Friday, May 29, 2009

Makna Sains Islam


Oleh Hamid Fahmi Zarkasyi

(Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam. ISLAMIA. Vol III no.4 Thn 2008. Sejarah, Makna dan Agenda Sains Islam. Hal. 5-11 )

Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.

Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:

“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.”

Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler.

Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal.

Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:

“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”

Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :

“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”

Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.

Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.

Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama.

Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).

Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi.

Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam.

Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme).

Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam).

Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam.

Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin.

Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ).

Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )

Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu.

Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam.

Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawa

Wednesday, May 20, 2009

PERUBAHAN

Perubahan. Kata itu sendiri pada setiap suku dan siku huruf-hurufnya mengandung makna ”pemberontakan”, revolusi, anti kemapanan, perjuangan menuju dan menjadi. Mungkin ada senadung jihad dalam kata itu. Perubahan sebagai sebuah konsep, ide, memang umum pada semua lapisan maknanya. Dia tidak memuat ide tunggal.
Perubahan. Kata itu telah menjadi sakral, magis, mengandung sihir yang mampu menarik perhatian ribuan massa. Kata itu menjadi statemen politik yang sering dikhotbahkan oleh para politisi yang ’katanya’ mau melakukan perubahan. Kata itu telah menjadi ide universal bagi setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Tidak hanya para politsi yang sering membasahi bibirnya dengan kata itu. Para tukang becak, juga sering meneriakkan perubahan. Pada karakternya sebagai sebuah bahasa, kata itu memang bukan hak monopoli pribadi. Tapi apapun, kata ini memang punya magnet. Bahkan karena kata inilah Barrack Obama, mampu menuju kursi presiden Amerika pertama dari kulit hitam. Kata itu, sungguh begitu dahsyat. memang
Perubahan. Aku mendebat perubahan. Karena setiap kali mendengar kata perubahan, aku tidak pernah mendapat penjelasan definitif mengenai perubahan; perubahan sepertia apa? apa yang dirubah. Pada basis ontologi dari kata itu sering kali terlupakan. Kita terlalu sering meloncat pada ranah epistimologinya. Bahkan itu-pun kalau cara yang kita lakukan benar.
Tapi aku bukan orang yang apriori. Maka mari kita diskusikan.
Perubahan. Sebagai mahasiswa yang didaulat oleh sejarah sebagai agen of change, kata itu demikian akrab dalam struktur berpikir dan skema konseptual kognitif kita. Tetapi, aku berani bertaruh, tidak banyak di antara kita yang paham tentang konsep perubahan yang kita teriakkan.....sekali lagi mau merubah apa?????
Perubahan, secara derivatif kata itu berasal dari kata rubah-merubah-perubahan. Orang Inggris menyebutnya dengan change. Sedang orang Arab mengistilahkannya dengan taghyir.
Merubah merupakan kata kerja transitif (fill muta’addi) yang membutuhkan obyek. Maka pertanyaan yang akan mengemuka ketika kata itu kita teriakkan kira-kira seperti ini ”Cong, mau merubah APA”
”Apa” adalah obyek yang akan menjadi area dari perubahan yang akan kita jalankan. Itu adalah wilayah aksi ketika kita menemukan otoritas, wewenang dari apa yang kita sabdakan. Ketika saya menyebut wewenang dan otoritas yang saya maksudkan adalah otoritas ilmiah, emosional, spritual dan kekuatan jasmani; semacam kapasitas kepribadian yang paripurna atau paling tidak mendekati target minimal dari konsep insan kamil, yang akan memberi kita alasan untuk bertindak di wilayah itu. Alasannya, tentu saja, karena aku tidak mau bertindak pada sesuatu yang aku tidak pahami. Dalam bahasa hadits, akan terjadi kehancuran (assa’ah) bila sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Menyerahkan tugas perubahan dalam bidang hukum tata negara di Indonesia kepada saya, tentu saja dinilai tidak tepat, bahkan ngaco.Ingat itu!!!!!
Itulah sebabnya, saya ingin menegaskan satu fakta, bahwa antara apa yang akan kita kerjakan dengan kemampuan yang kita miliki, merupakan dua kutub ekstrem yang terkadang tidak terjambatani oleh karena kita tidak memilliki kemapuan analisa pada besaran kapasitas internal kepribadian yang kita miliki dengan besaran tantangan eksternal yang akan kita hadapi. Suatu mimpi perubahan akan terwujud bila wilayah idealisme kita mendapat dukungan yang lebih besar dari kapasitas kepribadian yang kita miliki. Pada konteks ini, setelah kita menyisakan ruangan takdir, saya termasuk orang yang percaya bahwa realitas itu sesungguhnya adalah variabel yang bersifat dependent dalam konteks perubahan. Asalkan kita memenuhi seluruh syarat-syarat perubahan dalam seluruh ruangan kemanusiaan, maka apa yang kita inginkan terjadi, pasti terjadi, yang tentu saja setelah kita menyisakan satu ruangan takdir tadi. Artinya jika memang itu tidak terealisasi, maka memang takdirnya ketika itu. Tapi takdir esok, setelah ”ketika itu” itu adalah takdir lain yang masih misteri. Dan itu memang memiliki dua kemungkinan. Tetapi secara logika kemenangan kita pasti menang mewujudkan perubahan itu. dan karenanya kita punya hujjah untuk berharap.
Nah, sebelum kita pergi ke sana; ke pulau Sapeken untuk melakukan kerja-kerja perubahan, mari kita di sini dulu; disini kita perlu berbisik kapada hati, akal dan jiwa kita masing-masing tentang tema kita ”sekali lagi tentang perubahan?. ini semacam pendahuluan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Pada intinya, saya tidak ingin kita mempolitisasi kata ini hanya karena dan dengan tujuan memamerkan bahwa kita adalah gerombolan mahasiswa; sang lokomotif perubahan. Padahal pada waktu yang sama, kita sebenarnya bingung, apa yang akan kita rubah di pulau kita.
Kita bingung adalah sebuah indikas bahwa kita sebenarnya, mungkin tidak pernah punya waktu untuk memikirkan masa depan pulau kita. Ada semacam keterputusan antara kegiatan berpikir kita dengan pulau sapeken. Kata kuncinya adalah, sejauh mana kosa kata SAPEKEN ada dan mengalir dalam setiap ide dan gagasan besar yang kita miliki.
Kita bingung karena kita tidak mampu memetakan pada wilayah mana kita akan melakukan perubahan di pulau SAPEKEN. Saya percaya bahwa kerja-kerja perubahan itu harus dibangun di atas asas kebertahapan (tajarrud fid-dakwah), dan itu menjadi dalil bahwa saya tidak setuju dengan konsep revolusi dalam melakukan perubahan. Di samping itu, pada bagian lain dari episode dari drama perubahan yang akan kita pertontonkan, prinsip skala proritas tentu menjadi pedoman.

KURIKULUM INTEGRAL DAN ISLAMISASI ILMU



Jika merujuk pada sejarah lahirnya konsep kurikulum integral, maka fakta yang kita dapati, adanya semacam kekhwatiran dari pemikir muslim akibat mewabahnya fenomena sekulerisme Barat yang menggerorogoti kehidupan umat Islam, dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik maupun pendidikan. Dalam politik misalnya, kita dipaksa mendengar dan menerima adagium “Islam Yes, Partai Islam, No” yang pernah dilontarkan oleh penggagas pertama gerakan sekulerisasi di Indonesia. Begitu juga dalam bidang pendidikan, yang salah satu akibat pengaruh buruk sekulerisme dalam pendidikan adalah kita diperkenalkan dengan istilah dualisme kurikulum yang berusa memisahkan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum (sains).
Fakta inilah yang melatar belakangi lahirnya konsep kurikulum integral. Konsep ini berusaha mengintegrasikan kembali dua kurikulum tersebut. Dengan kata lain, kurikulum integral adalah antitesis dari dualisme kurikulum yang berusaha menyodorkan suatu paradigma baru pendidikan dengan berbasiskan tauhid sebagai basis centralnya, sehingga dikotomi keilmuan tidak lagi mendapatkan tempatnya dalam semua aktivitas pendidikan dan pengajaran individu muslim.
Dalam paradigma kita, integrasi dua kurikulum sebagai sebuah proses dari kurikulum integral tersebut, tentu tidak hanya sekedar menggabungkan atau secara bersamaan mengajarkan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan sains dalam skema dan strategi pengajaran dan pembelajaran muslim. Karena jika hanya sekedar mencampurkan, itu tidak berarti bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pengetahuan barat moder lantas sesuai dengan pandangan hidup Islam. Sekedar mencampurkan atau memasukkan dua kurikulum tersebut dalam silabus, tidaklah akan menghindarkan kita dari virus-virus pemikiran Barat. Karena itu apa yang kita pahami dengan integrasi ini adalah sebuah proses islamisasi ilmu pengetahuan.

Ilmu Tidak Bebas Nilai; Sebuah Alasan Islamisasi Ilmu
Wacana Islamisasi ilmu bermula pada awal 1980-an yang didasarkan pada kesadaran bahwa semua disiplin ilmu sosial merupakan kontruks budaya peradaban Barat dan sebetulnya tidak memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim (Sardar: 2005). Ilmu sebagai sebuah produk budaya merupakan kontruksi pengetahuan yang dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu. Itulah sebabnya, secara epistimologis, sains Barat modern sebagai sebuah ilmu tidaklah bebas nilai, karena lahir dari tradisi intelektual dalam budaya dan masyarakat Barat yang menafikan peran wahyu sebagai salah satu sumber ilmu. Sebagai akibatnya, sains modern dalam tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan, sehingga akhirnya menjadi sekuler dan anti Tuhan. (Hamid: Islamia, 2008). Contohnya adalah pandangan Barat terhadap alam yang mereka gambarkan sebagai sebuah mesin raksasa (mekanisme) yang didasarkan atas pandangan filsafat Newton. Dalam filsafat ini, Tuhan tidak lagi memiliki peran terhadap alam, tetapi alam sebagai sebuah mesin raksasa telah memiliki mekanisme hukumnya tersendiri yang mereka sebut dengan hukum alam. Pandangan inilah yang menimbulkan paham deisme; suatu paham yang didasarkan atas teori “clock maker teory (teori pembuatan jam)” yang berarti bahwa Tuhan, setelah menciptakan alam, tidak lagi berurusan dengannya. Lambat laun kesimpulan ini menyeret ilmuwan barat lebih jauh untuk kemudian mencurigai “jangan-jangan Tuhan memang tidak pernah ada”( Kertanegara: Mengislamkan Nalar, 2007). Akhirnya deisme berujung pada atheisme.
Jadi, ada perbedaan epistimelogis yang sangat fundamental antara Barat dan Islam karena adanya perbedaan pandangan hidup, dimana perbedaan itu akan memiliki pengaruh terhadap ilmu pengetahuan yang nantinya akan dihasilkan. Bahwa setiap ilmu memuat pandangan hidup tertentu. Al-Attas sebagai orang pertama diantara sarjana muslim kontemporer yang mengganggap bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, menegaskan bahwa “Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahan yang berbeda mengenainya, meskipun diantaranya terdapat perbedaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu dalam sehingga tidak bisa dipertemukan”( Daud: Filsafat, 2003).
Bahwa telah terjadi westernisasi ilmu yang begitu parah karena merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme, mengangkat keraguan sebagai kerangka metodologi bahkan epistimelogi yang sah dalam keilman, dan yang paling fatal, menolak peran wahyu dalam seluruh aktivitas intelektual. Westernisasi ilmu dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan renungan filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. (Armas: Islamia, 2005, Al-Attas: Islam dan Sekulerisme, 1981). Adanya latar belakang keilmuan Barat yang memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan Islam, baik secara ontologis maupun epistimelogis, menjadi raison de etre program Islamisasi ilmu. Para ilmuwan muslim menyadari bahwa pengetahun Barat modern, telah menjadi tantangan yang serius bagi kehidupan dan peradaban Islam. Sehingga proyek islamisasi dimaksudkan sebuah jihad dan ijtihad intelektual yang berupaya menghilagnkan apa yang dikatakan oleh al-Faruqi dengan “Malaise of Ummah”atau apa yang diistilahkan oleh Al-Attas dengan “The Corruption of Knowlegde”. Islamisasi ilmu merupakan agenda intelektual yang memberi harapan besar pada kebangkitan peradaban Islam

Islamisasi Ilmu; Konteks Kurikulum Integral Hidayatullah
Walaupun Islamisasi ilmu meripakan isu dan wacana yang paling kontroversial, tetapi ia telah menjadi semacam revolusi epistimologis yang berusaha memberontak terhadap keadaan umat Islam yang telah lama tersisihkan secara keilmuwan dan peradaban oleh peradaban Barat. Sebagai sebuah revolusi, misi yang diemban oleh proyek ini adalah mengembalikan kembali kejayaan Islam. Di sinilah, signifikansi Islamisasi ilmu yang juga harus direspon Hidayatullah sebagai salah satu gerakan yang ikut andil dan ambil bagian dalam rekontruksi peradaban Islam. Bahwa substansi dari peradaban adalah ilmu pengetahuan, sehingga aktivisme intelektual yang mewujud dalam suatu komunitas ilmiah merupakan prasyarat mutlak bagi gerakan peradaban. Dan islamisasi ilmu merupakan bagian aktivisme intelektual muslim yang bertugas memelihara orisnalitas (ashalah) kekhasan dan merupakan revivalisme peradaban Islam.
Islamisasi pengetahuan yang dipahamai sebagai antitesis westernisasi ilmu, berarti sebuah usaha membersihkan (purifikasi) elemen-elemen dalam ilmu pengetahuan Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Karena ilmu pengetahuan modern diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis peradaban Barat, maka Al-attas menyebutkan ada lima unsur dalam sains barat yang menjiwai peradaban Barat yang harus dibersihkan, yaitu 1) Pengandalan Barat terhadap akal yang mampu membimbing umat manusia, 2) Sikap Barat yang dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler, 4) membela doktrin humanisme, dan 5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Karena itu, orang yang bertugas melakukan gerakan Islamisasi ilmu adalah orang yang mengusai dua pengetahuan substantif; pertama pengetahuan terhadap ajaran dan pandangan hidup Islam, dan kedua pengetahuan terhadap budaya dan peradaban Barat. Dua pengetahuan ini merupakan sebuah keniscayaan, karena dengan begitu kita akan mampu mengidentifikasi dan membersihkan virus ilmu modern dan pada waktu yang sama mampu memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci ke dalam setiap sains modern yang relevan; semacam adaftasi dan modifikasi ilmu modern yang disesuaikan dengan ajaran Islam (Armas: Islamia, 2005).
Pengetahuan lain yang harus dikuasai adalah penguasaan terhadap metodologi ilmiah islami, karena produksi dari islamisasi pengetahuan tergantung pada munculnya metode yang Islami (Safi: Ancangan Metodologi Alternatif, 2001)
Kata “menguasai atau penguasaan terhadap pengetahuan substantif yang kita maksudkan bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan sebuah istilah yang relatif. Istilah ini hanya untuk menunjukkan adanya pengetahuan yang telah dapat dicapai oleh sarjana, terbatas pada waktu dan tingkat perkembangan yang telah dicapai dalam disiplin itu (Safi: 2001). Ini untuk menunjukkan bahwa program Islamisasi ilmu ini bersifat ijtihadi dan karenanya merupakan program dinamis yang akan selalu mengalami perbaikan pada beberapa aspek dan produknya.
Nah, merujuk pada beberapa persyaratan teoritis-praktis di atas, maka pertanyaannya adalah “Sejauh mana Hidayatullah telah memiliki sejumlah ilmuwan tersebut.?Inventarisasi terhadap sejumlah ilmuwan yang kita miliki adalah dimaksudkan untuk memastikan bahwa kurikulum integral yang kita berlakukan dalam pendidikan, bukanlah sebuah labelisasi semata. Tetapi sebuah rumusan konfrehensif yang telah melalui sejumlah syarat-syarat tersebut di atas. Di samping itu, juga dimaksudkan sebagai amunisi intelektual agar kita memiliki kesiapan dan kekuatan berhadapan dengan serangan pemikiran Barat. Dalam kerangka ini, maka strategi pendidikan Hidayatullah sebaiknya dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah stok ilmuwan, cendikiawan dan pemikir yang menguasai seluruh disiplin keilmuan. Sebab, kita tidak mungkin membayangkan membuminya kembali peradaban Islam, tanpa kehadiran para intelektual yang hebat. Seperti nabi yang merindukan keislaman Umar, karena beliau sadar agama ini membutuhkan lebih banyak orang-orang yang terbaik.
Satu hal yang juga perlu digaris bawahi, walaupun proyek Islamisasi ini tidak terwujud dalam bentuk penulisan buku-buku paket yang akan dijadikan referensi bahan ajar untuk semua jenjang pendidikan yang ada di Hidayatullah, tetapi satu fakta yang tidak harus kita abaikan bahwa Islamisasi ilmu ini harus menjadi ide, gagasan dan kesadaran umum di kalangan pendidik kita. Dengan kata lain, Islamisasi ini harus mewujud dalam bentuk islamisasi pikiran, jiwa, akal dan bahasa para pendidik dan da’i Hidayatullah agar kurikulum integral yang kita terapkan benar-benar mencerminkan atau sebuah tafsiran yang benar terhadap pandangan Islam mengenai ilmu dan pendidikan, dan pada waktu yang sama para pendidik kita juga mampu menghilangkan atau membersihkan beberapa konsep atau materi dalam buku-buku rekomendasi Diknas yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
Akhirnya, semoga Allah memudahkan urusan kita dengan mega proyek ini.

ISLAM DAN ISU KETERWAKILAN UMAT

Dinamikan perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2009, cenderung memanas. Ada banyak isu yang dimunculkan dalam menggalang suara untuk mendapatkan kemenangan-kekuasaan pada perhelatan akbar yang akan berlangsung pada bulan juli mendatang. Di antara isu yang masih sering dipentaskan dalam pangung demokrasi Indonesia adalah isu keterwakilan umat Islam. Isu ini memang masih memiliki pamor yang cukup kuat dalam menarik simpati suara umat Islam. Alasannya jelas, umat Islam secara kultur jumlahnya adalah mayoritas dan dalam perspektif komunikasi massa isu secara emosional masih bisa dimainkan melalui sentiment keagamaan. Walaupun, mungkin sebagian kita masih belum yakin apakah isu ini dapat mengubah takdir seorang kandidat priseden yang mungkin sebelumnya dipastikan menang menurut beberapa lembaga survei, akan tapi karena dia tidak mengindahkan isu ini, dia terpental jatuh dan kalah. Karena faktanya, perolehan partai-partai Islam, kecuali PKS, pada pileg tahun ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Meskipun hal ini juga tidak lantas dapat disimpulkan bahwa Islam telah kehilangan “nilai jual”nya di Indonesia. Bukankan partai-partai nasionalis sekuler juga mengalami nasib yang sama; jumlah perolehan suara mereka merosot tajam.
Isu keterwakilan Islam kembali mengemuka ketika presiden SBY disinyalir, bahkan dipastikan akan menggandeng cawapres-nya dari kalangan nasionalis yang mungkin calon kuatnya adalah Bodiono. Akhirnya, komposisi pasangan yang akan diusung oleh partai Demokrat adalah pasangan nasionalis kuadrat. Kesimpulannya, akan bisa direduksi bahwa SBY dalam pilpres 2009 ini tidak memperhatikan aspirasi umat Islam. Karena wakil yang dipilihnya bukan berasal dari kalangan Islam. Dan fakta ini sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai, merujuk pemikiran dan istilah Kuntowijoyo, aksi marginalisasi dan periferalisasi politik Islam; semacam usaha sistematis peminggiran umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, seharusnya sebagai kekuatan mayoritas di nusantara, umat Islam mestilah wajib dilaksanakan aspirasinya, termasuk dalam soal pasangan capres dan cawapres ini.
Isu inilah yang kemudian yang membuat partai Demokrat dan ketua dewan pembinanya mengalami dilema dan buah simalakama yang cukup parah. Ada semacam kebingungan dalam menentukan arah koalisi dengan partai-parta politik lain yang masih tersisa. Di satu sisi ada kemauan memperhatikan aspirasi umat islam dengan harus memilih salah satu pasangan cawapres yang di usung oleh masing-masing partai peserta koalisi yang berbasis Islam. Namun, pada sisi yang lain, tawaran menggiurkan dengan memilih Boediono sebagai cawapres SBY, akan menjadi jembatan strategis yang bisa merekatkan hubungan antara partai Demokrat dan PDI-P yang selama lima tahun terakhir diwarnai ketegangan politik yang cukup dahsyat.
Adanya kegamangan pada kubu SBY, disamping akan semakin menguatkan kesan publik bahwa SBY adalah sosok pemimpin yang peragu dan pelaku pertimbangan yang sangat ekstrem karena menganut mazhab politik pencitraan yang sangat fanatik, pada waktu yang sama ini juga merupakan suatu fakta politik yang tak terbantahkan dan cukup memberikan hujjah bahwa isu ini masih menjadi salah satu variabel politik yang harus diperhatikan oleh para politikus di Indonesia jika ingin keluar menjadi pemenang pada pilpres bulan juli mendatang.
Selanjutnya, fakta politik ini juga bisa dijadikan bantahan yang cukup telak kepada para pengamat politik, bahwa aktor penentu pada pilpres bukanlah semata monopoli pemenang pileg kemarin, dalam hal ini partai demokrat, yang mengantongi suara 20 persen lebih, tetapi juga partai-partai menengah. Ini merupakan konsekuensi logis, bahwa pada pileg kemarin tidak ada satu partai-pun yang menjadi pemenang mutlak. Perolehan suara 20 persen oleh partai demokrat, bukanlah angka yang aman. Mereka akan dipaksa oleh keadaan untuk wajib berkoalisi dengan partai-partai lain untuk membangun pemerintahan yang kuat di pemerintahan dan parlemen.
Sementara, bahwa partai yang tersisa adalah partai berhaluan Islam, maka partai-partai ini seharusnya mampu menjalinkan persatuan yang cukup solid dalam mewakili keterwakilan umat Islam. Partai Islam harus memberikan satu pelajaran politik kepada bangsa dan dunia international, bahwa kekuatan Islam masih dan akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuatan sekuler di Indonesia. Partai Islam harus mampu menjadi kekuatan penentu dan pemutus agar marginalisasi dan periferalisasi Islam, tidak terjadi pada pilpres kali ini. Sesungguhnya fakta-fakta politik yang terjadi menjelang pilpres ini, harus ditafsirkan sebagai salah satu rekayasa Allah yang memberikan kesempatan kepada partai Islam untuk tetap mengawal aspirasi Islam dan umatnya. Partai Islam harus memiliki pemikiran bahwa kalangan Islam-lah, bukan kalangan nasionalis, dalam pilpres kali ini yang harus menempati posisi cawapres. Jika tidak, partai Islam harus berani bersikap dengan cara membuat poros baru yang bisa mewujudkan aspirasi politik Islam. Kalaupun misalnya kalah, yang penting partai-partai Islam telah mencatatkan sejarah bahwa mereka tidak mengkhianati amanah konstituen mereka yang nota bene adalah muslim. Manfaat lain, sejarah ini juga akan menjadi pelajaran politik yang sangat berharga bagi generasi muslim selanjutnya tentang bagaimana etika dan prinsip politik Islam; bahwa Islam dan aspirasi umat adalah di atas kepentingan segala-galanya.

PERTARUNGAN KEABADIAN Strategi Pemenangan Islam

Dalam buku “Percakapan antar Generasi; Pesan Perjuangan Seorang Bapak”; sebuah dokumen yang merekam pemikiran Moh. Natsir, di situ pendiri DDII ini menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, di samping tantangan liberalisasi, kristenisasi dan sekulerisasi, yang tidak kalah beratnya adalah tantangan nativisasi. Nativisasi didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang tersistematis atau tidak, yang berupaya menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dalam pembentukan budaya bangsa Indonesia. Bahwa Islam tidak menjadi ruh yang menjiwai budaya bangsa ini merupakan target dari tantangan nativisasi ini.
Dalam bahasa lain, nativisasi ini diistilahkan oleh Kuntowijoyo dengan alienasi, marginalisasi dan periferalisasi Islam (Kuntowijoyo: 2008). Dan semua usaha itu telah berlangsung sejak lama, sejak kolonialisme Barat menjejakkan kakinya di Nusantara. Maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi aktor dari aktivitas peminggiran peran Islam itu adalah Barat dan konco-konconya. Kata konco mengisyaratkan bahwa meskipun secara realita, bangsa-bangsa Barat tidak lagi melalukan kolonialisasi dan penjajahan, tetapi itu tidak berarti bahwa program nativisasi ini telah berhenti. Melainkan sebaliknya, usaha itu akan terus berjalan, karena seperti yang dikatakan oleh Muhammad Quthb, bahwa negara-negara Barat tidak akan meninggalkan daerah jajahannya kecuali telah menyiapkan kader-kader yang telah terbaratkan dan mengikuti semua kehendak Barat.
Demikianlah seterusnya arus sejarah Islam di Indonesia akan selalu mendapat tantangan nativisasi, di samping tantangan sekulerisasi, liberalisasi dan kristenisasi. Dan sesungguhnya semua tantangan itu tujuan hakikinya adalah satu; mereka agar Islam tidak menjadi basis identitas pada idiologi dan jati diri bangsa Indonesia.
Di sinilah kita menemukan interpretasi al-Qur’an terhadap fakta-fakta ini, bahwa menurut paradigma al-Qur’an, antara kita dengan Barat yang notabene Kristen dan Yahudi, telah tercipta-seperti yang dinyatakan tegas oleh al-Attas-konfrontasi yang permanen. Secara histories, Islam sejak awal kemunculan telah dijadikan lawan abadi oleh Barat, karena memang tidak ada kekuatan lain yang bisa mengungguli peradaban Barat, melainkan kekuatan Islam. Barat memandang Islam sebagai saingan yang sesungguhnya di dunia, sebagai satu-satunya kekuatan yang kekal yang dihadapi, dan yang menantang kepercyaan-kepercayaan dan prinsip-prinsip dasar Barat (Islam dan Sekulerisme, Al-Attas: 1981). Barat (baca: Yahudi dan Nashrani) tidak akan pernah ridha terhadap Islam, sampai umat Islam mengikuti ajaran mereka, demikian tafsiran al-Qur’an terhadap realitas kekinian dan kedisinian umat. Maka pertarungan atau benturan peradaban (the class of civilization) adalah sebuah keniscayaan.
Sesungguhnya benturan peradaban adalah pertarungan keabadian. Dalam konteks Indonesia, benturan itu akan berujung pada satu kesimpulan kekuatan manakah yang paling banyak mewarnai dan mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang? Islam atau kekuatan yang lain. Bahwa memang secara normatif di dalam al-Qur’an, Islam mendapat jaminan kekekalan dan kemenangan, itu tidak dapat ditafsirkan bahwa Islam di Indonesia akan menang melawan liberalisasi, kristenisasi, sekulerisasi dan nativisasi, terkecuali kita “menyiapkan kekuatan sampai batas maksimal melawan mereka”. Karena faktanya, Islam di Andalusia telah menjadi masa lalu, tidak menjadi masa depan. Dan kita harus belajar pada sejarah kelam itu. Kita harus belajar merekaya masa depan Islam untuk menjadi kekuatan penentu dan kebijakan dalam seluruh sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyiapkan Kekuatan dan Strategi Pemenangan
Kosa kata yang harus senantiasa kita tanamkan ke dalam seluruh struktur skema berpikir dan bertindak kita adalah kata perang dan pertarungan. Bahwa kita senantiasa melakukan pertarungan dan peperangan. Memang bentuknya, untuk sementara, bukan dalam bentuk fisik, tetapi perang pemikiran (ghazwul fikri). Salah satu bentuk perang pemikiran ini, seperti yang ditegaskan oleh Ziauddin Sardar, bahwa Barat senantiasa melakukan imprealisme epistimologis; semacam penjajahan intelektual terhadap cara berpikir kita, yang secara organis akan berpengaruh pada cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak kita. Di sinilah brainwashing (pencucian otak), misalnya melalui program pertukaran pelajar dan pemberian beasiswa belajar bagi para mahasiswa muslim untuk belajar di perguruan tinggi Barat, menjadi sarana strategis Barat dalam melumpuhkan kekuatan Islam dari dalam. Hasilnya, kita kemudian tidak lagi sibuk berperang dengan Barat semata tapi juga dengan “saudara-saudara” kita sendiri. Betapa banyak dari sarjana yang kita miliki, setelah menempuh studinya di negara-negara Barat, begitu pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi, berubah 180 derajat menjadi corong Barat dalam menghancurkan Islam dengan cara menolak konsep-konsep Islam yang telah final, mengusung ide dekonstruksi syari’ah, menggagas hermeneutika sebagai metode tafsir dan sejumlah ide-ide gila lainnya. Komunitas ini kemudian dikenal dengan JIL yang sering dipelesetkan dengan Jaringan Iblis Laknatullah. Faktanya memang mereka ini mengidap deabolisme pemikiran.
Kosa kata kedua yang harus kita tancapkan pada akal-akal raksasa yang kita miliki adalah kata kekuatan. Bahwa kita harus memenehui sejumlah kekuatan-kekuatan yang mampu memenangkan kita dalam pertarungan ini. Pertarungan ini adalah medan ikhtiyar manusiawi. Maka kata kuncinya menjadi pemenang dari konfrontasi yang permanen ini adalah kita harus memiliki besaran kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan lawan. Dan inilah problem kita. Sebutlah misalnya, sementara Barat dan boneka mereka memiliki sejumlah sarjana dan intelektual (setingkat doktor) yang begitu melimpah, pada waktu yang sama kita punya berapa? Bahkan Hidayatullah, yang punya cita-cita ingin merekontruksi peradaban Islam, untuk sementara hanya memiliki satu orang doktor saja. Semoga lima tahun ke depan, ormas ini telah memiliki segerombolan intelektual setingkat doktor.
Merujuk pada pemikiran Sayyid Quthb, bahwa kekuatan-kekuatan yang harus kita miliki dalam menghadapi narasi besar yang bernama Barat dengan segenap kekuatannya adalah kekuatan aqidah, ekonomi, militer dan beberapa kekuatan lainnya. Nampaknya kita semua sepakat pada solusi itu. Dan itu memang benar pada semua bagiannya. Hanya saja, pola penyelesaian yang benar, seperti yang ditekankan oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani, jangan sampai kita meloncati waktu. Kita seringkali melupakan dan melalaikan rentang waktu antara “dari masa sebelum” dengan “dari masa sesudah dan akhirnya menjadi”.
Rentang waktu itulah yang kita sebut proses. Dan kita semua sepakat bahwa proses yang bisa menghantarkan kita pada sejumlah kekuatan tadi hanya melalui pendidikan dan pembinaan (tarbiyah dan dakwah) yang harus berjalan secara simultan, konsisten, komprehensif dan terpadu. Yang saya maksud adalah melakukan mobilitas horizontal dan vertikal. Program unggulannya adalah kaderisasi kepemimpinan umat pada semua lapisan profesi dan jabatan-jabatan yang strategis. Maka sudah saatnya kita mulai mengajar kader-kader untuk bercita-cita menjadi orang nomor satu di negeri ini. Harus tiba pada suatu kurun dalam sejarah Indonesia, Islam tampil menjadi pedoman bagi sistem berbangsa dan bernegara, dan itu tidak mungkin terjadi kecuali kita mampu menyiapkan. Jadi, kosa kata ketiga yang harus kita hafal adalah kata pendidikan dan kaderisasi.
Kaderisasi yang kita maksud adalah membangun inti lapisan umat yang kita sebut dengan pemimpin. Alasannya adalah berdasarkan filosofi dan hukum sejarah, bahwa sesungguhnya sejarah itu kebanyakan merupakan hasil karsa, karya dan rekayasa dari orang-orang yang berpikir dan berjiwa besar. Sejarah adalah produk para pemimpin yang kemudian orang-orang itu kita namakan para pahlawan.
Pemimpin yang kita maksud, merujuk pada bimbingan al-Qur’an, adalah insan kamil atau khaira ummah (umat yang terbaik). Model yang akan kita contoh adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Maka konsep dan desain pendidikan kita harus merefleksikan manusia universal (Al-Attas: 1996) yang visi misinya adalah melahirkan insan kamil atau khaira ummah tadi dimana mereka harus memiliki kekuatan transendental (kekuatan aqidah: tu’minuwna billah) sehingga mampu memerankan peran kesejarahannya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Substansi dari ide ini, seperti yang ditegaskan oleh Anis Matta dalam bukunya dari gerakan ke negara, adalah bagaimana agar kualitas yang kita miliki secara simtetris berbanding lurus dengan keagungan agama kita. Agama yang besar harus dipeluk dan dijalankan oleh akal-akal rasksasa muslim sejati.
Jadi, seperti imam al-Ghazali yang menyiapkan generasi Salahuddin yang baru mewujud setelah 50 tahun lebih melalu proses pendidikan dan pemikiran yang benar dan tidak tercemar dengan virus-virus pemikiran yang menyesatkan umat dari agamanya, kita juga hendak berupaya menuju terwujudnya sebuah generasi baru muslim kaffah yang akan menjadi aktor sejarah di nusantera.
Akhirnya sebuah generasi yang akan meraksasa, baik secara intelektual, emosional dan spritual, akan mampu melahirkan dan mewujudkan ramalan Dr. Yusuf Qardhawa, bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara akan dipimpin oleh bangsa Indonesia. Saat itu semoga, kita mampu meluluhlantakkan tantangan liberalisai, kristenisasi, sekulerisasi, dan nativisai. Bahkan mampu memenangkan pertarungan keabadian. Insya Allah.