Thursday, February 12, 2009

bUKAN pUAISIIII

SATU
Adalah satu. Dan menjadi Satu
Tak ada dualitas
Jiwa kita telah berpadu
Memadu dalam kidung kasih yang mengharu biru
Sungguh aku tidak menipu
Sumpah di kalbuku ada cetak biru namamu.
Aku ingin kita teremanasi
Melebur mengalami penyatuan dalam seluruh dimensi, realitas dan paradigma
Maka kamu adalah aku
Aku adalah kamu
Tak terpisah. Dan tak ada dikotomi
Karena dikotomi pada hakekatnya bertentangan dengan fitrah jiwa kita yang punya hasrat menyatu.
Denganmu aku ingin menegaskan keesaan cintaku.

POLIGAMI
Dan jika fajar kearifan telah mengkerudungi jiwamu
Saat semua paradigma dan realita dibawah petunjuknya
Saat rasa egomu pupus hangus di atas sembah sujudmu
Saat kau tak lagi mendewakan akal apalagi nafsu serakah
Saat itu egkau dan aku akan bersaksi meyakini
“Poligami adalah syirik cinta yang terestui”

Mazhab Cinta MaRX-ian
Jujur, aku tidak ingin mereduksi cinta dengan menghakiminya pada sebuah hukum logika determinisme. Hanya karena berdasarkan fakta, bahwa cinta terkadang harus menerima nasibnya kalah di bawah kekuatan ekonomi; sebuah cinta yang tergadaikan, cinta yang kehilangan kedigdayaannya di bawah keperkasaan rupiah. Ada uang abang disayang tak ada uang abang ditendang
Aku tidak punya alasan kuat membantah kenyataan yang sangat begitu meyakinkan. Setidaknya begitu petunjuk akalku. Engkau boleh menuduhku picik, lemah atau apalah....??? Tapi perkenankan aku membela diri melakukan advokasi, sekedar untuk membacakan eksepsi “Bahwa dalam banyak sejarahku, determinisme ekonomi sangat begitu kuat menundukkan cinta”.
Lantas apakah aku seorang penganut mazhab cinta Marxian...???
Engkau boleh memberikan penilaian.. tapi saya yakin engkau tidak akan melakukan itu
Di samping karena aku tidak penting, juga mungkin karena kamu sadar bahwa kita memiliki epistimologi cinta yang berbeda...
Engkau melihat cinta pada ide awalnya; idealisme cinta yang menjadi mata air motivasi dan kreasi. Ada banyak karya agung; Taj Mahal.
Aku melihatnya pada sudut kecil realita cintaku, sumber segala teoriku.
Siapa yang benar??? Atau apakah pertanyaan itu sendiri yang tidak benar karena cinta menurutmu selalu benar, tak pernah salah
Apakah cinta-ku engkau juga devinisikan sebagai sebuah cinta dan karenanya juga benar...?????

AL-HAMDULILLAH: Pada Karya Ada Puji Strategi Pemenangan Dakwah Politik

Al-hamdulillah, begitu Allah Swt. mengawali kalam-Nya yang mulia dalam surah al-Fatihah; menegaskan bahwa Dia memuji diri-Nya sendiri. Segala puji memang hanya untuk-Nya. Karena Allah satu-satunya Dzat yang Maha Tinggi yang berkarya akan ala mini dengan seluruh demensi dan keindahannya. Karya-Nya yang agung inilah yang mengkondisikan segala puji dan pengakuan bersimbah ruah untuk-Nya.
Setidaknya kata yang sama terdapat dalam awal surah al-An’am, al-Kahfi, al-Fathir, dan as-Shofa. Semua surah-surah itu, seperti halnya surah al-Fatihah menegaskan bahwa segalapujian harus ditumpah ruahkan untuk-Nya semata. Pujian itu, sesungguhnya merupakam konsekuensi logis dari kita ketika menyaksikan sebuah karya yang tak mungkin bisa ditandingi. Pujian itu merupakan pengakuan terdalam dari seorang hamba akan Pencitanya yang Agung dan Indah. Dan kita mendapat ketenangan dan kedamaian ketika lidah kita selalu basah mengucapkan al-hamdulillah.
Dalam konteks dakwah politik, realitas al-hamdulillah, seyogyanya menyadarkan para aktivis dan kader dakwah bahwa kata indah tersebut mengandung sebuah pesan dan diktum sosial yang sangat signifikan, dan karenanya harus dihayati oleh kita. Qaidah itu adalah “pada karya ada puji”. Jika engkau berkarya engkau akan menuai pujian, mendapat sertifikat pengakuan dan penerimaan. Begitu engkau selesai mewujudkan karyamu dengan sempurna, bersiaplah menerima takdirmu sebagai sosok manusia yang akan dipuji sepanjang sejarah. Inilah rahasia kebesaran para pahlawan, karena pada potongan waktu, mereka pernah memberikan pada sejarah sebuah karya yang agung dan itu menjadi dalil yang “memaksa” umat manusia menaruh kekaguman dan pujian kepada mereka.
Itulah sebabnya, dakwah ini tidak hanya membutuhkan pribadi-pribadi yang bisanya hanya berfikir dan berwacana. Dakwah ini membutuhkan orang-orang yang siap dengan konsep dan bekerja serta beramal secara ikhlas dan mengagumkan. Jika dakwah adalah sebuah mega proyek untuk meretas kembali peradaban Islam,maka hadirnya manusia muslim modern yang memiliki kemampuan beramal secara mengagumkan dan bermanfaat merupakan modal utama dan pertama menuju cita-cita besar tersebut. Nahnu kaumun ‘amaliyun la amaliyun; kami adalah kaum pekerja bukan penghayal.
Sebuah diktum sosial menyebutkan “...kelompok sosial hanya bisa eksis jika memberi mamfaat kepada masyarakat. Makin besar manfaatnya makin cepat eksisnya. Semua itu terkait dengan pengakuan masyarakat (social recognation). Inilah yang dimaksud oleh Anis Matta, alter ego saya, dalam bukunya menikmati demokrasi, bahwa kita harus berupaya menjahriyahkan amal-amal dakwah dan tarbawi kita kepada masyarakat. Usaha ini merupakan langkah dari dan untuk mengikuti logika massa, dimana mereka itu tidak bisa menjangkau hal-hal yang bersifar abstrak konseptual. Persepsi masyarakat lebih banyak dibentuk oleh fakta yang ril, tersentuh dan terjamah. Karena itu menampakkan amal kebaikan kepada masyarakat adalah dalam rangka menarik simpati dan kepercayaan (trust) merupakan aksioma dakwah, terlebih pada momentum pemilu tahun 2009 ini, untuk mendapatkan kemenangan. Kita harus menang, sebab kitalah yang paling berhak dan butuh atas kekuasaan. Karena kekuasaan pada substansinya akan memberi kita legitimasi mengatur masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Allah Swt. berfirman “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu. (Qs. At-Taubah: 105)
Rasulullah saw bersabda “Manusia yang paling terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat”.
Demikianlah petunjuk Allah dan Rasulullah tentang strategi memenangkan dakwah. Bahwa kontribusi amal yang mampu mewujudkan kemaslahatan umum adalah bukti dari keterlibatan dan tanggung jawab kita terhadap jama’ah dakwah. Hal ini juga menjadi dalil tentang siginifikansi sebuah manajemen strategi dakwah. Sebisa mungkin amal-amal dakwah dan tarbawi kita harus menusuk tepat di pusat jantung kesadaran massa, sehingga mampu menciptakan kesan kuat dalam struktur logika mereka, dan secara aktif mampu membuat mereka berafiliasi secara intelektual dan emosional terhadap gerakan dakwah. Disinilah pentingnya beramal secara cerdas dan kreatif yang harus merujuk pada pemikiran tentang efesiensi dan efektifitas gerakan. Maka pemahaman terhadap fqih al-awlawiyah (fiqh prioritas) dan fiqh al-waqi’ (fiqh realitas) bagi segenap da’i merupakan sebuah keniscayaan. Sebab kedua fiqh ini akan membimbing kita beramal secara lebih cerdas dan tepat.
Selanjutnya pembicaraan tentang fasal ini tidak akan sempurna kecuali kita berbicara tentang bagaimana cara yang tepat agar aktivitas dakwah yang kita lakukan dapat diketahui dan mampu memberi kesan yang menggugah dan menggetarkan jiwa masyarakat.
Di sinilah pentingnya media dan bagaimana cara bermua’amalah dengan media. Yang kita inginkan dari media adalah “apa yang kita lakukan, sebisa mungkin masyarakat harus tahu, apa yang kita sampaikan sebisa mungkin masyarakat harus paham, apa yang kita programkan sebisa mungkin masyarakat mendengar”. Sehingga ketika saatnya kita melakukan mobilisasi massa, mereka bersegara menyambut serua reformasi kita. Dan jika demikian halnya, segeralah bersiap menunggu takdir kita sebagai pemenang. Allahu Akbar.

REVOLUSI KURIKULUM Menuju Pendidikan yang Mencerahkan

By: Umar Hadi bin Makka

Dan ketika Allah Swt. berfirman dalam kitab-Nya “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS: 4. 141), maka masyarakat yang dikehendaki oleh al-Qur’an adalah masyarakat yang agung dan mulia; sebuah masyarakat yang memiliki semua persyaratan sebagai masyarakat terbaik, sebuah masyarakat yang tidak menyisakan tempat bagi sebuah kelemahan. Masyarakat Islam bukan kumpulan individu para pecundang yang terpinggirkan dalam sejarah. Islam menghendaki umatya tidak mengalami marginalisasi periferalisasi dalam percaturan peradaban dunia. Karena itu saya ingin menegaskan doktrin teologis kita sebagai masyarakat terbaik yang harus keluar menjadi pemenang dalam semua epos sejarah kemanusiaan. Ayat itu , secara implisit, berusaha menjelaskan visi eksistensial kita yang harus menjadi pemimpin dan soko guru peradaban umat manusia. Dalam ayat lain, al-qur’an menyebut masyarakat terbaik itu dengan kata “khaira ummah”.
Tetapi gambaran ideal ini terpasung dalam kenyataan sekarang. Bukannya menjadi pemenang, sebaliknya dalam beberapa hal kita telah menjadi masyarakat pecundang yang kurang diperhitungkan lagi oleh sejarah. Dalam perspektif teologis idiologis, tentu saja, fenomena ini bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah bentuk penghianatan terhadap visi eksistensial kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Bahwa ketika kita telah kehilangan atau mungkin saja sengaja menghilangkan peran kesejarahan kita sebagai khaira ummah akibat kelalaian atau kejahilan, maka itu satu bukti yang jelas betapa umat telah kehilangan kekuatan, izzah, kharisma dan keagungannya, sehingga umat ini terpinggirkan dalam panggung sejarah. Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa umat telah mengidap penyakit inferiori complex dan dalam ilmu pengetahuan kita telah mengalami imperialisme epistimologis.
Ini merupakan suatu bentuk krisis lain dari fakta tidak adanya hubungan, yang seharusnya simetris, antara keagungan ajaran Islam dengan keagungan para pemeluknya. Jelasnya, agama Islam tidak hanya mencukupkan dirinya dan merasa puas dengan para individu biasa yang tidak memiliki nilai kontribusi. Sejak awal, Islam hanya memasrahkan dirinya pada pribadi-pribadi yang berpikir dan berjiwa besar. Itulah satu-satunya fakta yang bisa menjelaskan kenapa nabi Muhammad Saw begitu besar keinginannya agar salah seorang di antara dua umar dimasukkan oleh Allah ke dalam barisan Islam. Dan itulah sebabnya pula, ada banyak pahlawan yang lahir dari rahim Islam yang membawa bendera perubahan dalam seluruh struktur kehidupan umat manusia. Bahwa Islam dalam sejarahnya telah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan tidak akan pernah dapat terjelaskan kecuali dengan dalil bahwa semua itu hanyalah berangkat dari kesadaran para pemeluk Islam awal akan tanggung jawab moral dan intelektual mereka sebagai pemeluk agama yang agung ini. Artinya, seharusnya umat ini harus mampu memanifestasikan nilai-nilai Islam yang universal dalam seluruh domain kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan konsep Insan Kamil; manusia paripurna yang telah melalui tahap internalisasi dan eksternalisasi seluruh ajaran Islam. Dan ciri pokok dari insan kamil itu adalah cara berpikirnya yang bersifat civilizational; bersusaha menghadirkan keindahan Islam pada demensi ruang dan waktu (peradaban)
Pemikiran inilah yang menjadi fokus kajian konseptual filsafat pendidikan Islam. Menjadi manusia yang multidemensi yang secara integral dan koheren mampu mencerminkan seluruh aspek dari keuniversalan Islam adalah tujuan pendidikan Islam. Gagasan utama ini berangkat dari fakta bahwa manusia berkat anugrah Tuhan merupakan makhluk yang memiliiki potensi dan keunggulan-keunggulan kompetitif dalam menyerap sifat-sifat ketuhanan (manusia Rabbaniy) dan karenanya secara potensial manusia mampu memanifestasikan dirinya dalam semua disiplin kehidupan. Itulah sebabnya, manusia diberi kesempatan dan amanah mengelola bumi, setelah semua makhluk lain tidak sanggup karena tidak memiliki persyaratan sebagai khalifah Allah.
Berangkat dari gagasan ini, maka bangunan kurikulum sebagai sarana strategis dalam mencapai tujuan tersebut, haruslah dirancang dan didesain dengan menyerap dan merujuk pada semangat manusia paripurna. Inspirasi dan model utamanya adalah Rasulullah saw. sebagai insan kamil pertama dalam sejarah. Kurikulum ini harus memiliki kemampuan bertanggung jawab dalam menterjemahkan visi-misi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah, yang dalam bentuk kongkritnya adalah dibentuknya satuan bahan ajar yang mampu mewujudkan manusia muslim yang memiliki kualifikasi khaira ummah.
Dengan demikian ada dua pendahuluan awal yang harus dipahami dalam mereformulasi kurikulum pendidikan Islam. Pertama; pemahaman yang benar terhadap seluruh ajaran dan konsep-konsep kunci dalam Islam, sebagai basis dan sumber bahan ajar atau materi kurikulumnya. Kedua; pemahaman yang shahih terhadap manusia dalam seluruh aspeknya sebagai subyek dan objek dari pendidikan Islam. Dua pendahuluan awal ini haruslah juga memiliki relevansi dengan kebutuhan dan dinamika jaman yang kita sebut dengan prinsip pragmatis (mashlahat ) pendidikan Islam, dan ini terkait dengan fiqh waqi’ (fiqh realitas), yaitu kemampuan mengidentifikasi kebutuhan umat, dimana ijtihad adalah metodologinya. Dua pendahuluan di atas menjelaskan demensi lain dari kurikulum Islam, dimana secara hirarkis kurikulum islam itu dibagi dalam dua bentuk yaitu kurikulum fardhu ‘ain dan kurikulum fardhu kifayah. Karena itu ide dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak menemukan tempatnya dalam paradigma metafisika dan epistimologi pendidikan Islam.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dan diskusi awal, semua pemikiran awal tersebut di atas hanyalah merujuk pada ide utama bahwa reformulasi kurikulum haruslah berasaskan tauhid sebagai basis utama metafisika pendidikan Islam. Tauhid sebagai basis metafisika pendidikan Islam menegaskan satu fakta penting tentang adanya sebuah revolusi hidup; sejenis transformasi radikal dari pribadi yang jahili menjadi individu cerdas dan mencerahkan (ana wa ghairihi). Intinya dengan landasan tauhid yang benar, kita ingin bertanggung jawab merekonstruksi manusia muslim yang memiliki kemampuan mengejewantahkan seluruh nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan.
Persis seperti Muhammad Saw. di gurun sahara yang mampu mengubah para gembala menjadi pemimpin dunia, maka aku yakin begitulah adanya dan seharusnya peran kependidikan kita. Dan setelah kau baca kata demi kata dari tulisan ringkas ini, aku harap kamu menemukan keyakinanmu pada kata “jika tauhid yang telah merekah indah dan menghunjam kuat dalam palung hatimu yang terdalam, maka bersegeralah menunggu datangnya keajaiban; sebuah drama revolusi dahsyat yang mampu mengubah peta kehidupan umat: semua manusia tertunduk pasrah keharibaan Tuhan. Inilah kebebasan sejati dan inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan revolusi. Dan kurikulum pendidikan Islam menemukan tempatnya yang paling terhormat sebagai sufrastruktur pertama yang mampu mengembalikan manusia kepada kesadaran primordialnya....

TAFSIR ISLAM ATAS REALITAS

Jika Islam adalah agama yang memiliki tingkat relevansi pada setiap tempat dan waktu (shalih likulli zaman wa makan), maka Islam dalam karakteristiknya sebagai agama universal dan pedoman bagi umat manusia, tentu memiliki tafsiran tersendiri atas realitas ke-kinian dan ke-disinian. Bahwa Islam sebagai agama wahyu memiliki paradigma teoritis tertentu terhadap seluruh kenyataan empiris dan obyektif manusia. Islam dalam posisinya sebagai referensi transendental manusia, memaklumkan dirinya sebagai sebuah agama yang sarat dengan nilai-nilai ontologis, epistemologi, dan aksiologis dalam mengobyektifikasi dan menginterpretasi seluruh kenyatan vertikal dan horizontal. Fakta ini secara jelas ditegaskan di dalam kitab suci, bahwa tidak ada bagian sedikit-pun yang terlewatkan oleh al-Qur’an. Ayat itulah yang menjadi hujjah perkataan Abu Bakar “seandainya aku kehilangan tali kekang kudaku, niscaya akan aku mendapatkannya dalam al-Qur’an”.
Hanya saja, penjelasan Islam atas berbagai realitas tidaklah semuanya bersifat rinci, melainkan sebagian besar dibangun atas kerangka umum dan global. Karena itu, diperlukan adanya akal-akal kreatif muslim untuk melakukan derivasi dan elaborasi dari berbagai kerangka-kerangka umum dan konsep-konsep kunci tersebut tersebut menjadi sebuah teori ilmu yang bersifat praksis-aktual. Dalam kerangka ini, kita berusaha mempertemukan antara kebenaran idealisme wahyu dengan kebenaran realitas dalam dimensi ruang dan waktu. Ide pokoknya adalah bagaimana denga seperangkat teori derivatif dari tersebut, kita mampu mengkontruksi atau bahkan pada tingkat mengestimasi kemungkinan sebuah kenyataan dengan tepat dan memberikan jawabannya.
Langkah pertama dari semua usaha itu adalah menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sebuah paradigma. Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn, bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh sebuah mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode knowing tertentu pula. Imanuel Kant menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut dengan “skema konseptual” (Kuntowijoyo: 2008). Diharapkan dengan paradigma ini kita akan mampu memahami dan menangkap sunnah-sunnah Rabbaniyyah (sunnatullah) yang mengatur seluruh sistem pergerakan dan perubahan pada seluruh sruktur kehidupan umat manusia. Hal ini dimaksudkan untuk memprediksi signifikansi dan kemana orientasi peristiwa-peristiwa tersebut mengalir, dan di satu sisi mengetahui sifat yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut (Muhammad Quthub: 1996). Jika akal-akal muslim mampu menguasai disiplin ini dengan baik, maka kita berhasil menemukan teori-teori ilmu sosial yang bersifat universal, dimana medan aplikasi dan aktualisasi dari ilmu tersebut bersifat mondial. Keyakinan ini berotal dari premis awal bahwa seluruh persepsi islami atas semua tingkatan realitas dibangun di atas altar sumber otoritas tertinggi, dan karenanya secara substansial, studi ini sepenuhnya adalah obyektif dan ilmiah murni.

Pemahaman terhadap Dua Sumber Otoritas: Sebuah Pendekatan

Pemahaman terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan titik tolak dari seluruh persepsi dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan fakta bahwa keduanya adalah kalamullah, cukuplah menjadi bukti yang terbantahkan bahwa keduanya memuat segala informasi yang valid tentang berbagai fenomena dan ilmu pengetahuan, karena sumbernya adalah Allah; Dzat yang Maha Mengetahui apa-apa yang terjadi dilangit dan bumi, yang berdemensi fisika maupun metafisika. Sehingga usaha intelektual yang shahih berdasarkan metode tafsir dan ta’wil untuk memahami al-qur’an merupakan study yang akan selalu menghasilkan temuan baru yang spektakuler. Itulah sebabnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam mampu menghasilkan ribuan ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu. Hal itu karena agama ini dengan dua perangkat utamanya, telah menyediakan skema konseptual bagi pengembangan ilmu.
Agar dua sumber otoritas yang telah menyediakan skema konseptual itu terpahami sehingga mampu dijadikan sebagai sebuah paradigma untuk menafsirkan realitas, maka salah satu pendekatan - diatara beberapa pendekatan yang telah disampaikan oleh beberapa ilmuwan yang lain - yang disodorkan oleh Kuntowijoyo adalah pendekatan Sintetik-Analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan dari dua sumber tersebut terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama; berisi konsep dan bagian kedua; berisi kisah-kisah sejarah (Kuntowijoyo: 2008, 549).
Untuk bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita akan menjadikannya sebagai data dan referensi dalam mendevinisikan serta menafsirkan realitas. Sebutlah, misalnya, konsep jahiliyah. Istilah ini mengacu pada kondisi peradaban manusia yang kehilangan visi eksistensialnya, sehingga manusia melakukan penyembahan kepada selain Allah (syirik). Dengan demikian, konsep ini tidak hanya merujuk pada kondisi sosio-historis masyarakat Arab waktu itu, tetapi lebih merupakan sebagai sebuah paradigma al-Qur’an dalam menjelaskan kondisi manusia yang mengalami ”the lost of tauhid”. Dengan mengacu pada sifat dan karateristik jahiliyah yang gambarkan oleh al-Qur’an, tentu bukanlah sebuah kesalahan jika realitas umat sekarang bisa dikatakan sebagai sebuah kondisi yang berada dalam kondisi jahiliyah seperti yang ditegaskan oleh Sayyid Quthub.
Demikian juga halnya dengan konsep pembangunan yang disitilahkan oleh a-Qur’an dengan kata “Taghyir”. Konsep ini bukanlah pembangunan pada aspek fisik dan ekonomi semata, melainkan dimulai dari pembangunan individu yang memahami kedudukannya di hadapan Tuhan. Maka dengan analisa konseptual ini, kita akan berkesimpulan bahwa usaha pembangunan yang tidak dimulai dari jiwa manusia, hasilnya akan sia-sia. Beginilah tafsir islam atas realitas pembangunan
Dengan konsep-konsep tersebut, dalam kaitannya dengan tema tafsir Islam atas realitas maka, maka kita harus mampu memiliki pemahaman yang utuh, benar dan konfrehensif tentang unsur dan elemen yang membentuk realitas. Unsur-unsur itu antara lain pengenalan terhadap Allah sebagai penguasa alam (Rabb al-Alamin) yang mengendalikan seluruh tata alam dengan prinsip-prinspi sunnah-Nya yang tetap. Selanjutnya pemahaman yang utuh tentang hakekat manusia (miskrokosmos) sebagai pelaku utama sejarah dan peradaban dan alam (makrokosmos) sebagai medan aplikasi yang memuat berbagai tata aturan ilahi. Serara ringkas, al-Qur’an dan as-Sunnah harus kita jadikan rujukan utama dalam menjelaskan rumusan filosofis tentang apa itu tuhan (filsafat tentang Tuhan), apa itu manusia (filsafat tentang manusia) dan apa itu alam (filsafat tentang alam). Ketiga elemen ini harus terjelaskan secara devinitif kepada manusia muslim.
Adapun untuk bagian yang kedua, yang berisi tentang kisah-kisah sejarah, kita akan menjadikannya sebagai referensi untuk menemukan hukum kesejatian sejarah (fisafat sejarah). Dengan referensi ini kita akan menemukan sebab-sebab utama dari, misalnya, jatuh bangunnya sebuah peradaban dan lain-lain, sehingga semua itu akan kita jadikan sebagai paradigma untuk aksi menafsirkan realitas peradaban umat manusia.
Dalam a-Qur’an banyak sekali disebutkan kisah-kisah untuk mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal, misalnya kisah kezaliman Fira’un yang menggambarkan arche-type mengenai kejahatan tiranik pada masa paling awal yang pernah dikenal oleh manusia. Al-Qur’an memaksudkan penggambaran-penggambaran arche-type itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa fenomena itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan data historisnya yang penting, tapi pesan moralnya. Bukan bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan tapi ta’wil subjektif-normatifnya. Inilah yang dimaksud dengan pendekatan sintetik. (Kunto: 2008, 552).
Dengan paradigma wahyu ini, mungkin kita bisa mengajukan pertanyaan bagaimana tafsir Islam atas realitas peradaban Barat, atau bagaimana posisi intelektual Islam atas tesis yang diajukan oleh Samuel Huntingtong dengan “class of civilization”-nya. Pertanyaan lain yang mungkin bisa diajukan adalah bagaimana tafsir Islam atas serangan yang dilancarkan oleh Israil terhadap Palestina, mungkinkah nantinya disepakati adanya sebuah perjanjian yang permanen.
Sesungguhnya semua realitas kontemporer umat bisa ditafsirkan melalui paradigma al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya, untuk kasus keinginan membuat perjanjian damai yang permanen antara pihak Israil dan Palestina yang notabene adalah muslim. Menurut penulis, hal itu sangat mustahil. Di samping mengingat perangai Yahudi yang digambarkan oleh al-Qur’an sebagai sebuah komunitas para pengkhianat, pendusta, pembunuh para Nabi dan predikat buruk lainnya, juga berdasarkan penjelasan al-Qur’an bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah ridha sampai kita (umat Islam) mengikuti millah mereka, dan karenanya menurut konsepsi Islam antara kita dengan Yahudi (baca: negara Israil) tercipta sebuah, merujuk pada Istilah al-Attas, konfrontasi yang permanen, atau adanya, dalam bahasa al-Qardhawi, sunnah tadaafu’ (sunnah pertarungan) (Qs. al-Baqarah: 217).
Dengan paradigma yang sama untuk menafsirkan realitas ekonomi umat sehingga mampu mengambil sikap yang tepat. Seharusnya, berdasarkan firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 75, umat Islam tidak boleh mempercayakan urusan harta atau uang mereka kepada negara Amerika yang pasar modal dan uang mereka dikuasai oleh Yahudi dan Nashrani, karena terbukti dalam sejarah mereka adalah bangsa yang menghianati Bretton Woods - sebuah perjanjian dan kesepakatan yang menegaskan kepada negara anggotanya agar setiap uang yang dicetak (money creation) harus memiliki cadangan emas yang seharusnya - dengan cara mengeluarkan uang yang melebihi kemampuan cadangan emasnya, bahkan secara sepihak tidak lagi mengijinkan mata uang disetarakan terhadap emas atau harus dengan dolar. (Baca “Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham”, Muhaimin Iqbal: 2007, 25).
Demikian juga realitas kebangkitan umat Islam yang indikasinya mulai tampak pada penghujung abad 20. Realitas ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang menggambarkan tentang gerak sejarah umat yang terbagi dalam empat fase, maka semua itu akan menjelaskan pemahaman yang preskriftif kepada kita bahwa kebangkitan Islam merupakan sebuah sunnatullah dan aksioma sejarah. Dengan fakta estimatif ini, setidaknya bagi akal muslim haraki akan menjadi telaga dan mata air harapan dalam menyongsong kebangkitan umat dan tegaknya kembali peradaban Islam atas manhaj nubuwwah (Manhaj Propetik).

Ijtihad Basyari: Instrumen Memahami Realitas
Dalam struktur pemahaman agama, akal manusia menempati posisi yang sangat agung, mulia dan strategis dalam memahami kehendak Tuhan. Akal muslim berupaya menjembatani dan mempertemukan antara nilai-nilai konseptual dengan kontekstuanya, antara nilai-nilai normatif dengan sosio historis empirisnya. Bisa dikatakan bahwa akal-akal muslim merupakan ujung aktualisasi dan realisasi dari seperangkat ide dan gagasan yang terdapat dalam agama. Itulah sebabnya, akal menempati posisi nomor urut kedua dalam hirarki epistemologi Islam.
Perlu kami jelaskan bahwa akal yang dimaksud tidaklah sama dengan pemahaman Barat yang berupaya memisahkan antara ratio dan intelellec. Menurut al-Attas, para pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio sebagai sesuatu yang terpisah dari intellectus. Dua konsep itu merupakan kesatuan organik dari ‘aql. ‘Aql adalah padanan qalb, dan karenanya ia adalah substansi ruhaniyah yang dengannya diri rasional dapat memahami kebenaran dari kepalsuan (al-Attas: 1994, 36). Dengan pemahaman yang seperti ini, maka wilayah jelajah akal tidak hanya berhenti pada fenomena, melainkan berlanjut juga pada neomena.
Manusia berdasarkan kemampuan akalnya, secara primordial memiliki kemampuan berijtihad dalam memahami dan menafsirkan realitas. Hanya saja perlu juga ditegaskan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip epistimelogi Islam, selain khabar shadiq baik wahyu maupun informasi mutawatir, saluran pengetahuan tidak hanya didapatkan melaui akal semata, tetapi juga melalui saluran yang lain; yaitu intuisi dan panca indra.
Seluruh saluran ini harus dipakai sesuai dengan posisinya dalam hirarki ilmu. Tentu saja, sumber otoritas tertinggi harus ditempatkan pada posisi teratas yang berfungsi sebagai pedoman dan paradigma yang untuk aksi ijtihad basyari menafsirkan dan memahami realitas. Sumber otoritas tertinggi itu harus dijadikan, merujuk pada istilah Kuntowijoyo, sebagai “unsur konstitutif” sehingga kadar obyektifis dari interpretasi itu dapat terjaga dari prakonsepsi atau prejudice manusia. Itulah sebabnya, sebagai sebuah ijtihad basyari, tafsirnya atas realitas kemungkinan mengalami kesalahan dan kekeliruan. Sekalipun begitu, orientasi penafsiran ini memiliki tingkat akurasi dan kedekatan kebenaran yang jauh lebih baik daripada penafsiran yang hanya bersandar pada hawa nafsu. Hal ini seperti yang diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an (Qs. Al-Mukminun: 71).

ILMU FARDHU KIFAYAH Mengupas Sisi Pragmatis Pendidikan Islam Adalah menjadi sebuah perdebatan di kalangan para pemikir pendidikan Islam tentang konse

Adalah menjadi sebuah perdebatan di kalangan para pemikir pendidikan Islam tentang konsep yang tepat untuk menerjemahkan istilah pendidikan. Sementara ketepatan konsep memiliki konsekuensi teoritis dan praktis terhadap aktivitas pendidikan karena sebuah bahasa memproyeksikan sebuah pandangan hidup, justru yang terjadi pada umat adalah ketidaksepakatan tentang apakah pendidikan itu dikonsepkan dengan istilah tarbiyah, ta’lim atau ta’dib.
Walaupun demikian, umumnya para ulama kita hanya berikhtilaf pada dataran konsepnya saja, tetapi secara substansi mereka berijma’ bahwa pendidikan dalam Islam mencakup pendidikan dan pembinaan manusia dalam seluruh dimensinya; rohani, akal dan jasmani. Jadi, secara konseptual pendidikan Islam memiliki sisi pragmatisnya dalam usaha menyiapkan keterampilan anak menghadapi dunia.
Dalil yang paling jelas menunjukkan tentang sisi pragmatis pendidikan Islam adalah petunjuk al-Qur’an agar kita jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah. Berdasarkan paradigma ini, maka pendidikan Islam itu harus menyiapkan generasi yang kuat; kuat secara aqidah dan juga ekonominya. Itulah sebabnya, materi pendidikan Islam itu bersifat integral; memadukan antara ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Perlu kita tegaskan, pada konsep Islam tentang ilmu fardhu kifayah inilah kita menemukan aspek pragmatis pendidikan Islam; yaitu displin ilmu yang berusaha memberi bekal kepada anak menghadapi dunianya.
Namun pemikiran pragmatis pendidikan Islam berorientasi maslahat ammah. Itulah sebabnya, seperti yang dikatakan oleh al-Attas, penentuan ilmu fardhu kifayah tidak hanya semata-mata berdasarkan kepentingan individu saja, tetapi juga harus ditentukan oleh negara. Di sinilah kita menemukan titik penting peran dan tanggung jawab negara terhadap pendidikan warganya dalam kompetisi global. Pada konteks ini juga, kita akan mendapat alasan yang kuat tentang harus adanya suatu study konfrehensif tentang apa yang paling kita butuhkan. Saya ingin mengusulkan pemikiran pragmatis pendidikan Islam ini harus mengacu pada konsep dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat yang dibimbing oleh fiqh prioritas.
Sisi pragmatis dari pendidikan Islam adalah tanggung jawabnya dalam menyiapkan kemampuan spriritual, emosional, konseptual dan keterampilan anak secara integral dan seimbang dalam berdealektika dengan jaman global. Mengingat sifat jaman sekarang ini memiliki tingkat durasi perubahan yang sangat cepat, maka pendidikan yang kita ciptakan harus bersifat futuristik antisifatif; sebuah pendidikan yang mampu mengahadapi dan merespon secara cerdas dari segala kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari konsekuensi perubahan jaman tersebut, dan pada waktu yang sama menyiakan kemapuan serupa. Anak didik harus diberi bekal yang cukup kuat dengan pemikiran dan kemampuan berindak secara antisifatif. Demikian juga berdasarkan watak jaman yang memiliki tingkat persaingan yang sangat ketat, maka anak-anak didik yang dihasilkan haruslah memiliki kemampuan bersaing dan sebisa mungkin memiliki semua persyaratan untuk menjadi pemenang. Ringkasnya adalah membangun sumber daya manusia yang unggul.
Hanya saja semua kerangka dari semua aktivitas ilmiah dan amaliyah mereka haruslah berorientasi kepada rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan visi misi risalah Islam. Konsep rahmatan lil alamin inilah yang menjadi basis pendidikan Islam yang harus berwawasan global. Karena itu, misi yang sesungguhnya dari pembelajaran dan penguasaan terhadap ilmu fardhu kifayah adalah memberi bekal kemampuan keterampilan kepada umat menjadi pemimpin manusia (ustadzatul ‘alam) atau paling minim menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri untuk menjaga nilai-nilai kemerdekaannya, setelah sebelumnya atau secara bersamaan, mendapat ilmu fardhu ain sebagai bekal spiritual menyiapkan kemampuan rohani dan emosi yang membangun rasa percaya dirinya menjadi pemimpin karena sebagai muslim dia adalah manusia terbaik
Hal lain yang perlu juga ditegaskan menyangkut tentang sisi pragmatis ilmu fadhu kifayah, bahwa merujuk pada konsep alam yang tidak hanya mengacu pada alam dunia semata, tetapi juga mencakup alam hewani, tambang dan nabati, maka pengembangan ilmu fadhu kifayah sebagai salah satu usaha intelektual memenuhi sisi pragmatis manusia tidak boleh bersifat dan mengambil sikap seperi halnya orang-orang Barat yang berusaha mengeksploitasi alam secara habis-habisan tanpa lagi peduli pada keseimbangan ekologis alam, tetapi harus mengacu pada sikap dan prilaku menciptakan harmonisasi (tidak boleh bersikap serakah; zuhud) hubungan manusia dengan alam. Inilah prinsip-prinsip etika interaksi manusia dengan lingkungan di dalam Islam, karena dalam konsepsi Islam (tashawwur al-Islami atau ru’yatun Islam li al-wujud) alam juga adalah makhluk Allah. Karena itu, manusia dalam hubungannya dengan kehidupan duniawinya diposisikan sebagai khalifatullah yang bertanggung jawab mengelola dan memakmurkan dunia dengan nilai-nilai Allah.