Monday, July 30, 2007

Postmodernisme dan Kebangkitan Peradaban Islam

DALAM RANAH INTELEKTUAL di Indonesia masih jarang yang membahas dua tema ini; postmodernisme dan Islam. Dalam tulisan ini, walau tanpa referensi utama tentang korelasi antara keduanya, setidaknya kita coba maknai dengan realitas kontemporer.

Secara kebahasaan, postmodernisme berarti suatu keadaan yang sudah lewat, lepas, terpisah, terputus atau beyond. Akan tetapi pengertian postmo tidaklah semudah itu. Postmo adalah bagian inheren atau turunan dari modernitas, sehingga ada korelasi positif antara keduanya. Hanya saja, menurut Noor Arif Maulana (2003), postmo tampil dengan teriakan ‘nada protes’ di tengah kompleksitas modernitas utopis yang telah terlanjur ditelan mereka dengan mengaku ‘modern.’

Ada baiknya, biar kita semua nggak kebingungan maka kita bedakan dulu beberapa pengertian di bawah ini; postmodernitas, postmodernisme, dan teori postmodern. Mari kita minjem pengertian dari George Ritzer dalam bukunya The Postmodern Social Theory.

Postmodernitas, kata sosiolog yang juga penulis buku Sociology; a Multiple Paradigm itu, biasanya dipakai untuk merujuk pada epos, sejarah, waktu, zaman, serta masa dari situasi sosial politik dengan pemahaman historis. Postmodernisme, merujuk pada periodik kultural (seni, film, arstitektur etc.) yang terlihat berbeda dari produk kultural modern. sedangkan teori sosial postmodern biasanya digunakan dalam lingkaran akademis yang berarti teori sosial yang berbeda dari teori modern.

Dilihat dari sejarah, asal usul istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an untuk menyebut suatu periode pendek dalam mengindikasikan reaksi kecil terhadap modernisme dalam bidang sastra, khususnya puisi Spanyol dan Amerika Latin. Kemudian, pada tahun 1947, sejarawan Arnold Toynbee memakai kata postmodern dalam bukunya A Study of History. Bagi Toynbee, pengertian postmodern yaitu masa yang ditandai dengan perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan. Hal ini lebih spesifik dipakai untuk menyebut tahap kontemporer kebudayaan Barat tahun 1975 yang ditandai dengan adanya peralihan politik dari negara nasional ke interaksi global.

Selanjutnya, istilah ini pun digunakan oleh Rudolf Panwitz dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur yang isinya membahas manusia postmodern yang sehat, kuat, nasionalis dan religius yang muncul di Eropa. Setelah itu, Peter Drucker dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow juga memperkenalkan istilah ini dalam perkembangan ekonomi.

Sebenarnya, masih banyak lagi pemakaian kata postmo ini di kalangan seniman, penulis dan kritikus. Definisi postmo masih teramat kabur, setidaknya hal ini juga dikeluhkan Ernest Gellner (2002) dalam bukunya Postmodernism, Reason and Religion yang diterjemahkan Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina menjadi Menolak Posmodernisme, Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, Mizan 1994.

* * *

Menurut Ben Agger (2003) dalam bukunya Critical Social Theories; an Introduction, yang diterjemahkan menjadi Teori Sosial Kritis (hlm.69), karya Jean-Francois Lyotard berjudul Postmodern Condition; A Report on Knowledge (1984) merupakan satu petunjuk berguna bagi asumsi dasar teori sosial postmodern.

Postmodernitas memiliki beberapa tanda. Setidaknya bisa kita lihat dari beberapa hal dibawah ini (Angger:72-75) ;

  • Globalitas. Bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa dan wilayah maju (dunia pertama) dengan bangsa dan wilayah terbelakang (dunia ketiga)

  • Lokalitas. Kecenderungan global berdampak langsung pada lingkungan lokal, sehingga memungkinkan kita untuk memahami dinamika lokal dengan mempelajari manifestasi lokal

  • Akhir dari “akhir sejarah”. Modernitas, sebagaimana yang diteorikan oleh pendukung Pencerahan, bukanlah tahap akhir sejarah yang muncul di masa postindustrial dimana kebutuhan dasar material semua orang dipenuhi sehingga konflik kelompok dan persaingan ideologi menghilang. Namun postmodernitas adalah satu tahap sejarah yang terputus dengan garis halus perkembangan evolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh pendukung Pencerahan dan pendiri teori sosiologi dan borjuis

  • Kematian” Individu. Konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari dunia luar tidak lagi masuk akal dalam kacamata postmodernitas. Kini, diri atau subjek telah menjadi lahan pertarungan tanpa batas antara dirinya dan dunia luar.

  • Mode Informasi. Cara produksi, dalam terminologi Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan mode informasi (bahasanya Max Poster), yaitu cara masyarakat postmodern mengorganisir dan menyebar informasi dan hiburan

  • Simulasi. Ini bahasanya Baudrillard (1983). Menurutnya, realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun, masyarakat katanya semakin “tersimulasi”, tertipu dalam citra dan wacana. Iklan adalah salah satu kendaraan utama simulasi ini

  • Perbedaan dan Penundaan dalam Bahasa. Menurut Derrida, dalam postmodernitas, bahasa tidak lagi berada pada hubungan representatif pasif atas “kenyataan” sehingga kata dapat secara jelas dan jernih menjabarkan realitas dunia. Dalam hal ini, pembacaan teks dengan konsep dekonstruksi adalah aktivitas kreatif untuk mendapatkan makna yang ambigu atau yang hilang dari realitas

  • Polivokalitas. Segala hal dapat dikatakan secara berbeda, dalam berbagai cara yang secara inheren tidak superior ataupun inferior satu sama lain. Sehingga, sains menjadi satu dari sejumlah “narasi” yang melengkapi, menyaingi dan mengkontraskan dan tidak memiliki status epistemologis yang istimewa (misal, status superior teori pengetahuan). (Bahasanya mudahnya, menurut saya kita pakai relativisme aja!)

  • Gerakan sosial baru. Terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosial progressif, seperti gerakan anti diskriminasi warna kulit, pembela lingkungan hidup, feminisme, gay, serta lesbian. Dalam negara maju seperti Amerika, gerakan ini (gay dan lesbian) termasuk aktif di permukaan, ketimbang kita di Indonesia yang cenderung underground.

  • Kritik atas narasi besar. Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh Marxis dan ahli lain yang menterjemahkan Pencerahan harus diabaikan di dunia postmodern, majemuk dan polivokal ini. Lyotard cenderung menyukai cerita kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal

* * *

Sampai di paragraf ini, kira-kira gimana membahas postmo dengan kebangkitan peradaban Islam? Mari kita coba!

Dalam postmo, ada spirit ‘pembebasan’ atas keterkungkungan dari pengaruh abad Pencerahan. Kenapa kaum postmo mengkritisi habis Pencerahan? Karena berdasar pada realitas, industrialisasi serta kemajuan intelektual dari abab pencerahan membawa manusia pada sikap kurang membebaskan. Setidaknya bisa dilihat dari banyaknya kriminalitas, pemerkosaan, serta kultur kapitalis yang membawa individu saling berlomba untuk kepentingan pragmatisnya.

Dalam sejarah Islam, jika melihat postmo dalam sini ini, sesungguhnya gerakan Imam Ibnu Taimiyyah dengan pemurnian tauhid relevan dengan ini. Hal ini dilakukan setelah melihat kondisi masyarakat yang jauh dari Islam yang diajarkan Rasulullah. Ketika itu, ummat terjebak dalam taklid, dihapusnya ijtihad, dan mengalami kejumudan. Salah satu cara untuk membangkitkan ummat yang tertidur adalah dengan memperbaiki tauhid. Konsekuensi tauhid yang benar adalah membawa individu pada wilayah pergerakan, bergerak membangkitkan ummat Islam. Selain Taimiyyah, muridnya Ibnu Qayyim juga meneruskan langkah ini.

Banyak literatur menyebutkan, gerakan Islam kembali bangkit dengan gerakan Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani. Setelah itu, gerakannya pun dijalankan oleh teman, serta muridnya yang bernama Muhammad Abduh di Mesir hingga menjadi Mufti Mesir ketika itu.

Kemudian hari, menurut Hassan Hanafi, murid-murid dari penulis kitab Risalah Tauhid itu terbagi dua; kanan Abduh (Abduh Al-Yamani) dan kiri Abduh (Abduh Al-Yasari)1. Di antara muridnya yang cenderung pada wilayah ‘kanan’ adalah seperti; Muhammad Rasyid Ridha (w.1935) dan Syakib Arselan (w.1946). Sementara Qasim Amin (w.1908) dan Ali Abdurraziq—penulis buku Al-Islam wa Ushulul Hukm yang kontroversial itu—masuk dalam kiri Abduh.

Turunan dari aliran kiri mencapai puncaknya pada seorang Hassan Hanafi—penulis buku oksidentalisme—yang menggagas “Kiri Islam.” Orang-orang sekular radikal lainnya semisal Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud dan Adonis (Ahmad Said) juga merupakan perluasan dari Islam kiri ini (Mereka tidak berguru langsung pada Abduh, akan tetapi pada Thaha Husain, Ahmad Lutfi Sayyid, serta Ismail Mazhar).

Begitu juga dalam aliran Kanan Abduh. Gerakannya bisa dilihat dari Murid Muhammad Rasyid Ridho, seperti Hasan Al-Banna. Belakangan hari, gerakan Al-Banna dengan mendirikan Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disebut Ikhwan) mendapat posisi strategis di masa masyarakat Mesir—walau dengan penentangan bertubi-tubi dari penguasa—dan gerakannya pun meluas ke penjuru dunia. “Pergerakan Islam terbesar Abad ke-14 Hijriah,” begitu kira-kira menyebutnya, seperti buku karangan Dr.Muhammad Sayyid Al-Wakil yang diterbitkan Assyamil Bandung.

Di Indonesia, perkembangan gerakan Ikhwan semakin gencar pada tahun 80-an.2 Walau sebenarnya, sejak tahun 1945, telah ada jaringan kerja pemerintah Indonesia—lewat diplomasi Haji Agus Salim—dengan Ikhwan yang membantu sosialisasi kemerdekaan Indonesia di luar negeri3. Sedangkan gerakan kiri Islam di Indonesia menemukan bentuknya lewat Jaringan Islam Liberal (JIL). Gerakan ini termasuk sangat ‘berani’ dalam menafsirkan teks Al-Qur’an. Jika dilihat, pengaruh kajian postmo, teori kritis, turut berpengaruh dalam analisa teks Al-Qur’an dan sejarah Islam.

Apakah kira-kira pengaruh postmo dalam kebangkitan Islam? Secara umum dalam tataran kritisisme terhadap sebuah teks itu niscaya. Artinya, teks Al-Qur’an serta Assunnah tidaklah hanya ditafsirkan secara literal, akan tetapi dipertimbangkan kondisi sosio-antropologis masyarakat ketika itu. Dan gerakan Taimiyyah, Al-Afghani, Abduh, Ridha, Al-Banna hingga Al-Qaradhawi juga melakukan itu. Inilah yang kemudian menimbulkan konfrontasi hebat dari kaum literalis Islam yang tidak sepaham dengan gerakan Ikhwan yang cenderung moderat4.

* * *

Apakah saat ini zamannya kebangkitan Islam? Ya! Apa indikasinya? Kita bisa lihat dengan tersebarnya Islam ke banyak sisi kehidupan. Beberapa negara, kaum pergerakan Islam berhasil mengelola negara dan secara evolusioner menjalankan syariat Islam. Jika dilihat dalam perspektif postmo, tampaknya akan ada perbenturan antara syariat sebagai hukum negara dengan ideologi postmo. Karena dalam postmo, lokalitas serta perbedaan itu ditekankan atau bahasa lainnya menyerang kemapanan.

Akan tetapi, jika Islam digambarkan secara moderat, saya kita kaum postmo pun akan dengan sendirinya sepakat. Karena dalam Islam, keberagaman itu diakui. Sepengetahuan penulis (mohon dikoreksi jika salah), postmo itu tergantung pada trend masyarakat. Ketika masyarakatnya menghendaki sekuler maka sekularlah yang dipakai. Ketika Islam yang mendominasi, maka Islamlah yang akan diikuti. (kira-kira zaman Sahabat dulu, ada tidak kaum postmo??)

Kebangkitan peradaban Islam adalah sebuah keniscayaan. Ini sudah hukum alam. Ada tidaknya postmo, kebangkitan sudah merupakan sunnatullah. Jika ditelusuri, kebangkitan ini tidak juga dipengaruhi oleh kajian postmo. Karena dalam islam, ketika ada sebuah berita saja harus di-tabayyun. Nah, dalam perspektif tabayyun kan perlu ada analisa kondisional, latar yang mempengaruhi sang pembawa berita. Jadi, analisis konteks juga sudah ada dalam khasanah Islam klasik, cuma yang disayangkan beberapa abad lalu terjadi kejumudan dalam dunia intelektual Islam karena Ijtihad dihilangkan.

Menurut pembacaan penulis, perlu komparasi lebih lanjut antara sistem postmo dengan sistem pengetahuan dalam Islam untuk membangkitkan kesadaran Peradaban Islam. ***

Wallahu a’lam bisshowab.

Tamalanrea, 19 Maret 2005, jelang petang


1 lihat tulisannya Luthfi Assyaukanie, Wacana Islam Liberal di Timur Tengah, portal islamlib.com

2 Lebih lanjut, pengaruh Ikhwan di Indonesia bisa dibaca di buku Fenomena Partai Keadilan karya Ali Said Damanik atau bukunya Aay Muhammad Furqon (lupa nama judulnya!) tentang pengaruh ajaran Hasan Al-Banna dalam PK (kini namanya PKS)

3 Zein Hassan, Lc.lt, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980. Hal ini juga pernah dibahas dalam majalah Islam Sabili.

4 Banyak kritikan keras datang dari ulama salafy menerpa tokoh Ikhwan seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, hingga Al-Qaradhawi. Salah satunya, kritikan untuk Al-Qaradhawi berjudul Al-Qaradhawi fil Mizan, yang ditulis Syekh Robi’ Bin Hadi Al-Madkhali. Banyak buku yang menjawab itu, salah satunya karya Fa

No comments: