Tuesday, June 12, 2007

Islam dan Politik

Oleh: Dr. Yusuf Al-Qardhawy

Para imperialis dan kaki tangannya terus berusaha untuk menanamkan satu pemikiran bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan politik dan negara. Sementara pada saat yang sama orang-orang yang hendak melakukan pembenahan yang dipelopori Ustadz Hasan Al-Banna, juga berusaha mati-matian untuk mengajarkan "Universalitas Islam", atau dengan istilah lain, untuk mengembalikan kepada mereka apa yang sudah ada dan ditetapkan selama tiga belas abad sebelum ini, tepatnya sebelum masuknya rnissi imperialisme dan invasi pemikiran ke negeri mereka. Artinya, Islam meliputi seluruh sisi kehidupan manusia, dengan syariat dan petunjuknya, yang secara vertikal dimulai semenjak dia dilahirkan hingga meninggal, bahkan sebelum dia dilahirkan dan setelah dia meninggal. Sebab di sana ada hukum-hukum yang berkaitan dengan janin dan hukum-hukum yang berkaitan dengan manusia setelah meninggal dunia. Adapun secara horizontal, Islam menunjuki orang Muslim dalam kehidupan individualnya, keluarga, sosial dan politiknya, dari adan istinja' hingga ke penerapan hukum serta hubungan antara perdamaian dan perang.

Hasil dari jihad ini jelas sekali, yaitu adanya pijakan yang luas untuk mengamankan universalitas dan seruan kepada Islam, akidah maupun syariat, agama maupun daulah, yang berlaku untuk semua wilayah Islam. Kembalinya orang-orang yang menjadi mangsa invasi pemikiran yang sengaja dilancarkan orang-orang Barat dan munculnya shahwah Islam yang memadukan pemikiran dan politik, telah membalik timbangan kekuatan. Keadaan ini memaksa pihak asing yang datang dari Barat maupun Timur berusaha menyelenggarakan berbagai seminar, konggres dan studi fenomena Islam yang dianggap berbahaya ini, dengan dukungan dana yang melimpah. Menurut Ustadz Fahmy Huwaidy, pertemuan serupa yang mereka selenggarakan sejak beberapa tahun belakangan ini mencapai seratus dua puluh kali atau bahkan lebih.

Inilah yang mendorong para kaki tangan Barat dan budak pemikiran mereka berusaha menghentikan fajar yang akan menyingsing atau matahari yang akan terbit. Mereka ingin mengembalikan roda sejarah kembali ke belakang, ke masa gencar-gencarnya imperialisme, sambil berseru, ”Tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik." Mereka ingin mengembalikan keadaan ini hingga ke akar-akarnya. Padahal era itu sudah berlalu sekitar setengah abad yang lampau. Sehingga para budak Barat itu disebut "Orang Muslim yang perlu dikasihani", yang tidak mengenal Islam kecuali lewat kaca mata masa imperialisme, Islam seperti yang dilihat para ahli fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits dan teologi yang berkembang di setiap madzhab, yang hanya berkutat pada kitab thaharah hingga ke jihad, yang membahas Islam sebagai akidah dan syariat, Islam AI-Qur'an dan Sunnah, yang juga disebut Islam politik. Namun dengan model Islam ini mereka ingin membuat manusia alergi terhadap politik, karena memang banyak orang di negeri kita yang alergi terhadap hal-hal yang berbau politik. Sebab tidak jarang dunia politik hanya mendatangkan bencana dan kesulitan bagi mereka.

Lalu apa akal kita jika memang Islam sebagaimana yang disyariatkan Allah adalah sesuatu yang berbau politik? Apa akal kita jika Islam seperti yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak ingin membagi kehidupan dan manusia antara Allah dan kaisar? Bahkan dengan lantang Islam menegaskan bahwa Kaisar, Kisra, Fir'aun dan semua raja di bumi harus menjadi hamba bagi Allah semata.

Ada seorang penulis yang menghendaki agar kita berlepas diri dari Kitab Rabb kita, Sunnah Nabi kita, ijma' umat kita, petunjuk warisan peninggalan kita, agar selanjutnya kita menciptakan Islam modern, pasrah kepada para pemimpin dunia yang ada di seberang lautan. Dia menghendaki "Islam rohani" atau "Islam ala pendeta", yang cukup hanya dengan membaca AI-Qur' an di sisi orang yang sudah mati bukan dibacakan kepada orang yang hidup, memohon barakah ke tembok-tembok yang dihiasi ayat-ayat AI-Qur'an, atau AI-Qur'an itu hanya cukup dibacakan pada awal pertemuan, sepotong dua potong ayat-ayat yang mudah dibaca, kemudian menyerahkan kepada Kaisar agar menetapkan hukum semaunya serta berbuat semaunya.

Islam yang disebutkan di dalam AI-Qur' an dan Sunnah, yang dikenal umat salaf maupun khalaf adalah Islam yang saling melengkapi dan utuh, tidak menerima pemilahan, yaitu Islam yang bermuatan rohani, akhlak, pemikiran, pendidikan, jihad, sosial, ekonomi dan politik. Semua sektor tercakup di dalamnya, karena Islam mempunyai tujuan dalam semua sektor itu, yang juga menyertainya dengan hukum dan petunjuk.

AI-Imam Hasan AI-Banna berkata tentang hubungan agama dengan politik, "Tentunya engkau jarang menemukan orang yang berbicara tentang politik dan Islam. Kalau pun ada, paling banter dia menyajikan sedikit uraian antara keduanya, lalu meletakkan masing-masing pada dua makna yang berdiri sendiri-sendiri, karena memang keduanya tidak pernah bertemu dan berkumpul menjadi satu menurut pandangan orang banyak. Oleh karena itu organisasi semacam ini disebut organisai Islam nonpolitis, atau organisasi keagamaan di luar politik. Sehingga tidak jarang dalam butir- butir aturan berbagai macam organisasi Islam ditemukan satu poin yang berbunyi: "Organisasi tidak akan bersinggungan dengan masalah politik."

Sebelum memaparkan lebih jauh tentang pandangan ini, kami ingin mengalihkan pandangan ke dua masalah yang penting, yaitu:
1. Ada perbedaan yang jauh antara partai dan politik. Kadang keduanya bertemu dan kadang berpisah. Seseorang bisa disebut politikus dengan segala pengertian yang terkandung di dalam kata ini, tanpa ada kaitannya sedikit pun dengan suatu partai. Seseorang bisa disebut partisan (aktivis atau pengikut partai) dan sama sekali tidak mengenal politik. Dua sebutan ini bisa berkumpul menjadi satu, sehingga seseorang disebut politikus dan partisan atau partisan politikus. Kalau kami berbicara tentang politik, maka yang kami maksudkan adalah politik secara mutlak, yaitu pandangan tentang kondisi internal dan eksternal umat, tanpa terkait dengan partai, dalam keadaan bagaimana pun.
2. Tatkala orang-orang non-Muslim tidak mengetahui Islam, atau mereka bisa menyadari masalah Islam, keberadaannya di dalam jiwa para pemeluknya, kemantapannya di dalam sanubari orang-orang Mukmin, kesiapan setiap orang Muslim untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, memang mereka tidak berusaha melukai jiwa orang-orang Muslim dengan nama Islam, penampakan dan penampilannya, tetapi mereka justru berusaha membatasi maknanya dalam lingkup yang sempit, sehingga tidak ada lagi artinya sisi-sisi yang kuat dan praktis yang terkandung di dalamnya. Maka setelah itu muncul sebutan-sebutan kosong melompong bagi orang-orang Muslim, yang sama sekali tidak bermanfaat dan tidak bisa mengenyangkan perut yang sedang kelaparan. Dengan begitu mereka memberikan suatu pengertian bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah sosial adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah undang-undang adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah peradaban secara umum adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari urusan politik.

Tolong beritahukan kepadaku wahai ikhwan tentang Rabb kalian, jika Islam merupakan sesuatu di luar politik dan di luar masalah sosial, ekonomi dan peradaban, lalu Islam macam apakah itu? Apakah Islam itu berarti rakaat-rakaat yang tanpa disertai hati, ataukah hanya sekedar untaian kata seperti yang dikatakan Rabi'ah AI-Adawiyah: Istighfar yang membutuhkan istighfar berikutnya. Untuk inikah AI-Qur'an diturunkan sebagai tatanan yang komplit, penuh kandungan hukum yang pasti dan terinci wahai Ikhwan? Sementara Allah telah befirman,
"Dan Kami turunkan kepadamu AI-Kitab (AI-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (An-Nahl: 89).

Pengertian yang rendah tentang pemikiran Islam dan pembatasan sempit yang diberikan terhadap makna Islam ini, sengaja diupayakan musuh-musuh Islam untuk mengungkung orang-orang Muslim, lalu mereka tinggal tertawa-tawa jika orang-orang Muslim berkata, "Kami telah meninggalkan kebebasan agama demi kalian. Undang-undang juga telah menetapkan bahwa agama negara yang resmi adalah Islam. "

Kami sampaikan secara lantang dan gamblang dari atas rnimbar ini wahai Ikhwan, bahwa Islam tidak seperti pengertian ini, tidak seperti yang dikehendaki para kaki tangan musuh-musuh Islam, dengan cara mengebiri dan membatasinya. Islam adalah akidah dan ibadah, negara dan kebangsaan, keluwesan dan kekuatan, akhlak dan materi, peradanan dan undang- undang. Dengan status ke-Islamannya, setiap orang Muslim dituntut membantu setiap urusan umat. Siapa yang meremehkan urusan orang- orang Muslim, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang Muslim.

Kami yakin, orang-orang salaf di antara kita memahami Islam seperti pemahaman ini. Dengan pemahaman seperti ini mereka menetapkan hukum, demi Islam mereka berjihad, di atas landasannya mereka bermu'amalah, dalam batasan-batasannya mereka menyusuri setiap urusan kehidupan yang praktis sebelum menyusuri urusan akhirat dan rohani. Semoga Allah merahmati khalifah yang pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berkata, "Andaikata ada tali onta yang hilang dariku, tentu aku bisa mendapatkan hukumnya di dalam Kitab Allah."

Seorang sejarawan yang handal, Dr. Dhiya 'uddin Ar -Rais berkata di dalam bukunya, An-Nazhariyyatus-Siyasiyah AI-Islamiyah, "Di sana tidak ada keraguan bahwa tatanan (daulah) yang didirikan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dan orang-orang Mukmin yang bersama beliau di Madinah, jika dilihat sisi penampakannya secara praktis, lalu diqiyaskan dengan politik pada zaman sekarang, maka tatanan itu bisa disebut politik, dengan seluruh pengertian yang terkandung di dalam kata ini. Namun pada saat yang sama juga berorientasi agama, jika pertimbangannya tertuju kepada tujuan, pendorong dan landasan spiritualnya. "

Jadi pada saat yang sama suatu tatanan (daulah) bisa disifati dengan dua sifat, sebab hakikat Islam itu bersifat universal, menghimpun segala masalah dari dua sisi, material dan spiritual, meliputi amal manusia di dunia dan di akhirat. Bahkan filsafatnya bersifat umum, mengakomodasikan antara keduanya, tidak mengenal perbedaan di antara keduanya kecuali hanya dari sisi pandang, tapi dari segi dzatnya tetap menjadi satu paduan yang tak terpisahkan. Hakikat tabiat Islam ini sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut atau bukti penguat, yang bisa dilihat dari hakikat-hakikat sejarah dan merupakan keyakinan orang-orang Muslim di setiap masa pada zaman dahulu. Masalah ini sudah diketahui para orientalis, sekalipun mereka tidak berdekatan dengan lingkungan Islam.

Justru di sana ada segolongan orang dari para pemeluk Islam, yang menyebut dirinya sebagai "Mujaddid" (Pembaru) yang terang-terangan mengingkari hakikat ini. Mereka menyatakan bahwa Islam hanya sekedar dakwah agama.
Dengan kata lain, Islam hanya sekedar suatu keyakinan atau hubungan spiritual antara seseorang dengan Tuhannya, tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan material di dalam kehidupan dunia ini, seperti urusan perang, pengaturan harta benda, terlebih lagi politik. Di antara perkataan mereka, "Sesungguhnya agama adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain."

Untuk menyanggah perkataan mereka ini, tidak tepat jika ,kami menukil pendapat para ulama Islam. Karena cara ini tidak membuat mereka merasa puas terhadap pendapat para ulama itu. Kami juga tidak akan menyodorkan hakikat-hakikat sejarah, karena dengan sikap angkuh mereka mengecilkan hakikat-hakikat ini. Tapi kami cukup menghadirkan sejumlah pernyataan para tokoh orientalis berkaitan dengan masalah ini. Mereka telah menjelaskan pendapatnya lewat ungkapan-ungkapan yang jelas dan pasti. Sebab para pembaru ini tidak mungkin mengaku bahwa mereka lebih dapat dipercaya dalam konteks zaman modern, dan tidak lebih hebat dalam penggunaan metode pengkajian kontemporer serta ilmiah. Inilah di antara pendapat para orientalis itu.

1. Dr. V. Fitzgerald berkata, "Islam bukan hanya sekedar agama (A Religion) , tetapi ia merupakan tatanan politik (A Political system). Sekalipun pada dekade belakangan ini muncul beberapa orang Islam, yang biasa disebut " Modernis " , berusaha memisahkan dua sisi ini, tetapi semua pemikiran Islam telah membangun suatu landasan bahwa dua sisi ini saling bertautan, yang satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lain.”
2. C.A. Nallino berkata, "Pada waktu yang sama Muhammad telah membangun agama (A Religion) dan daulah (A State). Batasan-batasan di antara keduanya saling berdampingan selama hidupnya."
3. Dr. Schacht berkata, "Karena Islam itu dipahami lebih dari sekedar agama, maka ia juga menggambarkan teori-teori hukum dan politik. Dari sejumlah pendapat menyatakan bahwa ia adalah tatanan peradaban yang komplit, mencakup agama dan daulah secara berbarengan.”
4. R. Strothmann berkata, "Islam adalah fenomena agama yang berwawasan politik. Sebab pendirinya adalah seorang nabi dan sekaligus seorang politikus yang bijak, atau disebut pula seorang negarawan."
5. D. B. Macdonald berkata, "Di sana (di Madinah) berdiri negara Islam yang pertama dan di sana diletakkan dasar-dasar pemerintahan untuk undang-undang Islam."
6. Sir T. Arnold berkata, "Pada saat yang sama, nabi adalah seorang pemimpin agama dan pemirnpin negara. “
7. Gibb berkata, "Dalam keadaan seperti itu nyatalah bahwa Islam bukan sekedar keyakinan agama secara individual, tetapi ia mengharuskan berdirinya sebuah masyarakat yang merdeka, mempunyai tatanan tersendiri dalam hukum, undang-undang dan sistem secara khusus."
Siapa yang belum merasa puas dengan pernyataan orang-orang Barat ini, berarti dia layak disebut orang yang sombon

No comments: