Tuesday, October 20, 2009

Al-Qur’an Sebagai Sumber Segala Hukum


Pendahuluan
ALQURAN memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum,pedoman moral,bimbingan ibadah dan doktrin keimanan,Alquran juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.
Alquran dalam pandangan kaum muslimin bukanlah sebuah kitab hukum atau book of law belaka, tetapi hakikatnya ia -Alquran itu- adalah sumber hukum atau source of law. Lebih dari itu, sesungguhnya Alquran bila dicermati bukan saja menjadi sumber hukum namun juga menjadi sumber primer bagi nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai moral yang bisa diterapkan kepada seluruh dimensi kehidupan manusia.
Alquran tidak pernah berbicara secara mendetail mengenai bagaimana manusia muslim harus mengelola kehidupan politiknya atau kehidupan ekonominya, sehingga Alquran tidak pernah berbicara mengenai struktur dan sistem politik dan ekonomi, misalnya. Alquran juga bukanlah sebuah prosa yang mencatat seluruh ketentuan-ketentuan secara menditail yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi umat manusia, tetapi juga Alquran memberikan physic guidance atau hak asasi tuntunan yang paling mendasar bagi pengelolaan kehidupan manusia sejak dulu sampai sekarang; bahkan dan sampai hari kiamat kelak.
Alquran sebagai sumber primer kaidah moral yang dapat diterapkan dalam kehidupan hukum, ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan tentu dijamin orisinilitasnya dan kelestariannya oleh Allah yang telah menciptakannya (Alquran itu).
Dalam kenyataannya memang Alquran yang berusia ebih dari lima belas abad tidak pernah dipalsukan walaupun satu huruf apalagi satu ayat pun. Maka benar kata Alquran sendiri bahwa besok pada hari kiamat, nabi Muhammad saw dalam sebuah kesempatan akan mengeluh pada Allah bahwa sebab-musyabab dari kemunduran umatnya karenakan umatnya meninggalkan Alquran. Atau lebih tepatnya lagi karena umat Muhammad memperlakukan Alquran secara tidak sungguh-sungguh bahkan cenderung sendau gurau dan main-main. Maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam -terutama pemimpinnya- agar dalam memperingati nuzulul quran ini menangkap pesan-pesan mendasar dalam Alquran. Sebab, bila Alquran dijadikan pegangan moral dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara, hasilnya tidak bisa tidak, pasti membawa kebaikan kepada seluruh umat dan kemanusiaan itu sendiri.
Dalam kaitan ini kita boleh mencatat bahwa dalam kenyataannya Alquran memang belum dijadikan acuan pokok atau referensi baku bagi kaum muslimin dan kaum muslimat. Alquran kadang-kadang hanya diperlombakan lewat musabaqah tilawatil quran atau hanya dibaca dalam pembukaan berbagai sidang maupun kongres organisasi atau juga diajarkan secara formal dalam kurikulum berbagai sekolah dan madrasah. Tetapi sebaliknya, Alquran belum nampak semangat penghayatan, pemahaman, dan komitmen yang betul-betul merata dalam memfungsikannya sebagai pedoman hidup dan kompas kehidupan umat Islam.
Pengertian al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian al-Qur’an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.
Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan al-Qur’an tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik al-Qur’an itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian al-Qur’an secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli.
Secara etimologis, al-Qur’an merupakan Masdar dari kata kerja “Qoroa” yang berarti bacaan atau yang ditulis, sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna.
Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut :
Safi’ Hasan Abu Thalib[5] menyebutkan :
“Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat.”
Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)
Sedangkan menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud al-Qur’an adalah :
“Al-Kitab yang disebut al-Qur’an dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.”
Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran adalah bahwa Al-Qur’an yaitu merupakan firman Allah SWT.
Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Qur’an bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.
Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.

Untuk lebih memperjelas definisi al-Qur’an ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir.
Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :
a.Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.
b.Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri.
c.Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d.Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka
Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda.
Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.
Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Qur’an sendiri sering disebut al-Kitab –yang dimaksud adalah al-Qur’an. Seperti firman Allah
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ).
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan al-Qur’an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)
Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab[16] menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.[17] Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib[18] menegaskan :
“Al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hعkum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.”
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Qur’an. Al-Ghazali[19] bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
Dari uraian di atas jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.
Dalalah Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ‘ala al-ma’na.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
1.Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
2.Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1.Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2.Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah
“Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)
Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
“Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.

Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an memiliki kedudukan yang paling penting di dalam pengistinbatan hukum Islam sehingga sangat logis jika ia menjadi sumber utama hukum Islam.

Wednesday, July 22, 2009

NUMPANG HEHEHEHHEHEHEHE

METODE PENELITIAN KUALITATIF
Pengertian Metode Penelitian Kualitatif : Proses Penelitian untuk memahami yang didasarkan pada tradisi penelitian yang khas. Meneliti tentang Manusia atau Masyarakat.
PERBEDAAN PENELITIAN KUALI DAN KUANTI
No
Perbedaan
Kualitatif
Kuantitatif
1
Konsep yang berhubungan dengan pendekatan
menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan  kehidupan sehari-hari
mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing.
2
Dasar Teori
dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti.
pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.
3
Tujuan
Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”.
Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan  hasilnya.
4
Desain
desainnya bersifat umum, dan berubah-ubah / berkembang sesuai dengan situasi di lapangan.
desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya.
5
Data
data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan.
datanya bersifat kuantitatif / angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi
6
Sampel
Sampel kecil merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan kualitatif penekanan pemilihan sample didasarkan pada kualitasnya bukan jumlahnya.
sample  besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil.
7
Teknik
eknik observasi atau dengan melakukan observasi terlibat langsung, seperti yang dilakukan oleh para peneliti bidang antropologi dan etnologi sehingga peneliti terlibat langsung dengan yang diteliti
eknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, eksperimen dan eksperimen semu.
8
Hubungan dengan yang diteliti
peneliti tidak mengambil jarak dengan yang diteliti.
peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti.
9
Analisa Data
bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).
bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dll.nya.
PERSAMAAN PENELITIAN KUALI DAN KUANTI :
Inferensi
Melibatkan inferensi detil-detil pengamatan empiris ke suatu kesimpulan umum.
Keterbukaan
Menerapkan metode pengumpulan data yang sistematis dan terbuka hingga bisa dinilai pihak lain.
Perbandingan
Membandingkan data, mencari kesamaan dan perbedaan untuk menemukan pola tertentu pada data.
Koreksi
Menggunakan prosedur untuk menghindari kesalahan analisis dan penarikan inferensi.
Paradigma Penelitian Adalah : seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Kegunaan Paradigma dalam penelitian kualitatif:
1. mengetahui apa yang harus diteliti
2. pernyataan apa yang harus di kemukakan
3. kaidah2 apa yang harus diikuti.
Perbedaan penggunaan dasar teori
Dasar Teori
Kualitatif :
dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti.
Kuantitatif :
pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.
Persamaan Penggunaan Teori :
Sama-sama menggunakan teori yang berhubungan dengan gejala sosial yang terjadi.
Pendekatan Penelitian : sebuah alat untuk mengidentifikasi arah tujuan dari penelitian kualitatif. Misalnya, pendekatan fenomenologis, pendekatan interaksi simbolik, budaya, dll.
- Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
- Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
- Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
- Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Jenis Penelitian : Jenis penelitian adalah alat untuk mengidentifikasi jenis penelitian apa yang ingin kita pakai, apakah kualitatif deskriptif atau kualitatif murni.
Prinsip2 Penelitian Kualitatif :
- mengungkap gejala ttg permasalahan yang akan diteliti
- pengujian epindensi2 data induktif yang menggambarkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan
- mengemukakan alasan2 penting dan layaknya masalah untuk diteliti
o Apa yang terjadi dengan fenomena tersebut
o Bagaimana mereka melakukannya
o Apa makna bagi mereka
o Bagaimana mereka menafsirkannya dan mengungkapkan hal ini pada orang lain
o Bagaimana qt menafsirkan dan mendokumentasikan cara mereka bertindak
o Apa yang mereka ceritakan kepada kita megenai hal2 yang mereka ketahui
o Bagaimana mereka membenarkan tindakannya
o Apa hubungannya antara qt dengan mereka
- Data penunjang keaslian penelitian bahwa penelitian tsb belum ditelti sebelumnya, atau melanjutkan penelitian sebelumnya
- Relevansi masalah yang diteliti dengan permasalahan yang lebih luas
- Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian
- Bersifat subjektif
- Post positivisme
http://blogs.unpad.ac.id/nadiasabrina/?p=276



Kamis, 2008 Mei 29
ETNOMETODOLOGI DALAM PENELITIAN KUALITATIF
I. Pengantar

Metodologi adalah persoalan penting dalam ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu pengetahuan secara defenitif dimengerti sebagai pengetahuan yang sistematis. Dan untuk memperoleh pengetahuan yang sistematis ini, setiap ilmuwan membutuhkan metodologi. Metodologi merupakan cara-cara yang ditetapkan dengan logika tertentu untuk melihat realitas atau fenomena oleh para ilmuwan
.
Dalam khasanah penelitian ilmu-ilmu sosial, kita menemukan berbagai ragam pendekatan. Pertama-tama hal disebabkan oleh objek penelitian ilmu sosial yaitu masyarakat adalah sebuah sebuah fakta yang sangat kompleks. Alasan lainnya adalah munculnya ketidakpuasan dari seseorang atau beberapa pakar yang merasa tidak puas dengan pendekatan tertentu. Ketidakpuasan ini lalu memicu mereka untuk menemukan model pendekatan baru yang dianggap paling baik.

Kita mengenal dua metodologi penelitian yang pokok dalam ilmu-ilmu sosial yaitu pendekatan kuantitaif dan kualitatif. Secara epistemologis, kuantitatif adalah turunan dari postivisme. Positivisme merupakan sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui proses penginderaan. Metode kuantitatif sangat menekankan pada objektivisme dan penggunaannya menggunakan alat bantu statistik. Penelitian kuantitatif yang paling termasyur dalam sosiologi berasal dari Emile Durkheim. Sementara metode kualitatif secara epistemologis adalah turunan dari rasionalisme. Metode kualitatif menekankan pada subjektivisme. Dalam sosiologi, Webberlah yang dianggap sebagai peletak dasar metode kualitatif ini
.
Metode kualitatif ini memiliki beberapa varian berdasarkan landasan teoritiknya yaitu, fenomenologi, interaksionisme simbolik, etnometodologi dan etnografi. Keempat varian ini memiliki sebuah kesamaan dasar yaitu memberikan tekanan pada pengalaman individu atau subjek dalam menjalani dunia keseharian mereka. Paper ini secara khusus akan mendiskusikan etnometodogi dalam khasanah penelitian ilmu sosial yaitu penelitian kualitatif.

II. Etnometodologi

II.1. Sejarah Ringkas Munculnya Etnometodologi

Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an ( Poloma : 1994 : 281). Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.

Garfinkel sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari (Furchan, 1992 : 39-41).

Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.

Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan ( Furchan, 1992 : 39). Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di atas.

II.2. Etnometodologi Dalam Terang Perspektif Sosiologi Lainnya

Etnometodologi dapat didefenisikan sebagai suatu cabang dari studi sosiologi itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan Talcott Parsons (Poloma, 1994 : 283 & Coulon, 2003 : 1).
Grafinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda di mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang kita terima secara taken for granted di mana kita mengesampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan. Yang dimaksudkan dengan realitas sosial oleh Schutz adalah,

“keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan sosial, yang dihidupan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial di mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan (...) Sejak permulaan, kita, para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang dibentangkan di hadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita; dan ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa.” (Sebagaimana yang dikutip Coulon, 2003 : 4).

Pembahasan realitas common sense Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya (Poloma, 1994 : 284)
Pandangan Schutz tentang dunia sehari-sehari sebagai dunia intersunjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Interaksionisme-simbolik berasumsi bahwa proses interaksi antar manusia dalam masyarakat dilangsungkan dengan simbol-simbol atau tanda. Simbol atau tanda yang hadir dalam interaksi tersebut lalu dimaknai bersama oleh mereka yang terlibat dalam interaksi tersebut. Pemaknaan ini diperoleh dengan proses tafsir berdasarkan situasi atau konteks sosial di mana interaksi itu terjadi. Asumsi itu setara dengan pendirian pokok dari etnometodologi yang hendak mengungkapkan dunia sosial berdasarkan makna akal sehat yang diterima oleh setiap individu dari situasi sosial di mana mereka hidup.
Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan dengan pendirian etnometodologi, terutana dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense)
Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun diangap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvesional tetap saja tidak melepaskan diri dari pendekatan-pendekatan sosiologi terdahulu. Keungglan etnometodologi sendiri adalah bahwa pendekatan studi ini secara radikal membiarkan setiap situasi berbicara tentang dirinya tanpa melakukan intervensi perspektif (ilmiah) seorang peneliti ke dalamnya. Etnometodologi sendiri skeptis terhadap setiap defenisi mengenai dunia sosial yang dibuat oleh sosiologi. Etnometodologi membebaskan setiap situasi untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Seorang etnomotolog di dalam menghadapi realitas hanya bisa melihat dan mendengar lalu melukiskan apa yang sedang terjadi di sana.

II.3. Etnometodologi dalam Metode Penelitian Kualitatif

Metodologi (penelitian) secara luas didefenisikan sebagai proses, prinsip serta prosedur yang digunakan oleh seorang peneliti untuk mendekati masalah atau mencari jawab atas masalah tersebut. Terdapat dua perpektif pokok dalam ilmu sosial yaitu positivisme dan fenomenologi. Postivisme, terutama dari Auguste Comte dan Emile Durkheim adalah paham yang ingin mencari fakta atau sebab-musabab sebuah gejala sosial dengan tidak mempertimbangkan keadaan subjektif individu. Fakta sosial atau gejala sosial sebagaimana didefenisikan oleh Durkheim adalah sesuatu yang bersifat eksternal, di luar diri individu dan sekaligus mengatasi individu itu sendiri. Apa yang di sebut kebenaran oleh para penganut positivisme adalah fakta sosial itu sendiri dan bukannya apa yang dialami atau dirasakan oleh individu.

Sementara fenomenologi menekankan studi mereka pada individu itu sendiri. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari kerangka berpikir pelaku itu sendiri. Jack Douglas, seorang etnometodolog menuliskan bahwa :
“kekuatan yang menggerakan manusia sebagai manusia bukan sebagai badan yang wagag... adalah sesuatu yang berarti. Kekuatan-kekuatan itulah yang disebut gagasan, perasaan dan motif yang internal.” (sebagaimana yang dikutip Furchan, 1992 :18).

Perbedaan paradigma ini kemudian serta-merta mempengaruh metodologi yang dipakai oleh masing-masing aliran terebut. Kaum positivis di dalam studi atau penelitiannya dilalui dengan metode kuesioner, survei, inventori yang menghasilkan data kuantitatif. Sebaliknya kaum fenomenologis mencari pemahaman lewat metode kualitatif lewat metode participant observation, open-ended interviewing dan dokumen pribadi. Terdapat anggapan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap keluarga dan komunitas di Eropa oleh Frederick LePlay pada abad XIX adalah asal mula penelitian kualitatif. Akan tetapi penggunaan metode kualitatif sendiri menjadi populer di dunia sosiologi Amerika yang dipelopori oleh Sekolah Chicago.

Metode kualitatif seperti yang didefenisikan oleh Bogdan dan Tylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif : ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang sangat holistik (Furchon, 1992 : 19-20 & Maleong, 2004 : 4). Sementara Jane Richie mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektif-perspektif di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti (Maleong, 2004 : 6). Dan Maleong sendiri membatasi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holstik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2004 : 6)

Defenisi Maleong ini tegas menghantar kita untuk melihat hubungan antara penelitian kualitatif fan etnometodogi. Etnometodologi sebagai studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara taken for granted, sebagai pengungkapan terhadap dunia akal sehat, dunia yang digeluti individu dalam kesehariannya jelas memiliki hubungan yang erat sekali dengan metode penelitian kualitatif itu sendiri. Dalam kerangka penelitian Kualitatif, etnometodologi diposisikan sebagai sebuah landasan teoritis dalam metode tersebut ( Maleong, 2004, 14, 24). Etnometodologi sebagai sebuah studi pada dunia subjektif, tentang kesadaran, persepsi dan tindakan individu dalam interaksinya dengan dunia sosial yang ditempatinya sesuai dengan pokok penelitian kualitatif yang juga menekankan pada dunia subjektif dengan setting sosial yang dilibatinya.

http://kanisehakwain.blogspot.com/2008/05/etnometodologi-dalam-penelitian.html

Friday, May 29, 2009

Makna Sains Islam


Oleh Hamid Fahmi Zarkasyi

(Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam. ISLAMIA. Vol III no.4 Thn 2008. Sejarah, Makna dan Agenda Sains Islam. Hal. 5-11 )

Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.

Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:

“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”

Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.

Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.

Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:

“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”

Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :

“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”

Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.

Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.

Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.

Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).

Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.

Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.

Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).

Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).

Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.

Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.

Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).

Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )

Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.

Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.

Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawa

Wednesday, May 20, 2009

PERUBAHAN

Perubahan. Kata itu sendiri pada setiap suku dan siku huruf-hurufnya mengandung makna ”pemberontakan”, revolusi, anti kemapanan, perjuangan menuju dan menjadi. Mungkin ada senadung jihad dalam kata itu. Perubahan sebagai sebuah konsep, ide, memang umum pada semua lapisan maknanya. Dia tidak memuat ide tunggal.
Perubahan. Kata itu telah menjadi sakral, magis, mengandung sihir yang mampu menarik perhatian ribuan massa. Kata itu menjadi statemen politik yang sering dikhotbahkan oleh para politisi yang ’katanya’ mau melakukan perubahan. Kata itu telah menjadi ide universal bagi setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Tidak hanya para politsi yang sering membasahi bibirnya dengan kata itu. Para tukang becak, juga sering meneriakkan perubahan. Pada karakternya sebagai sebuah bahasa, kata itu memang bukan hak monopoli pribadi. Tapi apapun, kata ini memang punya magnet. Bahkan karena kata inilah Barrack Obama, mampu menuju kursi presiden Amerika pertama dari kulit hitam. Kata itu, sungguh begitu dahsyat. memang
Perubahan. Aku mendebat perubahan. Karena setiap kali mendengar kata perubahan, aku tidak pernah mendapat penjelasan definitif mengenai perubahan; perubahan sepertia apa? apa yang dirubah. Pada basis ontologi dari kata itu sering kali terlupakan. Kita terlalu sering meloncat pada ranah epistimologinya. Bahkan itu-pun kalau cara yang kita lakukan benar.
Tapi aku bukan orang yang apriori. Maka mari kita diskusikan.
Perubahan. Sebagai mahasiswa yang didaulat oleh sejarah sebagai agen of change, kata itu demikian akrab dalam struktur berpikir dan skema konseptual kognitif kita. Tetapi, aku berani bertaruh, tidak banyak di antara kita yang paham tentang konsep perubahan yang kita teriakkan.....sekali lagi mau merubah apa?????
Perubahan, secara derivatif kata itu berasal dari kata rubah-merubah-perubahan. Orang Inggris menyebutnya dengan change. Sedang orang Arab mengistilahkannya dengan taghyir.
Merubah merupakan kata kerja transitif (fill muta’addi) yang membutuhkan obyek. Maka pertanyaan yang akan mengemuka ketika kata itu kita teriakkan kira-kira seperti ini ”Cong, mau merubah APA”
”Apa” adalah obyek yang akan menjadi area dari perubahan yang akan kita jalankan. Itu adalah wilayah aksi ketika kita menemukan otoritas, wewenang dari apa yang kita sabdakan. Ketika saya menyebut wewenang dan otoritas yang saya maksudkan adalah otoritas ilmiah, emosional, spritual dan kekuatan jasmani; semacam kapasitas kepribadian yang paripurna atau paling tidak mendekati target minimal dari konsep insan kamil, yang akan memberi kita alasan untuk bertindak di wilayah itu. Alasannya, tentu saja, karena aku tidak mau bertindak pada sesuatu yang aku tidak pahami. Dalam bahasa hadits, akan terjadi kehancuran (assa’ah) bila sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Menyerahkan tugas perubahan dalam bidang hukum tata negara di Indonesia kepada saya, tentu saja dinilai tidak tepat, bahkan ngaco.Ingat itu!!!!!
Itulah sebabnya, saya ingin menegaskan satu fakta, bahwa antara apa yang akan kita kerjakan dengan kemampuan yang kita miliki, merupakan dua kutub ekstrem yang terkadang tidak terjambatani oleh karena kita tidak memilliki kemapuan analisa pada besaran kapasitas internal kepribadian yang kita miliki dengan besaran tantangan eksternal yang akan kita hadapi. Suatu mimpi perubahan akan terwujud bila wilayah idealisme kita mendapat dukungan yang lebih besar dari kapasitas kepribadian yang kita miliki. Pada konteks ini, setelah kita menyisakan ruangan takdir, saya termasuk orang yang percaya bahwa realitas itu sesungguhnya adalah variabel yang bersifat dependent dalam konteks perubahan. Asalkan kita memenuhi seluruh syarat-syarat perubahan dalam seluruh ruangan kemanusiaan, maka apa yang kita inginkan terjadi, pasti terjadi, yang tentu saja setelah kita menyisakan satu ruangan takdir tadi. Artinya jika memang itu tidak terealisasi, maka memang takdirnya ketika itu. Tapi takdir esok, setelah ”ketika itu” itu adalah takdir lain yang masih misteri. Dan itu memang memiliki dua kemungkinan. Tetapi secara logika kemenangan kita pasti menang mewujudkan perubahan itu. dan karenanya kita punya hujjah untuk berharap.
Nah, sebelum kita pergi ke sana; ke pulau Sapeken untuk melakukan kerja-kerja perubahan, mari kita di sini dulu; disini kita perlu berbisik kapada hati, akal dan jiwa kita masing-masing tentang tema kita ”sekali lagi tentang perubahan?. ini semacam pendahuluan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Pada intinya, saya tidak ingin kita mempolitisasi kata ini hanya karena dan dengan tujuan memamerkan bahwa kita adalah gerombolan mahasiswa; sang lokomotif perubahan. Padahal pada waktu yang sama, kita sebenarnya bingung, apa yang akan kita rubah di pulau kita.
Kita bingung adalah sebuah indikas bahwa kita sebenarnya, mungkin tidak pernah punya waktu untuk memikirkan masa depan pulau kita. Ada semacam keterputusan antara kegiatan berpikir kita dengan pulau sapeken. Kata kuncinya adalah, sejauh mana kosa kata SAPEKEN ada dan mengalir dalam setiap ide dan gagasan besar yang kita miliki.
Kita bingung karena kita tidak mampu memetakan pada wilayah mana kita akan melakukan perubahan di pulau SAPEKEN. Saya percaya bahwa kerja-kerja perubahan itu harus dibangun di atas asas kebertahapan (tajarrud fid-dakwah), dan itu menjadi dalil bahwa saya tidak setuju dengan konsep revolusi dalam melakukan perubahan. Di samping itu, pada bagian lain dari episode dari drama perubahan yang akan kita pertontonkan, prinsip skala proritas tentu menjadi pedoman.

KURIKULUM INTEGRAL DAN ISLAMISASI ILMU



Jika merujuk pada sejarah lahirnya konsep kurikulum integral, maka fakta yang kita dapati, adanya semacam kekhwatiran dari pemikir muslim akibat mewabahnya fenomena sekulerisme Barat yang menggerorogoti kehidupan umat Islam, dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik maupun pendidikan. Dalam politik misalnya, kita dipaksa mendengar dan menerima adagium “Islam Yes, Partai Islam, No” yang pernah dilontarkan oleh penggagas pertama gerakan sekulerisasi di Indonesia. Begitu juga dalam bidang pendidikan, yang salah satu akibat pengaruh buruk sekulerisme dalam pendidikan adalah kita diperkenalkan dengan istilah dualisme kurikulum yang berusa memisahkan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum (sains).
Fakta inilah yang melatar belakangi lahirnya konsep kurikulum integral. Konsep ini berusaha mengintegrasikan kembali dua kurikulum tersebut. Dengan kata lain, kurikulum integral adalah antitesis dari dualisme kurikulum yang berusaha menyodorkan suatu paradigma baru pendidikan dengan berbasiskan tauhid sebagai basis centralnya, sehingga dikotomi keilmuan tidak lagi mendapatkan tempatnya dalam semua aktivitas pendidikan dan pengajaran individu muslim.
Dalam paradigma kita, integrasi dua kurikulum sebagai sebuah proses dari kurikulum integral tersebut, tentu tidak hanya sekedar menggabungkan atau secara bersamaan mengajarkan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan sains dalam skema dan strategi pengajaran dan pembelajaran muslim. Karena jika hanya sekedar mencampurkan, itu tidak berarti bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pengetahuan barat moder lantas sesuai dengan pandangan hidup Islam. Sekedar mencampurkan atau memasukkan dua kurikulum tersebut dalam silabus, tidaklah akan menghindarkan kita dari virus-virus pemikiran Barat. Karena itu apa yang kita pahami dengan integrasi ini adalah sebuah proses islamisasi ilmu pengetahuan.

Ilmu Tidak Bebas Nilai; Sebuah Alasan Islamisasi Ilmu
Wacana Islamisasi ilmu bermula pada awal 1980-an yang didasarkan pada kesadaran bahwa semua disiplin ilmu sosial merupakan kontruks budaya peradaban Barat dan sebetulnya tidak memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim (Sardar: 2005). Ilmu sebagai sebuah produk budaya merupakan kontruksi pengetahuan yang dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu. Itulah sebabnya, secara epistimologis, sains Barat modern sebagai sebuah ilmu tidaklah bebas nilai, karena lahir dari tradisi intelektual dalam budaya dan masyarakat Barat yang menafikan peran wahyu sebagai salah satu sumber ilmu. Sebagai akibatnya, sains modern dalam tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan, sehingga akhirnya menjadi sekuler dan anti Tuhan. (Hamid: Islamia, 2008). Contohnya adalah pandangan Barat terhadap alam yang mereka gambarkan sebagai sebuah mesin raksasa (mekanisme) yang didasarkan atas pandangan filsafat Newton. Dalam filsafat ini, Tuhan tidak lagi memiliki peran terhadap alam, tetapi alam sebagai sebuah mesin raksasa telah memiliki mekanisme hukumnya tersendiri yang mereka sebut dengan hukum alam. Pandangan inilah yang menimbulkan paham deisme; suatu paham yang didasarkan atas teori “clock maker teory (teori pembuatan jam)” yang berarti bahwa Tuhan, setelah menciptakan alam, tidak lagi berurusan dengannya. Lambat laun kesimpulan ini menyeret ilmuwan barat lebih jauh untuk kemudian mencurigai “jangan-jangan Tuhan memang tidak pernah ada”( Kertanegara: Mengislamkan Nalar, 2007). Akhirnya deisme berujung pada atheisme.
Jadi, ada perbedaan epistimelogis yang sangat fundamental antara Barat dan Islam karena adanya perbedaan pandangan hidup, dimana perbedaan itu akan memiliki pengaruh terhadap ilmu pengetahuan yang nantinya akan dihasilkan. Bahwa setiap ilmu memuat pandangan hidup tertentu. Al-Attas sebagai orang pertama diantara sarjana muslim kontemporer yang mengganggap bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, menegaskan bahwa “Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahan yang berbeda mengenainya, meskipun diantaranya terdapat perbedaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu dalam sehingga tidak bisa dipertemukan”( Daud: Filsafat, 2003).
Bahwa telah terjadi westernisasi ilmu yang begitu parah karena merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme, mengangkat keraguan sebagai kerangka metodologi bahkan epistimelogi yang sah dalam keilman, dan yang paling fatal, menolak peran wahyu dalam seluruh aktivitas intelektual. Westernisasi ilmu dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan renungan filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. (Armas: Islamia, 2005, Al-Attas: Islam dan Sekulerisme, 1981). Adanya latar belakang keilmuan Barat yang memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan Islam, baik secara ontologis maupun epistimelogis, menjadi raison de etre program Islamisasi ilmu. Para ilmuwan muslim menyadari bahwa pengetahun Barat modern, telah menjadi tantangan yang serius bagi kehidupan dan peradaban Islam. Sehingga proyek islamisasi dimaksudkan sebuah jihad dan ijtihad intelektual yang berupaya menghilagnkan apa yang dikatakan oleh al-Faruqi dengan “Malaise of Ummah”atau apa yang diistilahkan oleh Al-Attas dengan “The Corruption of Knowlegde”. Islamisasi ilmu merupakan agenda intelektual yang memberi harapan besar pada kebangkitan peradaban Islam

Islamisasi Ilmu; Konteks Kurikulum Integral Hidayatullah
Walaupun Islamisasi ilmu meripakan isu dan wacana yang paling kontroversial, tetapi ia telah menjadi semacam revolusi epistimologis yang berusaha memberontak terhadap keadaan umat Islam yang telah lama tersisihkan secara keilmuwan dan peradaban oleh peradaban Barat. Sebagai sebuah revolusi, misi yang diemban oleh proyek ini adalah mengembalikan kembali kejayaan Islam. Di sinilah, signifikansi Islamisasi ilmu yang juga harus direspon Hidayatullah sebagai salah satu gerakan yang ikut andil dan ambil bagian dalam rekontruksi peradaban Islam. Bahwa substansi dari peradaban adalah ilmu pengetahuan, sehingga aktivisme intelektual yang mewujud dalam suatu komunitas ilmiah merupakan prasyarat mutlak bagi gerakan peradaban. Dan islamisasi ilmu merupakan bagian aktivisme intelektual muslim yang bertugas memelihara orisnalitas (ashalah) kekhasan dan merupakan revivalisme peradaban Islam.
Islamisasi pengetahuan yang dipahamai sebagai antitesis westernisasi ilmu, berarti sebuah usaha membersihkan (purifikasi) elemen-elemen dalam ilmu pengetahuan Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Karena ilmu pengetahuan modern diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis peradaban Barat, maka Al-attas menyebutkan ada lima unsur dalam sains barat yang menjiwai peradaban Barat yang harus dibersihkan, yaitu 1) Pengandalan Barat terhadap akal yang mampu membimbing umat manusia, 2) Sikap Barat yang dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler, 4) membela doktrin humanisme, dan 5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Karena itu, orang yang bertugas melakukan gerakan Islamisasi ilmu adalah orang yang mengusai dua pengetahuan substantif; pertama pengetahuan terhadap ajaran dan pandangan hidup Islam, dan kedua pengetahuan terhadap budaya dan peradaban Barat. Dua pengetahuan ini merupakan sebuah keniscayaan, karena dengan begitu kita akan mampu mengidentifikasi dan membersihkan virus ilmu modern dan pada waktu yang sama mampu memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci ke dalam setiap sains modern yang relevan; semacam adaftasi dan modifikasi ilmu modern yang disesuaikan dengan ajaran Islam (Armas: Islamia, 2005).
Pengetahuan lain yang harus dikuasai adalah penguasaan terhadap metodologi ilmiah islami, karena produksi dari islamisasi pengetahuan tergantung pada munculnya metode yang Islami (Safi: Ancangan Metodologi Alternatif, 2001)
Kata “menguasai atau penguasaan terhadap pengetahuan substantif yang kita maksudkan bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan sebuah istilah yang relatif. Istilah ini hanya untuk menunjukkan adanya pengetahuan yang telah dapat dicapai oleh sarjana, terbatas pada waktu dan tingkat perkembangan yang telah dicapai dalam disiplin itu (Safi: 2001). Ini untuk menunjukkan bahwa program Islamisasi ilmu ini bersifat ijtihadi dan karenanya merupakan program dinamis yang akan selalu mengalami perbaikan pada beberapa aspek dan produknya.
Nah, merujuk pada beberapa persyaratan teoritis-praktis di atas, maka pertanyaannya adalah “Sejauh mana Hidayatullah telah memiliki sejumlah ilmuwan tersebut.?Inventarisasi terhadap sejumlah ilmuwan yang kita miliki adalah dimaksudkan untuk memastikan bahwa kurikulum integral yang kita berlakukan dalam pendidikan, bukanlah sebuah labelisasi semata. Tetapi sebuah rumusan konfrehensif yang telah melalui sejumlah syarat-syarat tersebut di atas. Di samping itu, juga dimaksudkan sebagai amunisi intelektual agar kita memiliki kesiapan dan kekuatan berhadapan dengan serangan pemikiran Barat. Dalam kerangka ini, maka strategi pendidikan Hidayatullah sebaiknya dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah stok ilmuwan, cendikiawan dan pemikir yang menguasai seluruh disiplin keilmuan. Sebab, kita tidak mungkin membayangkan membuminya kembali peradaban Islam, tanpa kehadiran para intelektual yang hebat. Seperti nabi yang merindukan keislaman Umar, karena beliau sadar agama ini membutuhkan lebih banyak orang-orang yang terbaik.
Satu hal yang juga perlu digaris bawahi, walaupun proyek Islamisasi ini tidak terwujud dalam bentuk penulisan buku-buku paket yang akan dijadikan referensi bahan ajar untuk semua jenjang pendidikan yang ada di Hidayatullah, tetapi satu fakta yang tidak harus kita abaikan bahwa Islamisasi ilmu ini harus menjadi ide, gagasan dan kesadaran umum di kalangan pendidik kita. Dengan kata lain, Islamisasi ini harus mewujud dalam bentuk islamisasi pikiran, jiwa, akal dan bahasa para pendidik dan da’i Hidayatullah agar kurikulum integral yang kita terapkan benar-benar mencerminkan atau sebuah tafsiran yang benar terhadap pandangan Islam mengenai ilmu dan pendidikan, dan pada waktu yang sama para pendidik kita juga mampu menghilangkan atau membersihkan beberapa konsep atau materi dalam buku-buku rekomendasi Diknas yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
Akhirnya, semoga Allah memudahkan urusan kita dengan mega proyek ini.

ISLAM DAN ISU KETERWAKILAN UMAT

Dinamikan perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2009, cenderung memanas. Ada banyak isu yang dimunculkan dalam menggalang suara untuk mendapatkan kemenangan-kekuasaan pada perhelatan akbar yang akan berlangsung pada bulan juli mendatang. Di antara isu yang masih sering dipentaskan dalam pangung demokrasi Indonesia adalah isu keterwakilan umat Islam. Isu ini memang masih memiliki pamor yang cukup kuat dalam menarik simpati suara umat Islam. Alasannya jelas, umat Islam secara kultur jumlahnya adalah mayoritas dan dalam perspektif komunikasi massa isu secara emosional masih bisa dimainkan melalui sentiment keagamaan. Walaupun, mungkin sebagian kita masih belum yakin apakah isu ini dapat mengubah takdir seorang kandidat priseden yang mungkin sebelumnya dipastikan menang menurut beberapa lembaga survei, akan tapi karena dia tidak mengindahkan isu ini, dia terpental jatuh dan kalah. Karena faktanya, perolehan partai-partai Islam, kecuali PKS, pada pileg tahun ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Meskipun hal ini juga tidak lantas dapat disimpulkan bahwa Islam telah kehilangan “nilai jual”nya di Indonesia. Bukankan partai-partai nasionalis sekuler juga mengalami nasib yang sama; jumlah perolehan suara mereka merosot tajam.
Isu keterwakilan Islam kembali mengemuka ketika presiden SBY disinyalir, bahkan dipastikan akan menggandeng cawapres-nya dari kalangan nasionalis yang mungkin calon kuatnya adalah Bodiono. Akhirnya, komposisi pasangan yang akan diusung oleh partai Demokrat adalah pasangan nasionalis kuadrat. Kesimpulannya, akan bisa direduksi bahwa SBY dalam pilpres 2009 ini tidak memperhatikan aspirasi umat Islam. Karena wakil yang dipilihnya bukan berasal dari kalangan Islam. Dan fakta ini sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai, merujuk pemikiran dan istilah Kuntowijoyo, aksi marginalisasi dan periferalisasi politik Islam; semacam usaha sistematis peminggiran umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, seharusnya sebagai kekuatan mayoritas di nusantara, umat Islam mestilah wajib dilaksanakan aspirasinya, termasuk dalam soal pasangan capres dan cawapres ini.
Isu inilah yang kemudian yang membuat partai Demokrat dan ketua dewan pembinanya mengalami dilema dan buah simalakama yang cukup parah. Ada semacam kebingungan dalam menentukan arah koalisi dengan partai-parta politik lain yang masih tersisa. Di satu sisi ada kemauan memperhatikan aspirasi umat islam dengan harus memilih salah satu pasangan cawapres yang di usung oleh masing-masing partai peserta koalisi yang berbasis Islam. Namun, pada sisi yang lain, tawaran menggiurkan dengan memilih Boediono sebagai cawapres SBY, akan menjadi jembatan strategis yang bisa merekatkan hubungan antara partai Demokrat dan PDI-P yang selama lima tahun terakhir diwarnai ketegangan politik yang cukup dahsyat.
Adanya kegamangan pada kubu SBY, disamping akan semakin menguatkan kesan publik bahwa SBY adalah sosok pemimpin yang peragu dan pelaku pertimbangan yang sangat ekstrem karena menganut mazhab politik pencitraan yang sangat fanatik, pada waktu yang sama ini juga merupakan suatu fakta politik yang tak terbantahkan dan cukup memberikan hujjah bahwa isu ini masih menjadi salah satu variabel politik yang harus diperhatikan oleh para politikus di Indonesia jika ingin keluar menjadi pemenang pada pilpres bulan juli mendatang.
Selanjutnya, fakta politik ini juga bisa dijadikan bantahan yang cukup telak kepada para pengamat politik, bahwa aktor penentu pada pilpres bukanlah semata monopoli pemenang pileg kemarin, dalam hal ini partai demokrat, yang mengantongi suara 20 persen lebih, tetapi juga partai-partai menengah. Ini merupakan konsekuensi logis, bahwa pada pileg kemarin tidak ada satu partai-pun yang menjadi pemenang mutlak. Perolehan suara 20 persen oleh partai demokrat, bukanlah angka yang aman. Mereka akan dipaksa oleh keadaan untuk wajib berkoalisi dengan partai-partai lain untuk membangun pemerintahan yang kuat di pemerintahan dan parlemen.
Sementara, bahwa partai yang tersisa adalah partai berhaluan Islam, maka partai-partai ini seharusnya mampu menjalinkan persatuan yang cukup solid dalam mewakili keterwakilan umat Islam. Partai Islam harus memberikan satu pelajaran politik kepada bangsa dan dunia international, bahwa kekuatan Islam masih dan akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuatan sekuler di Indonesia. Partai Islam harus mampu menjadi kekuatan penentu dan pemutus agar marginalisasi dan periferalisasi Islam, tidak terjadi pada pilpres kali ini. Sesungguhnya fakta-fakta politik yang terjadi menjelang pilpres ini, harus ditafsirkan sebagai salah satu rekayasa Allah yang memberikan kesempatan kepada partai Islam untuk tetap mengawal aspirasi Islam dan umatnya. Partai Islam harus memiliki pemikiran bahwa kalangan Islam-lah, bukan kalangan nasionalis, dalam pilpres kali ini yang harus menempati posisi cawapres. Jika tidak, partai Islam harus berani bersikap dengan cara membuat poros baru yang bisa mewujudkan aspirasi politik Islam. Kalaupun misalnya kalah, yang penting partai-partai Islam telah mencatatkan sejarah bahwa mereka tidak mengkhianati amanah konstituen mereka yang nota bene adalah muslim. Manfaat lain, sejarah ini juga akan menjadi pelajaran politik yang sangat berharga bagi generasi muslim selanjutnya tentang bagaimana etika dan prinsip politik Islam; bahwa Islam dan aspirasi umat adalah di atas kepentingan segala-galanya.

PERTARUNGAN KEABADIAN Strategi Pemenangan Islam

Dalam buku “Percakapan antar Generasi; Pesan Perjuangan Seorang Bapak”; sebuah dokumen yang merekam pemikiran Moh. Natsir, di situ pendiri DDII ini menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, di samping tantangan liberalisasi, kristenisasi dan sekulerisasi, yang tidak kalah beratnya adalah tantangan nativisasi. Nativisasi didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang tersistematis atau tidak, yang berupaya menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dalam pembentukan budaya bangsa Indonesia. Bahwa Islam tidak menjadi ruh yang menjiwai budaya bangsa ini merupakan target dari tantangan nativisasi ini.
Dalam bahasa lain, nativisasi ini diistilahkan oleh Kuntowijoyo dengan alienasi, marginalisasi dan periferalisasi Islam (Kuntowijoyo: 2008). Dan semua usaha itu telah berlangsung sejak lama, sejak kolonialisme Barat menjejakkan kakinya di Nusantara. Maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi aktor dari aktivitas peminggiran peran Islam itu adalah Barat dan konco-konconya. Kata konco mengisyaratkan bahwa meskipun secara realita, bangsa-bangsa Barat tidak lagi melalukan kolonialisasi dan penjajahan, tetapi itu tidak berarti bahwa program nativisasi ini telah berhenti. Melainkan sebaliknya, usaha itu akan terus berjalan, karena seperti yang dikatakan oleh Muhammad Quthb, bahwa negara-negara Barat tidak akan meninggalkan daerah jajahannya kecuali telah menyiapkan kader-kader yang telah terbaratkan dan mengikuti semua kehendak Barat.
Demikianlah seterusnya arus sejarah Islam di Indonesia akan selalu mendapat tantangan nativisasi, di samping tantangan sekulerisasi, liberalisasi dan kristenisasi. Dan sesungguhnya semua tantangan itu tujuan hakikinya adalah satu; mereka agar Islam tidak menjadi basis identitas pada idiologi dan jati diri bangsa Indonesia.
Di sinilah kita menemukan interpretasi al-Qur’an terhadap fakta-fakta ini, bahwa menurut paradigma al-Qur’an, antara kita dengan Barat yang notabene Kristen dan Yahudi, telah tercipta-seperti yang dinyatakan tegas oleh al-Attas-konfrontasi yang permanen. Secara histories, Islam sejak awal kemunculan telah dijadikan lawan abadi oleh Barat, karena memang tidak ada kekuatan lain yang bisa mengungguli peradaban Barat, melainkan kekuatan Islam. Barat memandang Islam sebagai saingan yang sesungguhnya di dunia, sebagai satu-satunya kekuatan yang kekal yang dihadapi, dan yang menantang kepercyaan-kepercayaan dan prinsip-prinsip dasar Barat (Islam dan Sekulerisme, Al-Attas: 1981). Barat (baca: Yahudi dan Nashrani) tidak akan pernah ridha terhadap Islam, sampai umat Islam mengikuti ajaran mereka, demikian tafsiran al-Qur’an terhadap realitas kekinian dan kedisinian umat. Maka pertarungan atau benturan peradaban (the class of civilization) adalah sebuah keniscayaan.
Sesungguhnya benturan peradaban adalah pertarungan keabadian. Dalam konteks Indonesia, benturan itu akan berujung pada satu kesimpulan kekuatan manakah yang paling banyak mewarnai dan mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang? Islam atau kekuatan yang lain. Bahwa memang secara normatif di dalam al-Qur’an, Islam mendapat jaminan kekekalan dan kemenangan, itu tidak dapat ditafsirkan bahwa Islam di Indonesia akan menang melawan liberalisasi, kristenisasi, sekulerisasi dan nativisasi, terkecuali kita “menyiapkan kekuatan sampai batas maksimal melawan mereka”. Karena faktanya, Islam di Andalusia telah menjadi masa lalu, tidak menjadi masa depan. Dan kita harus belajar pada sejarah kelam itu. Kita harus belajar merekaya masa depan Islam untuk menjadi kekuatan penentu dan kebijakan dalam seluruh sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyiapkan Kekuatan dan Strategi Pemenangan
Kosa kata yang harus senantiasa kita tanamkan ke dalam seluruh struktur skema berpikir dan bertindak kita adalah kata perang dan pertarungan. Bahwa kita senantiasa melakukan pertarungan dan peperangan. Memang bentuknya, untuk sementara, bukan dalam bentuk fisik, tetapi perang pemikiran (ghazwul fikri). Salah satu bentuk perang pemikiran ini, seperti yang ditegaskan oleh Ziauddin Sardar, bahwa Barat senantiasa melakukan imprealisme epistimologis; semacam penjajahan intelektual terhadap cara berpikir kita, yang secara organis akan berpengaruh pada cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak kita. Di sinilah brainwashing (pencucian otak), misalnya melalui program pertukaran pelajar dan pemberian beasiswa belajar bagi para mahasiswa muslim untuk belajar di perguruan tinggi Barat, menjadi sarana strategis Barat dalam melumpuhkan kekuatan Islam dari dalam. Hasilnya, kita kemudian tidak lagi sibuk berperang dengan Barat semata tapi juga dengan “saudara-saudara” kita sendiri. Betapa banyak dari sarjana yang kita miliki, setelah menempuh studinya di negara-negara Barat, begitu pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi, berubah 180 derajat menjadi corong Barat dalam menghancurkan Islam dengan cara menolak konsep-konsep Islam yang telah final, mengusung ide dekonstruksi syari’ah, menggagas hermeneutika sebagai metode tafsir dan sejumlah ide-ide gila lainnya. Komunitas ini kemudian dikenal dengan JIL yang sering dipelesetkan dengan Jaringan Iblis Laknatullah. Faktanya memang mereka ini mengidap deabolisme pemikiran.
Kosa kata kedua yang harus kita tancapkan pada akal-akal raksasa yang kita miliki adalah kata kekuatan. Bahwa kita harus memenehui sejumlah kekuatan-kekuatan yang mampu memenangkan kita dalam pertarungan ini. Pertarungan ini adalah medan ikhtiyar manusiawi. Maka kata kuncinya menjadi pemenang dari konfrontasi yang permanen ini adalah kita harus memiliki besaran kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan lawan. Dan inilah problem kita. Sebutlah misalnya, sementara Barat dan boneka mereka memiliki sejumlah sarjana dan intelektual (setingkat doktor) yang begitu melimpah, pada waktu yang sama kita punya berapa? Bahkan Hidayatullah, yang punya cita-cita ingin merekontruksi peradaban Islam, untuk sementara hanya memiliki satu orang doktor saja. Semoga lima tahun ke depan, ormas ini telah memiliki segerombolan intelektual setingkat doktor.
Merujuk pada pemikiran Sayyid Quthb, bahwa kekuatan-kekuatan yang harus kita miliki dalam menghadapi narasi besar yang bernama Barat dengan segenap kekuatannya adalah kekuatan aqidah, ekonomi, militer dan beberapa kekuatan lainnya. Nampaknya kita semua sepakat pada solusi itu. Dan itu memang benar pada semua bagiannya. Hanya saja, pola penyelesaian yang benar, seperti yang ditekankan oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani, jangan sampai kita meloncati waktu. Kita seringkali melupakan dan melalaikan rentang waktu antara “dari masa sebelum” dengan “dari masa sesudah dan akhirnya menjadi”.
Rentang waktu itulah yang kita sebut proses. Dan kita semua sepakat bahwa proses yang bisa menghantarkan kita pada sejumlah kekuatan tadi hanya melalui pendidikan dan pembinaan (tarbiyah dan dakwah) yang harus berjalan secara simultan, konsisten, komprehensif dan terpadu. Yang saya maksud adalah melakukan mobilitas horizontal dan vertikal. Program unggulannya adalah kaderisasi kepemimpinan umat pada semua lapisan profesi dan jabatan-jabatan yang strategis. Maka sudah saatnya kita mulai mengajar kader-kader untuk bercita-cita menjadi orang nomor satu di negeri ini. Harus tiba pada suatu kurun dalam sejarah Indonesia, Islam tampil menjadi pedoman bagi sistem berbangsa dan bernegara, dan itu tidak mungkin terjadi kecuali kita mampu menyiapkan. Jadi, kosa kata ketiga yang harus kita hafal adalah kata pendidikan dan kaderisasi.
Kaderisasi yang kita maksud adalah membangun inti lapisan umat yang kita sebut dengan pemimpin. Alasannya adalah berdasarkan filosofi dan hukum sejarah, bahwa sesungguhnya sejarah itu kebanyakan merupakan hasil karsa, karya dan rekayasa dari orang-orang yang berpikir dan berjiwa besar. Sejarah adalah produk para pemimpin yang kemudian orang-orang itu kita namakan para pahlawan.
Pemimpin yang kita maksud, merujuk pada bimbingan al-Qur’an, adalah insan kamil atau khaira ummah (umat yang terbaik). Model yang akan kita contoh adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Maka konsep dan desain pendidikan kita harus merefleksikan manusia universal (Al-Attas: 1996) yang visi misinya adalah melahirkan insan kamil atau khaira ummah tadi dimana mereka harus memiliki kekuatan transendental (kekuatan aqidah: tu’minuwna billah) sehingga mampu memerankan peran kesejarahannya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Substansi dari ide ini, seperti yang ditegaskan oleh Anis Matta dalam bukunya dari gerakan ke negara, adalah bagaimana agar kualitas yang kita miliki secara simtetris berbanding lurus dengan keagungan agama kita. Agama yang besar harus dipeluk dan dijalankan oleh akal-akal rasksasa muslim sejati.
Jadi, seperti imam al-Ghazali yang menyiapkan generasi Salahuddin yang baru mewujud setelah 50 tahun lebih melalu proses pendidikan dan pemikiran yang benar dan tidak tercemar dengan virus-virus pemikiran yang menyesatkan umat dari agamanya, kita juga hendak berupaya menuju terwujudnya sebuah generasi baru muslim kaffah yang akan menjadi aktor sejarah di nusantera.
Akhirnya sebuah generasi yang akan meraksasa, baik secara intelektual, emosional dan spritual, akan mampu melahirkan dan mewujudkan ramalan Dr. Yusuf Qardhawa, bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara akan dipimpin oleh bangsa Indonesia. Saat itu semoga, kita mampu meluluhlantakkan tantangan liberalisai, kristenisasi, sekulerisasi, dan nativisai. Bahkan mampu memenangkan pertarungan keabadian. Insya Allah.

Sunday, April 19, 2009

kmu adalah inspirasi setiap kebaikan
cahaya yang memendar pada seluruh cakrawala fikir dan dzikirku
tentang kearifan
aku menemukan begitu banyak hikmah dalam setiap kata yang kau sabdakan
nafasmu adalah ruh jibril yang menuntun jiwaku selalu mengeja dan membaca
ooooohhhh...per-empu-an-ku
siapakah kira dirimu????
tidakkah dirimu tidak bisa terdefinisikan
lantas tak tersentuh dan terjamah
apakah misterimu sebentuk kebaikan
karena mengajariku tentang metodologi dan metode eksplorasi
terhadap perempuan, cinta dan kehidupan
apakah misterimu tidak menyisakan tafsir
tentang kamu dan cinta
aahhhhh.......kmu prempuan metafisika
meski wujudmu adalah fisika dalam logika ruang dan waktu
keindahanmu bukan pada entitas tanah yg kau miliki
tapi pada dimensi ruh transendental dalam kebajikan hti dan jiwamu
sungguh itu sebuah medan magnet
yang membuatku selalu berotasi dalam pusaran kebaikan dan kehangatan
itu penjelasan dari sebuah gravitasi cinta yang tidak mengakar
pada unsur fisik.
tapi pada jiwa..
sungguh jiwamu ingin ku sentuhhhhhh....

Thursday, February 12, 2009

bUKAN pUAISIIII

SATU
Adalah satu. Dan menjadi Satu
Tak ada dualitas
Jiwa kita telah berpadu
Memadu dalam kidung kasih yang mengharu biru
Sungguh aku tidak menipu
Sumpah di kalbuku ada cetak biru namamu.
Aku ingin kita teremanasi
Melebur mengalami penyatuan dalam seluruh dimensi, realitas dan paradigma
Maka kamu adalah aku
Aku adalah kamu
Tak terpisah. Dan tak ada dikotomi
Karena dikotomi pada hakekatnya bertentangan dengan fitrah jiwa kita yang punya hasrat menyatu.
Denganmu aku ingin menegaskan keesaan cintaku.

POLIGAMI
Dan jika fajar kearifan telah mengkerudungi jiwamu
Saat semua paradigma dan realita dibawah petunjuknya
Saat rasa egomu pupus hangus di atas sembah sujudmu
Saat kau tak lagi mendewakan akal apalagi nafsu serakah
Saat itu egkau dan aku akan bersaksi meyakini
“Poligami adalah syirik cinta yang terestui”

Mazhab Cinta MaRX-ian
Jujur, aku tidak ingin mereduksi cinta dengan menghakiminya pada sebuah hukum logika determinisme. Hanya karena berdasarkan fakta, bahwa cinta terkadang harus menerima nasibnya kalah di bawah kekuatan ekonomi; sebuah cinta yang tergadaikan, cinta yang kehilangan kedigdayaannya di bawah keperkasaan rupiah. Ada uang abang disayang tak ada uang abang ditendang
Aku tidak punya alasan kuat membantah kenyataan yang sangat begitu meyakinkan. Setidaknya begitu petunjuk akalku. Engkau boleh menuduhku picik, lemah atau apalah....??? Tapi perkenankan aku membela diri melakukan advokasi, sekedar untuk membacakan eksepsi “Bahwa dalam banyak sejarahku, determinisme ekonomi sangat begitu kuat menundukkan cinta”.
Lantas apakah aku seorang penganut mazhab cinta Marxian...???
Engkau boleh memberikan penilaian.. tapi saya yakin engkau tidak akan melakukan itu
Di samping karena aku tidak penting, juga mungkin karena kamu sadar bahwa kita memiliki epistimologi cinta yang berbeda...
Engkau melihat cinta pada ide awalnya; idealisme cinta yang menjadi mata air motivasi dan kreasi. Ada banyak karya agung; Taj Mahal.
Aku melihatnya pada sudut kecil realita cintaku, sumber segala teoriku.
Siapa yang benar??? Atau apakah pertanyaan itu sendiri yang tidak benar karena cinta menurutmu selalu benar, tak pernah salah
Apakah cinta-ku engkau juga devinisikan sebagai sebuah cinta dan karenanya juga benar...?????

AL-HAMDULILLAH: Pada Karya Ada Puji Strategi Pemenangan Dakwah Politik

Al-hamdulillah, begitu Allah Swt. mengawali kalam-Nya yang mulia dalam surah al-Fatihah; menegaskan bahwa Dia memuji diri-Nya sendiri. Segala puji memang hanya untuk-Nya. Karena Allah satu-satunya Dzat yang Maha Tinggi yang berkarya akan ala mini dengan seluruh demensi dan keindahannya. Karya-Nya yang agung inilah yang mengkondisikan segala puji dan pengakuan bersimbah ruah untuk-Nya.
Setidaknya kata yang sama terdapat dalam awal surah al-An’am, al-Kahfi, al-Fathir, dan as-Shofa. Semua surah-surah itu, seperti halnya surah al-Fatihah menegaskan bahwa segalapujian harus ditumpah ruahkan untuk-Nya semata. Pujian itu, sesungguhnya merupakam konsekuensi logis dari kita ketika menyaksikan sebuah karya yang tak mungkin bisa ditandingi. Pujian itu merupakan pengakuan terdalam dari seorang hamba akan Pencitanya yang Agung dan Indah. Dan kita mendapat ketenangan dan kedamaian ketika lidah kita selalu basah mengucapkan al-hamdulillah.
Dalam konteks dakwah politik, realitas al-hamdulillah, seyogyanya menyadarkan para aktivis dan kader dakwah bahwa kata indah tersebut mengandung sebuah pesan dan diktum sosial yang sangat signifikan, dan karenanya harus dihayati oleh kita. Qaidah itu adalah “pada karya ada puji”. Jika engkau berkarya engkau akan menuai pujian, mendapat sertifikat pengakuan dan penerimaan. Begitu engkau selesai mewujudkan karyamu dengan sempurna, bersiaplah menerima takdirmu sebagai sosok manusia yang akan dipuji sepanjang sejarah. Inilah rahasia kebesaran para pahlawan, karena pada potongan waktu, mereka pernah memberikan pada sejarah sebuah karya yang agung dan itu menjadi dalil yang “memaksa” umat manusia menaruh kekaguman dan pujian kepada mereka.
Itulah sebabnya, dakwah ini tidak hanya membutuhkan pribadi-pribadi yang bisanya hanya berfikir dan berwacana. Dakwah ini membutuhkan orang-orang yang siap dengan konsep dan bekerja serta beramal secara ikhlas dan mengagumkan. Jika dakwah adalah sebuah mega proyek untuk meretas kembali peradaban Islam,maka hadirnya manusia muslim modern yang memiliki kemampuan beramal secara mengagumkan dan bermanfaat merupakan modal utama dan pertama menuju cita-cita besar tersebut. Nahnu kaumun ‘amaliyun la amaliyun; kami adalah kaum pekerja bukan penghayal.
Sebuah diktum sosial menyebutkan “...kelompok sosial hanya bisa eksis jika memberi mamfaat kepada masyarakat. Makin besar manfaatnya makin cepat eksisnya. Semua itu terkait dengan pengakuan masyarakat (social recognation). Inilah yang dimaksud oleh Anis Matta, alter ego saya, dalam bukunya menikmati demokrasi, bahwa kita harus berupaya menjahriyahkan amal-amal dakwah dan tarbawi kita kepada masyarakat. Usaha ini merupakan langkah dari dan untuk mengikuti logika massa, dimana mereka itu tidak bisa menjangkau hal-hal yang bersifar abstrak konseptual. Persepsi masyarakat lebih banyak dibentuk oleh fakta yang ril, tersentuh dan terjamah. Karena itu menampakkan amal kebaikan kepada masyarakat adalah dalam rangka menarik simpati dan kepercayaan (trust) merupakan aksioma dakwah, terlebih pada momentum pemilu tahun 2009 ini, untuk mendapatkan kemenangan. Kita harus menang, sebab kitalah yang paling berhak dan butuh atas kekuasaan. Karena kekuasaan pada substansinya akan memberi kita legitimasi mengatur masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Allah Swt. berfirman “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu. (Qs. At-Taubah: 105)
Rasulullah saw bersabda “Manusia yang paling terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat”.
Demikianlah petunjuk Allah dan Rasulullah tentang strategi memenangkan dakwah. Bahwa kontribusi amal yang mampu mewujudkan kemaslahatan umum adalah bukti dari keterlibatan dan tanggung jawab kita terhadap jama’ah dakwah. Hal ini juga menjadi dalil tentang siginifikansi sebuah manajemen strategi dakwah. Sebisa mungkin amal-amal dakwah dan tarbawi kita harus menusuk tepat di pusat jantung kesadaran massa, sehingga mampu menciptakan kesan kuat dalam struktur logika mereka, dan secara aktif mampu membuat mereka berafiliasi secara intelektual dan emosional terhadap gerakan dakwah. Disinilah pentingnya beramal secara cerdas dan kreatif yang harus merujuk pada pemikiran tentang efesiensi dan efektifitas gerakan. Maka pemahaman terhadap fqih al-awlawiyah (fiqh prioritas) dan fiqh al-waqi’ (fiqh realitas) bagi segenap da’i merupakan sebuah keniscayaan. Sebab kedua fiqh ini akan membimbing kita beramal secara lebih cerdas dan tepat.
Selanjutnya pembicaraan tentang fasal ini tidak akan sempurna kecuali kita berbicara tentang bagaimana cara yang tepat agar aktivitas dakwah yang kita lakukan dapat diketahui dan mampu memberi kesan yang menggugah dan menggetarkan jiwa masyarakat.
Di sinilah pentingnya media dan bagaimana cara bermua’amalah dengan media. Yang kita inginkan dari media adalah “apa yang kita lakukan, sebisa mungkin masyarakat harus tahu, apa yang kita sampaikan sebisa mungkin masyarakat harus paham, apa yang kita programkan sebisa mungkin masyarakat mendengar”. Sehingga ketika saatnya kita melakukan mobilisasi massa, mereka bersegara menyambut serua reformasi kita. Dan jika demikian halnya, segeralah bersiap menunggu takdir kita sebagai pemenang. Allahu Akbar.

REVOLUSI KURIKULUM Menuju Pendidikan yang Mencerahkan

By: Umar Hadi bin Makka

Dan ketika Allah Swt. berfirman dalam kitab-Nya “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS: 4. 141), maka masyarakat yang dikehendaki oleh al-Qur’an adalah masyarakat yang agung dan mulia; sebuah masyarakat yang memiliki semua persyaratan sebagai masyarakat terbaik, sebuah masyarakat yang tidak menyisakan tempat bagi sebuah kelemahan. Masyarakat Islam bukan kumpulan individu para pecundang yang terpinggirkan dalam sejarah. Islam menghendaki umatya tidak mengalami marginalisasi periferalisasi dalam percaturan peradaban dunia. Karena itu saya ingin menegaskan doktrin teologis kita sebagai masyarakat terbaik yang harus keluar menjadi pemenang dalam semua epos sejarah kemanusiaan. Ayat itu , secara implisit, berusaha menjelaskan visi eksistensial kita yang harus menjadi pemimpin dan soko guru peradaban umat manusia. Dalam ayat lain, al-qur’an menyebut masyarakat terbaik itu dengan kata “khaira ummah”.
Tetapi gambaran ideal ini terpasung dalam kenyataan sekarang. Bukannya menjadi pemenang, sebaliknya dalam beberapa hal kita telah menjadi masyarakat pecundang yang kurang diperhitungkan lagi oleh sejarah. Dalam perspektif teologis idiologis, tentu saja, fenomena ini bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah bentuk penghianatan terhadap visi eksistensial kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Bahwa ketika kita telah kehilangan atau mungkin saja sengaja menghilangkan peran kesejarahan kita sebagai khaira ummah akibat kelalaian atau kejahilan, maka itu satu bukti yang jelas betapa umat telah kehilangan kekuatan, izzah, kharisma dan keagungannya, sehingga umat ini terpinggirkan dalam panggung sejarah. Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa umat telah mengidap penyakit inferiori complex dan dalam ilmu pengetahuan kita telah mengalami imperialisme epistimologis.
Ini merupakan suatu bentuk krisis lain dari fakta tidak adanya hubungan, yang seharusnya simetris, antara keagungan ajaran Islam dengan keagungan para pemeluknya. Jelasnya, agama Islam tidak hanya mencukupkan dirinya dan merasa puas dengan para individu biasa yang tidak memiliki nilai kontribusi. Sejak awal, Islam hanya memasrahkan dirinya pada pribadi-pribadi yang berpikir dan berjiwa besar. Itulah satu-satunya fakta yang bisa menjelaskan kenapa nabi Muhammad Saw begitu besar keinginannya agar salah seorang di antara dua umar dimasukkan oleh Allah ke dalam barisan Islam. Dan itulah sebabnya pula, ada banyak pahlawan yang lahir dari rahim Islam yang membawa bendera perubahan dalam seluruh struktur kehidupan umat manusia. Bahwa Islam dalam sejarahnya telah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan tidak akan pernah dapat terjelaskan kecuali dengan dalil bahwa semua itu hanyalah berangkat dari kesadaran para pemeluk Islam awal akan tanggung jawab moral dan intelektual mereka sebagai pemeluk agama yang agung ini. Artinya, seharusnya umat ini harus mampu memanifestasikan nilai-nilai Islam yang universal dalam seluruh domain kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan konsep Insan Kamil; manusia paripurna yang telah melalui tahap internalisasi dan eksternalisasi seluruh ajaran Islam. Dan ciri pokok dari insan kamil itu adalah cara berpikirnya yang bersifat civilizational; bersusaha menghadirkan keindahan Islam pada demensi ruang dan waktu (peradaban)
Pemikiran inilah yang menjadi fokus kajian konseptual filsafat pendidikan Islam. Menjadi manusia yang multidemensi yang secara integral dan koheren mampu mencerminkan seluruh aspek dari keuniversalan Islam adalah tujuan pendidikan Islam. Gagasan utama ini berangkat dari fakta bahwa manusia berkat anugrah Tuhan merupakan makhluk yang memiliiki potensi dan keunggulan-keunggulan kompetitif dalam menyerap sifat-sifat ketuhanan (manusia Rabbaniy) dan karenanya secara potensial manusia mampu memanifestasikan dirinya dalam semua disiplin kehidupan. Itulah sebabnya, manusia diberi kesempatan dan amanah mengelola bumi, setelah semua makhluk lain tidak sanggup karena tidak memiliki persyaratan sebagai khalifah Allah.
Berangkat dari gagasan ini, maka bangunan kurikulum sebagai sarana strategis dalam mencapai tujuan tersebut, haruslah dirancang dan didesain dengan menyerap dan merujuk pada semangat manusia paripurna. Inspirasi dan model utamanya adalah Rasulullah saw. sebagai insan kamil pertama dalam sejarah. Kurikulum ini harus memiliki kemampuan bertanggung jawab dalam menterjemahkan visi-misi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah, yang dalam bentuk kongkritnya adalah dibentuknya satuan bahan ajar yang mampu mewujudkan manusia muslim yang memiliki kualifikasi khaira ummah.
Dengan demikian ada dua pendahuluan awal yang harus dipahami dalam mereformulasi kurikulum pendidikan Islam. Pertama; pemahaman yang benar terhadap seluruh ajaran dan konsep-konsep kunci dalam Islam, sebagai basis dan sumber bahan ajar atau materi kurikulumnya. Kedua; pemahaman yang shahih terhadap manusia dalam seluruh aspeknya sebagai subyek dan objek dari pendidikan Islam. Dua pendahuluan awal ini haruslah juga memiliki relevansi dengan kebutuhan dan dinamika jaman yang kita sebut dengan prinsip pragmatis (mashlahat ) pendidikan Islam, dan ini terkait dengan fiqh waqi’ (fiqh realitas), yaitu kemampuan mengidentifikasi kebutuhan umat, dimana ijtihad adalah metodologinya. Dua pendahuluan di atas menjelaskan demensi lain dari kurikulum Islam, dimana secara hirarkis kurikulum islam itu dibagi dalam dua bentuk yaitu kurikulum fardhu ‘ain dan kurikulum fardhu kifayah. Karena itu ide dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak menemukan tempatnya dalam paradigma metafisika dan epistimologi pendidikan Islam.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dan diskusi awal, semua pemikiran awal tersebut di atas hanyalah merujuk pada ide utama bahwa reformulasi kurikulum haruslah berasaskan tauhid sebagai basis utama metafisika pendidikan Islam. Tauhid sebagai basis metafisika pendidikan Islam menegaskan satu fakta penting tentang adanya sebuah revolusi hidup; sejenis transformasi radikal dari pribadi yang jahili menjadi individu cerdas dan mencerahkan (ana wa ghairihi). Intinya dengan landasan tauhid yang benar, kita ingin bertanggung jawab merekonstruksi manusia muslim yang memiliki kemampuan mengejewantahkan seluruh nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan.
Persis seperti Muhammad Saw. di gurun sahara yang mampu mengubah para gembala menjadi pemimpin dunia, maka aku yakin begitulah adanya dan seharusnya peran kependidikan kita. Dan setelah kau baca kata demi kata dari tulisan ringkas ini, aku harap kamu menemukan keyakinanmu pada kata “jika tauhid yang telah merekah indah dan menghunjam kuat dalam palung hatimu yang terdalam, maka bersegeralah menunggu datangnya keajaiban; sebuah drama revolusi dahsyat yang mampu mengubah peta kehidupan umat: semua manusia tertunduk pasrah keharibaan Tuhan. Inilah kebebasan sejati dan inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan revolusi. Dan kurikulum pendidikan Islam menemukan tempatnya yang paling terhormat sebagai sufrastruktur pertama yang mampu mengembalikan manusia kepada kesadaran primordialnya....