Saturday, August 7, 2010

الأدلة الشرعية SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sumber dan dalil
Kata “sumber” dalam literatur fiqh adalah terjemahan dari lafadz مصدر.Lafadz ini hanya terdapat dalam literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan الدليل"” atau lengkapnya “الآدلة الشرعية”, dan kata inilah yang biasanya digunakan dalam kitab-kitab literatur klasik (turats). Mereka menggunakan kata “مصادر” sebagai ganti kata الآدلة tentu beranggapan kedua kata itu sama artinya
Secara etimologis kata itu tidaklah sama. Alasannya adalah
• Kata sumber (مصدر bentuk jamaknya adalah مصادر) dapat diartikan sebagai wadah yang darinya dapat ditemukan suatu norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
• Karena itu kata “sumber” hanya dapat digunakan jika dikaitkan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang darinya dapat ditimba hukum-hukum syara’. Tetapi kata ini tidak dipergunakan untuk “ijma” dan “qiyas”. Keduanya bukanlah sumber, tetapi hanya metode (cara) dalam menemukan hukum
• Dengan demikian al-Qur’an dan as-Sunnah, disamping sebagai sumber, keduanya juga merupakan dalil bersamaan dengan ijma’ dan qiyas

Lebih Jauh Tentang Dalil-Dalil Syari’at
Secara bahasa dalil; Sesuatu yang memberi petunjuk kepada sesuatu baik yang nampak, tidak nampak, atau baik dan buruk. Sedangkan dalam istilah ilmu ushul fiqh, dalil adalah:
ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري
“Sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang
Shahih”
Contohnya: Firman Allah “ واقيموا الصلاة”, ini adalah dalil. Dengan pemikiran yang shahih yang dapat dilihat dari teks ayat itu kita melihat bahwa di dalam ayat itu terdapat suatu kata kerja perinta (Fi’il Amr); yaitu “Aqimu”, dimana kata kerja perintah itu menunjukkan wajib, sehingga mendirikan sholat itu hukumnya wajib. Kesimpulan hukum wajib mendirikan sholat berdasarkan “Petunjuk” kata “Aqimu” dalam ayat tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan Dalil-Dalil Syari’at (الأدلة الشرعية)adalah:
كل ما يستفاد منه حكم شرعي عملي, سواء بطريق القطع,أي العلم واليقين, أم بطريق الظن
“Segala sesuatu yang darinya dihasilkan hukum agama yang bersifat praktis, sama saja penunjukannya dengan cara yang qath’i (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Qath’iyyud Dalalah) ; yaitu dengan ilmu dan yakin, atau dengan cara dzhan; suatu dugaan (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Dzanniyatud Dalalah
Jadi dalil itu ada dua; Qath’iyyud Dalalah (dalil-dalil yang pasti) dan Dzanniyatud Dalalah (dalil-dalil yang belum pasti, masih ambigu dan multi tafsir)

Klasifikasi (Pembagian) Dalil
Dalil syara’ ditinjau dari segi disepakati dan tidaknya, terbagai kepada dua macam:
1. Dalil-dalil yang disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama), yaitu: al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas
2. Dalil-dalil yang diperselisihkan, yang terkenal ada tujuh macam, yaitu: al-Istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, syar’un man qablana, mazhab shahabi, dan saddud dzar’i
Dalil-dalil yang disepakati wajib diikuti, walaupun ada perbedaan dalam struktur dan derajat kekuatan penggunaan dan penunjukannya. Landasannya:
1. Firman Allah QS. An-Nisa’: 59.

ياأيها الذين امنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيءفردوه إلى الله والرسول ..............
“Hai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan pemimpin diantara kalian, dan jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikan-lah kepada Allah dan Rasul......
Tafsir Ayat
1. Perintah taat kepada Allah dan Rasul adalah isyarat perintah berdalil/mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah
2. Perintah taat kepada dan ittiba’ kepada ulil amri dalam masalah ilmu dan agama adalah isyarat perintah mengikuti apa yang menjadi kesepakatan (konsensus) para mujtahid terhadap suatu hukum. (Ijma’)
3. Perintah mengembalikan suatu realitas (kenyataan) atau hukum yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul adalah perintah kepada Qiyas, dimana tidak ada nash ( al-Qur’an dan as-Sunnah) dan ijma dalam persoalan tersebut.
2. Sabda Rasul Saw seperti yang diriwayatkan oleh al-Baghawi:
عن معاذ بن جبل أنّ رسول الله لما بعثه إلى اليمن قال : كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء ؟ قال : أقضي بكتاب الله, قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنّتة رسول
الله, فإن لم تجد في سنة رسول الله ؟ قال: أجتهد رأيي ولاالو, قال: فضرب رسول
الله على صدره وقال: الحمد لله الذي وفّق رسولَ رسول الله لما يرضي رسول الله
“ Dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah Saw pernah mengutusnya ke Yaman. Nabi bersabda “Bagaimana kamu memutuskan apabila kamu dihadapkan pada satu masalah? Muadz menjawab “Aku memutuskan berdasarkan kitabullah”. Nabi bertanya lagi “Jika kamu tidak mendapati dalam kitabullah?, Muadz menjawab “Aku memutuskannya dengan Sunnah Rasul-Nya”. Nabi bertanya lagi “Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam as-Sunnah? Muadz menjawab “Saya akan berijtihad dengan nalar saya dan tidak akan berbuat kelengahan” Maka Rasulullah Saw memegang dadanya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah menurut apa yang direlakannya”



Penjelasan Hadits
Hadits ini juga menjadi dasar tentang HIRARKI DALIL (dimana al-Qur’an menempati urutan yang pertama, kedua adalah as-sunnah, ketiga adalah ijma dan yang terakhir adalah Qiyas)

Dalil ditinjau dari segi asal muasalnya, terdiri dari dua macam
1. Dalil Naqli (الأدلة النقلية), antara lain: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ‘Urf, Syar’on min qablina, dan Mazhab sahabat.
2. Dalil Aqli (الأدلة العقلية), antara lain: qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, dan saddud dzar’i
• Kedua dalil tersebut saling membutuhkan karena “Ijtihad dalam memutuskan satu masalah hukum tidak dapat diterima (legal formal) tanpa bersandar kepada dalil naqli, sementara dalil naqli itu sendiri membutuhkan pemahaman, penalaran, perenungan, pendalaman dan analisa di mana hal ini merupakan kerja-kerja akal (dalil aqli)
• Hanya saja perlu dipertegas juga bahwa dalil-dalil itu ada yang bersifat ASHLAN MUSTAQILLAN BI NAFSIHI (indefenden dalam tasyri hukum), seperti al-Qur’an, ijma’ dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu istihsan, ‘uruf dan mazhab sahabat.
• Ada juga dalil yang bersifat defendent (selalu bergantung dan merujuk pada asalnya) seperti Qiyas. Qiyas selalu membutuhkan kepada asal pokok rujukannya baik di dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam penetapan hukum, sebagaimana qiyas juga membutuhkan pemahaman kepada illat (sebab) hukum asli.

B. AL-QURA’N SEBAGAI SUMBER DAN DALIL
• Definisi Al-Qur’an
Secara etimologi (bahasa), al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata “قرأ”. Kata al-Qur’an sewajan dengan “فعلا ن”, yang maknanya: bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, menelaah.
Secara terminologi, para ulama ushul mendefinisikannya sebagai berikut:
كلام الله تعالى, لفظا و معنى, المنزَّل على رسول الله باللسان العربي, للإعجاز بأقصر سورة منه, المكتوب في المصاحف, المنقول باالتواتر, المتعبَّد بتلاوته, المبدوبسورة الفاتحة, المختوم بسورة الناس
“ Al-Qur’an adalah firman Allah, baik lafadz dan manknanya, yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dalam bentuk bahasa Arab, merupakan mu’jizat dalam setiap surah-surahnya, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, merupakan ibadah bagi yang membacanya, dimulai dari surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas”
• Karakteristik al-Qur’an
Berangkat dari definisi di atas, maka karakteristik al-Qur’an:
1. Bahwa dia adalah firman Allah yang berbentuk lafadz (bukan sekedar makna an sich). Artinya bahwa apa yang disampaikan oleh Allah melalui Jibril kepada Rasulullah Saw. Bila hanya sekedar makna sementara lafadznya diredaksikan sendiri oleh Nabi tidaklah dinamakan al-Qur’an. Seperti hadits Qudsi. Hadits Qudsi adalah maknanya dari Allah yang redaksinya disusun sendiri oleh Nabi. Derajat hadits tidaklah sama dengan al-Qur’an. Sholat tidak shah bila membaca hadits, dan bukan merupakan ibadah jika membacanya.
2. Al-Qur’an itu adalah bahasa Arab. Tidak ada sedikitpun bahasa asing yang masuk ke dalam al-Qur’an. Karena itu, al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain bukanlah al-Qur’an.
3. Al-Qur’an itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu bukanlah al-Qur’an. Sekaligus ini juga menjadi dasar bahwa al-Quran tidak akan pernah diterima oleh siapapun lagi
4. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir dari generasi ke generasi. Mutawatir menunjukkan kualitas keyakinan dan kepastiaan kebenaran suatu riwayat. Dengan demikian, qira’ah Syadz tidaklah dikategorikan bagian dari al-Qur’an
Yang dimaksud dengan qira’ah syadz adalah bacaan yang sampai kepada kita dengan khabar Ahad. Contohnya bacaan Ubay bin Ka’ab tentang qadha’ puasa.
فعدة من أيام أخر متتابعان
Tambahan متتابعان tidaklah mutawatir dan karena tidak dihitung bagian dari al-Qur’an
5. Kata-kata yang tertulis di dalam mushaf. Hal ini mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis di dalam mushaf, meskipun pernah diturunkan kepada Nabi Saw, seperti ayat-ayat yang dinasakh, tidak lagi disebut al-Qur’an
• Penunjukan Aya-Ayat Terhadap Hukum (دلالة الأيات على الأحكام)
Al-Qur’an yang mulia ini bersifat “QATH’YYATUT TSUBUT”; bahwa penukilan al-Quran hingga sampai kepada kita berjalan secara mutawatir yang menunjukkan validitas, otensitas dan oriesinalitas al-Qur’an yang tidak mengandung kesalahan, kekeliuran, penyimpangan dan hal-hal yang tidak ilmiah lainnya. Al-Qur’an adalah firman Allah dalam semua kebenarannya secara mutlak.
Akan tetapi, penunjukannya terhadap suatu hukum kadang bersifat Qath’iyyatud Dalalah dan Dzanniyyatud Dalalah
1. Teks yang Qath’iyyud Dalalah (النص القطعي الدلالة)
اللفظ الوارد في القرآن الذي يتعين فهمه على النحو الوارد ولا يحتمل إلا معنى واحدا
“Lafadz yang termaktub dalam al-Qur’an yang pasti pemahamannya (tidak ambigu) dan tidak mengandung kemungkinan kecuali satu makna saja”
Contohnya:
Ayat-ayat yang berbicara tentang hukum had bagi pelaku zina. Firman Allah:
الزانية و الزّني فجلدوا كلّ واحد منهما ماءة جلدة
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki maka dera-lah keduanya sebanyak 100 kali deraan (QS. An-Nur: 2)
Kata perintah “dera-lah keduanya sebanyak 100 kali merupakan penunjuk yang pasti, jelas dan tidak akan punya kemungkinan makna yang lain selain itu.

2. Teks yang Dzanniyyud Dalalah (النص الظني الدلالة)
اللفظ الوارد في القرآن الذي يحتمل أكثر من معنى واحد في مجال التأويل
“Lafadz yang termaktub dalam al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu makna dalam konteks ta’wil (punya kemungkinan diartikan menurut makna yang lain).
Seperti lafadz musytarak dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 228.
والمطلقات يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء
“Dan perempuan-perempuan yang dicerai oleh suaminya hendaklah menahan (untuk tidak menikah) diri-diri mereka sebanyak tiga kali quru’
Kata quru’ adalah lafadz musytarak yang mengandung kemungkinan di antara dua makna yaitu bersih atau haidl. Maka kondisi yang menunjukkan kepada salah satu dari dua makna adalah bersifat DZHANNI bukan QATH’I
Dari penjelasan di atas, ayat-ayat al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan oleh Allah dalam surah Ali ‘Imran: 7; yaitu ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
1. Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghila-ngkan beberapa kemungkinan pemahaman. Ayat-ayat muhkan inilah yang menjadi qath’iyyud dalalah
2. Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat mutasyabih inilah yang menjadi dzanniyyatud dalalah

• Gaya Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum (اساوب البيان الحكم في القرآن)
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mendapatkan jaminan pemeliharaan di sisi Allah. Dia bersifat kekal dan eternal.
Al-Qur’an adalah kitab undang-undang hidup yang bersifat abadi, senantiasa adaptable dengan dinamika jaman. Hal ini karena gaya penjelasan hukum al-Qur’an bersifat universal bukan partikular, bersifat global kadang juga terperinci. Dengan karakteristik dan model penjelasan ini, al-Qur’an senantiasa terbuka untuk selalu ditelaah, ditadabburi dan dianalisa. Sederhananya, al-Qur’an membuka ruang ijtihad kepada manusia.
Karena gaya penjelasan al-Qur’an yang bersifat global, maka ia membutuhkan as-Sunnah yang berfungsi menjelaskan dan merinci apa-apa yang belum jelas. Misalnya jumlah rakaat sholat, kadar zakat, syarat-syarat nikah dan hukum muamalah lainnya yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan sunnah Rasulullah yang shahih dan tsabit
Al-Qur’an memiliki gaya dan ibarat yang beraneka ragam dalam menjelaskan suatu hukum; yaitu tuntutan untuk wajib atau larangan.
Dalam menjelaskan hukum perintah wajib, terkadang al-Qur’an mengunakan kata kerja perintah, misalnya: (أنفقوا : Dan berinfaqlah), (وقاتلوا : Dan Perangilah), (وأحسنوا : Dan berbuat baiklah).
Pada kesempatan yang lain mengungkapkannya dengan lafadz “FARDHU atau “KITABA, KUTIBA”, misalnya:
قد فرض الله لكم تحلة أيمانكم
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu (QS. At-Tahrim: 2)
كتب عليكم الصيام
“Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183)
إنّاالصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
“Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An-Nisa: 103)
Pada bagian yang lain, kadang juga dikaitkan dengan akibat perbuatan itu yang berbuah kebaikan dan kebajikan. Misalnya:
ولباس التقوى ذلك خير
Dan pakaian taqwa, itulah yang paling baik. (QS. Al-A’raf: 26)

Demikian juga dengan tuntutan untuk meninggalkan atau sebuah larangan, ibarat yang digunakan oleh al-Qur’an menggunakan fi’il nahiy (kata kerja larangan).
Misalnya:
ولا تقتلوا أنفسكم
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian (QS. An-Nisa’: 29)

Kadang juga menggunakan ibarat bahwa tindakan itu akan berbuah keburukan atau dianggap bukan sebuah kebaikan. Misalnya firman Allah.
ولا يحسبنّالذين يبخلون بما آتاهم الله من فضله هو خيرا لهم, بل هو شرّ لهم
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Tetapi kebaikhilan itu adalah buruk bagi mereka (QS. Ali ‘Imran: 180)

Kadang juga diungkapkan bahwa akibat perbuatan tersebut dapat mendatangkan keburukan, laknat, kerusakan dan kemafsadatan. Misalnya firman Allah.
ألئك لهم لعنة ولهم سوء الدّار
“Mereka itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (QS. Ar-Ra’du: 25)

Firman Allah
ثمّ كان عاقبة الذين أساؤوا السوآى إن كذّبوا بآيات الله
“Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah. (QS. Ar-Rum: 10)



Dari beberapa karakteristik ibarat yang biasa digunakan oleh al-Qur’an, berikut ini adalah sebagian dari prinsip-prinsip penetapan hukum) (قواعد الاستنباط
1. Setiap perbuatan yang diagungkan, dicintai, dipuji dan dijanjikan kebaikan atau disifati dengan “sifat-sifat istiqamah” maka perbuatan itu disyari’atkan; yaitu memiliki hukum wajib atau sunnah
2. Setiap perbuatan yang dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan, atau Allah mencela, melaknat, atau Allah menyerupakan pelakunya dengan binatang, syetan, atau perbuatan itu diancam oleh Allah dengan siksa neraka, atau disifati dengan rijs, atau kefasikan, maka perbuatan itu tidak disyari’atkan; yaitu memiliki hukum haram atau makruh
3. Segala yang dihalalkan atau diizinkan oleh Allah, atau tidak dianggap dosa maka perbuatan itu berhukum mubah.

• Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an (أحكام القرآن)
Hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an sesuai dengan risalah Islam yang mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat, tanpa memandang remeh salah satu di antara keduanya. Secara garis besar dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan keyakinan (الاعتقاديات)
Masalah ini berkaitan dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai apa yang harus mereka ketahui tentang eksistensi dan wujud Allah dan meng-esakannya. Di dalamnya juga termasuk keyakinan dan keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kiamat.
2. Hukum yang menyangkut etika manusia(الأخلاق)
Masalah ini berkaitan dengan sifat apa saja yang harus dimiliki dan sifat yang harus dihindari oleh manusia
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang telah mendapatkan pembenanan syari’at (mukallaf) (الأعمال)

مقدمة فى أصول الفقه MUQADDIMAH USHUL FIQH

1. PENGERTIAN USHUL FIQH
Kata ushul Fiqh merupakan kata ganda yang terdiri dari dua kata; kata “Ushul” dan ‘Fiqh”.
Ushul ((أصول adalah bentuk plural dari “أصل” artinya adalah pokok atau asas; sesuatu yang dibangun di atasnya. Misalnya “ushul pohon adalah akarnya”.
Adapun fiqh secara bahasa maknanya adalah paham ) الفهم). Misalnya “فقهت كلامك maknanya adalah فهمته (aku paham perkataannya). Secara istilah makna fiqh adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis yang berdasar pada dalil-dalil terperinci"
Kemudian, jika dua kata tersebut digabungkan makan makna ushul fiqh didefinisikan sebagai “Dalil-dalil fiqh (ادلة الفقه)yaitu:
القواعد التى يتوسل بها المجتهد إلى استنباط الأحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“kaedah-kaedah yang denganya para mujtahid dapat menetapkan hukum-
Hukum syari’at praktis dengan dalil-dalilnya yang terperinci.”
Uraian definisi:
• Kaidah/Qawaid(القواعد) adalah prinsip-prinsip atau formula yang bersifat menyeluruh dan konfrehensif yang mencakup hukum-hukum yang bersifat juz’iyyah (partikular). Misalnya qaidah “الأمر للوجوب : Setiap perintah itu menunjukkan wajib. Makan firman Allah” واقيموا الصلاة واتوا الزكاة : berdasarkan qaidah “setiap perintah itu wajib” maka mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat adalah wajin. Jadi qaidah tersebut dapat mencakup beberapa hukum fiqh partikular. Karena itu ushul fiqh merupakan “pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hokum dari dalil-dalil syara’ tersebut.
• Mujtahid artinya orang yang kemampuan berijtihad dengan menggunakan bantuan dan menjadikan qaidah-qaidah ini sebagai thariqah (cara) dalam memahami dan menetapakan hukum.
• Al-Ahkan (الأحكام) merupakan produk “istimbat”, yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (yang mendapatkan bebab syari’at) yang bersifat praktis.
Dengan demikian, masalah aqidah tidak masuk dalam zona ushul fiqh.

2. POKOK BAHASAN USHUL FIQH (موضوعه)

Bertitik tolak dari definsi tersebut, maka pokok bahasan ushul fiqh:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’. (dalam konteks ini, akan dibicarakan pula benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya dan persolan yang sejenis)
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil-dalil
Secara sederhana, pokok bahasan ushul fiqh hanya ada dua:
• Menetapkan (اثبات) dalil-dalil untuk hukum.
Misalnya : Menetapkan dalil “واقيموا الصلاة” untuk wajibnya mendirikan sholat yang dirumuskan berdasarkan qaidah “bahwa setiap perintah itu wajib”. Jadi dalil dan qaidah tersebut berfungsi sebagai اداة الاستنباط"”
• Ketetapan (ثبوت) hukum syari’at sebagai produk istimbat berdasarkan dalil-dalil. Misalnya ketetapan hukum wajin zakat yang dengan dasar firman Allah واتوا الزكاة " ; dan tunaikanlah zakat”

3. TUJUAN DAN MANFAAT USHUL FIQH
Tujuan dari ushul fiqh adalah “agar para mujtahid punya kompetensi dan kemampuan dalam menerapkan kaidah-kaidah untuk memutuskan hukum-hukum syari’at praktis dengan dalil-dalil terperinci. Dengan kaidah ushul fiqh serta bahasannya dapat dipahami teks-teks syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Tujuan pertama ini hanya dapat dilakukan bagi individu yang telah memiliiki kemampaun berijtihad .
Adapun bagi orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, maka tujuan dan manfaat ushul fiqh baginya adalah “dia dapat mengetahui cara-cara penetapan hukum, kemudian dia mampu memutuskan hukum terhadap masalah-masalah yang baru berkembang yang didasarkan kepada metode , kaidah dan fatwa-fatwa para ahli ushul yang punya kesamaan kasus dalam masalah baru tersebut.

4. SUMBER-SUMBER LANDASAN USHUL FIQH

Landasan framework ushul fiqh adalah dibangun berdasarkan perspektif yang yang jernih terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya merupakan paradigma (metode of knowing) terhadap ushul fiqh sebagai sebuah metodologi yurisprudensi hukum. Landasan kedua adalah “penguasaan terhadap bahasa Arab yang memang menjadi bahasa al-Qur’an”. Dengan bahasa ini kita dapat memahami “tujuan-tujuan syari’at (مقاصد الشريعة), dapat memahami dan membedakan antara lafadz “Hakeka dan Majaz (alegoris), lafadz “umum” dan “khas” , lafadz “Musytarak”, “mutlaq dan muqayyad”, “mantuq dan mafhum”. Semua ini merupakan pembahasan bahasa Arab.

5. PERKEMBANGAN DAN PELETAK DASAR USHUL FIQH
Sebagai sebuah metodelogi penetapan hukum sebenarnya kemunculan ushul fiqh bersamaan dengan ilmu fiqh, meskipun kodifikasi (penyusunan) ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh.bahkan sebenarnya, keberadaan ushul fiqh harus muncul terlebih dahulu daripada fiqh karena ilmu ini merupakan kaidah yang harus diikuti oleh mujtahid dalam menetapkan fiqhh. Namun perumusan datang belakangan
Sementara itu, rumusan ilmu Fiqh sudah mulai berlangsung pada priode Sahabat. Karena itu pemikiran ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh. Para Sahabat ketika menetapkan sebuah hukum, tentu saja menggunakan pedoman tertentu. Dan itulah cikal bakal dari ushul fiqh. Bahkan pada masa Nabi, pemikiran ushul fiqh telah ada. Kita dapat mendasarkan teori ini pada peristiwa “pendelegasian Mu’adz bin Jabal ke Syam”
Alasan lain adalah bahwa Abdullah bin Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang suaminya meninggal, maka Iddahnya menurut Ibnu Mas’ud adalah sampai melahirkan dengan argumen firman Allah (QS. At-Thalaq: 4). Padahal pada ayat khusus (QS. Al-Baqarah: 234), bahwa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Menurutnya, ayat ke 4 dari surah At-Thalaq datang sesudah surah Al-Baqarah tersebut.
Dari tindakan ini, Ibnu Mas’ud menggunakan metode nasakh-mansukh (bahwa dalil yang datang belakangan menghapus dalil yang datang terdahulu) dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Perkembangan ilmu ini terus berlanjut sampai pada priode Imam Syafi’i. Dan Imam Syafi’i-lah yang pertama kali menyusun secara sistematis sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam; yang kemudian dikenal dengan “ushul fiqh”. Karena itu Imam Syafi’i merupakan “arsitek pertama ushul fiqh” seperti yang diakui N. J. Coulon; seorang orientalis kawakan berkebangsaan Inggris.