Sunday, June 1, 2008

TITIK TOLAK KEBANGKITAN

Kebangkitan Himas

Jangan lupakan sejarah, itulah khotbah sang proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia; Soekarno presiden pertama RI. Sabda itu, sampai kini masih melegenda dan tersimpan rapi di setiap benak kesadaran anak bangsa. Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, barangkali inilah yang memberi kita alasan kenapa peringatan tentang hari hari yang bersejarah, kerap kali kita lakukan. Dari sanalah kita akan mendapatkan kesadaran dan identitas kita kembali.
Di sini, tepat tanggal 28 Mei 2008, bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang ”besar”, sebagian anak bangsa memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Walaupun saya yakin haqqul yakin bahwa peringatan seabad kebangkitan nasional, tidaklah memberikan kita semacam pengertian bahwa bangsa ini memang telah bangkit, jika kata bangkit yang kita maksudkan, misalnya merujuk pada pengertian bahwa bangkit adalah malu, malu menjadi benalu, selalu minta melulu. Bukankah masih banyak di antara kita, utamanya pejabat publik, masih berbangga diri menjadi benalu. Lebih-lebih jika kata bangkit itu mengacu pada kebangkitan dalam sektor pendidikan ekonomi, dan politik
Hemat saya, dari pada mengatakan bahwa kita telah bangkit, rasanya lebih afdhal dan tepat, kalau sebaiknya kita menyakatan kita belum bangkit saja. Dengan begitu, kita akan berpikir bagaimana cara yang paling tepat menuju kebangkitan nasional. Mungkin, salah satu alasan kenapa bangsa ini sampai sekarang belum juga bangkit dan masih nyaman dilabeli sebagai negara ketiga, karena kita terpenjara dengan persepsi pikiran kita sendiri yang merasa telah mengalami kebangkitan. Akibatnya, kita merasa aman-aman saja dan tidak berusaha meledakkan potensi meraih kebangkitan, padahal masih banyak anak bangsa yang menjeri-jerit. Bahkan tepat di hari kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, pemerintah Indonesia dengan gilanya punya syahwat ingin “membangkitkan”(baca: menaikkan) harga BBM.
Karena itu, gagasan tentang bagaimana menuju kebangkitan nasional, harus menjadi gagasan dan cita-cita nasional yang sifatnya wajib ‘ain dipikirkan oleh orang yang masih mempersepsi dirinya sebagai anak bangsa, khususnya para mahasiswa muslim. Gagasan besar ini harus menjadi jihad intelektual kita sehari-hari. Tiada hari tanpa berpikir bagaimana agar bangsa ini keluar dari krisis multi demensi. Berpikir bagaimana agar bangsa ini bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan dan imprealisme dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum dan politik sosial budaya.

Kebangkitan; Sebuah Renungan Devinisi Kontekstual
Sengaja saya tidak mendevinisikan kata kebangkitan secara konsepsional. Biasanya devinisi yang memuat pemikiran-pemikiran abstrak, hanya bisa dimengerti oleh kalangan cendikiawan dan intelektual saja. Walaupun dari tangan merekalah, gerakan kebangkitan pertama kali menggema.
Karena renungan ini dimaksudkan sebagaian salah satu referensi dan provokasi bagi segenap anak bangsa secara kaffah agar mereka tersengat untuk bergerak bangkit, maka sanya ingin mencukupkan diri dengan mendevinisikan kebangkitan sebagai sebuah kondisi dimana aku, kamu dan kita tak lagi punya kesempatan merasa, mendengar, melihat dan membaca ada anak bangsa yang meraung-raung kesakitan karena gizi buruk, ada rakyat yang mati mengenaskan karena berkompetisi mendapatkan BLT, ada saudara sebangsa yang menjadi ”budak” di negeri sendiri, ada dan ada kondisi yang mendorong nurani kita untuk berteriak lantang ”Kita harus bangkit”. Ringkasnya, kebangkitan itu adalah sejahtera, adil, makmur dan sentosa yang dalam realitas sosial cukuplah dibuktikan bila semua anak bangsa, utamanya generasi mudanya, punya kesempatan yang sama dan seluas-luasnya menikmati pendidikan yang berkualitas dan mencerahkan (the education of illuminating). Walaupun kebangkitan yang kita cita-citakan bersifat komprehensif meliputi semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana kita juga ingin bangkit dan mandiri dalam bidang ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya, namun penekanan contoh dan bukti pada kebangkitan dalam bidang pendidikan, sebab gagasan apapun tentang kebangkitan akan menjadi ide tong kosong, tidak akan pernah membumi bila perhatian dan prioritas kita terhadap pendidikan masih rendah. Bahkan saya berani berasumsi, kita tidak akan pernah mencapai kebangkitan, bila anggaran pendidikan kita masih rendah.
Dari devinisi itu, kita dapat menangkap sebuah isyarat bahwa kebangkitan merupakan konsep yang memuat unsur transformasi, perubahan, reformasi dan konsistensi. Kebangkitan adalah proses hijrah dari kondisi dan kultur yang lemah, tak berdaya dan terpasung menuju suatu keadaan yang kuat, mandiri dan berdikari. Kebangkitan merupakan kata yang menghendaki adanya sebuah kesadaran bergerak secara serempak, berjamaah, melibatkan semua komponen bangsa, untuk melakukan perbaikan di semua bidang dan sektor kehidupan bangsa dan negara. Di sini, kebangkitan dipahami sebagai komitmen dan gerakan intelektual, moral dan sosial yang dengan gagah berani meluluhlantakkan semua bentuk tirani , kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kedzalimandan ketidakdilan dan semua bentuk penyakit-penyakit sosial lainnya.
Dalam perspektif syari’ati-an, kebangkitan dimaknai sebagai gerakan pembebasan terhadap kaum mustadh’afin (baik yang tertindas secara politik maupun sosial) yang secara sadar dipilih oleh kaum cendikiawan dan intelektual (ulil albab) sebagai tugas dan tanggung jawab mereka. Inilah fakta yang kita dapatkan dalam sejarah, bahwa gerakan kebangkitaan nasional pertama kali digemakan oleh para intelektual yang bersatu dalam organisisasi Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Tentu saja cita-cita itu, menghendaki adanya sebuah sistem dan perencanaan yang matang, kebijakan strategis yang tepat yang pengambilan keputusannya melalui mekanisme musyawarah, sumber dana yang besar yang kemudian dalam pelaksanaannya harus bersifat gradual dengan menghormati hukum-hukum sosial (sunnatullah)

Mahasiswa: Insan Intelektual Penggerak Kebangkitan Nasional

Sejarah kebangkitan adalah sejarah yang mendramakan peran besar anak-anak muda dan mahasiswa. Semua kebangkitan yang tercatat di dalam sejarah, tak satupun yang terdokumentasikan kecuali menorehkan dengan tinta emas kepahlawanan para pemuda dan mahasiswa. Sebutlah, misalnya, revolusi Hongaria yang meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa pada tanggal 23 Oktober 1956. Bahkan mereka memelopori perlawanan terhadap negara adi kuasa di seantero kawasan Eropa Timur. Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an: gerakan di Prancis meledakkan Krisis 23 Mei 1968; mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator jendral Franco pada tahun 1965; hal yang sama juga terjadi di Italia, Belgia, dan negara Eropa lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak perlu aku reportasekan, cukuplah aku cuplikkan penggalan puisi Taufiq Ismail tentang peran pemuda dalam menumbangkan rezim Orba “Empat Syuhada berangkat pada suatu malam. Gerimis air mata tertahan di keesokan. Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu sedan. Mereka anak muda pengembara tiada sendiri. Mengukir reformasi karena jemu deformasi. Kartu mahasiswa telah disimpan di tas dan tas kuliah turun dari bahu. Mestinya kalianjadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu. Tapi Malaikat telah mencatat indek prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri”.
Itulah sebabnya, membayangkan sebuah kebangkitan tanpa keterlibatan peranan mahasiswa laksana mimpi di siang bolong. Keadaannya seperti senda gurau orang kampung “bagai meniup drum kempes”. Derajat dan tingkat probabilitasnya, hampir dikatakan mustahil jiddan. Kenapa? Karena kita tidak pernah sedikitpun mendapatkan fakta dalam sejarah, kecuali bahwa kebangkitan itu selalu saja digerakkan oleh para mahasiswa. Sejarah mengkhabarkan kita bahwa mahasiswalah yang menjadi lokomotif yang tanpa lelah berusaha menarik gerbong kebangkitan. Mereka selalu saja mendapatkan semangat ketika mereka mendakwahkan kebangkitan, perubahan, perlawanan kepada segenap lapisan masyarakat yang bisa melahirkan gerakan massa. Karena itu, dalam perspektif sosiologis, gerakan people power, hanyalah merupakan titik kulminasi dan akumulasi dari gerakan kebangkitan dan perlawanan yang telah lama diteriakkan oleh mahasiswa. Sebab rakyat pada dasarnya, tidak terbiasa bergerak, kecuali mereka diberikan kesadaran. Dan kesadaran bergerak itu, mereka dapatkan dari teriakan-teriakan keras para mahasiswa yang kerap kali bosan dan gelisah melihat ketimpangan sosial.
Mahasiswa sebagai penggagas utama dan akselarator kebangkitan, harus senantiasa memperbaharui kesadaran fitrah mereka sebagai aktor intelektual penggerak kebangkitan dan perubahan (agen of change) dengan cara selalu aktif mengembangkan sikap ilmiah, kritis dan meningkatkan frekuensi kepekaan sosial mereka. Jiwa mereka harus selalu mendidih setiap kali melihat kemungkaran. Budaya dan tradisi ilmu harus menjadi bagian integeral dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka. Penguatan-penguatan dan pengayaan pada visi keagamaan dan politik harus senantiasa mereka tingkatkan. Semua itu bisa didapatkan bila mahasiswa tidak pernah lalai melakukan, yang oleh al-Qur’an dinyatakan sebagai kerja “memikirkan penciptaan langit dan bumi”.
Dengan memikirkan penciptaan langit dan bumi mereka akan mendapatkan kesadaran transendental, bahwa gerakan kebangkitan, reformasi dan perubahan yang mereka lakukan, merupakan amanat rabbani dan tuntutan sosial. Bahwa dengan tafakkur terhadap penciptaan langit dan bumi, mereka akan memperoleh pengetahuan tentang faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya kebangkitan dan kejatuhan sebauh bangsa karena “mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS. 12: 111)” Dalam devinisi al-Qur’an, sosok manusia yang demikian ini disebut sebagai ulil albab. Mereka inilah, kata Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif, sebagai profil intelektual muslim
Karena gerakan kebangkitan hanya bisa digerakkan oleh para ulil albab, sebab “merekalah yang orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah (QS. 3:7), dan karena “merekalah yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, mengembangkannya dengan seluruh tenaganya, sambil berkata kami percaya ini semuanya berasal dari Tuhan kami (QS. 3: 7)”, maka seorang mahasiswa muslim harus berupaya merekontruksi kepribadiannya untuk menjadi sosok ulil albab. Dari sinilah kita merumuskan, bahwa gerakan kebangkitan itu bertititolak dari diri sendiri dengan melakukan gerakan pembebasan dari segala bentuk pemikiran yang menyesatkan, perlawanan terhadap segala bentuk hawa nafsu dan kedzaliman, dan pemberdayaan kepada semua bentuk potensi yang dianugrahkan oleh Tuhan. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah suatu kaum, kecuali kaum itu yang merubah diri-diri mereka sendiri, demikian distur ilahi tentang konsep kebangkitan. Sejauh yang dibayangkanoleh nabi tentang kebangkitan hanyalah bermula dari “Ibda’ binafsik; mulailah dari dirimu sendiri”. Sebab, kata pepatah, orang yang tidak punya apa-apa tidak akan mungkin bisa memberi.
Gerakan kebangkitan pertama, yang dimulai dari diri sendiri, kita menyebutnya dengan gerakan rekontruksi afiliasi yaitu gerakan mentarbiyah diri pada semua demensi kemanusiaan kita; dalam aspek kognitif kita mengisinya dengan ilmu yang benar, dalam aspek afektif kita mentransfusinya dengan iman yang kokoh dan dalam aspek psikomotorik kita menjadi “mukmin yang kuat itu lebih cintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah”. Tujuannya, agar kita menjadi seorang ulil albab (intelektual) sejati, manusia yang paripurna dan akhirnya menjadi pemimpin yang efektif. Jadi, dalam konteks proposal kebangkitan nasional yang harus kita lakukan adalah membangun dan mempercepat proses kepemimpinan yang visioner, keteladanan, kemampuan mengorganisisasi dan pengendalian serta mobilisasi. Persoalan kepemimpinan inilah yang menjadi problem akut bangsa ini. Sebab ada jurang yang sangat lebar antara idealisme (das sein) dan realitas (das solen). Sementara kita punya cita-cita yang besar memajukan negeri ini, namun kita tidak memiliki pemimpin yang mampu mengejewantahkan visi misi itu itu menjadi nyata. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Anis Matta “Krisis, pada hakekatnya adalah takdir setiap bangsa, tapi yang kita sesalkan saat terjadinya krisis itu kita kehilangan para pahlawan dan ketiadaan para pahlawan adalah isyarat kematian sebuah bangsa”
Sesungguhnya persoalan yang dihadapi bangsa dan negara ini sangat kompleks dan multidemensi yang menghantam seluruh persendian bangsa. Semua itu menuntut jihad dan ijtihad intelektual yang kuat, karena itu ilmu pengetahuan mereka haruslah multidisplinari dan interdisipliner. Sebab spesialisasi ilmu pengetahuan dan intelektualitas yang sempit, kata Jose Ortega Y, salah seorang filofsof Prancis yang paling berpengaruh selepas Niestzce, hanya melahirkan manusia biadab baru (a new barbarian). Kehadiran mereka tidak akan pernah bisa menyeselaikan masalah. Bahkan sebaliknya, malah menambah daftar benalu-benalu bangsa.
Dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. (Rakhmat: 1994). Orang yang tidak punya minat dan peka terhadap rangsangan-ransangan budaya, ia belum berhak dinamakan inetelektual, meskipun ia mungkin seorang yang titel kesarjanaannya berlapis-lapis. Alasan dibalik penanamaan itu, tentu saja, menegaskan adanya tanggung jawab sosial bagi seorang intelektual; mereka harus berani mengatakan kebenaran walaupun pahit, mereka dengan gagah dan jiwa ksatria menegakkan amar makruf nahi mungkar dalam bidang politik, hukum dan sosial budaya. Seorang intelektual tidak hanya menjadi seorang yang shaleh secara pribadi, tetapi juga harus saleh secara sosial.
Dengan kata lain, mahasiswa harus menjadi seorang pahlawan; menjadi pemimpin besar yaitu seorang yang berpikir, berjiwa dan bertindak besar. Seorang mahasiswa ideal harus mempersepsi dan melihat dirinya sebagai pribadi, aktor dan pelaku sejarah. Hanya dengan begitu mereka mampu merebut takdir mereka sebagai pahlawan kebangkitan. Sejarah univesal, kata Thomas Carlyle, adalah sejarah tentang apa yang telah dikerjakan manusia di dunia ini yang pada dasarnya adalah sejarah orang besar yang telah bekerja di sini (Sztompka. 2004)
Setelah mereka menunaikan tugas kebangkitan yang pertama, selanjutnya para mahasiswa muslim ini harus bergerak turun gunung dari alam ide, gagasan, dan konsep-konsep menuju rimba realitas sosial. Gerakan kebangkitan tahap ini kita menyebutnya tahap aktualisai dan kontribusi. Dalam tahap ini, mereka harus memiliki kesiapan intelektual dan mental yang membaja untuk melakukan pertarungan dengan setiap realitas sosial yang mereka temui dan kemudian berusaha keluar sebagai pemenang. Tugas kebangkitan yang kedua ini menghendaki mereka harus mampu mengindentifikasi, merumuskan masalah umat dan bangsa serta mencari, menemukan dan menyampaikan solusi-solusinya (problem solving). Mereka senantiasa memberikan pedoman dan mengarahkan arah kebangkitan sesuai dengan kapasitas mereka. Kongkritnya, mereka adalah orang yang disabdakan oleh sang penggerak kebangkitan dengan sabdanya yang monumental“yang paling terbaik diantara kalian yang paling banyak memberikan mamfaat kepada orang lain”. Mereka selalu memberikan pencerahan (aufklarung). Sungguh, yang kutahu renaisance bermula dari mereka.

Bangkit Indonesiaku Bangkit Sapekenku: Himas dan Masa Depan Bangsa
Sebelum kita lebih jauh mendiskusikan tema kebangkitan ini, mari kita berhenti sejenak dan berbisik secara halus kepada hati kita masing-masing “jika kita serius dengan komitmen kita membangun bangsa dan negara ini, sejauh mana tingkat kekayaan gagasan, ide, konsep, konsistensi, kesabaran, ketekunan, keberanian yang kita punya?
Perjalanan kebangkitan adalah jalan panjang mendaki yang melelahkan, pahit dan akan menguras tenaga pikiran dan fisik. Ini jalan kepahlawanan yang berdarah-darah. Ini sebuah jalan terjal yang mebutuhkan semangat keikhlasan dan kesungguhan. Ada harga yang dibayar disini; kita harus sepenuh hati merelakan kesenangan hari muda kita. Tapi kita telah memilih. Karena tidak ada seorangpun yang berani bergerak menyeleaikan pekerjaan besar ini. Pilihan ini, merupakan tanggung jawab sejarah yang harus kita tunaikan dengan baik. Maka ijtihad dan jihad dalam maknanya yang luas harus menjadi bagian integral dari tradisi kita. Tidak ada kata menyerah, karena orang yang kalah tidak akan pernah dicatat dalam sejarah.
Bahwa jalan menuju kebangkitan menyajikan berbagai macam menu tantangan yang menghadang, maka membangun etika hidup berjama’ah (baca: berorganisasi) merupakan sebuah keniscayaan. Di sinilah letak urghensi dan signifikansi HIMAS sebagai rumah perjuangan kita melakukan tugas kebangkitan itu, baik dalam skala makro maupun mikro. Dalam perspektif fikih, maka berorganisasi dalam rangka menunaikan tugas kebangkitan itu hukumnya adalah wajib karena menurut ilmu ushul fiqh “Apa-apa yang tidak menjadi sempurna melainkan dengannya, maka sesuatu itu juga wajib.
Dengan demikian, Himas sebagai rumah para pejuang kebangkitan dalam usaha mensejahterakab bangsa ini, wajib menegaskan satu hal di dalam dirinya suatu gerakan yang kita sebut dengan “gerakan kontribusi”. Gerakan kontribusi adalah gerakan yang menghendaki bagi semua anggota Himas untuk memberikan sumbangsih pemikiran maupun amaliyah nyata sesuai dengan kompetensi mereka masing-masing.
Dalam gerakan kontribusi ini, Himas perlu mengidentifikasi dan memetakan persoalan-persolan yang melilit masyatakat Sapeken pada khususnya, dan bangsa pada umumnya. Kemudian gerakan kontribusi ini juga harus menjelaskan wilayah kerja masing-masing anggota. Untuk itu Himas perlu melakukan inventarisasi terhadap semua daftar kekayaan ide, SDM dan finansial yang ada. Inilah tiga komponen kebangkitan yang harus dimiliki Himas jika kita ingin merebut takdir kita sebagai pahlawan kebangkitan. Pertanyaannya adalah, sejauhmana tingkat kepemilikan kita terhadap tiga komponen tadi. Qaidahnya, semakin kecil tingkat kepemilikan kita pada tiga komponen tersebut, maka semakin kecil pula tingkat kemungkinan kita meledakkan kebangkitan. Dan begitu sebaliknya.
Gerakan kontribusi ini akan meneguhkan posisi dan eksistensi Himas. Bisa dikatakan, bahwa keberadaan Himas sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi, distribusi dan kontribusi yang mereka lakukan dalam upaya pembangunan, perubahan dan kebangkitan di Kec. Sapeken. Hanya dengan banyak memberikan mamfaatlah, himas akan diperhitungkan. Dan bila tidak, takdir himas akan persis seperti kata pepatah Arab “Wujuudihi ka ‘adamihi, adanya seperti tidak adanya”. Tentu hal itu tidak kita harapkan, namun takdir kehancuran dan kebangkitan sangat ditentukan oleh tangan-tangan kita sendiri. Karena takdir dalam pengertiannya yang paling ideal hanyalah pertemuan yang indah antara tangan Allah dengan tangan manusia.

Kesimpulan dan Penutup
Mungkin diantara sidang pembaca, ada yang belum begitu memahami keseluruhan bagian dari tulisan titik tolak kebangkitan ini. Karena itu ada baiknya saya rumuskan beberapa hal berikut:
• Pada mulanya ada cita-cita sejarah yang dibebankan kepada kita untuk membangun bangsa dan negara ini.
• Cita-cita itu kemudian diwujudkan dalam sebauh manhaj (metode) kebangkitan yang menjelaskan jalan menuju kejayaan peradaban
• Manhaj kebangkitan itu kemudian didukung oleh manusia-manusi yang beriman, memiliki akal raksasa, fisik yang kuat, semangat yang membaja, ikhlas dalam beramal, gagah berani, ulet, disipilin dan siap berkorban apa saja untuk mencapai kebangkitan itu
• Selanjutnya manhaj itu juga didukung oleh kepemimpinan yang kuat
• Dan juga didukung oleh organisisasi yang solid.
Keseluruhan rumusan itu, jika diringkas maka jalan menuju kebangkitan itu melalui tiga tahapan
• Tahapan konseptualisasi: Merumuskan konsep kebangkitan
• Tahap Organisisasi : Membangun organisisasi, sebagai pelaksana konsep
• Tahap Realisasi: mewujudkan konsep kebangkitan itu dalam realiatas.
Sebagai penutup, mari kita dendangkan dan renungkan puisi Iqbal dalam judul “An Old Baluchi To His Son”
Kemajuan negara dicapai melalui nyali individu. Tiap orang dimatangkan oleh usahanya sendiri: Samudra mendekap harta karunnya. Tatkala sang penyelam mencari kulit mutiara. Berpegangan pada batas pantai. (Dikutip dari buku Mencari Islam Autentik, Robert D. Lee: 1997).
Wallahu a’lam bis shawab.

Wednesday, April 23, 2008

STRATEGI PENDIDIKAN

STRATEGI PENDIDIKAN
Rangka Pikir konsep Abdullah dan Khalifatullah
Dalam Upaya Meningkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan
di Kepulauan Sapeken
By: Umar Hadi bin Makka

Dan ketika Allah Swt mendeklarasikan kehendaknya kepada para seisi langit, bahwa ia hendak menurunkan wakil-Nya di atas persada bumi, maka Allah telah membekali khalifah-Nya dengan keunggulan-keunggulan kompetitif yang memungkinnya bisa menjalankan peran pentingnya (visi misinya); memakmurkan dunia, mewujudkan sebuah peradaban agung dan luhur yang seluruh rancangannya dan desainnya berdasarkan bimbingan, petunjuk dan arahan Allah Swt. yang terdapat dalam kalam-Nya yang mulia, al-Qur’an dan as-Sunnah.
Fakta penciptaan ini menjelaskan hakekat fundamental, bahwa ilmu dan pendidikan merupakan elemen, faktor dan institusi yang paling strategis dalam upaya meningkatkan mutu kualitas sebuah masyarakat dan peradabannya. Ilmu dan pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam usaha-usaha kita dalam memajukan masyarakat. Peran penting sebuah ilmu dan pendidikan dalam kehidupan, ditunjukkan oleh kenyataan sejarah. Bahwa bangsa yang maju dan bermartabat ditentukan oleh sejauh mana kecintaan masyarakat tersebut terhadap tradisi dan budaya ilmu dan menghormati pendidikan. Mereka memiliki kerja keras intelektual yang berusaha menyelesaikan problematika kehidupan. Contohnya bangsa Jepang.
Dalam sejarah ditunjukkan, bahwa setelah Jepang mengalami kekalahan dan mengalami kehancuran dalam seluruh infrastrukurnya pada masa perang dunia II, mereka hanya membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk bangkit dari keterpurukannya. Keajaiban ini, banyak membuat ilmuwan Barat heran, bagaimana bangsa yang kalah dalam perang dunia II ini mampu mengalahkan Barat dalam berbagai bidang. Profesor Ezra Vogel dari Harvard University, merumuskan, bahwa kejayaan Jepang ialah berkat kepekaan pemimpin, institusi dan rakyat Jepang terhadap ilmu dan informasi serta kesungguhan mereka menghimpun dan menggunakan ilmu untuk faedah mereka
Sebagai seorang muslim, semua fakta-fakta itu, haruslah membuat kita sadar, dam kita bisa menegaskan satu aksioma, bahwa semua usaha apapun ke arah kemajuan dan kebangkitan (renaisnce), tidak akan pernah terjadi dan berhasil terwujudkan, kecuali kita menemukan kembali cinta kita kepada ilmu dan pendidikan, dan pada waktu yang sama kita juga tetap mengormati identitas, tradisi dan budaya kita. Kita ingin menyampaikan, bahwa sesungguhnya kemajuan kita tidaklah terjadi oleh faktor semangat menyerap seluruh kebudayaan asing (Barat dengan semangat modernisasi termasuk modernisasi agama) yang pada bagiannya justru sangat bertentangan dengan budaya, tradisi dan pandangan hidup kita. Misalnya sekulerisasi. Apa yang ditunjukkan oleh kemajuan Jepang dalam berbagai bidang ilmu tidaklah ditentukan oleh semangat taklid buta dalam mengadopsi dan mengadaptasi semua segi-segi kebudayaan Barat. Mereka hanya mengambil yang bermamfaat saja dari kebudayaan titisan bangsa Romawi itu. Untuk memperkuat tesis ini, cukuplah kita menampilkan fakta negara Turki yang tidak mengalami kemajuan apapun ketika Mustafa Kamal melakukan modernisasi dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk wilayah agama
Bahwa ternyata untuk memajukan sebuah peradaban yang maju, terhormat dan beradab haruslah bertitik tolak dan berlandaskan pada ilmu dan pendidikan, maka tentu saja langkah awal utama dan yang pertama adalah meningkatkan mutu dan kualitas serta sumber daya manusia sebanyak mungkin. Hal ini karena manusia adalah subyek atau pelaku peradaban. Manusia harus diberi penyadaran bahwa kesadaran berperadan merupakan bagian dari kesadaran akan penciptaan (kesadaran transendental). Saya ingin mengatakan, bahwa manusia yang tidak mau berperadan di atas muka bumi ini, susungguhnya itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tujuan penciptaan dan risalah. Di sinilah peran penting lembaga pendidikan, baik yang formal maupun informal (utamanya keluarga) menyadarkan manusia muslim dan menghantarkan mereka pada kualitas insan kamil sehingga mereka mampu mewujudkan visi misinya sebagai abdullah dan khalifatullah.
Konsep abdullah dan khalifatullah adalah dua Gagasan dan isu yang paling fundamental dalam al-Qur’an setelah tema tauhid. Konsep inilah yang menjelaskan kepada kita bahwa dalam konsepsi al-Qur’an, menegakkan peradaban adalah merupakan salah satu aspek ibadah yang terbesar kepada Allah Swt. Karena hanya dengan peradaban-lah kita mampu menampakan keagungan, keindahan dan keunggulan-keunggulan agama dan ajaran Tuhan (baca: Islam) kepada dunia. Menegakkan peradaban Islam, kunci penting yang bisa mewujudkan visi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Tentu saja semua itu diperoleh dari usaha-usaha pendidikan yang kita lakukan secara sadar yang seluruh desain kurikulumnya kita elaborasi dari konsep-konsep Islam tentang ilmu dan pendidikan. Apa yang ditegaskan di atas, menjadi dalil dan hujjah bagi kita, bahwa dualisme kurikulum tidak menemukan tempatnya dalam sistem metafisika pendidikan dan epistimologi Islam. Dualisme kurikulum, seperti yang ditegaskan oleh al-Faruqi akan menyebabkan keislaman siswa akan melemah dan akan menjadi pintu masuknya pemikiran sekularisme dalam struktur pemikiran kita. Maka berdasarkan bimbingan konsep ilmu, kita memandang bahwa ilmu naqliyyah (baca ilmu agama) dan ilmu aqliyyah (meliputi disiplin ilmu kedokteran, fisika, biologi, matematika, filsafat, sastra dan lainnya) sama pentingnya, walapun tingkatan keutamaannya berbeda dalam sistem klasifikasi ilmu. Seperti yang ditegaskan oleh imam al-Ghazali dalam sistem klasifikasinya, dimaba dia menempatkan ilmu agama sebagai ilmu fardhu ain (kewajiban individu) dan menempatkan ilmu naqliyah sebagai ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Dan ini, seperti yang dikatakan oleh imam al-Ghazali, adalah merupakan keadilan, hikmah dan kearifan dalam ilmu. Bahwa kedudukan dan derajat keutamaan sebuah ilmu ditentukan oleh signifikansi fundamentalnya dalam kehidupan. Dan menempatkannya pada posisinya yang tepat adalah sebuah prilaku keadilan dalam ilmu.
Sesungguhnya masa depan Islam dan penganutnya secara tidak langsung akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyediakan jenis pendidikan bagi kaum mudanya yang berjalan dengan bimbingan wahyu dan tentu saja harus sesuai dengan minat, bakat dan aspirasi-aspirasi mereka. Sungguh kebangkitan dan renaisance masyarakat sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh kaum terpelajar, cendikiawan, intelektual, pemikir strategis yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Di sini, pendidikan bertanggung jawab menyediakan lapisan inti dari sebuah masyarakat. Jika konsep abdullah dan khalifatullah dalam pendidikan ini kita kaitkan dengan konsep ummah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan tujuan esensial dari pendidikan adalah menciptakan para pemimpin yang kharismatik, sistem yang baik, dan kelompok pengikut. Semua komponen makna yang terkandung dalam kata ummah, jika kita hubungkan secara terpadu, maka hasil yang kita dapatkan adalah terwujudnya masyarakat madani. Fakta ini, jika kita korelasikan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kepulauan Sapeken, kita akan temukan fakta, bahwa jumlah kaum intelektual di dalam masyarakat kita sangat minim dan akibatnya kita juga mengalami krisis kepemimpinan dan kelangkaan pahlawan. Bahwa kita kekurangan sumber daya manusia yang berkualiatas dalam seluruh lapangan profesi, jabatan dan keahlian, adalah kenyataan yang sangat memiriskan dan memilukan hati. Penyebab semua itu, menurut hemat saya, karena kita tidak memiliki pemahaman yang benar tentang konsep ilmu dan kaitannya dengan konsep khilafah dan ibadah serta ummah.
Lebih jauh saya juga ingin menegaskan, bahwa abdullah dan khalifatullah merupakan konsep yang paling fundamental dalam sistem metafisika pendidikan Islam. Dua gagasan ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki kesiapan dasar menegakkan peradaban Tuhan, karena manusia telah ditanam di dalam dirinya sifat-sifat Tuhan. Karena sifat-sifat ini tidak terbatas, maka kemajuan moral, spiritual dan intelektual manusia juga tidak terbatas.
Dua gagasan ini harus mampu dipahami secara benar dan adil oleh pra pendidik di lembaga pendidikan Islam. Sehingga dalam perumusan visi misinya, mereka tidak boleh melupakan dan melalaikan hakekat ini. Lembaga pendidikan Islam harus bertanggung jawab terhadap masa depan peradaban Islam, dengan merancang seluruh unsur-unsur pendidikan yang berbasis pada dua gagasan tersebut.
Dalam konteks ini, jika kita munasbahkan dalam konteks masyarakat kepulauan Sapeken, maka upaya kita dalam meningkatkn kualiatas pendidikan di kepulauan Sapeken, haruslah dimulai dari mengubah cara berpikir kita dalam memandang dan mempersepsi manusia muslim Sapeken. Yang saya maksud adalah, bahwa manusia muslim Sapeken tidak boleh dipasung lagi dalam lingkaran syetan profesi-lokalistik yang bisa menyebabkan kemiskinan strukutural (misalnya karena ayahnya nelayan, maka anaknya juga harus menjadi nelayan dan begitu seterusnya) Mereka harus dipandang sebagai seorang khalifah dan Abdullah, dan karena itu lembaga pendidikan yang ada di kepulauan Sapeken bertanggung jawab menghantarkan mereka pada gerbang itu. Sehingga eksistensi dari peran abdullah dan khalifah mereka tidak hanya sebatas lokal kepulauan Sapeken saja. Tapi Sapeken untuk Indonesia bahkan untuk dunia. Saya yakin, sangat sedikit sekali, untuk tidak menyebut semuanya, para pemikir pendidikan di kepulauan Sapeken melupakan dan melalaikan dua gagasan penting ini. Padahal Allah Swt berfirman:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan kepada manusia dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Ummat terbaik adalah cara al-Qur’an melekaktkan gelar kesarjanaan kepada kita. Istilah ini merujuk pada keadaan umat yang paripurna yang memiliki peran sejarah; menebarkan rahmat.
Demikianlah bimbingan wahyu kepada kita. Apa yang saya tulis di atas hanyalah muqaddimah dari mega proyek kita meningkatkan kualitas pendidikan di kepulauan kita yang tercipta. Namun sebelum saya pamit dari sidang pembaca mungkin ada yang bertanya, dimanakah hubungan antara dua konsep di atas dengan strategi pendidikannya? Nah....ada yang mau menjelaskan!!??

Sunday, April 13, 2008

MAHKUM ALAIHI

Konsep Dasar.
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’. jadi mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu zahrah menndevinisikan mahkum alaih dengan “orang mukallaf, karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dantermasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan
Secare etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampubertindak hukum,baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Dasar Taklif
Seorang mukallaf dianggap shah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua syarat:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Sementara kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang mempunyai akal itu dapat diterima pemahaman nya oleh akal mereka. Sebab akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu.
Jadi akal-lah yang menjadi raison de etre atau alasan utama adanya taklif dari Allah Swt. Imam al-Amidy mengatakan “Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan paham. Karena taklif adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak paham, seperti benda mati atau binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman global (mujnal) terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintaha atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau bahwa yang memerintah adalah Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu tuntutan dasar. Orang yang demikian dimaaafkan dalam hal tidak mampu memahami dalil taklif, karena talif tidak saja terganntung kepada pemahaman dasar tuntutan tetapi juga pada pemahaman yang terperinci (tafsiliy).”
Berangkat dari dasar filosofi hukum tersebut, maka pendidikan hukum di dalam Islam sangat menghargai nilai-nilai intelektualitas manusia, karena ketika Allah menurunkan aturan dan norma-norma obyekti kepada umat manusia, Allah Swt menjelaskan alasan dibalik pembebanan itu dengan melakukan dialog kepada akal manusia. Sehingga prilaku mukallaf di hadapan hukum Tuhan, bukan karena atas dasar paksaan, akan tetapi bertitik tolak dari pemahaman yang mendalam, bahwa semua itu dimaskudkan untuk memberikan kemaslahatan umat manusia. Inilah yang dimaksud dengan maqashid as-Syari’ah.
Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diindrawi secara lahiriyah, maka syar’i telah menghubungkan taklif dengan hal yang nyata dan dapat diindra, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yaitu kedewasaan. Maka orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempura untuk terkena beban hukum. Adapun indiksi kedewasaan manusia. Bagi laki adalah mimpi basah. Sedang bagi pereampuan keluar darah haidh. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nur: 59


“Apabila anakmu samapi umur baigh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti oarang-orang yang sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah orang gila dan anak-anak tidak dikenai baban hukum karena tidak adanya kal yang digunakan untka memahami apa yang dibebankan. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Sebagaimana Hadist Rasulullah:



”Diangkatlah pena itu( tidak dicatat amal perbuatan manusia)dari tiga orang: orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”.
Belaiu juga bersabda:


“Barang siapa yang tidur sampai tidak melakukan sholat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia sholatketika dia ingat, karena sesungguhnya waktu ingatnya itulah waktu sholatnya”
Namun, dalam syarat yang pertama ini bukan tidak terdapat permasalahan, kerena dalam beberapa hal, anak kecil adan orang gilapun dikenakan beberapa kewajiban seperti membayar zakat dari hartanya. Imam al-Ghazali, al-Amidy, adan asy-Syaukni menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar zakat fitrah,nafkah diri mereka sendiri dan ganti rugi bila mereka merusak atau menghilangkan harta orang lain. Bahkan para ulama sepakat bahwa adanya wajib zakat atas tanaman dan buah-buahan mereka. Hal ini jelas suatu taklif, sehingga mereka tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak kena taklif. Hanya saja taklif itu, tidak berkaitan atau lahir dari diri pribadi perbuatan anak kecil atau orang gila tersebut, tetapi berkaitan dengan harta mereka. Karenanya menurut ketiga ulama ushul yang tesebut di atas, bahwa dalam kasaus tersebut yang bertindak membayarkan zakat pada harta mereka, mengambil nafkah untuk diri mereka dan ganti rugi (dhaman) yang disebabkan kelalaian mereka adalah wali mereka masing-masing.
Seperti yang telah diegaskan bahwa landasan taklif adalah akal yang ditanamkan oleh Allah kepada diri manusia, yaitu akal yang kemampuannya tidak hanya memahami maksud khitab syar’i secara global, melainkan juga harus secara terperinci. Sementara khitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab?
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan “adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nas-nash bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka”
Itulah sebabnya, dalam perspektif fiqh belajar bahasa Arab merupakan kewajiban yang bersifat individu (wajib ‘aini) dan kolektif (wajib kifayah), karena bahasa Arab-lah satu-satunya yang menjadi wasilah dalam memahami hukum-hukum Allah yang wahyukan dalam bahasa Arab. Maka jika kita diwajibkan atau diperintah menegakkan dan mengejewantahkan hukum-hukum Allah (tathbiiqu asy-syari’ah), maka tentu juga kita diperintah untuk menegakkan sarana-sarananya, dan salah satu suprastruktur fundamental penegakan hukum Allah adalah mempelajari dan memahami bahasa Arab dengan baik. Terlebih lagi pada mellenium yang ketiga ini, dimana ada upaya sistematis dan tidak kenal lelah untuk memojokkan bahasa Arab dengan melebelinya sebagai bahasa yang konservatif, ketinggalan jaman dan predikat-predikat buruk lainnya. Sungguh kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga keagungan bahasa Arab ini.

Qaidah ushul mengatakan

“Sesuatu yang tidak menjadi sempurna melainkan dengannya, maka dengannya itu juga wajib”

2. Mukallaf adalah haruslah ahli (harus cakap dalm bertindak hukum) dengan sesuatau yang dibebankan kepadanya.
Berdasarkan konsep ini, maka seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang gila.
Kerena pembahasan ahli lumayan panjang, maka akan kami akan dibahas secara terpisah dalam sub judul

Konsep Dasar Ahliyyah
secara etimologi, ahliyyah maknanya adalah ash-shalahiyyah; kepantasan atau kelayakan. bila ada sesorang yang memilki kemampuan dalam satu bidang maka dia dianggap ahli.
Secara terminologi, para ahli ushul mendefinisikan ahlyyah dengan:


”Suatu sifat yang dimiliki sesorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan ahliyyah dengan “kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya oarng itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain dan pantas melaksanakannya.”
Dari kedua devinisi di atas, maka ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh aktivitas dan prlikakunya memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum. Pada tahap ini dia telah menjadi subyek hukum yang harus bertanggung jawab secara indepennden terhadap amal perbuatannya sendiri. Maka jika dia berzina, dia akan dirajam sampai meninggal dunia, bila ia pezina mukhson (telah dan pernah menikah). Bila ia melakukan aktivitas perniagaan, maka dianggap shah.
Karena yang menjadai subyek hukum (muhkam alaih/mukallaf) adalah manusia, sedang manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah didesain oleh Allah Swt, maka kemampuan bertindak hukum seseorang tidak datang secara sekaligus, melainkan secara evolusi melalaui tahapan-tahapan tertentu, sesuai tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahilyyah kepada dua bagian.
1. Keahlian wajib (Ahliyyatul al-wujub)
Keahlian wajib Ahliyyatul al-wujub adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. misalnya ia telah berhak menerima hibah, akan tetapi ia tidak sah memberikan hibah. Ia telah dianggap berhak menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk menegakkannya seperti sholat, zakat, maupun ibadah lainya. Kalaupun dia menunaikannya, semua itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan dan pembiasaan
Karena itu ahliyyah al-wujub ini, merupakan kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali. Keahlian wajib ini merupakan konsekuensi logis dari sifat kemanusiaan manusia yang telah diberikan kemampuan memahami dan dianugrahi keunggulan konpetitif (baca: akal) oleh Allah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Akal yang ditanamkan itulah yang membuat manusia mendapatkan keistimewaan sehingga memiliki kelayakan dan kepantasan (ash-shalahiyyah) mendapatkan hak dan kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama fiqh disebu dengan adz-Dzimmah; yaitu sifat naluri manusia yang denngan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk orang lain pula.
Maka keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai maupun bodoh. Tidak ada manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena keahlian wajib merupakan sifat kemanusiaannya.
Berdasarka konsep ini, maka seseorang yang baru lahir, apabila ada orang yang berwasiat kepadanya,maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga dengan seorang bayi, lalu ayahnya wafat, maka ia berhak atas pembagian warisan dari ayahnya. Hanya saja pengelolaannya tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang doberi wasiat memelihar hartanya), karena mereka belum dianggap cakap dan mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Jika kehalian wajib ini hibungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua bagian, yaitu:
a. Keahlian Wajib yang tidak sempurna.
Yaitu mukallaf layak mendapatkan hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam kandungan. Janin sudah dainggap memiliki Ahliyyatul al-wujub, tetapi belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak keturunan dari ayahnya, memperoleh bagian waris mendapatkan wasiat dan mendapatkan seperempat yang ditujukan kepadanya namun dia tidak wajib melaksanakan kewajiban itu bagi orang lain.
b. Keahlian wajib yang tidak sempurna
Yaitu jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini berlaku bagi seorang anak ayang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara umum, baik ia cakap atau tidak cakap.
Perlu ditegaskan, bahwa dalam status keahlian wajib (ahliyyatul al-wujub), baik yang sempurna maupun yang tidak, seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah maupun yang bersifat hukum-hukum duniawi. Namun demikian, menurut ksepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukakn tindakan yang berkaitan dengan hukum perdata yang merugikan orang lain, maka mereka wajib mempertanggungjawakannya dengan memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Akan tetapi jika perbuatannya berkaitan dengan tindak hukum pidana, sepert seorang anak kecil yang melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum aaak kecil yang memilkiki ahliyyatul wujub tersebut, belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia belum dia dianggap cakap bertindak hukum, sehingga hukumannya-pun cukup dengan dikenakan diyat.
Adapau bagi oarng yang memiliki status ahliyyah al-ada’, apabila melakukan tindakan hukum perdata mapun pidana,maka ia beratnggung jawab secara penuh. Ia bahkanbisa diqishah jika membuh nyawa manusia.

2. Keahlian Melaksanakan (ahliyyah al-ada’)
Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknakan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang lain kerena pebrbuatannya.
Jadi, keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana seorang mukallaf telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di hadapan hukum.
Para ulama ushul telah sepakat bahwa masa datanganya Ahliyyatul al-ada’ menurut syara’ adalah bersamaa dengan tibanya usia taklif yang ditandai dengan akal dan baligh. Dalam hal ini mereka mendasarkan pendapanya dengan merujuk kapada surah an-Nisa’: 46



“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudia jika menurut pendapatmumereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka”
Menurut ulama ushul fiqh, kalimat cukup umur dalam ayat ini merujuk pada pengertian seseoramg yang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan haid bagi perempuan.
Jadi Tolak ukur ahliyyah al-ada’adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.
Manusia sebagai subyek hukum, bila dikaitka dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada tiga bagian, yaitu:
a. Terkadang tidak memiliki keahlian sama sekali
Keadaa ini dimilki oleh anak kecil dan orang gila, karema keduanya belum memiliki, sehingga mereka belum memilkiki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakuakan akad jual beli, akad mereka dianggag batal. Maka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum perdata maupun hukum pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat harta, bukan pada fisiknya. Inilah makna aksioma yang dirumuskan oleh ahli fiqh

“Kesengajaan anak kecil atau orang gila termasuk keliru
b. Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna
Keadaan ini terjadi pada bayi di uia tamyiz sampai dewasa termasuk oarng yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk konsdisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap shah melakukan pengeloloaan yang bermamfaat (possitif0 untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya
c. Terkadang manusi memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang baligh dan berakal sehat. Pada fase ini, aeluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’; 5.

Penghalang Keahlian (awarid al-ahliyyah)
Karena yang menjadi subyek hukum itu adalah manusia dimana alasan penetaapan taklifnya adalah adanya akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia dan kondisi mereka yang telah balig. Akan tetapi karena manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah digariskan oleh Allah,di mana mungkin saja, manusia itu pada satu titik kehidupannya, akal mereka melemah, berkurang bahkan mungkin menghilang, sehingga mereka kemudian dia dianggap tidak layak dan pantas bertindak hukum. Disini kita menemukan sisi humanistik hukum Islam. Islam dalam berbagai demensinya sepanjang sejarah kemanusiaan, akan tetap sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Allah yang telah menciptakan kita, maka tentu saja Dia pulalah yang lebih tentang kebutuhan kita.
Sesungguhnya keadaan manusia yang demikian itu, terkadang menyebabkan mereka terhalang dari aktivitas-aktivitas hukum. Para ulama ushul memabagi sifat pengalang itu kepada dua bagian, yaitu:
1. ‘Arid Samawiy, yaitu halangan yang datangnya dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan dan diusahakan oleh manusia, seperti gila
2. ‘Arid Kasbiy, yaitu halanganyang disebabkan oleh manusia. Halangan ini ada sumbernya ada dua:
a. dari diri sendiri, yaitu mabuk, alpa
b. dari orang lain seperti dipaksa




KESIMPULAN & PENUTUP

Mahkum alaih merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam disiplinn ilmu ushul fiqh. Dikatakan penting karena dalam pokok bahasannya dijelaskan beberapa konsep penting dan fundamenntal yang terkait dengan eksistensi manusiasebagai pelaku atau subyek hukum. Dalam konsep ini ditegaskan posisi manusia di mata hukum. Ada dua syarat yang harus mereka miliki, sehingga mereka baru dianggap shah melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki implikasi-implikasi hukum. Konsep ini akan memberikan gagasan, ide dan referensi bagi para mujtahid , fuqaha, dan dan para qadhi dalam menilai aktivitas-aktivitas manusia.
Manusia sebagai subyek hukum, dalam konsep ini diperlakukan sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Konsep ini menegaskan bahwa penerapan hukum Ilahi kepada manusia selalu disosialisasikan dengan selalu melibatkan nilai-nilai intelektualitas manusia. Manusia senantiasa diajak berdialog untuk memahami kehendak Ilahi dibalik semua hukum-hukum itu. Karena itu Allah selalu menantang manusia untuk mencari adakah hukum selain hukum Allah yang paling baik. Sesungguhnya norma-norma obyektif yang diturukan oleh Allah tidak lain melainkan untuk kemaslahatan manusia.
Akhirnnya hanya kepada Allahllah kita serahkan segala urusan kita dan salah satu bentuk penyerahan itu adalah kita senantiasa selalu damai dan bahagia diatur oleh hukum-hukum Allah. Maha benar Allah dalam perkataannya “dan tiadaklah Aku mengutusmu hai Muhammad, melainkan untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam”

Surabaya 3/04/2008
Penulis

HIWAR HARAKI

Sabtu pagi yang cerah, saya dan segenap rombongan BEM STAIL, bertolak dari kampus peradaban, begitu kami menyebut kampus hijau ini, tepat pukul 07.00 wib. Suasana Surabaya pagi dikala mentari masih malu-malu menampakkan badannya, memang sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan suasana kota metropolis di tengah hari. Suasana Surabaya di tengah hari akan meliarkan imajinasi anda yang membawanya pada pembayangan suasana di padang makhsyar kelak. Dan ini jauh berbeda diwaktu pagi, kondisinya memang agak mendingan, walaupun tetap saja yang namanya polusi udara, tetap komitmen berdemontrasi dijalanan. Entahlah sampai kapan mereka akan begitu ???
Agenda BEM kali ini, melakukan silaturrahim dengan bebarapa organisisasi pergerakan mahasiswa di kota Pendidikan; Malang, Jawa Timur. Kunjungan dipusatkan di BEM-BEM pada tiga perguruan tinggi papan atas di kota pelajar itu; BEM UIN, UMM dan UNIBRAW. Diharapkan dengan wisata pergerakan ini, BEM STAIL mampu membangun komunikasi dan jaringan yang kuat dan dapat menimba ilmu dan pengalaman, sehingga sehingga ke depan mereka mampu melakukan perbaikan perbaikan yang komprehensif, baik dalam aspek manajemen, struktur, metode pergerakan (manhaj haraki), dan program program strategis dalam tubuh organisisasi. Dengan begitu BEM STAIL diharapkan memiliki peran yang sangat strategis dalam usaha-usaha mencerahkan dan mencerdaskan manusia muslim indonesia secara khusus, dan manusia Indonesia secara umum.
Karenanya kunjungan kali ini, saya menyebutnya dengan hiwar haraki (dialog pergerakan). Istilah ini mengisyaratkan bahwa gerakan mahasiswa Idonesia harus mampu menyamakan persepsi tentang agenda-agenda keummatan dan kebangsaan yang harus dibahas dan dilakukan. Mereka dengan semangat keiklhlasan dan visi kemanusiaan yang bediri di atas nilai-nilai kebenaran universal, mampu memberikan solusi solusi yang cerdas, rasional argumentatif, dan meyakinkan terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara dan pada waktu yang sama aktif melakukan pembenahan dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Mereka dengan semangat jihad intelektual yang kokoh mampu meluluhlantakkan krisis multidimensi yang melilit bangsa ini. Hiwar haraki akan membuat mereka mengalami dan melakukan pengayaan dan penguatan-penguatan visi politik, keagamaan, budaya dan pemikiran.
Hiwar haraki adalah konsep yang menegaskan bahwa ”kita bekerja dengan apa-apa yang kita sepakati dan kita saling menhormati dengan perbedaan-perbedaan persepsi yang kita dapati”. Hiwar haraki akan menjembatani lahirnya aliansi strategis di dunia pergerakan mahasisawa. Sebuah aliansi yang membuat mereka berani menyatukan persepsi tentang bagaimana melakukan perbaikan (ishlah) di semua sektor kehidupan bangsa dan negara. Maka perbedaan agama, suku, budaya, dan latar belakang sosial dan pendidikan, tidak lagi dijadikan alasan untuk menghalangi niat mereka menyatukan langkah menata kembali taman Indonesia tercinta.
Akhirnya dengan hiwar haraki yang konsisten dan berkelanjutan yang dikerudungi dengan semangat keikhlasan yang kokoh, tradisi ilmiah yang kuat, dan budaya toleransi dan saling menghargai yang baik, akan mampu menghantarkan kembali dunia pergerakan mahasiswa pada fitrah dan takdirnya sebagai pelaku perubahan perbaikan dalam sejarah. Takdir primordial ini, hanya akan terwujud dengan sempurna bila “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” tidak lagi sekedar lagu yang dinyanyikan secara fasih, tidak lagi sekedar retorika yang dkhotbahkan mendayu-dayu, melainkan telah membumi dan menjadi realitas sosial budaya kita; dia menhunjam kokok dalam struktur kepribadian kita. Dan tahukah kamu bagaimana semua itu akan menyejarah? Hanya dengan hiwar haraki, insya Allah
Semoga Allah menyatukan hati-hati kita yang berserakan ini dalam semangat keislaman dan kebangsaan.

REVITALISASI PERAN PESANTREN

Oleh Umar Hadi

Zaman telah menemukan takdirnya dalam suatu fase sejarah yang baru.; globalisasi. Dalam faseini, batas batas territorial dan geografis suatu bangsa sudah tidak memiliki fungsi dan makna lagi. Betapa tidak, karena dalam abad –yang biasa disebut dengan abad informasi- sejarah telah dan akan menyuguhkan drama baru sepanjang sejarah kemanusiaan. Di mellinium yang ke tiga ini, suatu bangsa, masyarakat, komunitas dan individu saling terkoneksi dalam satu jaringan internet global yang sangat memungkinkan mereka saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Maka dunia dalam abad ini hanyalah sebuah global village. Dunia tak ubahnya seperti selebar daun kelor. Maka kita-pun akan menyaksikan the end of history; akhir sebuah sejarah dengan kematian konsep nation state. Maka manusia dalam abad ini mendapatkan dinamika baru dalam hubungan inter-relasi sosial kemasyarakatan mereka.
Sesungguhnya loncatan sejarah ini, lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan yang sangat pesat dan dahsyat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi informasi dan transfortasi yang terjadi di negara-negara barat, utamanya amerika dan Eropa. Sejak ledakan itu jadilah kita sebagai sebuah masyarakat global dengan budaya global yang baru. Tentu saja, budaya global ini lebih banyak diwarnai oleh budaya barat, dan ini tidak mengherankan. Karena merekalah yang memegang kendali dalam bidang teknologi dan informasi. Maka budaya global itu pun kemudian disebut oleh para sosilolog dengan westerenisasi, dan karena Amerika yang paling dominan, maka mereka juga mengistilahkan budaya global ini dengan Amerikanisasi.
Disinilah masalahnya, budaya global itu tentu saja dalam banyak bagiannya, tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan budaya kita sebagai seorang muslim. Secara pribadi saya merenung, bahwa fakta ini merupakan suatu ironisme dalam posisi sebagai khaira ummah. Seharusnya kitalah yang bertugas menwarnai dan mengarahkan jalannya sejarah. Sungguh kita adalah sebuah anomali dalam puisi Iqbal.

BARAT DAN BUDAYA GLOBAL
Budaya adalah suatu konsep multidemensi yang tidak dapat dengan mudah dideviniskan. Konstruksi suatu budaya memungkinkan untuk berada di setiap level yang berbeda-beda disemua populasi, baik di desa, kota pedalaman dan metropolis. Budaya juga melampaui batas suatu idiologi dan substansi identitas individual dalam masyarakat (Al-Roubaei, majalah Islamia 2005)
Budaya global yang disebarluaskan globalisasi adalah budaya barat yang bertujuan menebarkan suatu produk yang homogen. Penyebaran budaya barat, dalam hal in yang paling dominan adalah Amerika, dengan budaya hedonisme, konsumerisme yang bertitik tolak dari pandangan hidup yang positivistik materialistik, telah melanda dunia. Parahnya, tidak sedikit yang terpengaruh dengan budaya ini. Maka globalisasi (baca: amerekanisasi) ini telah melakukan, apa yang disebut oleh Pfof .Amer al-Roubaie dengan- “imprealisme budaya” (cultural imprealisme) yang ditandai dengan homogenisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (pakaian), dan though (pemikiran). Tentang imprealisme budaya ini, seperti yang dikutip oleh Adian, lebih jauh dia mencatat “Telah dipahami secara luas bahwa gelombang tren budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan poduk Barat menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media massa dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahan budaya (culural imprealisme) penjajahan media (media imprealism), penggusuran kultural (culural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency) dan penjajahan elektroik (electronik colonialsm) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global Baru serta berabagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat (Adian, 2005).
Globalisasi budaya global ala amerika, telah menjadi kiblat generasi muda muslim. Kitapun menyaksikan gaya anak muda muslim yang telah terbaratkan, jauh dari nilai-nilai Islam. Banyak dari mereka yang menjadi penganut mazhab free sex dan mazhab free-free lainnya. Dalam mazhab kebebasan berpikir dan berekspresi misalnya, kitapun dikagetkan dengan pernyataan bahwa homoseksual dan prilaku seksual menyimpang yang lainnya, adalah sah-sah saja sepanjang tidak merusak dan mengganggu orang lain. Mereka kemudian menganut filsafat relativisme, tidak ada kebenaran mutlak walaupun nilai-nilai itu dari agama.
Penyebaran atau penyerangan yang dilakukan oleh negara dan Amerika dengan budaya global, tidak hanya terjadi dalam ranah yang bersifat material, tetapi juga bersifat immeterial; pemikiran. Bahkan program penyebaran virus dalam bidang ini, mendapatkan perhatian yang cukup lebih. Negara-negara barat, menghabiskan dana jutaan dolar untuk membiayai program ini. Di bukalah program beasiswa seluas-luasnya yang ditawarkan kepada mahasiswa muslim untuk belajar di negeri-negeri mereka. Program islamic studies misalnya, salah satu program yang ditawarkan oleh Barat untuk menghacurkan bangunan pemikiran Islam. Kontruks epistimologi Islam yang taken for granted kemudian ingin di dekontruksi dan menggantinya dengan epistimologi Barat yang berbasis pada filsafat humanisme, rasionalisme, dan positivisme Sehingga tidak sedikit, lulusan program ini banyak yang meragukan kebenaran Islam. Bahkan yang lebih parah, mereka menghujat Islam, misalnya mereka dengan lantang mengatakan bahwa kitab suci al-quran tidak otentik dan tidak terjamin orisinalitasnya. Maka Barat-pun telah melakukan apa yang diistilahkan oleh Ziauddin Sardar dengan “Kolonialisme epistimologis”. Inilah serangan budaya pemikiran yang secara sistematis, strategis dan terencana oleh Barat untuk menghancurkan seluruh khazanah bangunan keagungan peradaban Islam.
Untuk memuluskan program penyebaran virus pemikiran ini, Barat juga pada waktu yang sama menghabiskan biaya jutaan dolar untuk membantu pendanaan lembaga-lembaga dan proyek orientalisme yang berusaha dengan sekuat tenaga mempelajari tentang cara berpikir, kekayaan intelektual, budaya, dan peradaban kita. Gerakan orientalisme kemudian dikesankan sebagai gerakan intelektual murni karena menggunakan metodologi penelitian ilmiah dan obyektif. Padahal, tujuannya dalam rangka memuluskan proyek penjajahan mereka di negara-negara muslim. Karena dengan mengetahui cara berpikir kita, mereka akan tahu cara bertindak kita. Di sinilah kita menemukan keterkaitan yang erat antara gerakan orientalisme dan imprealisme, kata Anis Matta
Karena itu sifat alami dari proses budaya globalisasi ini adalah untuk menyatukan pemikiran dan memfokuskan pandangan masyarakat dunia untuk menggunakan kode etik, nilai-nilai dan pandangan hidup (worldview) yang besumber dari Barat. Semua itu dimaksudkan untuk meneguhkan dan memperkuat hegemoni intelektual dan kebudayaan mereka. Dengan demikian, globalisasi yang melibatkan seluruh kekuatan media elektronik komunikasi, jaringan industri per-filman, merupakan agenda penting Barat dalam melakukan pencucian otak (intellectual brainwashing), yang pada akhirnya kita dan masyarakat dunia lainnya akan menilai dan menerima budaya dan peradaban barat dengan lapang, dengan menganggapnya sebagai sebuah peradaban yang agung lagi luhur.
Imprealisme ini telah meluluhlantakkan budaya-budaya lokal yang sebelumnya dipegang teguh oleh masyarakat muslim. Bahaya dari budaya global ini berbentuk pemaksaan untuk digunakannya idiologi asing, konsep dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan nilai-nilai barat yang tidak islami. Serangan budaya Barat menghantam seluruh sisi kehidupan kita, mulai dari aspek aqidah samapi muamalah. Dalam bidang politik, kita dipaksa untuk menggunakan demokrasi liberal. Sungguh posisi kita sebagai seorang muslim dalam pertarungan ini, kalah telak. Konsekuensinya banyak dari kita kemudian terbaratkan (westernized) bahkan lebih barat dari orang barat sendiri.
Tetapi tentu saja, sebagai seorang muslim kita memiliki tanggung jawab sejarah yang harus kita tunaikan. Kita boleh kalah tetapi haram untuk menyerah, sehingga kita menerima dan mengamini budaya dan peradaban Barat yang bertentangan dengan wahyu.

REVITALISASI PERAN PESANTREN
Pesantren adalah kubu pertahanan mental umat, kata Dr. Muhammad Natsir. Jika zaman ini kita diperang dalam bidang pemikiran dan budaya, maka tentu peran pesantren sebagai lembaga pendidikan vital sangat penting peranannya dalam peperangan ini. Kita harus mengulang kembali ide kita tentang pesantren dengan memaknainya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang perannya tidak hanya bertanggung jawab menghasilkan sosok manusia yang hanya ahli dalam bidang agama saja, tetapi juga bertanggung jawab menelurkan manusia-manusia muslim yang memiliki kualifikasi manusia muslim abad 21
Yang kita maksud dengan manusia muslim abad 21 adalah invidu muslim yang memiliki kemampuan berdebat dengan zamannya. Mereka memilki keunggulan dalam sistem pertahanan kepribadian mereka sehingga tidak akan terkontaminasi dengan budaya barat. Bahkan pada waktu yang sama , dengan kepribadiannya mampu menebarkan pesona dan aura sehingga manusia yang tertarik mengikuti dan meneladinya. Semua itu karena mereka telah memiliki kekuatan spritual yang dahsyat, sebab iman di dalam struktur hati dan jiwa mereka telah tertancap kokoh. Iman mereka telah melalui tiga stadium; teoritis, emosional dan aplikatif. Iman inilah yang menjadi sunber imunitas, menjadikan mereka memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit pemikiran dan budaya. Dalam kaitannya dengan ini pesantren harus mampu mengembangkan metode pendidikan ruhani (tazkiyyah an-nafs) yang shahih yang mampu memupuk rasa keimanan yang kokoh di setiap insan muslim. Sungguh iman adalah cerita tentang keajaiban. Saat naiknya iman adalah saat kejayaan, saat turunnya iman adalah saatnya kemunduran dan kehinaan, kata imam an-Nadawi
Manusia muslim abad 21 ini juga harus memiliki kekuatan intelektual yang kuat, sehingga mereka mampu menyampaikan argumentasi secara rasional dan menyakinkan secara emosional tentang kebobrokan budaya dan peradaban Barat, dan pada waktu yang sama mereka juga memiliki keterampilan yang canggih dalam menjelaskan keunggulan dan keagungan peradaban Islam
Mereka juga memiliki kompetensi dan perfomance dalam mengaplikasikan konsep-konsep islam dalam tataran praktis. Misalnya mereka punya keterampilan dan keahlian dan mengejawantahkan konsep Islam dalam bidang ekonomi, sehingga mampu mematahkan seluruh argumentasi sistem ekonomi kapitalis, baik dalam tataran fondasi filosofisnya maupun fondasi teoritis praktisnya. Singkatnya, manusia muslim abad 21 ini, seperti kata Anis Matta, haruslah memiliki tingkat afiliasi, partisipasi dan kontribusi yang sempurna dalam mega proyek rekontruksi peradaban Islam.
Tentu saja semua itu sangat mungkin bisa terwujud, karena dalam paradigma metafisikan pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai khalifatullah yang bisa ditanamkan dan diwujudkan di dalam dirinya sifat-sifat Tuhan. Karena sifat-sifat ini mempunyai dimensi tidak terbatas, maka kemajuan intektual, moral, spiritual dan fisikal (psikomotorik) manusia juga tidak terbatas. (Ashraf, 1984). Lihatlah sejarah, maka disana pasti kau lihat manusi-manusia muslim tidak hanya memiliki satu demensi. Mereka adalah ilmuwan yang menguasai tran-disipliner.
Untuk mewujudkan sasaran pendidikan itu, maka pesantren harus merancang dan mendesain kurikulum, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, alat bantu mengajar dan lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan kondisi dan tantangan jaman, dibawah panduan metafisika, nilai-nilai dan pandangan hidup Islam. Jadi semua unsur-unsur kurikululum itu harus bertitik tolak dari epistimologi pemikiran pendidikan Islam dan tuntutan kebutuhan kontemporer kaum muslimin. Harapannya, dengan desain kurikulum ini, kita akan mampu menghasilkan intelektual muslim kaffah, eksiklopedis, profesional dan memiliki semangat pengabdian yang tulus terhadap Islam. Mereka memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu yang dengan ilmu mereka mampu merespon persoalan jamannya secara cerdas. Hal itu karena tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam sangat besar sekali.
Pesantren juga harus mampu merumuskan dan mendakwahkan prisip-prinsip epistimologi Islam kepada masyarakat Islam. Filsafat sains Islam yang secara diametral sangat bertentangan dengan Barat, haruslah mampu dipahami oleh setiap generasi muda muslim, sehingga mereka tidak terpengaruh dengan epistimologi Barat. Generasi muda muslim harus mampu menjelaskan keunggulan dan keistimewaan epistimologi Islam, dan pada waktu yang sama mampu menemukan kesalahan-kesalahan fundamental epistimologi Islam. Rangka pikir epistimologi Islam ini sangat mendesak untuk segara dirumuskan dan diajarkan kepada generasi muda muslim, mengingat ilmu-ilmu yang ada, seluruhnya dibangun berdasarkan atas filsafat ilmu barat yang sekuleristik yang menyebabkan kerancuan ilmu atau dalam bahasa Al-Attas “The corruption of knowledge”. Akibat problema epistimologi ini, banyak ilmuwan-ilmuwan yang kebingungan dan mengalami kelumpuhan pikiran (paralysis of mind). Para ilmuwan itu tidak mampu memahami setiap realitas yang mereka temui, karena ilmu mereka tidak memiliki persepsi dan basis yang kuat pada fondasi nilai-nilai ketuhanan, ketuhanan dan kemanusiaan yang benar. Inilah yang menyebabkan peradaban Barat tidak mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan bagi masyarakat dunia. Dengan demikian, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang secara tanpa kompromi besifat universalis dimana semua cabang ilmu pengetahuan dikembangkan di dalam kerangka etik dan metodologis yang tak tak diragukan lagi bersifat Islami (Sardar, 1998)
Di samping itu, peran pesantren yang juga harus segera ditunaikan adalah menumbuhkan semangat jihad dalam maknanya yang utuh. Semangat jihad ini harus ditumbuh kembangkan di semua lapisan masyarakat muslim, utamanya di kalangan generasi muda muslim. Jihad merupakan daya kreatif yang akan mengaktifkan seluruh potensi manusia muslim. Semangat jihad harus ditanamkan dalam struktur kepribadian seorang muslim, yang membuat mereka memiliki ghirah dan elan vital yang dahsyat untuk menunaikan amanah mereka sebagai abdullah dan khalifatullah. Jihad ini penting mengingat situasi politik global yang senantiasa menempatkan seorang muslim yang layak diperangi. Samuel Huntington, dalam tulisannya di majalah Newsweek Special Davos Edition yang berjudul The Age of Muslim Wars, dia menegaskan bahwa “politik global masa kini adalah perang terhadap muslim”.
Jadi, semangat jihad, merupakan usaha sungguh-sunguh dan kreatif dalam usaha merekonstruksi kembali peradaban Islam, karena hanya dengan membangun peradaban, baik dalam level suprastruktur dan infrastrukturnya, kita bisa berbuat adil terhadap Islam. Islam akan bisa memainkan peranannya dalam abad ini, jika Islam mampu menjadi peradaban yang sejajar atau bahkan lebih dibanding dengan peradaban Barat dengan memberikan solusi terhadap seluruh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern. Itulah sebabnya, peradaban yang kita konstruksi haruslah mampu menampakkan keunggulan dan keistimewaan bila dibandingkan dengan peradaban yang lain. Peradaban yang kita bangun itu haruslah bertitik tolak dari epistimologi Islam, karena epistimolologi merupakan elan vital yang berfungis sebagai operator mayor yang menstransformasikan visi pandangan dunia (worldview) ke dalam realitas. Di sinilah ijtihad harus ditumbuhkembangkan kembali, sebab ijtihad merupakan istitusi strategis Islam yang memiliki kemampuan dalam menjawab segala persoalan dan dinamika jaman. Ijtihad, kata Iqbal, adalah the principle of movement in Islam
Peradaban Islam juga harus memiliki sistem pertahanan yang kuat sehingga ketika terjadi benturan peradaban, kita tidak terseok kalah. Kita telah mendapatkan sertevikat kemenangan dari Tuhan dengan janji-janji-Nya yang terdapat dalam wahyu-Nya (QS. 21: 105/58: 21). Marilah kita membutktikan kebenaran itu dalam dunia fakta-fakta. Kebenaran normatif haruslah menjadi kebenaran historis.
Dengan demikian, Pesantren harus segera memikirkan ide dan mempunyai dana yang cukup untuk bagaimana melahirkan SDM-SDM yang berkualitas; sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi sebagai manusia muslim abad 21. di sini pesantren harus menjadi basis kaderisasi yang kokoh bagi terwujudnya insan-insan muslim yang berkuaalitas. Karena peradaban adalah kehidupan itu sendiri, maka pesantren harus mampu melahirkan SDM-SDM dalam seluruh jenis profesi dalam semua keahliannya, dimana semangat keislaman mereka dan pengetahun mereka terhadap konsep-konsep fundamental Islam, tidak diragukan lagi. Inilah tujuan strategis pesantren dalam konteks usaha merekontruksi peradaban Islam pada zaman modern ini. Konsekuensinya, model pesantren yang tidak mampu mengakomodasi beberapa hal yang tersebut di atas, harus segera direformasi dan disesuaikan dengan pandangan Islam tentang ilmu dan lembaga pndidikan.
Seorang muslim lulusan pesantren haruslah memiliki kesadaran politik terhadap situasi global. Dia harus senantiasa melakukan pengayaan dan penguatan-penguatan pada visi misi politik Islam. Kesadaran itu muncul karena ia adalah khalifatullah yang bertanggung jawab memakmurkan dunia. Dia adalah adalah khaira ummah yang harus mengarahkan, membimbing dan mengawal jalannya sejarah. Dia adalah ustazatul alam yang harus membimbing umat manusia kepada jalan tauhid. Maka dia harus mampu merespon situasi global itu secara cerdas. Atas dasar tuntutab inilah, seorang muslim abad 21 haruslah memiliki kemapuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang baik, selain bahasa Ibu dan bahasa Arab, sehingga mereka memiliki kesempatan mengakses seluruh informasi-infotmasi kontemporer dan mampu menjelaskan posisi dan perspektif Islam terhadap problem itu. Misalnya, manusia muslim abad 21 harus menyampaikan gagasan Islam tentang lingkungan dalam perspektif syariah -yang kita sebut dengan fiqh enviromental- dalam kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming).

PERAN PESANTREN HIDAYATULLAH
Pesantren Hidayatullah sebagai fenemona pendidikan pesantren yang memiliki jaringan luas dan kader-kader yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, dalam mengahadapi budaya global, tentu saja memiliki peran dan kontribusi yang sanggat signifikan, strategis dan fundamental. Pesantren Hidayatullah harus menjadi yang terdepan (fastabiqul khairat) dalam cita-cita mengobati penyakit pemikiran dan budaya yang telah menggorogoti umat.
Lihat dan tengoklah sejarah, ternyata pesantren itu mampu memainkan perannya dalam melakukan gerakan ishlah di tengah-tengah ummat yang mengalami penyimpangan dalam kehidupan beragama mereka. Sebutlah misalnya madrasah Qadariyyah yang didirikan oleh syekh Abdul Qadir Jailany. Madrasah ini yang paradigma pendidikannya banyak merujuk kepada pendapat imam al-Ghazali, karena syekh Abdul Qadir Jailani merupakan salah satu murid imam al-Ghazali mampu melahirkan kader-kader pemimpin ummat dalam segala kehidupan. Bahkan pesantren inilah yang menjadi rantai islah yang mulai padu dengan munculnya tokoh-tokoh penguasa yang sadar akan pentingnya ishlah seperti sultan Nuruddin Zanki dan diteruskan oleh putra angkatnya; sultan Shalahuddin al-Ayyubi, dimana dari tangannyalah kaum muslimin mendapat kemenangan dalam perang Salib. Patut dijelaskan, bahwa banyak alumni madrasah Qadariyyah ini yang menjadi penasehat politik dan militer bagi sultan al-Ayyubi, seperti Ibn Naja (Al-Kilani, 2007)
Dengan konsep SNW yang berfunsi sebagai basis idiologi dan metodologi yang canggih, pesantren Hidayatullah harus mulai beranjak dari sekedar berpikir dari memproduk ulama, tetapi juga harus mulai memiliki ide bagaimana mampu mengukhrijatkan pemimpin-pemimpin ummat dalam segala aspek kehidupan; ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Bukankah ending dari surah a-Fatihah adalah terwujudnya sebuah kehidupan yang menerapkan Islam secara kaffah.Ringkasnya, pesantren Hidayatullah dalam basis kaderisasimya harus bertotak tolak dari gagasan Islam Kaffah, karena Islam adalah agama yang kaffah, maka para kadernya harus juga mencerminkan univesalitas Islam. Hanya dengan inilah, pesantren Hidayatullah akan mampu mewujudkan visi misinya membangun peradaban Islam.

Monday, January 28, 2008

HERMENEUTIKA DAN TAFSIR

HERMENEUTIKA DAN TAFSIR
Sebuah Study Komparatif

Dalam karyanya yang paling monumental, Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa peradaban yang kalah itu cenderung membeo kepada peradaban yang lebih superior. Budaya membeo itu tidak hanya dalam aspek budaya dan kultur saja. Tetapi juga menyentuh wilayah pemikiran. Apa yang dikatakan oleh cendikiawan muslim bahwa saat ini dunia Islam sedang mengalami invasi pemikiran dan imperealisme epistimologis adalah bukti nyata bahwa hegemoni intelektual itu benar-benar berusaha meluluhlantakkan struktur dan bangunan pemikiran Islam.
Salah satu bentuk hegemoni intelektual itu adanya tren dikalangan cendekiawan muslim modernis yang –katanya- liberal dan progresif yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an melalui hermeneutika.
Makalah ini akan berusaha menjelaskan irrasionalitas dan irrelevansi hermeneutika, disamping juga menunjukkan beberapa kesalahan fatal yang dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim, utamanya pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Arkon, ketika mereka berusaha memaksakan metode ini untuk menginterpretasi terhadap Al-Qur’an
BEBERAPA PRINSIP UTAMA
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang hermeneutika, maka ada baiknya kami tegaskan dua prinsip berikut:
1. Bahwa Al-qur’an yang ada sekarang adalah firman Allah SWT yang terpelihara dari kesalahan baik lafadz dan maknanya. Karena itu tafsir sebagai metode yang paling abash dan taken for granted dalam memahami Al-qur’an juga selamat subyektifitas penafsirnya dan secara otomatis penafsiran itu memuat nilai kebenaran mutlak. Tidak ada ruang relativisme dalam tafsir.
2.Bahwa setiap agama memiliki kitab keagamaan, dan setiap kitab keagamaan memiliki sejarah tradisi dan pemahamannya sendiri-sendiri. Problem pemahaman teks suatu agama tidak dapat diselesaikan oleh metode pemahaman teks agama lain. Sesungguhnya sejarah lahirnya hermeneutika sebagai metode interpretasi tidak dapat dipisahkan dari problem teks Bible. Hermeneutika diperlukan oleh para teolog Kristen untuk menemukan kebenaran Bible. 1
Karena hermeneutika merupakan respon terhadap problema teks Bible, maka masalah ini juga perlu disampaikan walaupun dengan penjelasan yang ringkas.
Problematika Teks Bible#
Istilah Bible digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya berbagai irisan dalam Bible. Hingga kini Bible biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak kristen disebut sebagai The Old Testament. Istilah ini ditolak oleh Yahudi karena istilah mengandung makna bahwa perjanjian (Testament) Tuhan dengan Yahudi adalah “Perjanjian Lama” yang sudah dihapus dan digantikan dengan perjanjian baru (New Testament) dengan kedatangan Jesus yang dipandang bagi kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak Klaim Jesus sebagai juru selamat manusia.
Bagi Yahudi, yang disebut Bible adalah 39 Kitab dalam Perjanjian Lamanya kaum Kriseten, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bible yang didalamnya termuat torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital.
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin yang paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa kini siapa yang sebenarnya yang menulis Kitab ini masih merupakan misteri. Ia selanjutnya mengatakan “adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita.2
Begitu juga problema teks yang terjadi dalam kitab Perjanjian Baru. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princenton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satunya buku yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration”, menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam bukunya yang lain berjudul “Al-qur’an Textual Commentary on the Greek New testament”, Metsger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu:
1.Tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan
2.Bahan-bahan yang adapun sekarang ini bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya yang menjadi persoalan akut dalam Bible adalah persoalan bahasa yang menjadi sebab utama timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Karena hingga kini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible yang berbahasa Greek, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Jadi karena Bible asli tidak ditemukan makna teks standar untuk membuat berbagai versipun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi dengan tradisi kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja. Dan inilah yang akar masalahnya sehingga Bible memerlukan Hermeneutika. Itulah sebabnya dalam buku “The New Ensyclopedia Britanica” hermeneutika didefinisikan sebagai studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible yang tujuannya: untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.3
Metodologi Kritik Bible dan Hermeneutika
Tidak seperti Al-qur’an yang terpelihara dan terjaga dari kesalahan, kekurangan dan penyimpangan, Bible dalam sejarahnya banyak mengandung kesalahan dan kekurangan. Ketika para teolog Yahudi dan Kristen mengkaji Bible secara kritis, Bible yang selama ini dianggap sebagai textus receptus ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar. Puncaknya pada abad ke-19 textus receptus perjanjian baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin untuk mengkritik Bible telah mapan. Kata kritik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Maknanya telah berubah menjadi positif.
Setidaknya ada dua metode kritik terhadap Bible, yaitu
1. Kritik Sumber
Bible, bagi Yahudi Kristen adalah sebuah kitab suci yang dihasilkan dari diskursus kesejarahan yang panjang. Ia adalah produk sejarah. Sebab, ia dipercaya ditulis oleh individu-individu yang terinspirasi dan berlainan masa. Tuhan telah mendiktekannya pada penulis-penulis yang terinspirasi tersebut melalui visi, mimpi dan berbagai macam ilham. Namun, penulis-penulis yang terinspirasi itu bagaimanapun tetap manusia. Oleh sebab itu, pengaruh unsur kemanusiaan Bible sangat kental. Gaya bahasa, style penulisan, pengaruh kondisi sosio histories, ragam penulisan yang berlainan tersebut menghasilkan beragam variasi Bible.Para sarjana Yahudi Kristen pun berkeyakinan bahwa karena unsur kemanusiaan itulah maka Bible boleh dikritisi dan dievaluasi karena hakikat teksnya adalah tidak tetap dan terus berevolusi.
PL bagi Yahudi adalah sangat vital. Louise Jacobs seorang teolog Yahudi mengatakan “A Judaism without God is no Judaism. Ajudaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism” . Yang dimaksud Torah adalah lima kitab pertama atau Pentateuch dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (kejadian), Exodus (Keluaran), Letivicus (Imamat), Numbers (Bilangan) dan Deutronomy (Ulangan).
Menurut Elliot Friedman, meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin juga paling banyak dikaji manusia, tapi ia tetap masih misteri hingga kini. The Five Book of Moses tersebut adalah “It is one of the oldest puzzle in the world” karena sampai sekarang penulisnya daalah misteri.
Selama berabad-abad yang lalu kalangan Yahudi Kristen berkeyakinan PL (The Five Book of Torah / Pentateuch) ditulis oleh Musa sendiri. Namun saat ini, keyakinan itu tidak berlaku lagi dikalangan mayoritas sarjana teologi Yahudi Kristen. Salah satu orang yang menyatakan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat adalah Jerome (342-420 M). Ia menterjemahkan Septuagint kedalam bahasa latin (Vulgata) dan terjemahannya dianggap “textus receptus” bagi kalangan Kristen. Menurut Jerome, terdapat sejumlah paragraf dalam Taurat yang bukan karangan Musa. Namun, paragraf-paragraf tersebut telah dimasukkan oleh penulis lain. Menurutnya, “until this day” dalam sejarah kejadian 35:4 (LXX) dan ulangan (34:5-6) menunjukkan paragraf-paragraf tersebut telah ditulis setelah Musa.
Abraham Ibnu Ezra (1092-1167),seorang sarjana Yahudi berpendapat ada sejumlah paragraf di dalam Taurat yang menunjukkan Musa bukanlah pengarangnya. Andreas Bodenstein yang lebih dikenal dengan nama Karlstadt dalam karyanya menulis buku kecil “Die Canonicis Scripturis Libellus” (1520 M). Di dalam karyanya Karlstadt menegaskan Musa bukanlah pengarang keseluruhan isi Taurat (C. Houtman, The Pentateuch). Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris dalam karyanya Leviathan (1651), menyatakan kejadian 12:6 dan bilangan 21:14 bukanlah karangan Musa. Issac de la Peyrere (1592-1676), seorang pendeta Protestan berpendapat pengarang Taurat lebih dari seorang. Sebabnya banyak kisah dalam Taurat / PL yang kabur (obscurity), membingungkan (confusion), tidak lengkap (unfinished), terdistorsi (distorted), dan bertentangan (contradictions).
Baruch Spinoza (1632-1677) yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Benedict de Spinoza, seorang Teolog & Filosof Yahudi menegaskan Musa bukanlah pengarang Taurat. Spinoza beralasan (1). Penulis Taurat bukan saja berbicara tentang Musa sebagai orang ketiga, tetapi juga menyaksikan berbagai perkara yang detil mengenainya. Seperti “God talked with Moses”, “God spoke with Moses face to face”, “Moses was the meekest of men”, (Number 12:3), “Moses was wrath woth the captains of the host” (Number 31:41), “Moses, the servant of God, died”, “There was never arisen in Israel a prophet like Moses”, dan lain sebagainya. (2). Taurat bukan saja memuat kematian Musa, penguburannya, dan 30 hari ratapan orang-orang Yahudi, tetapi perbandingan antara Musa dengan semua nabi-nabi yang datang setelahnya. (3). Taurat memuat berbagi nama tempat yang ada setelah zaman Musa. (4). Berbagai kisah terkadang tersambung setelah meninggalnya Musa.
Spinoza kemudian berkesimpulan “Thus from the foregoing it is clear beyond a shadow of doubt that Pentat euch was not written by Moses, but by someone who lived many generation after Moses’. Kesimpulan Spinoza itu ternyata juga sama dengan kesimpulan Richard Simon (1638-1712), seorang pastor Katolik asal Prancis. Dalam hasil penelitiannya yang termuat dalam bukunya, Histoire critique du Vieux Testament (Historis-kritis Perjanjian Lama, tahun 1678) menyatakan Taurat adalah hasil dari proses kompilasi yang panjang (the result of a long process of compilation).
Kajian serius untuk meneliti bagaimana Taurat dihimpun, disusun sehingga menjadi sebuah teks yang utuh dilakukan oleh Jean Astruc (1684-1766). Ia meneliti sumber-sumber yang digunakan Musa untuk menyusun Taurat. Belakangan ini, diketahui sumber-sumber yang diperkirakan sumber dokumentasi dari Musa tersebut ternyata adalah merupakan hasil gabungan dokumentasi yang dilakukan oleh para editor yang tidak diketahui namanya. Jadi, mereka (para editor, red) yang sebenarnya bertanggungjawab atas susunan Kejadian (Genesis) yang ada sekarang ini
Jean Astruc dalam merekonstruksi dokumentasi Musa tersebut, membagi Taurat menjadi dua sumber dokumentasi. Dokumen pertama adalah dokumen yang teratur menggunakan kata Elohim untuk menyebut nama Tuhan (Kejadian 1) dan dokumen kedua secara teratur menggunakan kata Yahweh (Kejadian 2 & Kejadian 4). Dengan meneliti sumber yang digunakan untuk mengarang PL, Jean Astruc telah memformulasikan apa yang kelak disebut dengan metode kritik sumber (Source Criticism). Metode Source Criticism ini berkembang dan matang setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menerbitkan bukunya “Prolegomena to the History of Israel” tahun 1878.
Wellhausen lebih lanjut menyatkaan, sumber Musa untuk menulis Taurat berasa dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen J, E, D, P. Materi dalam dokumen “J” (singkatan Jehova atau Yahweh) diduga ditulis sekitar 850 SM di kawasan kerajaan bagian selatan (kerajaan Yehuda). Materi dokumen “E” (singkatan dari Elohim) ditulis sekitar tahun 750 SM di kawasan kerajaan bagian utara (kerajaan Israel). Dokumen “E” dianggap lebih obyektif, kurang menyentuh masalah etika dan refleksi teologis serta cenderung kepada kasus particular yang konkrit. Beberapa ilmuwan setelah Wellhausen, menyatakan menyatakan kedua dokumen tersebut sebenarnya sudah digabungkan sekitar tahun 650 SM oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi “JE”, karangan tersebut menjadi lengkap setelah dengan materi “D” dan “P”. D ditulis sekitar tahun 621 SM dan P sekitar 570 sampai 445 SM. Material dalam dokumen P menyentuh asal muasal dan institusi teokrasi, genealogi, ritual dan pengorbanan. (Allan P Ross, Genesis).
1.Kritik Sejarah
Pendekatan Kritik Historis ini pertama kali diformulasikan oleh Herman Gunkel (1862-1932). Berbeda dengan kritik sumber yang hanya memfokuskan pada para pengarang atau penulis Bible dan kapan pengarang atau penulis itu berkarya, kritik historis lebih menekankan pada penelusuran latar belakang kemunculan teks dan pemikiran keagamaan para pengarang atau penulis. Mencari asal mula (Sitz im Leben) dari bentuk (Gattungen) yang digunakan, serta menelusuri asal mula motif dan tema di dalam dokumen-dokumen. Oleh sebab itu, kritik histories mencoba mensetting kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi oral dalam sejarah Bible, suatu zaman dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk dikaji.Menurut Gunkel, kritik sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitive yang masih ada dalam Taurat. Padahal memahami sruktur, seting, dan maksud dari setiap unit susastra di belakang materi PL yang eksis, merupakan hal yang penting. Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai dengan pengarang dan dokumen bagai mambangun rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan kritik sumber yang dilakukan Wellhausen, namun dalam pandangannya, penelitian genre PL adalah penelitian mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui genre atau jeni-jenis sastra yang terwakili dalam PL, maka kesusastraan Israel kuno secara menyeluruh, yaitu hubungan yang fungsional dengan seluruh kehidupan masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami. (C. Houtmann, Pentateuch)
Terinspirasi dengan analisa sejarah bentuk yang dibawa Gunkel, para ilmuwan lain seperti Gerhard von Rad (1901-1971) dan Martin Nort (1902-1968) memfokuskan perhatian kepada proses transmisi materi dalam fase-fase berikutnya, bukan pada fase-fase awal. Mereka meneliti unit-unit yang lebih kecil yang selama berabad-abad mengalami perubahan didalam bentuk serta isi dan dimasukkan kedalam Taurat dan sebagainya. Metode ini pada akhirnya disebut sebagai metode kritik-historis.
Dalam metode yang luas ini, terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (litetary criticism), kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun didalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.
kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. kajian filologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup study bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
kritik sastra (litetary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi sumber (source criticism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan didalam gaya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan kandungan Bible akan lebih mudah dipahami. Jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bible diteliti.
Kata form criticism (kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Fongeschichte, yang artinya “sejarah bentuk” dan kata Fonngeschichte muncul pertama kalinya didalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibelius (1919). Disebabkan Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L. Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam study Perjanjian Baru. Ketika form criticism diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode mengenai dakwah Yesus oleh orang-orang yang mempercayainya, yang mendahului penulisan Bible. Kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakannya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikannya menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bible adalah hasil dari memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bible didalam berbagai bentuk.
Kritik redaksi (redaction criticism) didalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada ditangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang diketahui pengarang Bible. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.
Karena itu menjadi sebuah keniscayaan akademis untuk melacak sejarah lahirnya ilmu hermenutika sebagai metode eksgesis terhadap Bible, agar kita mendapat pemahaman yang utuh dan objektif. Karena bagimanapun suatu konsep tidaklah lahir dari sebuah kevakuman ruang dan waktu. Setiap ilmu, konsep, atau teori termasuk, termasuk hermenutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban. Implikasinya, suatu ilmu tidaklah bebas nilai dan karenanya proses mengimpor suatu ilmu tidak dapat dilakukan begitu saja kecuali melaui proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut oleh Profesor Arpalslan dengan “Borrowing Process”4. Artinya jika dalam Borrowing Process suatu ilmu tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam maka sah-sah saja untuk dipakai tetapi jika bertentangan maka harus ada sikap negoisasi yang jelas sehingga kemurnian konsep-konsep ilmu dalam Islam tidak tercemari dan pada waktu yang sama dapat terjaga orisinalitasnya.

SURVEI KRONOLOGIS KELAHIRAN HERMENEUTIKA
Dalam perspektif pandangan hidup, hermeneutika merupakan konsep atau teori yang lahir dan berkembang dari suatu milleu masyarakat. Milleui yang dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuwan.5
Werner menyebutkan tiga melliu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama Mellieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua mellieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga mellieu masyarkat Eropah di jaman Pencerahan (enlightment) yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika ke luar konteks keagamaan.6
Dengan menggunakan data tentang millieu yang mengitari perkembangan hermeneutika sebagai metode interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas, kita dapat menggambarkan pengaruh pendangan hidup terhadap hermeneutika dalam tiga fase, yaitu:
1.Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen
2.Dari teologi Yahudi dan Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3.Dari Hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika

Dari Mitologi ke Teologi
Dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya kepada Tuhan dalam bentuk mitologi. Aristotle, misalnya mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover itu menggerakkan tapi tidak bergerak, kuantitasnya satu secara absolut, tapi jumlahnya ada 55. Selain itu dalam mitologi Yunani juga terdapat dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan dari langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutika kemudian digunakan. Konsep ini resminya hanyalah digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makn, peran dan fungsi teks-teks kesusastraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.7 8
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani. Namun istilah Hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika.9
Selanjutnya dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, masyarakat Yunani menyelesaikannya dengan rasional lagos (kepercayaan pada prinsip-prinsip rasional adanya zat yang mengatur alam semesta).10 Pada tahap ini hermeneutika masih bersifat literal.
Selanjutnya Stoicism (300 SM) mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris; metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal.
Metode Alegoris ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode Alegoris, dimana dia secara kreatif menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi Yunani.11 Metode yang juga disebut tipologi ini mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau informasi dari teks, tetapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu diluar teks.12 Ia tidak mengabaikan makna literal, tetapi makna literal dipandang rendah, primitif, dan perlu diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan).
Metode Hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.13 Dimana dengan pendekatan in idia mengkategorikan makna Bible dalam tiga kategori, yaitu: literal, moral, allegoris. Yang terakhir itulah yang paling tertinggi tingkatannya. Teorinya ini merupakan pengembangan dari filsafat Paulus dan Yunani bahwa tubuh manusia terdiri atas body, soul, spirit.14 Selanjutnya teorinya tentang tiga lapis makna Bible dikembangkan lagi oleh Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna dengan menambah satu makna lagi yaitu anagogis (spiritual).
Namun metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini mendapat resistensi dan perlawanan dari aliran literan dan historis yang berpusat di Antioch. Pertentangan ini merepresentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Aliran ini simbolik berada di bawah bayang-bayang hermeneutika Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Peri Hermenias. Hanya saja kalangan Kristen menganggap karya Aristotle yang lebih menekankan pada semantik dan logika dapat membahayakan keimanan Kristiani.15
Dari perseteruan dua aliran hermeneutika muncul seorang tokoh Kristen yang sangat terkenal yaitu St. Augustine of Hippo (354-430), yang mencoba mengambil jalan tengah dengan cara mencoba memadukan dua aliran tersebut, yaitu dengan memberi makna baru kepada hermenutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris terhadap teks Bible yang cenderung arbitrer dan juga literalisme yang terlalu simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis. Meskipun munculnya St. Augustine dianggap awal terjadinya assimilasi teologis dalam hermeneutika, namun pemikirannya belum bisa menghilangkan pengaruh world view Yunani, khususnya Platonisme. Konsepnya tentang Tuhan dan cosmos bercampur dengan worldview Yunani, sehingga resistensi dari kalangan gereja tidak dapat dihindari. Tokohnya Vincent of Lerins mengarahkan pembacaan teks menajdi lebih formalistis dan cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks.16
Perkembangan pemikiran hermeneutika yang patut dicatat dalam teologi Kristen terjadi pada awal abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-247). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan Neo-Platonisme St. Augustine. Ia mengatakan bahwa “Pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk pada peri hermeniasnya Aristotle. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi teologis kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus penolakannya terhadap interpretasi allegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang sangat berharga bagi pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai representasi kitab yang sakral. Padahal teks-teks Bible itu dieksploitasi untuk menjustifikasi premis-premis teologis mereka yang telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran spekulasi filosofis. Dimana spekulasi filosofis mereka banyak dipengaruhi oleh filsafat humanisme yang sudah mulai berkembang di tengah masyarakat barat dan diterima oleh para pendeta waktu itu.17 Dan teori interpretasi humanis, sebenarnya sangat bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja.
Kondisi dan kecenderungan seperti itu makin berkembang dikalangan teolog Kristen. Hal ini diperparah lagi oleh sikap para tokoh reformis Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) yang menunjukkan perlawanan terhadap otoritas gereja.
Prinsip hermeneutika yang diyakini protestan, khususnya Luther, adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah sebenarnya yang membuat jiwa kita tumbuh dan bukan dari luar teks. Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung pada pengalaman yang dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan ini dikenal dengan Sola Scriptura (cukup hanya kitab suci) yaitu Bible saja telah merupakan petunjuk yang jelas untuk memahami Tuhan.
Hanya saja teori mereka dianggap naif dan tidak memuaskan karena tidak dapat mengatasi kesulitan bacaan dalam suatu peragaraf dan tidak dapat mengelak interpretasi yang arbitrer.
Ternyata dengan kedua model hermeneutika diatas para teolog tidak dapat mengatasi problema teks Bible. Mereka dibingungkan oleh pilihan antara mengikuti mellieu masyarakat barat atau setia pada teks Bible. Kebingungan ini terjadi karena, seperti yang ditegaskan oleh Huston Smith, rasionalisme telah merasuki teologi pada awal abad pertengahan, tapi pada waktu yang sama pandangan dan keimanan Kristiani masih menguasai alam pikiran orang-orang Kristen, sehingga apapun keadaannya mereka tetap berpihak kepada pernyataan Tuhan dalam Kitab “Suci” itu. Bukti yang paling jelas adalah ketika para teolog, baik Katholik maupun protestan, bersama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624).18
Kondisi pertentangan teologis inilah dan tentu saja juga karena adanya problema teks Bible sendiri yang terjadi di sekitar lahirnya hermenutika pada awal abad pertengahan, dimana saat itu hermeneutika masih berada dibawah sangkar teologi Kristen yang bercampur di bawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Hermeneutika yang diadopsi oleh para teolog Kristen untuk menyelesaikan problema teks dan teologis Kristen, ternyata tidak dapat membantu. Hermeneutika sebagai sebuah metode exegesis tidak dapat menemukan kebenaran-kebenaran Bible. Sehingga ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan mulai goyahnya otoritas gereja oleh pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasionalisme barat, maka hermeneutika dimaknakan dan didevinisikan pada makna yang bersifat filosofis.

Dari Teolog ke Filsafat
Beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah dan rasional barat. Dalam masa itu, dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata pada masa lampau menjadi relevan dan berarti bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan inti pesannya. Bagi mereka repitisi atau reproduksi ungkapan-ungkapan dalam Bible hanya akan membuat pesan-pesan Bible menjadi tidak relevan. Disini, hermeneutika dalam pengertian tradisional tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang memadai untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Karena itu hermeneutika berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi interpretasi, tapi metodologi memahami dan obyek yang difahami pun menjadi terbuka.19
Karya J. C Dannheucer, berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacracum Litterarum (Sacred Method or Method of Explanatio of Sacred Literature) terbit pada tahun 1654, dianggap karya yang pertama kali memaknai hermeneutika sebagai the art of interpretation. Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dengan exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipunpengertiannya sama tapi obyeknya diperluas kepada non-biblical literature. Bahkan mulai timbul pandangan bahwa interpretasi Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi teks-teks lain. Disini mereka sudah mulai menempatkan Bible bukanlagi sebagai kitab keagamaan yang sakral.20
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan reformasi Protestan pada abad ke 16, pada abd pencerahan (Enlightment). Derasnya arus pemikiran Enlightment ini banyak dipengaruhi oleh Universitas Halle, dimana dosen-dosen yang terdiri dari para teolog dan filsof, yang mengajarkan pada Universitas itu, seperti Christian Wolf, Siemnd J Baumgarten, dalam kuliah-kuliah mereka selalu menunjukkan semangat penggunaan akal yang berlebihan. Akibatnya, saat itu, masyarakat Eropa sudah cenderung kepada penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas tradisional.21
Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleimermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle, menandai babak baru metode filsafat hermeneutika. Materi kuliahnya “Universal Hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpengaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Dia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Pandangannya terhadap agama sama dengan Immanuel Kant. Menurutnya, beragama tidak bisa diartikan sebagai usaha mencapai ilmu transendent, sebab ilmu ini tidakmungkin dicapai.22
Filsafat hermeneutikanya bermula dari pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi?. Dalam hal ini, ia mengajukan dua teori pemahaman hermenutikanya; pertama pemahaman ketatabahasaan terhadap semua ekspresi, kedua, pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini, Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut dengan intuitive understanding yang dalam bentuk operasionalnya merupakan suatu kerja rekonstruksi, yaitu: hermeneutika bertugas merekonstruksi pikiran pengarang.23 Dan kerja rekonstruksi ini hanya dapat dilakukan dengan kegiatan an act of devination (devinasi atau ramalan dan dugaan) yang dengan itu sang interpreter menghadirkan kemabli kesadaran pengarang.
Itulah sebabnya, Al-Attas menegaskan bahwa epistimologi hermeneutika berangkat dari spekulasi filosofis yang bertumpu pada akal belaka.24 Dalam kaitannya dengan Al-qur’an teori Fredrich Schleiermacher ini sangat irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin bisa memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al-qur’an.24 Tidak ada seorangpun mufassir dikalangan mufassir akan mengatakan bahwa mereka lebih bisa menerti daripada pengarang Al-qur’an, Allah SWT.25 Bahkan sebaliknya para mufassir dalam banyak kitab tafsir lebih banyak mengatakan wallahu Al-qur’an’lam bimuradihi ketika misalnya berhadapan dengan ayat-ayat muqata’ah.
Hermeneutika Schleiermacher mendapat kritikan dan juga makan baru dari seorang filsof, kritikus sastra, sejarahwan asal Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurutnya hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan.26 Berdasarkan devinisi ini, Dilthey menegaskan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.27 Pemikiran hermeneutikanya berangkat dari kegelisahannya akan ketiadaan metode yang tepat bagi ilmu-ilmu kultural28, karena itu ia mencoba mengangkat hermeneutika sebagai suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam. Ringkasnya, menurutnya hermeneutika universalnya layak dipertimbangkan sebagai landasan epistimologis bagi ilmu-ilmu sosial kultural (humaniora), dan tidak sekedar sebagai ilmu pemahaman atau penafsiran teks, karena itu ia mencurahkan pemikiran dan waktunya menulis gagasan Critique of Historical Reason.
Hermeneutika historisnya Dilthey yang diarahkan menjadi dasar teori bagi ilmu kemanusiaan, dikembangkan lagi oleh Martin Heideger (1889-1976) ke arah kajian ontologis; yaitu bahwa teks tidak hanya sekedar dipahami dengan kamus dan grammer, tetapi ia memerlukan pemahaman terhadap makna kehidupan, situasi pengarang dan audiennya.
Bagi Heidegger hermeneutika berarti penafsiran esensi (being). Dalam kenyataannya esensi itu selalu tampil dalam eksistensinya. Suatu peristiwa kebenaran tidak lagi ditandai dengan kesesuaian antara konsep dengan realitas obyektif, tetapi dilihat sebagai peristiwa tersingkapnya esensi tersebut, sementara itu satu-satunya wahana bagi penampakan being atau esensi tersebut adalah eksistensi manusia itu sendiri, maka hermeneutika adalah penafsiran terhadap manusia itu sendiri (Dasein) melalui bahasa.29 Jadi Dasein (Suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan obyek atau orang) itu sendiri merupakan pemahaman dan interpretasi esensial dan terus-menerus. Dan kesadaran eksistensi itu juga harus menginterpretasikan berbagai entitas dalam dunia, seperti meja sebagai meja dan kursi sebagai kursi.30
Maka, menurutnya hermeneutika adalah ciri khas yang sebenarnya dari manusia, dimana memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar bagi eksistensi manusia.31
Pemahamannya yang demikian terhadap hermeneutika, karena landasan filosofis dan epistimologi Heidegger berada dibawah pengaruh aliran filsafat fenomonologi yang ditafsirkan dan dipimpin oleh Edmund Husserl (1859-1938) yang diantara prinsipnya adalah bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.
Tentu hermeneutika model ini juga tidak dapat diterapkan sebagai metode interpretasi terhadap Al-qur’an. Hal ini karena manusia tidak mungkin bisa mempersepsikan seluruh bentuk wujud. Bagaimanakah cara manusia menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian transendental dan supranatural yang wilayahnya berada diluar kesadaran manusia.??
Bisa jadi hermeneutika model ini akan membuang ayat-ayat tentang zat Allah, dengan alasan tidak bisa dijangkau oleh kesadaran manusia.
Pemikiran hermeneutik Heidgger ini diteruskan oleh Hans Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Methods. Dalam buku itu ia tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi tapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya, ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada ontologis bukan metedologis. Artinya kebenaran tidak dapat dicapai melalui dialektika.32
Berkaitan dengan aktifitas pemahaman teks tertulis, Gadamer menegaskan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya pada apa yang dimaksud oleh pengarang atau penulisnya saja, atau hanya kepada audiens yang dituju oleh tulisan itu, karena itu menurutnya pemahaman dan pengalaman manusia itu unik dan tidak sama. Itulah sebabnya, Gadamer sangat membenci adanya pemutlakan suatu metode untuk mencapai kebenaran.33
Dalam proses memahami suatu teks selalu didahului oleh pra pemahaman sang pembaca terhadap teks dan kepentingannya untuk berpartisipasi dalam makna teks. Kita selalu mendekati teks dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan dalam teks yang akan kita coba masuki dalam konteks ruang dan waktu kita sebagai penafsir.34 Berangkat dari sini, untuk memahami tradisi dan teks masa lampau, Gadamer merumuskan satu teori hermeneutikanya yang dikenal ia sebut dengan effective historical consciousnes, yang medium struktur utamanya adalah bahasa. Teori ini melihat adanya tiga kerangka waktu yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau dimana teks itu dilahirkan. Dari teks masa lampau itu bukan milik si penyusun lagi melainkan milik setiap orang. Mereka bebas menafsirkannya. Kedua, masa kini yang didalamnya ada penafsir dengan prejudice (persangkaan) masing-masing. Prasangkaan-prasangkaan tersebut pada akhirnya akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul satu penafsiran yang sesuai dengan konteks sang penafsir. Ketiga, masa depan dimana didalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.dalam masa depan inilah terkandung effective historical.35
Inti pemikiran hermenutika adalah bahwa penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Mereka senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsiran merupakan reinterpretation memahami teks secara baru dan makna baru pula.36
Pendapat ini tentu saja akan mengacaukan nilai kebenaran mutlak Al-qur’an, dengan alasan karena antara satu penafsir pada jaman yang satu dengan satu penafsir pada jaman yang lain akan berbeda hasil penafsirannya, dan karenanya relatif, oleh karena ada perbedaan konteks dan tradisi masing-masing interpreter. Bagi kaum muslimin, para mufassir baik dulu, sekarang dan yang akan datang tidak terjebak dengan latar belakang sosial budaya. Tafsir yang dilakukan dan dihasilkan melampaui batas budaya lokal. Oleh sebab itu, masih banyak terdapat kesepakatan diantara para mufassir, sekalipun latar belakang sosial dan budaya mereka berbeda.37
Jurgen Habermas mengkritik Gadamer sebagai kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Bagi Gademer pemahaman didahului penilaian (pre-judgment), bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon adalah kepentingan sosial (social interes) yang melibatkan kepentingan kekuasaan sang interpreter dan khususnya komunitas-komunitas inerpreter yang terlibat dalam dalam interpretasi.38 Gaya hermeneutikanya sangat dipengaruhi oleh epistimologi marxis. Karena memang dia berada di bawah atmosfer kesarjanaan universitas dan aliran Frankfrut yang sangat setia pada paradigma marxis.39
Demikian perubahan dan perkembangan hermeneutika. Kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan itu sangat berkait erat dengan melliu yang membentuk pandangan hidup masing-masing penggagasnya, yang itu sangat berpengaruh terhadap style of though, gaya berpikir mereka.

Hermeneutika: Devinisi, Konsep, dan aliran-alirannya
Hermeneutika, yang meminjam bahasa Inggris hermeneutics, dan juga berasal dari perkataan Greek Hermeneutikos, bukan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (worldview, weltanchauung).40 Apabila perkataan ini dikaitkan dengan Al-Qur’an ataupun dengan Beblical studies arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki arti sendiri. Karena itu akan kita bahas terlebih dahulu makna hermeneutika dari dimensi bahasanya.
Dari segi bahasa, misalnya Aristoteles pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya peri hermeneis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpeitation. Namun sebelum terjemahan bahasa latin, Al-Farabi seorang filsafat muslim terkemuka, telah diterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles itu terlebih dahulu ke dalam bahasa arab dengan judul Fi al-Irabah.41
Hermeneutika berasal dari akar kata kerja herme-neunei (menafsirkan) atau kata benda herme-neia (interpretasi). Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bible”. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja herme-neuien dan kata benda herme-neia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Mediasi dan proses membawa pesan ”agar dapat dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung didalam tiga bentuk makna dasar dari herme-neuien dan herme-neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari herme-neuien, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3) makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata bahasa Inggris, to explaine, dan to translate atau to interpret.42
Pengasosiasian hermeneutika dengan Hermes secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur utama dalam hermeneutika atau aktifitas penafsiran, yaitu:43
1.Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran
2.Perantara atau penafsir
3.Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (pembaca)
Setidaknya ada enam definisi tentang hermeneutika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri. Pertama, hermeneutika sebagai teori eksegesis Bible. Pada mulanya hermeneutika memang ditujukan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam interpretasi Bible. Kedua, hermeneutika sebagai metode filologis. Perkembangan rasionalisme yang kemudian lahir bersamaan dengan filologi klasik pada abad VIII memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan hermeneutika. Hermeneutika selanjutnya muncul sebagai metode kritik historis dalam teologi; baik mazhab interpretsi Bible “gramatis,” maupun “historis”. Pada akhirnya, metode interpretasi yang diaplikasikan pada Bible ternyata juga digunakan pada buku yang lain. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bible, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua ragam interpretasi teks. Keempat, hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur utama pada perkembangan hermeneutika tahap ini. Ia melihat bahwa hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften, yakni semua pemahaman yang memfokuskan pada seni, aksi, dan tulisan manusia. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya akan dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik. Ia mengatakan bahwa Sang Ada yang dapat dipahami adalah bahasa. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna versus inkonaklasme. Titik balik kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distinktif dan sentral dalam hermeneutika. Menurut Paul Ricour, yang dimaksud denga hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan lain perkataan, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna tependam yang tersembunyi.44
Patut dijelaskan, bahwa Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah yang berkembang di jaman modern ini. Hermenias yang dia kemukakan sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pikiran dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentences), ungkapan (preposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa.45
Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa ke pengertian istilah merupakan suatu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan telah sepakat bahwa perpindahan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang teks-teks kitab suci mereka.46
Selanjutnya, hermeneutika dalam kapasitasnya sebagai seni menafsir dan memahami teks untuk menguak dan mencapai kebenaran, dalam disiplin filsafat, memiliki dua aliran, yaitu:
1.Aliran objektif. Aliran objektif didukung oleh antaranya Freidrich Schleimacher (1768-1834), Wilheim Dilthey (1833-1911), dan Emilio Batti (1890-1968).
Hermenutik, meurut aliran ini, menghasilkan kefahaman yang objektif. Hermeneutik, menurut Schleimacher (1768-1834), melibatkan dua rangka utama, yaitu memahami teks melalui pendekatan tata bahasa dan pendekatan psikologi. Wilheim Dilthey (1833-1911) berpendapat hermeneutik tertakluk kepada sejarah, yaitu melibatkan tiga proses utama; (1) memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli; (2) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah; dan (3) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup. Hermenutik, menurut Betti, melibatkan proses “triadic”, yang melibatkan; (1) pengarang (creative mind); (2) penghurai (interpreter); dan (3) “meaningful forms” sebagai perantara. Beliau merangka empat aturan atau prinsip umum (canon) dalam usaha untuk memahami teks secara yang objektif. (1) teks sebagai objek yang coba dipahami itu mempunyai autonominya yang tersendiri. (2) teks harus dipahami dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. (3) Pengurai harus memahami proses atau pengalaman kreatif. (4) Pengurai harus menyamakan pengalaman hidupnya sedekat mungkin atau secara harmoni dengan pengalaman yang dilalui oleh pengarang.
2.Aliran Subjektif. Aliran subjektif pula didukung antaranya oleh Martin Heidegger (1889-1976)47 dan Hans-Georg Gadamer. Gadamer mengalih perhatian kepada perbahasan tentang prasyarat (conditions) yang memungkinkan kefahaman yang objektif. Beliau menegaskan bahwa kaedah yang diambil dalam memahami fenomena sosial atau alam tertakluk kepada sejarah (effective history). Dengan kata lain, seseorang yang coba memahami suatu objek telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh andaian-andaian terdahulu (sejarah) tentang objek yang menjadi kajiannya dan juga dalam menentukankaedah yang harus diambil. Oleh karena itu, telah ada “bias” atau “prejudice” dalam setiap kefahaman. Kefahaman dengan itu adalah gabungan atau pertemuan di antara dua pandangan yaitu pandangan-pandangan terdahulu dan kini atau diantara para pembaca dan penulis (fusion of horizons). Kefahaman, menurut Gadamer, adalah subjektif.48

Hermeneutika dan Akal Muslim Modernis. Studi Kritsi atas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arqon.
Pemikiran Hermeneutika Abu Zayd
Merebaknya gagasan untuk menjadikan hermenutika sebagai salah satu metode untuk menafsirkan Al-Qur’an dikalangan cendekiawan muslim modernis, termasuk adanya kecenderungan yang kuat menggunakan metode ini di kalangan muslim modernis Indonesia, bahkan hermeneutika menjadi salah satu mata kuliah wajib di beberapa IAIN di Indonesia49, patut mendapat perhatian dan studi kritis analitis untuk menemukan sejumlah kesalahan dan kekurangannya. Ide mereka tentang hermeneutika Al-qur’an perlu merupakan imperialisme epistimologi yang wajib dilawan. Bgaimanapun hermeneutika bertentangan secara diametral dengan kaidah-kaidah epistimologi Islam.
Salah satu penggagas hermeneutika Al-qur’an yang pemikiran dan idenya perlu dibumi hanguskan dari dunia pemikiran Islam adalah Nashr Hamid Abu Zayd.
Menyimak sejumlah buku Abu Zayd, dengan mudah dapat dibaca ia begitu menaruh perhatian pada aspek teks. Ia katakan bahwa peradaban Arab Islam adalah “peradaban teks”. Maka, ia tulis buku-buku yang berkaitan dengan persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti mafhum al-Nash Dirasah fil ulumul Qur’an dan Naqd al-Khitab ad-Dini.50
Konsep Nashr Hamid ini dalam kedua bukunya itu membawa dampak pada metode penafsiran teks Al-Qur’an, dimana ia mengecam keras metode tafsir Ahlu Sunnah yang menempatkan hadith Nabi saw sebagai penafsir utama utama ayat-ayat Al-Qur’an. Jika Bible memiliki pengarangnya masing-masing, maka Nasr Hamid, dengan kecerdasan yang bercampur dengan kelicikan sehingga cenderung keculas mencoba menempatkan Nabi Muhammad saw dalam posisi “seperti” pengarang Al-Qur’an.
Menurutnya Al-Qur’an diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad sebagai seorang manusia. Bahwa Muhammad sebagai penerima pertama dan sekaligus sebagai penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat. Muhammad bukanlah penerima pasif. Membicarakan Muhammad, kata Abu Zayd, juga harus berarti membicarakannya yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya Muhammad adalah bagian dari realitas sosial, budaya, dan sejarah masyarakatnya.50
Mengenai Al-qur’an, Abu Zayd tidak menganggapnya bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya, Zayd menganggap Muhammad bukanlah sebagai seorang ummi; seorang penerima pasif, tapi juga mengolah redaksi Al-Qur’an. 51 Konsepnya tentang nash Al-qur’an yang dianggapnya hanya sebagai spirit wahyu mengindikasikan dia mengadopsi konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi kristen, khususnya tradisi kritik teks Bible. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj as-tsaqafi). Disini Abu Jayd telah mendekonstruksi makna wahyu.
Berikut ini kami paparkan pokok kesesatan pemikiran Abu Zayd dan bantahannya
1.Menganggap Al-quran sebagai produk budaya
Menganggap Al-Qur’an sebagai produk sejarah jelas merupakan kesalahan dan kesesatan yang menjadikan pelakunya murtad. Pendekatannya terhadap Al-Qur’an memang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas ini digunakan, maka seseorang juga akan dipengaruhi oleh metode, pandangan hidup, dan idiologinya. Dan metode ini sangat sulit menghindar dari unsur subyektivitas. Dan itulah akar masalahnya. Karena dari awal ia sudah berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan, maka pemaknaan kesimpulannya akan mengkondisikan seluruh struktur berpikirnya diatas semua asumsi dan karena ia terjebak pada rasionalisme subyektivitasnya sendiri.
Teks-teks Al-Qur’an memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tapi Al’Qur’an tidak tunduk pada budaya, melainkan sebaliknya. Al-Qur’an merombak budaya Arab dan membangun suatu pola pemikiran dan peradaban yang baru, sebutlah misalnya istilah-istilah dan konsep-konsep yang sudah mapan dalam budaya dan tradisi masyarakat Arab seperti kata muruwwah dan karim, ternyata dirubah oleh Al-Qur’an.
Kata penghormatan (karim) merupakan istilah kata kunci dalam kosa kata jahiliyah yang secara apa adanya berarti “kemuliaan garis keturunan yang berkaitan erat dengan kedermawanan yang luar biasa. Meskipun demikian Al-Qur’an menggantikan medan semantiknya sebagaimana yang dikenal oleh jahiliyah dan menjadikannya mempunyai arti di sekitar makna taqwa.52
Begitu juga kata ikhwah yang berkonotasi kekuatan dan kesombongsukuan, yang terkait dengan darah dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah53 proses perubahan medan semantik ini, oleh al-Attas disebut sebagai Islamisasi bahasa.
Ini berarti bahwa Al-Qur’an bukanlah produk yang dibentuk oleh budaya, tradisi dan realitas sejarah waktu itu. Seandainya Al-Qur’an merupakan produk budaya, mengapa sampai saat itu, saat ini dan pasti saat yang akan datang tak ada orang yang mampu menandingi makna dan lafadz A-lQur’an, minimal dari keindahan bahasanya.
Kaum muslim selama ini yakin bahwa Al-Qur’an, baik makna atau lafadznya adalah dari sisi Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat dan seketika itu. Posisi beliau dalam menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum. Al-Qur’an menyebutnya: “ Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (Q.S An-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima wahyu. (Q. S Fushilat: 6).54
2. Pengusungan ideologi sekularisme (baca hasil analisis Dr. Anis Malik Toha dalam majalah Islamia Thn I, No 2, Agustus 2004, hal 28-32)

Hermeneutika dan Tasfir: Studi Komparatif
Akhir-akhir ini, hermeneutika sebagai sebuah metode tafsir sedang digandrungi oleh para intelektual muslim Indonesia. Diskusi-diskusi tentang hermeneutika marak dikembangkan kelompok-kelompok Islam seperti Paramadina, JIL, dan lain sebagainya. Hermeneutika identik dengan kajian sebuah teks. Karena berkaitan dengan sesuatu yang berupa teks, merekapun mencoba metode tersebut untuk menguji berbagai teks Islam, termasuk juga Al-Qur’an. Al-Qur’an berupa teks. Maka tentu Al-Qur’an juga dipelajari dengan hermeneutika. Alasannya, dengan hermeneutika hal-hal yang berbau kemapanan, hegemoni ideologisasi dan standarisasi penafsiran teks akan tampak jelas dan rasional.55 Artinya mereka menuduh bahwa tafsir sebagai metode yang dipakai oleh para ulama tidak obyektif. Benarkah demikian?
Ilmu pertama yang lahir dikalangan umat Islam adalah ilmu tafsir. Ia menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah bahasa Arab.55 Ilmu tafsir adalah penting karena ia merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya imam at-Thabrani menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang digunakan umat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab Suci Al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.56