Sunday, June 1, 2008

TITIK TOLAK KEBANGKITAN

Kebangkitan Himas

Jangan lupakan sejarah, itulah khotbah sang proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia; Soekarno presiden pertama RI. Sabda itu, sampai kini masih melegenda dan tersimpan rapi di setiap benak kesadaran anak bangsa. Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, barangkali inilah yang memberi kita alasan kenapa peringatan tentang hari hari yang bersejarah, kerap kali kita lakukan. Dari sanalah kita akan mendapatkan kesadaran dan identitas kita kembali.
Di sini, tepat tanggal 28 Mei 2008, bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang ”besar”, sebagian anak bangsa memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Walaupun saya yakin haqqul yakin bahwa peringatan seabad kebangkitan nasional, tidaklah memberikan kita semacam pengertian bahwa bangsa ini memang telah bangkit, jika kata bangkit yang kita maksudkan, misalnya merujuk pada pengertian bahwa bangkit adalah malu, malu menjadi benalu, selalu minta melulu. Bukankah masih banyak di antara kita, utamanya pejabat publik, masih berbangga diri menjadi benalu. Lebih-lebih jika kata bangkit itu mengacu pada kebangkitan dalam sektor pendidikan ekonomi, dan politik
Hemat saya, dari pada mengatakan bahwa kita telah bangkit, rasanya lebih afdhal dan tepat, kalau sebaiknya kita menyakatan kita belum bangkit saja. Dengan begitu, kita akan berpikir bagaimana cara yang paling tepat menuju kebangkitan nasional. Mungkin, salah satu alasan kenapa bangsa ini sampai sekarang belum juga bangkit dan masih nyaman dilabeli sebagai negara ketiga, karena kita terpenjara dengan persepsi pikiran kita sendiri yang merasa telah mengalami kebangkitan. Akibatnya, kita merasa aman-aman saja dan tidak berusaha meledakkan potensi meraih kebangkitan, padahal masih banyak anak bangsa yang menjeri-jerit. Bahkan tepat di hari kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, pemerintah Indonesia dengan gilanya punya syahwat ingin “membangkitkan”(baca: menaikkan) harga BBM.
Karena itu, gagasan tentang bagaimana menuju kebangkitan nasional, harus menjadi gagasan dan cita-cita nasional yang sifatnya wajib ‘ain dipikirkan oleh orang yang masih mempersepsi dirinya sebagai anak bangsa, khususnya para mahasiswa muslim. Gagasan besar ini harus menjadi jihad intelektual kita sehari-hari. Tiada hari tanpa berpikir bagaimana agar bangsa ini keluar dari krisis multi demensi. Berpikir bagaimana agar bangsa ini bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan dan imprealisme dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum dan politik sosial budaya.

Kebangkitan; Sebuah Renungan Devinisi Kontekstual
Sengaja saya tidak mendevinisikan kata kebangkitan secara konsepsional. Biasanya devinisi yang memuat pemikiran-pemikiran abstrak, hanya bisa dimengerti oleh kalangan cendikiawan dan intelektual saja. Walaupun dari tangan merekalah, gerakan kebangkitan pertama kali menggema.
Karena renungan ini dimaksudkan sebagaian salah satu referensi dan provokasi bagi segenap anak bangsa secara kaffah agar mereka tersengat untuk bergerak bangkit, maka sanya ingin mencukupkan diri dengan mendevinisikan kebangkitan sebagai sebuah kondisi dimana aku, kamu dan kita tak lagi punya kesempatan merasa, mendengar, melihat dan membaca ada anak bangsa yang meraung-raung kesakitan karena gizi buruk, ada rakyat yang mati mengenaskan karena berkompetisi mendapatkan BLT, ada saudara sebangsa yang menjadi ”budak” di negeri sendiri, ada dan ada kondisi yang mendorong nurani kita untuk berteriak lantang ”Kita harus bangkit”. Ringkasnya, kebangkitan itu adalah sejahtera, adil, makmur dan sentosa yang dalam realitas sosial cukuplah dibuktikan bila semua anak bangsa, utamanya generasi mudanya, punya kesempatan yang sama dan seluas-luasnya menikmati pendidikan yang berkualitas dan mencerahkan (the education of illuminating). Walaupun kebangkitan yang kita cita-citakan bersifat komprehensif meliputi semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana kita juga ingin bangkit dan mandiri dalam bidang ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya, namun penekanan contoh dan bukti pada kebangkitan dalam bidang pendidikan, sebab gagasan apapun tentang kebangkitan akan menjadi ide tong kosong, tidak akan pernah membumi bila perhatian dan prioritas kita terhadap pendidikan masih rendah. Bahkan saya berani berasumsi, kita tidak akan pernah mencapai kebangkitan, bila anggaran pendidikan kita masih rendah.
Dari devinisi itu, kita dapat menangkap sebuah isyarat bahwa kebangkitan merupakan konsep yang memuat unsur transformasi, perubahan, reformasi dan konsistensi. Kebangkitan adalah proses hijrah dari kondisi dan kultur yang lemah, tak berdaya dan terpasung menuju suatu keadaan yang kuat, mandiri dan berdikari. Kebangkitan merupakan kata yang menghendaki adanya sebuah kesadaran bergerak secara serempak, berjamaah, melibatkan semua komponen bangsa, untuk melakukan perbaikan di semua bidang dan sektor kehidupan bangsa dan negara. Di sini, kebangkitan dipahami sebagai komitmen dan gerakan intelektual, moral dan sosial yang dengan gagah berani meluluhlantakkan semua bentuk tirani , kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kedzalimandan ketidakdilan dan semua bentuk penyakit-penyakit sosial lainnya.
Dalam perspektif syari’ati-an, kebangkitan dimaknai sebagai gerakan pembebasan terhadap kaum mustadh’afin (baik yang tertindas secara politik maupun sosial) yang secara sadar dipilih oleh kaum cendikiawan dan intelektual (ulil albab) sebagai tugas dan tanggung jawab mereka. Inilah fakta yang kita dapatkan dalam sejarah, bahwa gerakan kebangkitaan nasional pertama kali digemakan oleh para intelektual yang bersatu dalam organisisasi Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Tentu saja cita-cita itu, menghendaki adanya sebuah sistem dan perencanaan yang matang, kebijakan strategis yang tepat yang pengambilan keputusannya melalui mekanisme musyawarah, sumber dana yang besar yang kemudian dalam pelaksanaannya harus bersifat gradual dengan menghormati hukum-hukum sosial (sunnatullah)

Mahasiswa: Insan Intelektual Penggerak Kebangkitan Nasional

Sejarah kebangkitan adalah sejarah yang mendramakan peran besar anak-anak muda dan mahasiswa. Semua kebangkitan yang tercatat di dalam sejarah, tak satupun yang terdokumentasikan kecuali menorehkan dengan tinta emas kepahlawanan para pemuda dan mahasiswa. Sebutlah, misalnya, revolusi Hongaria yang meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa pada tanggal 23 Oktober 1956. Bahkan mereka memelopori perlawanan terhadap negara adi kuasa di seantero kawasan Eropa Timur. Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an: gerakan di Prancis meledakkan Krisis 23 Mei 1968; mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator jendral Franco pada tahun 1965; hal yang sama juga terjadi di Italia, Belgia, dan negara Eropa lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak perlu aku reportasekan, cukuplah aku cuplikkan penggalan puisi Taufiq Ismail tentang peran pemuda dalam menumbangkan rezim Orba “Empat Syuhada berangkat pada suatu malam. Gerimis air mata tertahan di keesokan. Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu sedan. Mereka anak muda pengembara tiada sendiri. Mengukir reformasi karena jemu deformasi. Kartu mahasiswa telah disimpan di tas dan tas kuliah turun dari bahu. Mestinya kalianjadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu. Tapi Malaikat telah mencatat indek prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri”.
Itulah sebabnya, membayangkan sebuah kebangkitan tanpa keterlibatan peranan mahasiswa laksana mimpi di siang bolong. Keadaannya seperti senda gurau orang kampung “bagai meniup drum kempes”. Derajat dan tingkat probabilitasnya, hampir dikatakan mustahil jiddan. Kenapa? Karena kita tidak pernah sedikitpun mendapatkan fakta dalam sejarah, kecuali bahwa kebangkitan itu selalu saja digerakkan oleh para mahasiswa. Sejarah mengkhabarkan kita bahwa mahasiswalah yang menjadi lokomotif yang tanpa lelah berusaha menarik gerbong kebangkitan. Mereka selalu saja mendapatkan semangat ketika mereka mendakwahkan kebangkitan, perubahan, perlawanan kepada segenap lapisan masyarakat yang bisa melahirkan gerakan massa. Karena itu, dalam perspektif sosiologis, gerakan people power, hanyalah merupakan titik kulminasi dan akumulasi dari gerakan kebangkitan dan perlawanan yang telah lama diteriakkan oleh mahasiswa. Sebab rakyat pada dasarnya, tidak terbiasa bergerak, kecuali mereka diberikan kesadaran. Dan kesadaran bergerak itu, mereka dapatkan dari teriakan-teriakan keras para mahasiswa yang kerap kali bosan dan gelisah melihat ketimpangan sosial.
Mahasiswa sebagai penggagas utama dan akselarator kebangkitan, harus senantiasa memperbaharui kesadaran fitrah mereka sebagai aktor intelektual penggerak kebangkitan dan perubahan (agen of change) dengan cara selalu aktif mengembangkan sikap ilmiah, kritis dan meningkatkan frekuensi kepekaan sosial mereka. Jiwa mereka harus selalu mendidih setiap kali melihat kemungkaran. Budaya dan tradisi ilmu harus menjadi bagian integeral dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka. Penguatan-penguatan dan pengayaan pada visi keagamaan dan politik harus senantiasa mereka tingkatkan. Semua itu bisa didapatkan bila mahasiswa tidak pernah lalai melakukan, yang oleh al-Qur’an dinyatakan sebagai kerja “memikirkan penciptaan langit dan bumi”.
Dengan memikirkan penciptaan langit dan bumi mereka akan mendapatkan kesadaran transendental, bahwa gerakan kebangkitan, reformasi dan perubahan yang mereka lakukan, merupakan amanat rabbani dan tuntutan sosial. Bahwa dengan tafakkur terhadap penciptaan langit dan bumi, mereka akan memperoleh pengetahuan tentang faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya kebangkitan dan kejatuhan sebauh bangsa karena “mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS. 12: 111)” Dalam devinisi al-Qur’an, sosok manusia yang demikian ini disebut sebagai ulil albab. Mereka inilah, kata Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif, sebagai profil intelektual muslim
Karena gerakan kebangkitan hanya bisa digerakkan oleh para ulil albab, sebab “merekalah yang orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah (QS. 3:7), dan karena “merekalah yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, mengembangkannya dengan seluruh tenaganya, sambil berkata kami percaya ini semuanya berasal dari Tuhan kami (QS. 3: 7)”, maka seorang mahasiswa muslim harus berupaya merekontruksi kepribadiannya untuk menjadi sosok ulil albab. Dari sinilah kita merumuskan, bahwa gerakan kebangkitan itu bertititolak dari diri sendiri dengan melakukan gerakan pembebasan dari segala bentuk pemikiran yang menyesatkan, perlawanan terhadap segala bentuk hawa nafsu dan kedzaliman, dan pemberdayaan kepada semua bentuk potensi yang dianugrahkan oleh Tuhan. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah suatu kaum, kecuali kaum itu yang merubah diri-diri mereka sendiri, demikian distur ilahi tentang konsep kebangkitan. Sejauh yang dibayangkanoleh nabi tentang kebangkitan hanyalah bermula dari “Ibda’ binafsik; mulailah dari dirimu sendiri”. Sebab, kata pepatah, orang yang tidak punya apa-apa tidak akan mungkin bisa memberi.
Gerakan kebangkitan pertama, yang dimulai dari diri sendiri, kita menyebutnya dengan gerakan rekontruksi afiliasi yaitu gerakan mentarbiyah diri pada semua demensi kemanusiaan kita; dalam aspek kognitif kita mengisinya dengan ilmu yang benar, dalam aspek afektif kita mentransfusinya dengan iman yang kokoh dan dalam aspek psikomotorik kita menjadi “mukmin yang kuat itu lebih cintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah”. Tujuannya, agar kita menjadi seorang ulil albab (intelektual) sejati, manusia yang paripurna dan akhirnya menjadi pemimpin yang efektif. Jadi, dalam konteks proposal kebangkitan nasional yang harus kita lakukan adalah membangun dan mempercepat proses kepemimpinan yang visioner, keteladanan, kemampuan mengorganisisasi dan pengendalian serta mobilisasi. Persoalan kepemimpinan inilah yang menjadi problem akut bangsa ini. Sebab ada jurang yang sangat lebar antara idealisme (das sein) dan realitas (das solen). Sementara kita punya cita-cita yang besar memajukan negeri ini, namun kita tidak memiliki pemimpin yang mampu mengejewantahkan visi misi itu itu menjadi nyata. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Anis Matta “Krisis, pada hakekatnya adalah takdir setiap bangsa, tapi yang kita sesalkan saat terjadinya krisis itu kita kehilangan para pahlawan dan ketiadaan para pahlawan adalah isyarat kematian sebuah bangsa”
Sesungguhnya persoalan yang dihadapi bangsa dan negara ini sangat kompleks dan multidemensi yang menghantam seluruh persendian bangsa. Semua itu menuntut jihad dan ijtihad intelektual yang kuat, karena itu ilmu pengetahuan mereka haruslah multidisplinari dan interdisipliner. Sebab spesialisasi ilmu pengetahuan dan intelektualitas yang sempit, kata Jose Ortega Y, salah seorang filofsof Prancis yang paling berpengaruh selepas Niestzce, hanya melahirkan manusia biadab baru (a new barbarian). Kehadiran mereka tidak akan pernah bisa menyeselaikan masalah. Bahkan sebaliknya, malah menambah daftar benalu-benalu bangsa.
Dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. (Rakhmat: 1994). Orang yang tidak punya minat dan peka terhadap rangsangan-ransangan budaya, ia belum berhak dinamakan inetelektual, meskipun ia mungkin seorang yang titel kesarjanaannya berlapis-lapis. Alasan dibalik penanamaan itu, tentu saja, menegaskan adanya tanggung jawab sosial bagi seorang intelektual; mereka harus berani mengatakan kebenaran walaupun pahit, mereka dengan gagah dan jiwa ksatria menegakkan amar makruf nahi mungkar dalam bidang politik, hukum dan sosial budaya. Seorang intelektual tidak hanya menjadi seorang yang shaleh secara pribadi, tetapi juga harus saleh secara sosial.
Dengan kata lain, mahasiswa harus menjadi seorang pahlawan; menjadi pemimpin besar yaitu seorang yang berpikir, berjiwa dan bertindak besar. Seorang mahasiswa ideal harus mempersepsi dan melihat dirinya sebagai pribadi, aktor dan pelaku sejarah. Hanya dengan begitu mereka mampu merebut takdir mereka sebagai pahlawan kebangkitan. Sejarah univesal, kata Thomas Carlyle, adalah sejarah tentang apa yang telah dikerjakan manusia di dunia ini yang pada dasarnya adalah sejarah orang besar yang telah bekerja di sini (Sztompka. 2004)
Setelah mereka menunaikan tugas kebangkitan yang pertama, selanjutnya para mahasiswa muslim ini harus bergerak turun gunung dari alam ide, gagasan, dan konsep-konsep menuju rimba realitas sosial. Gerakan kebangkitan tahap ini kita menyebutnya tahap aktualisai dan kontribusi. Dalam tahap ini, mereka harus memiliki kesiapan intelektual dan mental yang membaja untuk melakukan pertarungan dengan setiap realitas sosial yang mereka temui dan kemudian berusaha keluar sebagai pemenang. Tugas kebangkitan yang kedua ini menghendaki mereka harus mampu mengindentifikasi, merumuskan masalah umat dan bangsa serta mencari, menemukan dan menyampaikan solusi-solusinya (problem solving). Mereka senantiasa memberikan pedoman dan mengarahkan arah kebangkitan sesuai dengan kapasitas mereka. Kongkritnya, mereka adalah orang yang disabdakan oleh sang penggerak kebangkitan dengan sabdanya yang monumental“yang paling terbaik diantara kalian yang paling banyak memberikan mamfaat kepada orang lain”. Mereka selalu memberikan pencerahan (aufklarung). Sungguh, yang kutahu renaisance bermula dari mereka.

Bangkit Indonesiaku Bangkit Sapekenku: Himas dan Masa Depan Bangsa
Sebelum kita lebih jauh mendiskusikan tema kebangkitan ini, mari kita berhenti sejenak dan berbisik secara halus kepada hati kita masing-masing “jika kita serius dengan komitmen kita membangun bangsa dan negara ini, sejauh mana tingkat kekayaan gagasan, ide, konsep, konsistensi, kesabaran, ketekunan, keberanian yang kita punya?
Perjalanan kebangkitan adalah jalan panjang mendaki yang melelahkan, pahit dan akan menguras tenaga pikiran dan fisik. Ini jalan kepahlawanan yang berdarah-darah. Ini sebuah jalan terjal yang mebutuhkan semangat keikhlasan dan kesungguhan. Ada harga yang dibayar disini; kita harus sepenuh hati merelakan kesenangan hari muda kita. Tapi kita telah memilih. Karena tidak ada seorangpun yang berani bergerak menyeleaikan pekerjaan besar ini. Pilihan ini, merupakan tanggung jawab sejarah yang harus kita tunaikan dengan baik. Maka ijtihad dan jihad dalam maknanya yang luas harus menjadi bagian integral dari tradisi kita. Tidak ada kata menyerah, karena orang yang kalah tidak akan pernah dicatat dalam sejarah.
Bahwa jalan menuju kebangkitan menyajikan berbagai macam menu tantangan yang menghadang, maka membangun etika hidup berjama’ah (baca: berorganisasi) merupakan sebuah keniscayaan. Di sinilah letak urghensi dan signifikansi HIMAS sebagai rumah perjuangan kita melakukan tugas kebangkitan itu, baik dalam skala makro maupun mikro. Dalam perspektif fikih, maka berorganisasi dalam rangka menunaikan tugas kebangkitan itu hukumnya adalah wajib karena menurut ilmu ushul fiqh “Apa-apa yang tidak menjadi sempurna melainkan dengannya, maka sesuatu itu juga wajib.
Dengan demikian, Himas sebagai rumah para pejuang kebangkitan dalam usaha mensejahterakab bangsa ini, wajib menegaskan satu hal di dalam dirinya suatu gerakan yang kita sebut dengan “gerakan kontribusi”. Gerakan kontribusi adalah gerakan yang menghendaki bagi semua anggota Himas untuk memberikan sumbangsih pemikiran maupun amaliyah nyata sesuai dengan kompetensi mereka masing-masing.
Dalam gerakan kontribusi ini, Himas perlu mengidentifikasi dan memetakan persoalan-persolan yang melilit masyatakat Sapeken pada khususnya, dan bangsa pada umumnya. Kemudian gerakan kontribusi ini juga harus menjelaskan wilayah kerja masing-masing anggota. Untuk itu Himas perlu melakukan inventarisasi terhadap semua daftar kekayaan ide, SDM dan finansial yang ada. Inilah tiga komponen kebangkitan yang harus dimiliki Himas jika kita ingin merebut takdir kita sebagai pahlawan kebangkitan. Pertanyaannya adalah, sejauhmana tingkat kepemilikan kita terhadap tiga komponen tadi. Qaidahnya, semakin kecil tingkat kepemilikan kita pada tiga komponen tersebut, maka semakin kecil pula tingkat kemungkinan kita meledakkan kebangkitan. Dan begitu sebaliknya.
Gerakan kontribusi ini akan meneguhkan posisi dan eksistensi Himas. Bisa dikatakan, bahwa keberadaan Himas sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi, distribusi dan kontribusi yang mereka lakukan dalam upaya pembangunan, perubahan dan kebangkitan di Kec. Sapeken. Hanya dengan banyak memberikan mamfaatlah, himas akan diperhitungkan. Dan bila tidak, takdir himas akan persis seperti kata pepatah Arab “Wujuudihi ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya”. Tentu hal itu tidak kita harapkan, namun takdir kehancuran dan kebangkitan sangat ditentukan oleh tangan-tangan kita sendiri. Karena takdir dalam pengertiannya yang paling ideal hanyalah pertemuan yang indah antara tangan Allah dengan tangan manusia.

Kesimpulan dan Penutup
Mungkin diantara sidang pembaca, ada yang belum begitu memahami keseluruhan bagian dari tulisan titik tolak kebangkitan ini. Karena itu ada baiknya saya rumuskan beberapa hal berikut:
• Pada mulanya ada cita-cita sejarah yang dibebankan kepada kita untuk membangun bangsa dan negara ini.
• Cita-cita itu kemudian diwujudkan dalam sebauh manhaj (metode) kebangkitan yang menjelaskan jalan menuju kejayaan peradaban
• Manhaj kebangkitan itu kemudian didukung oleh manusia-manusi yang beriman, memiliki akal raksasa, fisik yang kuat, semangat yang membaja, ikhlas dalam beramal, gagah berani, ulet, disipilin dan siap berkorban apa saja untuk mencapai kebangkitan itu
• Selanjutnya manhaj itu juga didukung oleh kepemimpinan yang kuat
• Dan juga didukung oleh organisisasi yang solid.
Keseluruhan rumusan itu, jika diringkas maka jalan menuju kebangkitan itu melalui tiga tahapan
• Tahapan konseptualisasi: Merumuskan konsep kebangkitan
• Tahap Organisisasi : Membangun organisisasi, sebagai pelaksana konsep
• Tahap Realisasi: mewujudkan konsep kebangkitan itu dalam realiatas.
Sebagai penutup, mari kita dendangkan dan renungkan puisi Iqbal dalam judul “An Old Baluchi To His Son”
Kemajuan negara dicapai melalui nyali individu. Tiap orang dimatangkan oleh usahanya sendiri: Samudra mendekap harta karunnya. Tatkala sang penyelam mencari kulit mutiara. Berpegangan pada batas pantai. (Dikutip dari buku Mencari Islam Autentik, Robert D. Lee: 1997).
Wallahu a’lam bis shawab.