Saturday, August 7, 2010

الأدلة الشرعية SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sumber dan dalil
Kata “sumber” dalam literatur fiqh adalah terjemahan dari lafadz مصدر.Lafadz ini hanya terdapat dalam literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan الدليل"” atau lengkapnya “الآدلة الشرعية”, dan kata inilah yang biasanya digunakan dalam kitab-kitab literatur klasik (turats). Mereka menggunakan kata “مصادر” sebagai ganti kata الآدلة tentu beranggapan kedua kata itu sama artinya
Secara etimologis kata itu tidaklah sama. Alasannya adalah
• Kata sumber (مصدر bentuk jamaknya adalah مصادر) dapat diartikan sebagai wadah yang darinya dapat ditemukan suatu norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
• Karena itu kata “sumber” hanya dapat digunakan jika dikaitkan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang darinya dapat ditimba hukum-hukum syara’. Tetapi kata ini tidak dipergunakan untuk “ijma” dan “qiyas”. Keduanya bukanlah sumber, tetapi hanya metode (cara) dalam menemukan hukum
• Dengan demikian al-Qur’an dan as-Sunnah, disamping sebagai sumber, keduanya juga merupakan dalil bersamaan dengan ijma’ dan qiyas

Lebih Jauh Tentang Dalil-Dalil Syari’at
Secara bahasa dalil; Sesuatu yang memberi petunjuk kepada sesuatu baik yang nampak, tidak nampak, atau baik dan buruk. Sedangkan dalam istilah ilmu ushul fiqh, dalil adalah:
ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري
“Sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang
Shahih”
Contohnya: Firman Allah “ واقيموا الصلاة”, ini adalah dalil. Dengan pemikiran yang shahih yang dapat dilihat dari teks ayat itu kita melihat bahwa di dalam ayat itu terdapat suatu kata kerja perinta (Fi’il Amr); yaitu “Aqimu”, dimana kata kerja perintah itu menunjukkan wajib, sehingga mendirikan sholat itu hukumnya wajib. Kesimpulan hukum wajib mendirikan sholat berdasarkan “Petunjuk” kata “Aqimu” dalam ayat tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan Dalil-Dalil Syari’at (الأدلة الشرعية)adalah:
كل ما يستفاد منه حكم شرعي عملي, سواء بطريق القطع,أي العلم واليقين, أم بطريق الظن
“Segala sesuatu yang darinya dihasilkan hukum agama yang bersifat praktis, sama saja penunjukannya dengan cara yang qath’i (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Qath’iyyud Dalalah) ; yaitu dengan ilmu dan yakin, atau dengan cara dzhan; suatu dugaan (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Dzanniyatud Dalalah
Jadi dalil itu ada dua; Qath’iyyud Dalalah (dalil-dalil yang pasti) dan Dzanniyatud Dalalah (dalil-dalil yang belum pasti, masih ambigu dan multi tafsir)

Klasifikasi (Pembagian) Dalil
Dalil syara’ ditinjau dari segi disepakati dan tidaknya, terbagai kepada dua macam:
1. Dalil-dalil yang disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama), yaitu: al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas
2. Dalil-dalil yang diperselisihkan, yang terkenal ada tujuh macam, yaitu: al-Istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, syar’un man qablana, mazhab shahabi, dan saddud dzar’i
Dalil-dalil yang disepakati wajib diikuti, walaupun ada perbedaan dalam struktur dan derajat kekuatan penggunaan dan penunjukannya. Landasannya:
1. Firman Allah QS. An-Nisa’: 59.

ياأيها الذين امنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيءفردوه إلى الله والرسول ..............
“Hai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan pemimpin diantara kalian, dan jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikan-lah kepada Allah dan Rasul......
Tafsir Ayat
1. Perintah taat kepada Allah dan Rasul adalah isyarat perintah berdalil/mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah
2. Perintah taat kepada dan ittiba’ kepada ulil amri dalam masalah ilmu dan agama adalah isyarat perintah mengikuti apa yang menjadi kesepakatan (konsensus) para mujtahid terhadap suatu hukum. (Ijma’)
3. Perintah mengembalikan suatu realitas (kenyataan) atau hukum yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul adalah perintah kepada Qiyas, dimana tidak ada nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah) dan ijma dalam persoalan tersebut.
2. Sabda Rasul Saw seperti yang diriwayatkan oleh al-Baghawi:
عن معاذ بن جبل أنّ رسول الله لما بعثه إلى اليمن قال : كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء ؟ قال : أقضي بكتاب الله, قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنّتة رسول
الله, فإن لم تجد في سنة رسول الله ؟ قال: أجتهد رأيي ولاالو, قال: فضرب رسول
الله على صدره وقال: الحمد لله الذي وفّق رسولَ رسول الله لما يرضي رسول الله
“ Dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah Saw pernah mengutusnya ke Yaman. Nabi bersabda “Bagaimana kamu memutuskan apabila kamu dihadapkan pada satu masalah? Muadz menjawab “Aku memutuskan berdasarkan kitabullah”. Nabi bertanya lagi “Jika kamu tidak mendapati dalam kitabullah?, Muadz menjawab “Aku memutuskannya dengan Sunnah Rasul-Nya”. Nabi bertanya lagi “Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam as-Sunnah? Muadz menjawab “Saya akan berijtihad dengan nalar saya dan tidak akan berbuat kelengahan” Maka Rasulullah Saw memegang dadanya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah menurut apa yang direlakannya”



Penjelasan Hadits
Hadits ini juga menjadi dasar tentang HIRARKI DALIL (dimana al-Qur’an menempati urutan yang pertama, kedua adalah as-sunnah, ketiga adalah ijma dan yang terakhir adalah Qiyas)

Dalil ditinjau dari segi asal muasalnya, terdiri dari dua macam
1. Dalil Naqli (الأدلة النقلية), antara lain: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ‘Urf, Syar’on min qablina, dan Mazhab sahabat.
2. Dalil Aqli (الأدلة العقلية), antara lain: qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, dan saddud dzar’i
• Kedua dalil tersebut saling membutuhkan karena “Ijtihad dalam memutuskan satu masalah hukum tidak dapat diterima (legal formal) tanpa bersandar kepada dalil naqli, sementara dalil naqli itu sendiri membutuhkan pemahaman, penalaran, perenungan, pendalaman dan analisa di mana hal ini merupakan kerja-kerja akal (dalil aqli)
• Hanya saja perlu dipertegas juga bahwa dalil-dalil itu ada yang bersifat ASHLAN MUSTAQILLAN BI NAFSIHI (indefenden dalam tasyri hukum), seperti al-Qur’an, ijma’ dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu istihsan, ‘uruf dan mazhab sahabat.
• Ada juga dalil yang bersifat defendent (selalu bergantung dan merujuk pada asalnya) seperti Qiyas. Qiyas selalu membutuhkan kepada asal pokok rujukannya baik di dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam penetapan hukum, sebagaimana qiyas juga membutuhkan pemahaman kepada illat (sebab) hukum asli.

B. AL-QURA’N SEBAGAI SUMBER DAN DALIL
• Definisi Al-Qur’an
Secara etimologi (bahasa), al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata “قرأ”. Kata al-Qur’an sewajan dengan “فعلا ن”, yang maknanya: bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, menelaah.
Secara terminologi, para ulama ushul mendefinisikannya sebagai berikut:
كلام الله تعالى, لفظا و معنى, المنزَّل على رسول الله باللسان العربي, للإعجاز بأقصر سورة منه, المكتوب في المصاحف, المنقول باالتواتر, المتعبَّد بتلاوته, المبدوبسورة الفاتحة, المختوم بسورة الناس
“ Al-Qur’an adalah firman Allah, baik lafadz dan manknanya, yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dalam bentuk bahasa Arab, merupakan mu’jizat dalam setiap surah-surahnya, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, merupakan ibadah bagi yang membacanya, dimulai dari surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas”
• Karakteristik al-Qur’an
Berangkat dari definisi di atas, maka karakteristik al-Qur’an:
1. Bahwa dia adalah firman Allah yang berbentuk lafadz (bukan sekedar makna an sich). Artinya bahwa apa yang disampaikan oleh Allah melalui Jibril kepada Rasulullah Saw. Bila hanya sekedar makna sementara lafadznya diredaksikan sendiri oleh Nabi tidaklah dinamakan al-Qur’an. Seperti hadits Qudsi. Hadits Qudsi adalah maknanya dari Allah yang redaksinya disusun sendiri oleh Nabi. Derajat hadits tidaklah sama dengan al-Qur’an. Sholat tidak shah bila membaca hadits, dan bukan merupakan ibadah jika membacanya.
2. Al-Qur’an itu adalah bahasa Arab. Tidak ada sedikitpun bahasa asing yang masuk ke dalam al-Qur’an. Karena itu, al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain bukanlah al-Qur’an.
3. Al-Qur’an itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu bukanlah al-Qur’an. Sekaligus ini juga menjadi dasar bahwa al-Quran tidak akan pernah diterima oleh siapapun lagi
4. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir dari generasi ke generasi. Mutawatir menunjukkan kualitas keyakinan dan kepastiaan kebenaran suatu riwayat. Dengan demikian, qira’ah Syadz tidaklah dikategorikan bagian dari al-Qur’an
Yang dimaksud dengan qira’ah syadz adalah bacaan yang sampai kepada kita dengan khabar Ahad. Contohnya bacaan Ubay bin Ka’ab tentang qadha’ puasa.
فعدة من أيام أخر متتابعان
Tambahan متتابعان tidaklah mutawatir dan karena tidak dihitung bagian dari al-Qur’an
5. Kata-kata yang tertulis di dalam mushaf. Hal ini mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis di dalam mushaf, meskipun pernah diturunkan kepada Nabi Saw, seperti ayat-ayat yang dinasakh, tidak lagi disebut al-Qur’an
• Penunjukan Aya-Ayat Terhadap Hukum (دلالة الأيات على الأحكام)
Al-Qur’an yang mulia ini bersifat “QATH’YYATUT TSUBUT”; bahwa penukilan al-Quran hingga sampai kepada kita berjalan secara mutawatir yang menunjukkan validitas, otensitas dan oriesinalitas al-Qur’an yang tidak mengandung kesalahan, kekeliuran, penyimpangan dan hal-hal yang tidak ilmiah lainnya. Al-Qur’an adalah firman Allah dalam semua kebenarannya secara mutlak.
Akan tetapi, penunjukannya terhadap suatu hukum kadang bersifat Qath’iyyatud Dalalah dan Dzanniyyatud Dalalah
1. Teks yang Qath’iyyud Dalalah (النص القطعي الدلالة)
اللفظ الوارد في القرآن الذي يتعين فهمه على النحو الوارد ولا يحتمل إلا معنى واحدا
“Lafadz yang termaktub dalam al-Qur’an yang pasti pemahamannya (tidak ambigu) dan tidak mengandung kemungkinan kecuali satu makna saja”
Contohnya:
Ayat-ayat yang berbicara tentang hukum had bagi pelaku zina. Firman Allah:
الزانية و الزّني فجلدوا كلّ واحد منهما ماءة جلدة
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki maka dera-lah keduanya sebanyak 100 kali deraan (QS. An-Nur: 2)
Kata perintah “dera-lah keduanya sebanyak 100 kali merupakan penunjuk yang pasti, jelas dan tidak akan punya kemungkinan makna yang lain selain itu.

2. Teks yang Dzanniyyud Dalalah (النص الظني الدلالة)
اللفظ الوارد في القرآن الذي يحتمل أكثر من معنى واحد في مجال التأويل
“Lafadz yang termaktub dalam al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu makna dalam konteks ta’wil (punya kemungkinan diartikan menurut makna yang lain).
Seperti lafadz musytarak dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 228.
والمطلقات يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء
“Dan perempuan-perempuan yang dicerai oleh suaminya hendaklah menahan (untuk tidak menikah) diri-diri mereka sebanyak tiga kali quru’
Kata quru’ adalah lafadz musytarak yang mengandung kemungkinan di antara dua makna yaitu bersih atau haidl. Maka kondisi yang menunjukkan kepada salah satu dari dua makna adalah bersifat DZHANNI bukan QATH’I
Dari penjelasan di atas, ayat-ayat al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan oleh Allah dalam surah Ali ‘Imran: 7; yaitu ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
1. Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghila-ngkan beberapa kemungkinan pemahaman. Ayat-ayat muhkan inilah yang menjadi qath’iyyud dalalah
2. Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat mutasyabih inilah yang menjadi dzanniyyatud dalalah

• Gaya Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum (اساوب البيان الحكم في القرآن)
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mendapatkan jaminan pemeliharaan di sisi Allah. Dia bersifat kekal dan eternal.
Al-Qur’an adalah kitab undang-undang hidup yang bersifat abadi, senantiasa adaptable dengan dinamika jaman. Hal ini karena gaya penjelasan hukum al-Qur’an bersifat universal bukan partikular, bersifat global kadang juga terperinci. Dengan karakteristik dan model penjelasan ini, al-Qur’an senantiasa terbuka untuk selalu ditelaah, ditadabburi dan dianalisa. Sederhananya, al-Qur’an membuka ruang ijtihad kepada manusia.
Karena gaya penjelasan al-Qur’an yang bersifat global, maka ia membutuhkan as-Sunnah yang berfungsi menjelaskan dan merinci apa-apa yang belum jelas. Misalnya jumlah rakaat sholat, kadar zakat, syarat-syarat nikah dan hukum muamalah lainnya yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan sunnah Rasulullah yang shahih dan tsabit
Al-Qur’an memiliki gaya dan ibarat yang beraneka ragam dalam menjelaskan suatu hukum; yaitu tuntutan untuk wajib atau larangan.
Dalam menjelaskan hukum perintah wajib, terkadang al-Qur’an mengunakan kata kerja perintah, misalnya: (أنفقوا : Dan berinfaqlah), (وقاتلوا : Dan Perangilah), (وأحسنوا : Dan berbuat baiklah).
Pada kesempatan yang lain mengungkapkannya dengan lafadz “FARDHU atau “KITABA, KUTIBA”, misalnya:
قد فرض الله لكم تحلة أيمانكم
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu (QS. At-Tahrim: 2)
كتب عليكم الصيام
“Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183)
إنّاالصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
“Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An-Nisa: 103)
Pada bagian yang lain, kadang juga dikaitkan dengan akibat perbuatan itu yang berbuah kebaikan dan kebajikan. Misalnya:
ولباس التقوى ذلك خير
Dan pakaian taqwa, itulah yang paling baik. (QS. Al-A’raf: 26)

Demikian juga dengan tuntutan untuk meninggalkan atau sebuah larangan, ibarat yang digunakan oleh al-Qur’an menggunakan fi’il nahiy (kata kerja larangan).
Misalnya:
ولا تقتلوا أنفسكم
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian (QS. An-Nisa’: 29)

Kadang juga menggunakan ibarat bahwa tindakan itu akan berbuah keburukan atau dianggap bukan sebuah kebaikan. Misalnya firman Allah.
ولا يحسبنّالذين يبخلون بما آتاهم الله من فضله هو خيرا لهم, بل هو شرّ لهم
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Tetapi kebaikhilan itu adalah buruk bagi mereka (QS. Ali ‘Imran: 180)

Kadang juga diungkapkan bahwa akibat perbuatan tersebut dapat mendatangkan keburukan, laknat, kerusakan dan kemafsadatan. Misalnya firman Allah.
ألئك لهم لعنة ولهم سوء الدّار
“Mereka itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (QS. Ar-Ra’du: 25)

Firman Allah
ثمّ كان عاقبة الذين أساؤوا السوآى إن كذّبوا بآيات الله
“Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah. (QS. Ar-Rum: 10)



Dari beberapa karakteristik ibarat yang biasa digunakan oleh al-Qur’an, berikut ini adalah sebagian dari prinsip-prinsip penetapan hukum) (قواعد الاستنباط
1. Setiap perbuatan yang diagungkan, dicintai, dipuji dan dijanjikan kebaikan atau disifati dengan “sifat-sifat istiqamah” maka perbuatan itu disyari’atkan; yaitu memiliki hukum wajib atau sunnah
2. Setiap perbuatan yang dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan, atau Allah mencela, melaknat, atau Allah menyerupakan pelakunya dengan binatang, syetan, atau perbuatan itu diancam oleh Allah dengan siksa neraka, atau disifati dengan rijs, atau kefasikan, maka perbuatan itu tidak disyari’atkan; yaitu memiliki hukum haram atau makruh
3. Segala yang dihalalkan atau diizinkan oleh Allah, atau tidak dianggap dosa maka perbuatan itu berhukum mubah.

• Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an (أحكام القرآن)
Hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an sesuai dengan risalah Islam yang mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat, tanpa memandang remeh salah satu di antara keduanya. Secara garis besar dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan keyakinan (الاعتقاديات)
Masalah ini berkaitan dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai apa yang harus mereka ketahui tentang eksistensi dan wujud Allah dan meng-esakannya. Di dalamnya juga termasuk keyakinan dan keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kiamat.
2. Hukum yang menyangkut etika manusia(الأخلاق)
Masalah ini berkaitan dengan sifat apa saja yang harus dimiliki dan sifat yang harus dihindari oleh manusia
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang telah mendapatkan pembenanan syari’at (mukallaf) (الأعمال)

مقدمة فى أصول الفقه MUQADDIMAH USHUL FIQH

1. PENGERTIAN USHUL FIQH
Kata ushul Fiqh merupakan kata ganda yang terdiri dari dua kata; kata “Ushul” dan ‘Fiqh”.
Ushul ((أصول adalah bentuk plural dari “أصل” artinya adalah pokok atau asas; sesuatu yang dibangun di atasnya. Misalnya “ushul pohon adalah akarnya”.
Adapun fiqh secara bahasa maknanya adalah paham ) الفهم). Misalnya “فقهت كلامك maknanya adalah فهمته (aku paham perkataannya). Secara istilah makna fiqh adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis yang berdasar pada dalil-dalil terperinci"
Kemudian, jika dua kata tersebut digabungkan makan makna ushul fiqh didefinisikan sebagai “Dalil-dalil fiqh (ادلة الفقه)yaitu:
القواعد التى يتوسل بها المجتهد إلى استنباط الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“kaedah-kaedah yang denganya para mujtahid dapat menetapkan hukum-
Hukum syari’at praktis dengan dalil-dalilnya yang terperinci.”
Uraian definisi:
• Kaidah/Qawaid(القواعد) adalah prinsip-prinsip atau formula yang bersifat menyeluruh dan konfrehensif yang mencakup hukum-hukum yang bersifat juz’iyyah (partikular). Misalnya qaidah “الأمر للوجوب : Setiap perintah itu menunjukkan wajib. Makan firman Allah” واقيموا الصلاة واتوا الزكاة : berdasarkan qaidah “setiap perintah itu wajib” maka mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat adalah wajin. Jadi qaidah tersebut dapat mencakup beberapa hukum fiqh partikular. Karena itu ushul fiqh merupakan “pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hokum dari dalil-dalil syara’ tersebut.
• Mujtahid artinya orang yang kemampuan berijtihad dengan menggunakan bantuan dan menjadikan qaidah-qaidah ini sebagai thariqah (cara) dalam memahami dan menetapakan hukum.
• Al-Ahkan (الأحكام) merupakan produk “istimbat”, yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (yang mendapatkan bebab syari’at) yang bersifat praktis.
Dengan demikian, masalah aqidah tidak masuk dalam zona ushul fiqh.

2. POKOK BAHASAN USHUL FIQH (موضوعه)

Bertitik tolak dari definsi tersebut, maka pokok bahasan ushul fiqh:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’. (dalam konteks ini, akan dibicarakan pula benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya dan persolan yang sejenis)
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil-dalil
Secara sederhana, pokok bahasan ushul fiqh hanya ada dua:
• Menetapkan (اثبات) dalil-dalil untuk hukum.
Misalnya : Menetapkan dalil “واقيموا الصلاة” untuk wajibnya mendirikan sholat yang dirumuskan berdasarkan qaidah “bahwa setiap perintah itu wajib”. Jadi dalil dan qaidah tersebut berfungsi sebagai اداة الاستنباط"”
• Ketetapan (ثبوت) hukum syari’at sebagai produk istimbat berdasarkan dalil-dalil. Misalnya ketetapan hukum wajin zakat yang dengan dasar firman Allah واتوا الزكاة " ; dan tunaikanlah zakat”

3. TUJUAN DAN MANFAAT USHUL FIQH
Tujuan dari ushul fiqh adalah “agar para mujtahid punya kompetensi dan kemampuan dalam menerapkan kaidah-kaidah untuk memutuskan hukum-hukum syari’at praktis dengan dalil-dalil terperinci. Dengan kaidah ushul fiqh serta bahasannya dapat dipahami teks-teks syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Tujuan pertama ini hanya dapat dilakukan bagi individu yang telah memiliiki kemampaun berijtihad .
Adapun bagi orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, maka tujuan dan manfaat ushul fiqh baginya adalah “dia dapat mengetahui cara-cara penetapan hukum, kemudian dia mampu memutuskan hukum terhadap masalah-masalah yang baru berkembang yang didasarkan kepada metode , kaidah dan fatwa-fatwa para ahli ushul yang punya kesamaan kasus dalam masalah baru tersebut.

4. SUMBER-SUMBER LANDASAN USHUL FIQH

Landasan framework ushul fiqh adalah dibangun berdasarkan perspektif yang yang jernih terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya merupakan paradigma (metode of knowing) terhadap ushul fiqh sebagai sebuah metodologi yurisprudensi hukum. Landasan kedua adalah “penguasaan terhadap bahasa Arab yang memang menjadi bahasa al-Qur’an”. Dengan bahasa ini kita dapat memahami “tujuan-tujuan syari’at (مقاصد الشريعة), dapat memahami dan membedakan antara lafadz “Hakeka dan Majaz (alegoris), lafadz “umum” dan “khas” , lafadz “Musytarak”, “mutlaq dan muqayyad”, “mantuq dan mafhum”. Semua ini merupakan pembahasan bahasa Arab.

5. PERKEMBANGAN DAN PELETAK DASAR USHUL FIQH
Sebagai sebuah metodelogi penetapan hukum sebenarnya kemunculan ushul fiqh bersamaan dengan ilmu fiqh, meskipun kodifikasi (penyusunan) ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh.bahkan sebenarnya, keberadaan ushul fiqh harus muncul terlebih dahulu daripada fiqh karena ilmu ini merupakan kaidah yang harus diikuti oleh mujtahid dalam menetapkan fiqhh. Namun perumusan datang belakangan
Sementara itu, rumusan ilmu Fiqh sudah mulai berlangsung pada priode Sahabat. Karena itu pemikiran ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh. Para Sahabat ketika menetapkan sebuah hukum, tentu saja menggunakan pedoman tertentu. Dan itulah cikal bakal dari ushul fiqh. Bahkan pada masa Nabi, pemikiran ushul fiqh telah ada. Kita dapat mendasarkan teori ini pada peristiwa “pendelegasian Mu’adz bin Jabal ke Syam”
Alasan lain adalah bahwa Abdullah bin Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang suaminya meninggal, maka Iddahnya menurut Ibnu Mas’ud adalah sampai melahirkan dengan argumen firman Allah (QS. At-Thalaq: 4). Padahal pada ayat khusus (QS. Al-Baqarah: 234), bahwa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Menurutnya, ayat ke 4 dari surah At-Thalaq datang sesudah surah Al-Baqarah tersebut.
Dari tindakan ini, Ibnu Mas’ud menggunakan metode nasakh-mansukh (bahwa dalil yang datang belakangan menghapus dalil yang datang terdahulu) dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Perkembangan ilmu ini terus berlanjut sampai pada priode Imam Syafi’i. Dan Imam Syafi’i-lah yang pertama kali menyusun secara sistematis sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam; yang kemudian dikenal dengan “ushul fiqh”. Karena itu Imam Syafi’i merupakan “arsitek pertama ushul fiqh” seperti yang diakui N. J. Coulon; seorang orientalis kawakan berkebangsaan Inggris.

Sunday, January 31, 2010

Menjadi Muslim Indonesia Renungan Pikir Dzikir di Penghujung Akhir Tahun (Refleksi Seorang Anak Kepulauan Indonesia)



Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian kita menyebut dengan bangga nama Negara ini. Kita menyebut kata “kesatuan” sebuat isyarat bahwa walau berbeda agama, adat, budaya, dan bahasa, tapi kita terikat dalam satu rasa nasionalisme yang sama; rasa cinta terhadap tanah air, tumpah darah kita. Kita bersatu karena kita punya kesatuan sejarah yang sama; bersama kita pernah menumpas para penjajah, bersama kita membangun bangsa, bersama kita mempertahankan keutuhan bangsa. Maka mari kita berproklamasi “Aku bangga jadi orang Indonesia”.
Islam, begitu Allah Tuhan kita menyebut nama agama ini. Sebuah agama yang dari makna namanya sendiri membawa pesan keadamaian dan perdamaian bagi seluruh ummat manusia. Sebuah agama yang selalu menyadarkan pentingnya kasih sayang dan keadilan. Sebuah agama revolusioner yang mampu merubah jarum jam sejarah. Sebuah agama yang pertama kalinya dalam sejarah melakukan perang untuk membela hak-hak orang miskin. Maka mari kita lantang berkumandang“ Kita bangga jadi seorang muslim”.
Muslim, begitu Allah memanggil kita. Begitu indah bukan. Nama itu, sungguh sarat dengan pesan-pesan kebaikan dan perbaikan. Muslim adalah sebuah sikap moral yang selalu tunduk kepada nilai-nilai Tuhan. Ketundukan itu bersifat aktif dan secara kreatif bekerja dalam diri kita untuk selalu tampil sebagai sosok manusia yang selalu tampil menawan, karena kita selalu diperintah dan dibimbing agar selalu menebar kebaikan. Muslim adalah rahmat bagi seluruh alam.
Kita paham bahwa menjadi seorang muslim punya tanggung jawab kesejarahan yang sangat besar. Di pundak kita ada amanat besar untuk memanusiakan manusia agar potensi kebinatangannya tidak menjadi raja dalam dirinya. Kita sadar harus menyadarkan para manusia bahwa struktur dan komposisi diri kita bukan hanya sekedar materi. Tapi ada ruh yang ditiupkan oleh Tuhan. Bahkan ruh itulah yang menjadi pusat dan inti atom manusia. Maka idzinkan aku berfilosofis bahwa kata “Aku” bila kita sebut, sesungguhnya tidak merujuk pada potensi fisik kita yang aktual tapi merujuk pada inti spritual kita yang walaupun tidak kasat mata tapi dia sangat eksistensial. Sungguh nilai kemanusiaan kita diukur menurut nilai dan kualitas rohani kita. Bukan realitas fisik yang bersifat relatif bahkan manifulatif.
Menjadi seorang muslim di Indonesia berarti memiliki tanggung jawab yang besar terhadap negara ini. Seorang muslim harus menjadi manusia unggul dan dan berkualitas. Masa depan bangsa ada di tangan kita. Secara historis kenyataan itu memiliki bukti sejarah yang tidak akan pernah terbantahkan. Bukankah sejarah Indonesia modern dihantarkan oleh umat Islam, dengan tokohnya Dr. Mohammad Natsir yang terkenal dengan mosi integralnya yang berupaya untuk menyatukan seluruh kepuluan Nusantera dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Sungguh kitalah yang paling berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap arah perjalanan bangsa.
Menjadi seorang muslim Indonesia haruslah seorang pribadi yang memililiki ilmu dan kecakapan ilmiah yang hebat. Sebagai sebuah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mak tidak layak jika seorang muslim menjadi orang yang terbelakang dalam ilmu dan pendidikan. Islam tak pernah berhenti memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencintai dan menuntut ilmu. Bahkan dalam pandangan Islam, orang yang berilmu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada orang yang hanya pandai ibadah tapi tidak berilmu.
Dengan ilmu, wawasan dan keterampilan yang luas, kita akan mampu menemukan dan mengidentifikasikan inti masalah yang menggerogoti bangsanya. Seorang muslim harus mampu menjadi problem solver. Seorang muslim mestilah seorang pahlawan. Bukan pecundang.
Menjadi seorang muslim Indonesia berarti kita tidak boleh berasyik masyuk dan menikmati iman kita sendiri. Harus ada proyek “imanisasi” yang mesti kita jalankan. Agar dengan program “imanisasi” tadi terbentuk sistem kekebalan kolektif yang bisa menghindarkan penduduk negeri ini dari virus-virus yang bisa mematikan fitrahnya. Harus ada kesadaran serius dari seluruh anak bangsa untuk mempertahan kesadaran primordialnya sebagai seorang hamba Allah. Seorang muslim tidak boleh menutup mata dengan lingkungan sekitarnya. Iman yang benar adalah iman yang menciptkan rasa sensitifitas hati yang tinggi, peka, empati,dan simpati terhadap lingkungan sekitar. Dalam Islam kualitas iman harus berbanding lurus dengan amalan sosialnya (QS. al-Ashri:1-5). Itulah sebabnya seorang muslim harus segera menceburkan dirinya ke jantung pusat persoalan dan kemudian dengan gagah dia berjihad dan berjuang menyelasaikan krisis dan problem yang membelit bangsa ini. Sungguh takdirmu adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam
Muslim yang terbaik adalah yang paling banyak memberi manfaat, begitu pesan Sang Nabi. Tugas menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran harus menjadi bagian integral dalam seluruh struktur aktivitasnya. Untuk itu jangan kita biarkan penduduk bangsa ini potensi kebinatangannya menjadi aktual persis seperti yang dipertontonkan oleh para pejabat korup yang tidak punya moral. Kita tidak boleh membiarkan didemontrasikannya prilaku-prilaku yang amoral yang akan menciptakan krisis spiritual yang akhirnya akan berakibat pada hancurya masa depan bangsa ini. Bagi seorang muslim merupakan sebuah pengkhianatan terhadap fitrah jika dia membiarkan segala angkara murka merajalela di atas persada tanah Air. Sungguh seorang muslim memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga fitrah bangsa ini agar tetap suci. Jangan lagi ada jiwa-jiwa yang keruh.
Menjadi seorang muslim indonesia memang tidak mudah karena persoalan yang melilit bangsa ini sangat begitu banyak dan menghantam seluruh sendi bangunan bangsa. Bukan hanya sekedar krisis ekonomi. Tapi, juga krisis-krisis yang lain, salah satunya adalah krisis spritual dan moral. Bahkan krisis inilah yang menjadi muara yang kemudian menciptakan krisis kepemimpinan dan krisis-krisis lainnya.
Sebagai seorang muslim yang memegang tampuk kekhalifahan di muka bumi, dia memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk selalu menata dan memperbaiki dunia. Khususnya di tengah-tengah bangsanya maka amanah di pundak kita tak lain dan tak bukan kecuali menata kembali taman Indonesia. Mari kita tata taman ini dengan wejangan-wejangan Tuhan. Tentu langkah pertama kita mulai dari diri kita sendiri. Mari kita selalu merekontruksi struktur kepribadian kita sehingga lebih baik dan memenuhi kategori sebagai manusia paripurna dengan menjadikan Nabi sebagai tokoh idola dan alter ego kita.
Maka urutan-urutan penanganan dari semua krisis adalah mulailah dari diri kita sendiri. Kata ‘diri” merujuk pada inti kepribadian kita; jiwa. Maka berilah gizi kita kita sesuai dengan petunjuk Tuhan. Sungguh hanya Sang Penggenggam-nyalah yang paling tahu apa yang paling tepat bagi jiwa-jiwa kita yang mungkin sedang sakit.
Mereformasi jiwa kita merupakan titik tolak kebangkitan. Begitu kita selesai, segerahlah pergi memperbaiki keluarga, masyarakat dan negara.

Struktur hidup ini hanya tiga
Manusia, Waktu dan Tanah
Manusia adalah pelaku
Waktu adalah dimensi ambang batas sejarah
Tanah adalah medan persemaian kesejarahan kita
Sungguh Manusialah yang paling penting dari ketiganya
Karena kata Tuhan “Aku Angkat Kamu sebagai khalifah”
Dan jiwanya yang agung adalah inti kehidupannya
Jika jiwa mati maka matilah
Jika jiwa hidup maka hiduplah
Begitu kata Sang Nabi dalam sabdanya

Membangun Kampus Peradaban



Dalam tafsir Islam (QS: Al-baqarah: ), pertarungan atau benturan peradaban Islam dan Barat merupakan sebuah aksioma. Jika ditilik secara konseptual dan historis, maka benturan ini bersifat permanen seperti yang pernah ditegaskan oleh Al-Attas. Sebagai sebuah peradaban yang telah menjadi kekuatan raksasa pada abad ini, maka serangan Barat terhadap Islam dan umatnya diarahkan pada semua sendi kehidupan baik pendidikan, ekonomi, politik, militer dan hukum. Peradaban Barat telah mewujud menjadi kolonialisme baru dalam bidang budaya dan telah menjadi imprealisme epistimelogis dalam bidang pendidikan, pemikiran, dan penelitian.
Sungguh kuasa Barat terhadap kultur pada abad ini sangat memungkinkan terjadinya sebuah de-Islamisasi jika tidak ada upaya serius dalan diri umat ini untuk siap bertanding melawan kedigdayaan peradaban Barat.
Salah satu upaya untuk menandingi kekuatan peradaban Barat adalah segera perlu dibangun kampus-kampus peradaban sebagai pusat dan basis pendidikan dan pembinaan umat yang nantinya mampu menghasilkan manusia-manusia unggul dan berkualitas yang bisa menandingi keseluruh kehebatan Barat. Hal itu karena kampus menempati posisi dan peran yang sangat strategis dan fundamental dalam keseluruhan proses rekontruksi kebangkitan Islam. Al-Attas menganggap kampus sebagai sebuah institusi yang paling kritis yang darinya akan bermula revivalisme dan reformulasi pendidikan dan epistimelogi.
Makna Peradaban Islam
Perjuangan mementaskan Islam dalam ruang dan waktu kehidupan sejarah kemanusiaan adalah amanah perdana dan utama yang dibebankan Allah. Begitu Allah selesai memproklamirkan ke-khalifahan kita (QS. Al-Baqarah: ), maka dipundak kita telah tertanam kewajiban sejarah yang paling besar; mendesain kehidupan dunia sesuai dengan petunjuk dan taujih rabbani (QS. Al-Baqarah: ). Inilah latar belakang historis peradaban Islam.
Jadi berdasarkan paradigma sistem metafisika Islam, peradaban Islam memiliki struktur trannsendental yang sangat fundamental karena dibangun berdasarkan petunjuk wahyu; di mana Allah bertindak sebagai pengarah utama dalam proses rekontruksi peradaban Islam. Arahan itu termaktub begitu indah dan jelas dalam seluruh firman-firmannya yang terdapat dalam ayat-ayat qauliyyah (Al-Qur’an dan As-Sunnah) maupun ayat kauniyyah. Dengan dua sumber yang integral itu, maka peradaban Islam tidak akan pernah kehilangan sentuhan dan nilai-nilai spritual dan kedisiniannya. Apalagi berdasarkan sifat Islam yang menjunjng tinggi akal dan ilmu, Islam kemudian merumuskan dan menyediakan seperangkat metodologi yang super canggih yang memungkinkan peradaban Islam selalu Shalih li kulli zaman wa makan (adaftable) yang disebut dengan Ijtihad.
Menurut Al-Attas, peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan di kalangan masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat).
Jika kita memahami adab seperti itu, maka kita harus merubah pemahaman kita terhadap makna peradaban selama ini. Peradaban adalah suatu struktur sosial dan spiritual yang merupakan sumbangan Islam yang berharga bagi ummat manusia. Realitas sosial dan spiritual itu harus difahami secara integral, tidak dapat dipisah-pisahkan atau dilihat secara sendiri-sendiri tanpa saling-berkaitan seperti dalam tradisi dan kebudayaan Barat.


Kampus Peradaban
Merujuk pada definis peradaban, dapat kita simpulkan bahwa struktur sebuah peradaban dibangun diatas tiga dimensi; yaitu manusia, tanah, dan waktu. Demikian pendapat Malik bin Nabi.
Struktur yang paling penting dari ketiga bangun sebuah peradaban adalah unsur manusianya. Manusia adalah pelaku peradaban. Sedangkan tanah adalah medan penyemaian dari aktivitas-aktivitas manusia. Sementara waktu adalah alokasi kerja dalam proses membangun peradaban tadi.
Jika manusia merupakan unsur yang paling fundamental dalam sebuah peradaban, maka langkah apapun bagi terwujudnya sebuah peradaban tidak akan pernah terealisir jika mengabaikan pendidikan dan pembinaan manusia. Pembangunan manusia merupakan titik tolak rekontruksi peradaban Islam. Demikian pentingnya manusia dalam posisinya sebagai supra struktur peradaban Islam, maka tidaklah mengherankan jika Allah kemudian menjelaskan sifat dan karakter manusia secara gamblang. Konsep manusia di dalam Islam, sangat begitu jelas. Dengan penjelasan ini, para aktivitis muslim memiliki landasan konseptual tentang bagaimana seharusnya mendidik manuisia. Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa “Manusia itu seperti tambang emas dan perak. Yang terbaik pada zaman jahiliyah, itu pulalah yang akan menjadi terbaik pada jaman Islam, asalkan dia paham”
Hadits ini menjelaskan bahwa pembinaan terhadap manusia harus juga dilakukan secara selektif, dalam arti harus ada upaya serius dari para aktivis muslim membidik dan mendidik manusia yang memiliki potensi dan kualitas-kualitas tertentu (anashir taghyir), sehingga kelak setelah selesai dilakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama, para manusia ini telah menjelma menjadi manusia-manusia unggul yang punya kesadaran dan kemampuan konseptual dan kontekstual tentang bagaimana membangun peradaban Islam. Prilaku dakwah nabi yang sangat menginginkan agar Umar masuk Islam, cukuplah menjadi bukti dan hujjah tentang betapa pentingnya strategi ini. Islam tak pernah puas hanya jika dipeluk oleh orang-orang yang tidak punya mental jadi pejuang dan pahlawan. Sungguh kita tak akan pernah berbuat adil jika kita tidak menjadikan Islam sebagai sebuah agama dan peradaban, kata Ziauddin Sardar.
Tugas mendidik dan meng-ukhrijat-kan manusia terbaik (khaira ummah) merupakan tanggung jawab yang paling utama dari sebuah kampus peradaban. Kampus peradaban adalah sebuah institusi yang fokus utamamnya melahirkan manusia-manusia yang berfikir, berjiwa dan bertindak besar, sebuah kampus yang mampu melahirkan “ustadzatul ‘alam” yang memiliki ilmu, iman dan jihad yang tidak ada keraguan di dalamnya. Kampus peradaban adalah lembaga kaderisasi yang mendidik dan melahirkan inti lapisan umat; yaitu para pemimpinnya. Kampus peradaban adalah lingkungan ilmiah yang dibangun berdasarkan paradigma wahyu. Kampus peradaban memiliki budaya ilmu yang begitu kental dengan nilai-nilai perjuagan Islam dan membumikan risalah ilahi. Kampus peradaban mampu melahirakan ilmuan dan cendikiawan mulitidimensi yang keilmuwan mereka bersifat transdisipliner. Karena itu struktur kurikulum kampus peradaban harus bersifat tauhidi dan konfrehensif yang mencerminkan keutuhan ajaran keuniversalan Islam.
Dengan demikian, kampus peradaban harus mampu memanifestasikan dirinya sebagai universitas yang mencerminkan ciri-ciri manusia universal. Konsepsi kampus dengan model seperti itu, bukan saja tidak signifikan, tetapi juga riil. Alasannya, figur nabi Muhammad saw. adalah contoh riil insan yang kamil dan universal tersebut. (Al-Attas: 1994). Karena itu kampus peradaban haruslah mampu mewujudkan seseorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan (Daud: 2006)
Sesungguhnya peran kampus dalam proses membangun peradaban Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan. Fakta ini bahkan menjadi sebuah aksioma sejarah untuk kebangkitan peradaban. Hal ini berdasar dab bersandar pada apa-apa yang tercatat di dalam dinding-dinding sejarah kebangkitan umat ini
Dr. Majid Irsan al-Kilani mencatat bagaimana proses ishlah dan kebangkitan umat beserta peradabannya dilakukan oleh madrasah (baca: kampus) pembaharu. Salah satunya adalah madrasah yang didirikan oleh imam al-Ghazali yang beliau dirikan dengan misi mengobati penyakit-penyakit umat yang fokusnya melahirkan generasi muslim baru yang holistik yang bersih dan unggul dalam bidang aqidah, akhlaq dan pemikiran. Sehingga lima puluh tahun setelah didirikannya madrasah ini lahirlah generasi baru; generasi Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil merebut kembali kekuasaan dan peradaban Islam. (Baca “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib”, DR. Majid Irsan Al-Kilani: 2007)
Jadi, tugas utama kampus peradaban adalah melahirkan manusia yang berkualitas pada aspek pemikiran (tilawah/kognitif), akhlaq (Tazkiyah/afektif) dan amal (ta’lim/psikomotorik). Pembinaan pada ketiga dimensi di atas sejalan dengan teori perubahan sosial dan filsafat sejarah bahwa sebuah perubahab bermula dari ide, keyakinan dan berakhir dengan tindakan. Alhasil, kita berharap para alumni dari kampus ini harus memiliki kekayaan ide yang kuat dan matang dan kemampuan mensosialisasikannya kepada masyarakat sehingga masyarakat dengan kesaradaran yang tinggi bergerak dan bertindak secara kolektif melakukan kerja-kerja rekontrusksi peradaban. Inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun dengan ashabiyyah (solidaritas sosial).
Karena itu, secara subyektif dan obyektif saya termasuk orang yang percaya bahwa pesantren dan yang menggunakan model pesantren memiliki kesempatan dan saham yang terbesar dalam proses rekontruksi ini. Alasannya, bahwa kemampuan mendidik manusia pada seluruh dimensinya hanya bisa mungkin terlaksana dengan model pesantren. Dalam tradisi pesantren, pembinaan dan pendidikan bukan hanya pada ranah kognitif semata, tetapi juga pada ranah afektif dan psikomotorik. Dan itu secara diametral berbeda dengan sekolah umum yang hanya fokus pada ranah kognitif.
Dengan demikian, secara konsepsional sebenarnya kampus peradaban ini telah real dan ada. Yang harus kita lakukan adalah melakukan revitalisasi peran pesantren dalam membangun peradaban Islam. Paradigma revitalisasi itu harus mengakar pada kesadaran akan visi misi eksistensial kita sebagai seorang muslim dan secara individu bertanggung jawab di hadapan Allah. Ringkasnya, pesantren harus berupaya melahirkan wa’yu al-hadhari (kesadaran berperadaban) bagi seluruh santrinya. Wallahu a’lam.