungguhnya loncatan sejarah ini, lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan yang sangat pesat dan dahsyat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi informasi dan transfortasi yang terjadi di negara-negara barat, utamanya amerika dan Eropa. Sejak ledakan itu jadilah kita sebagai sebuah masyarakat global dengan budaya global yang baru. Tentu saja, budaya global ini lebih banyak diwarnai oleh budaya barat, dan ini tidak mengherankan. Karena merekalah yang memegang kendali dalam bidang teknologi dan informasi. Maka budaya global itu pun kemudian disebut oleh para sosilolog dengan westerenisasi, dan karena Amerika yang paling dominan, maka mereka juga mengistilahkan budaya global ini dengan Amerikanisasi.
Disinilah masalahnya, budaya global itu tentu saja dalam banyak bagiannya, tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan budaya kita sebagai seorang muslim. Secara pribadi saya merenung, bahwa fakta ini merupakan suatu ironisme dalam posisi sebagai khaira ummah. Seharusnya kitalah yang bertugas menwarnai dan mengarahkan jalannya sejarah. Sungguh kita adalah sebuah anomali dalam puisi Iqbal.

BARAT DAN BUDAYA GLOBAL
Budaya adalah suatu konsep multidemensi yang tidak dapat dengan mudah dideviniskan. Konstruksi suatu budaya memungkinkan untuk berada di setiap level yang berbeda-beda disemua populasi, baik di desa, kota pedalaman dan metropolis. Budaya juga melampaui batas suatu idiologi dan substansi identitas individual dalam masyarakat (Al-Roubaei, majalah Islamia 2005)
Budaya global yang disebarluaskan globalisasi adalah budaya barat yang bertujuan menebarkan suatu produk yang homogen. Penyebaran budaya barat, dalam hal in yang paling dominan adalah Amerika, dengan budaya hedonisme, konsumerisme yang bertitik tolak dari pandangan hidup yang positivistik materialistik, telah melanda dunia. Parahnya, tidak sedikit yang terpengaruh dengan budaya ini. Maka globalisasi (baca: amerekanisasi) ini telah melakukan, apa yang disebut oleh Pfof .Amer al-Roubaie dengan- “imprealisme budaya” (cultural imprealisme) yang ditandai dengan homogenisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (pakaian), dan though (pemikiran). Tentang imprealisme budaya ini, seperti yang dikutip oleh Adian, lebih jauh dia mencatat “Telah dipahami secara luas bahwa gelombang tren budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan poduk Barat menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media massa dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahan budaya (culural imprealisme) penjajahan media (media imprealism), penggusuran kultural (culural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency) dan penjajahan elektroik (electronik colonialsm) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global Baru serta berabagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat (Adian, 2005).
Globalisasi budaya global ala amerika, telah menjadi kiblat generasi muda muslim. Kitapun menyaksikan gaya anak muda muslim yang telah terbaratkan, jauh dari nilai-nilai Islam. Banyak dari mereka yang menjadi penganut mazhab free sex dan mazhab free-free lainnya. Dalam mazhab kebebasan berpikir dan berekspresi misalnya, kitapun dikagetkan dengan pernyataan bahwa homoseksual dan prilaku seksual menyimpang yang lainnya, adalah sah-sah saja sepanjang tidak merusak dan mengganggu orang lain. Mereka kemudian menganut filsafat relativisme, tidak ada kebenaran mutlak walaupun nilai-nilai itu dari agama.
Penyebaran atau penyerangan yang dilakukan oleh negara dan Amerika dengan budaya global, tidak hanya terjadi dalam ranah yang bersifat material, tetapi juga bersifat immeterial; pemikiran. Bahkan program penyebaran virus dalam bidang ini, mendapatkan perhatian yang cukup lebih. Negara-negara barat, menghabiskan dana jutaan dolar untuk membiayai program ini. Di bukalah program beasiswa seluas-luasnya yang ditawarkan kepada mahasiswa muslim untuk belajar di negeri-negeri mereka. Program islamic studies misalnya, salah satu program yang ditawarkan oleh Barat untuk menghacurkan bangunan pemikiran Islam. Kontruks epistimologi Islam yang taken for granted kemudian ingin di dekontruksi dan menggantinya dengan epistimologi Barat yang berbasis pada filsafat humanisme, rasionalisme, dan positivisme Sehingga tidak sedikit, lulusan program ini banyak yang meragukan kebenaran Islam. Bahkan yang lebih parah, mereka menghujat Islam, misalnya mereka dengan lantang mengatakan bahwa kitab suci al-quran tidak otentik dan tidak terjamin orisinalitasnya. Maka Barat-pun telah melakukan apa yang diistilahkan oleh Ziauddin Sardar dengan “Kolonialisme epistimologis”. Inilah serangan budaya pemikiran yang secara sistematis, strategis dan terencana oleh Barat untuk menghancurkan seluruh khazanah bangunan keagungan peradaban Islam.
Untuk memuluskan program penyebaran virus pemikiran ini, Barat juga pada waktu yang sama menghabiskan biaya jutaan dolar untuk membantu pendanaan lembaga-lembaga dan proyek orientalisme yang berusaha dengan sekuat tenaga mempelajari tentang cara berpikir, kekayaan intelektual, budaya, dan peradaban kita. Gerakan orientalisme kemudian dikesankan sebagai gerakan intelektual murni karena menggunakan metodologi penelitian ilmiah dan obyektif. Padahal, tujuannya dalam rangka memuluskan proyek penjajahan mereka di negara-negara muslim. Karena dengan mengetahui cara berpikir kita, mereka akan tahu cara bertindak kita. Di sinilah kita menemukan keterkaitan yang erat antara gerakan orientalisme dan imprealisme, kata Anis Matta
Karena itu sifat alami dari proses budaya globalisasi ini adalah untuk menyatukan pemikiran dan memfokuskan pandangan masyarakat dunia untuk menggunakan kode etik, nilai-nilai dan pandangan hidup (worldview) yang besumber dari Barat. Semua itu dimaksudkan untuk meneguhkan dan memperkuat hegemoni intelektual dan kebudayaan mereka. Dengan demikian, globalisasi yang melibatkan seluruh kekuatan media elektronik komunikasi, jaringan industri per-filman, merupakan agenda penting Barat dalam melakukan pencucian otak (intellectual brainwashing), yang pada akhirnya kita dan masyarakat dunia lainnya akan menilai dan menerima budaya dan peradaban barat dengan lapang, dengan menganggapnya sebagai sebuah peradaban yang agung lagi luhur.
Imprealisme ini telah meluluhlantakkan budaya-budaya lokal yang sebelumnya dipegang teguh oleh masyarakat muslim. Bahaya dari budaya global ini berbentuk pemaksaan untuk digunakannya idiologi asing, konsep dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan nilai-nilai barat yang tidak islami. Serangan budaya Barat menghantam seluruh sisi kehidupan kita, mulai dari aspek aqidah samapi muamalah. Dalam bidang politik, kita dipaksa untuk menggunakan demokrasi liberal. Sungguh posisi kita sebagai seorang muslim dalam pertarungan ini, kalah telak. Konsekuensinya banyak dari kita kemudian terbaratkan (westernized) bahkan lebih barat dari orang barat sendiri.
Tetapi tentu saja, sebagai seorang muslim kita memiliki tanggung jawab sejarah yang harus kita tunaikan. Kita boleh kalah tetapi haram untuk menyerah, sehingga kita menerima dan mengamini budaya dan peradaban Barat yang bertentangan dengan wahyu.

REVITALISASI PERAN PESANTREN
Pesantren adalah kubu pertahanan mental umat, kata Dr. Muhammad Natsir. Jika zaman ini kita diperang dalam bidang pemikiran dan budaya, maka tentu peran pesantren sebagai lembaga pendidikan vital sangat penting peranannya dalam peperangan ini. Kita harus mengulang kembali ide kita tentang pesantren dengan memaknainya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang perannya tidak hanya bertanggung jawab menghasilkan sosok manusia yang hanya ahli dalam bidang agama saja, tetapi juga bertanggung jawab menelurkan manusia-manusia muslim yang memiliki kualifikasi manusia muslim abad 21
Yang kita maksud dengan manusia muslim abad 21 adalah invidu muslim yang memiliki kemampuan berdebat dengan zamannya. Mereka memilki keunggulan dalam sistem pertahanan kepribadian mereka sehingga tidak akan terkontaminasi dengan budaya barat. Bahkan pada waktu yang sama , dengan kepribadiannya mampu menebarkan pesona dan aura sehingga manusia yang tertarik mengikuti dan meneladinya. Semua itu karena mereka telah memiliki kekuatan spritual yang dahsyat, sebab iman di dalam struktur hati dan jiwa mereka telah tertancap kokoh. Iman mereka telah melalui tiga stadium; teoritis, emosional dan aplikatif. Iman inilah yang menjadi sunber imunitas, menjadikan mereka memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit pemikiran dan budaya. Dalam kaitannya dengan ini pesantren harus mampu mengembangkan metode pendidikan ruhani (tazkiyyah an-nafs) yang shahih yang mampu memupuk rasa keimanan yang kokoh di setiap insan muslim. Sungguh iman adalah cerita tentang keajaiban. Saat naiknya iman adalah saat kejayaan, saat turunnya iman adalah saatnya kemunduran dan kehinaan, kata imam an-Nadawi
Manusia muslim abad 21 ini juga harus memiliki kekuatan intelektual yang kuat, sehingga mereka mampu menyampaikan argumentasi secara rasional dan menyakinkan secara emosional tentang kebobrokan budaya dan peradaban Barat, dan pada waktu yang sama mereka juga memiliki keterampilan yang canggih dalam menjelaskan keunggulan dan keagungan peradaban Islam
Mereka juga memiliki kompetensi dan perfomance dalam mengaplikasikan konsep-konsep islam dalam tataran praktis. Misalnya mereka punya keterampilan dan keahlian dan mengejawantahkan konsep Islam dalam bidang ekonomi, sehingga mampu mematahkan seluruh argumentasi sistem ekonomi kapitalis, baik dalam tataran fondasi filosofisnya maupun fondasi teoritis praktisnya. Singkatnya, manusia muslim abad 21 ini, seperti kata Anis Matta, haruslah memiliki tingkat afiliasi, partisipasi dan kontribusi yang sempurna dalam mega proyek rekontruksi peradaban Islam.
Tentu saja semua itu sangat mungkin bisa terwujud, karena dalam paradigma metafisikan pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai khalifatullah yang bisa ditanamkan dan diwujudkan di dalam dirinya sifat-sifat Tuhan. Karena sifat-sifat ini mempunyai dimensi tidak terbatas, maka kemajuan intektual, moral, spiritual dan fisikal (psikomotorik) manusia juga tidak terbatas. (Ashraf, 1984). Lihatlah sejarah, maka disana pasti kau lihat manusi-manusia muslim tidak hanya memiliki satu demensi. Mereka adalah ilmuwan yang menguasai tran-disipliner.
Untuk mewujudkan sasaran pendidikan itu, maka pesantren harus merancang dan mendesain kurikulum, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, alat bantu mengajar dan lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan kondisi dan tantangan jaman, dibawah panduan metafisika, nilai-nilai dan pandangan hidup Islam. Jadi semua unsur-unsur kurikululum itu harus bertitik tolak dari epistimologi pemikiran pendidikan Islam dan tuntutan kebutuhan kontemporer kaum muslimin. Harapannya, dengan desain kurikulum ini, kita akan mampu menghasilkan intelektual muslim kaffah, eksiklopedis, profesional dan memiliki semangat pengabdian yang tulus terhadap Islam. Mereka memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu yang dengan ilmu mereka mampu merespon persoalan jamannya secara cerdas. Hal itu karena tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam sangat besar sekali.
Pesantren juga harus mampu merumuskan dan mendakwahkan prisip-prinsip epistimologi Islam kepada masyarakat Islam. Filsafat sains Islam yang secara diametral sangat bertentangan dengan Barat, haruslah mampu dipahami oleh setiap generasi muda muslim, sehingga mereka tidak terpengaruh dengan epistimologi Barat. Generasi muda muslim harus mampu menjelaskan keunggulan dan keistimewaan epistimologi Islam, dan pada waktu yang sama mampu menemukan kesalahan-kesalahan fundamental epistimologi Islam. Rangka pikir epistimologi Islam ini sangat mendesak untuk segara dirumuskan dan diajarkan kepada generasi muda muslim, mengingat ilmu-ilmu yang ada, seluruhnya dibangun berdasarkan atas filsafat ilmu barat yang sekuleristik yang menyebabkan kerancuan ilmu atau dalam bahasa Al-Attas “The corruption of knowledge”. Akibat problema epistimologi ini, banyak ilmuwan-ilmuwan yang kebingungan dan mengalami kelumpuhan pikiran (paralysis of mind). Para ilmuwan itu tidak mampu memahami setiap realitas yang mereka temui, karena ilmu mereka tidak memiliki persepsi dan basis yang kuat pada fondasi nilai-nilai ketuhanan, ketuhanan dan kemanusiaan yang benar. Inilah yang menyebabkan peradaban Barat tidak mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan bagi masyarakat dunia. Dengan demikian, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang secara tanpa kompromi besifat universalis dimana semua cabang ilmu pengetahuan dikembangkan di dalam kerangka etik dan metodologis yang tak tak diragukan lagi bersifat Islami (Sardar, 1998)
Di samping itu, peran pesantren yang juga harus segera ditunaikan adalah menumbuhkan semangat jihad dalam maknanya yang utuh. Semangat jihad ini harus ditumbuh kembangkan di semua lapisan masyarakat muslim, utamanya di kalangan generasi muda muslim. Jihad merupakan daya kreatif yang akan mengaktifkan seluruh potensi manusia muslim. Semangat jihad harus ditanamkan dalam struktur kepribadian seorang muslim, yang membuat mereka memiliki ghirah dan elan vital yang dahsyat untuk menunaikan amanah mereka sebagai abdullah dan khalifatullah. Jihad ini penting mengingat situasi politik global yang senantiasa menempatkan seorang muslim yang layak diperangi. Samuel Huntington, dalam tulisannya di majalah Newsweek Special Davos Edition yang berjudul The Age of Muslim Wars, dia menegaskan bahwa “politik global masa kini adalah perang terhadap muslim”.
Jadi, semangat jihad, merupakan usaha sungguh-sunguh dan kreatif dalam usaha merekonstruksi kembali peradaban Islam, karena hanya dengan membangun peradaban, baik dalam level suprastruktur dan infrastrukturnya, kita bisa berbuat adil terhadap Islam. Islam akan bisa memainkan peranannya dalam abad ini, jika Islam mampu menjadi peradaban yang sejajar atau bahkan lebih dibanding dengan peradaban Barat dengan memberikan solusi terhadap seluruh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern. Itulah sebabnya, peradaban yang kita konstruksi haruslah mampu menampakkan keunggulan dan keistimewaan bila dibandingkan dengan peradaban yang lain. Peradaban yang kita bangun itu haruslah bertitik tolak dari epistimologi Islam, karena epistimolologi merupakan elan vital yang berfungis sebagai operator mayor yang menstransformasikan visi pandangan dunia (worldview) ke dalam realitas. Di sinilah ijtihad harus ditumbuhkembangkan kembali, sebab ijtihad merupakan istitusi strategis Islam yang memiliki kemampuan dalam menjawab segala persoalan dan dinamika jaman. Ijtihad, kata Iqbal, adalah the principle of movement in Islam
Peradaban Islam juga harus memiliki sistem pertahanan yang kuat sehingga ketika terjadi benturan peradaban, kita tidak terseok kalah. Kita telah mendapatkan sertevikat kemenangan dari Tuhan dengan janji-janji-Nya yang terdapat dalam wahyu-Nya (QS. 21: 105/58: 21). Marilah kita membutktikan kebenaran itu dalam dunia fakta-fakta. Kebenaran normatif haruslah menjadi kebenaran historis.
Dengan demikian, Pesantren harus segera memikirkan ide dan mempunyai dana yang cukup untuk bagaimana melahirkan SDM-SDM yang berkualitas; sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi sebagai manusia muslim abad 21. di sini pesantren harus menjadi basis kaderisasi yang kokoh bagi terwujudnya insan-insan muslim yang berkuaalitas. Karena peradaban adalah kehidupan itu sendiri, maka pesantren harus mampu melahirkan SDM-SDM dalam seluruh jenis profesi dalam semua keahliannya, dimana semangat keislaman mereka dan pengetahun mereka terhadap konsep-konsep fundamental Islam, tidak diragukan lagi. Inilah tujuan strategis pesantren dalam konteks usaha merekontruksi peradaban Islam pada zaman modern ini. Konsekuensinya, model pesantren yang tidak mampu mengakomodasi beberapa hal yang tersebut di atas, harus segera direformasi dan disesuaikan dengan pandangan Islam tentang ilmu dan lembaga pndidikan.
Seorang muslim lulusan pesantren haruslah memiliki kesadaran politik terhadap situasi global. Dia harus senantiasa melakukan pengayaan dan penguatan-penguatan pada visi misi politik Islam. Kesadaran itu muncul karena ia adalah khalifatullah yang bertanggung jawab memakmurkan dunia. Dia adalah adalah khaira ummah yang harus mengarahkan, membimbing dan mengawal jalannya sejarah. Dia adalah ustazatul alam yang harus membimbing umat manusia kepada jalan tauhid. Maka dia harus mampu merespon situasi global itu secara cerdas. Atas dasar tuntutab inilah, seorang muslim abad 21 haruslah memiliki kemapuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang baik, selain bahasa Ibu dan bahasa Arab, sehingga mereka memiliki kesempatan mengakses seluruh informasi-infotmasi kontemporer dan mampu menjelaskan posisi dan perspektif Islam terhadap problem itu. Misalnya, manusia muslim abad 21 harus menyampaikan gagasan Islam tentang lingkungan dalam perspektif syariah -yang kita sebut dengan fiqh enviromental- dalam kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming).

PERAN PESANTREN HIDAYATULLAH
Pesantren Hidayatullah sebagai fenemona pendidikan pesantren yang memiliki jaringan luas dan kader-kader yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, dalam mengahadapi budaya global, tentu saja memiliki peran dan kontribusi yang sanggat signifikan, strategis dan fundamental. Pesantren Hidayatullah harus menjadi yang terdepan (fastabiqul khairat) dalam cita-cita mengobati penyakit pemikiran dan budaya yang telah menggorogoti umat.
Lihat dan tengoklah sejarah, ternyata pesantren itu mampu memainkan perannya dalam melakukan gerakan ishlah di tengah-tengah ummat yang mengalami penyimpangan dalam kehidupan beragama mereka. Sebutlah misalnya madrasah Qadariyyah yang didirikan oleh syekh Abdul Qadir Jailany. Madrasah ini yang paradigma pendidikannya banyak merujuk kepada pendapat imam al-Ghazali, karena syekh Abdul Qadir Jailani merupakan salah satu murid imam al-Ghazali mampu melahirkan kader-kader pemimpin ummat dalam segala kehidupan. Bahkan pesantren inilah yang menjadi rantai islah yang mulai padu dengan munculnya tokoh-tokoh penguasa yang sadar akan pentingnya ishlah seperti sultan Nuruddin Zanki dan diteruskan oleh putra angkatnya; sultan Shalahuddin al-Ayyubi, dimana dari tangannyalah kaum muslimin mendapat kemenangan dalam perang Salib. Patut dijelaskan, bahwa banyak alumni madrasah Qadariyyah ini yang menjadi penasehat politik dan militer bagi sultan al-Ayyubi, seperti Ibn Naja (Al-Kilani, 2007)
Dengan konsep SNW yang berfunsi sebagai basis idiologi dan metodologi yang canggih, pesantren Hidayatullah harus mulai beranjak dari sekedar berpikir dari memproduk ulama, tetapi juga harus mulai memiliki ide bagaimana mampu mengukhrijatkan pemimpin-pemimpin ummat dalam segala aspek kehidupan; ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Bukankah ending dari surah a-Fatihah adalah terwujudnya sebuah kehidupan yang menerapkan Islam secara kaffah.Ringkasnya, pesantren Hidayatullah dalam basis kaderisasimya harus bertotak tolak dari gagasan Islam Kaffah, karena Islam adalah agama yang kaffah, maka para kadernya harus juga mencerminkan univesalitas Islam. Hanya dengan inilah, pesantren Hidayatullah akan mampu mewujudkan visi misinya membangun peradaban Islam.