Tuesday, June 12, 2007

Tahapan Pelaksanaan Syariat dalam Perspektif Dakwah

Oleh: Dr. Surahman Hidayat, M.A.


A. Pendahuluan

Allah SWT menurunkan syariat-Nya sebagai syifa` untuk mengobati segala penyakit kehidupan, memberikan way out (makhraj) dari setiap krisis yang menimpa dan secara umum pada garis horizontal mengkondisikan kehidupan sosial yang saling menguntungkan, sedang pada garis vertikal mengundang turunnya rahmat Allah baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Syariat Islam adalah keimanan (untuk diimani), tapi sebelum itu ia adalah ilmu dan kepahaman (untuk diinternalisasi) lalu sesudah itu langsung tanpa suatu interval harus terwujud sebagai perilaku moral dalam setiap bidang kehidupan.

Pola percontohan untuk itu semua adalah kehidupan Rasulullah Saw bersama para sahabat beliau yang Allah ridhai. Potretnya secara tepat dibidik oleh kamera Siti Aisyah radliyallhu'anha wa 'an walidiha "Akhlak Rasulullah Saw adalah Al-Qur`an."(Riwayat Bukhari)

Pelaksanaan syariat Islam harus sesuai dengan watak syariat itu sendiri, diantaranya adalah konsisten dengan prinsip pentahapan (attadarruj). Hal ini ditunjukkan dengan adanya periode Mekkah dan Madinah dalam tasyri` atau penetapan hukum syara', juga pentahapan dalam mengatasi setiap masalah besar seperti khamar dan riba. Prinsip pentahapan juga ini merupakan sunnatul hayah atau hukum kehidupan baik biologis apalagi yang kultural. Kemudian iapun merupakan minhaj dalam dakwah untuk mensosialisasikan dan mengaplikasikan syariat, seperti dalam arahan Rasul Allah kepada da'inya Mu'adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman.

Kertas kerja ini akan menawarkan garis besar tahap-tahap yang niscaya dilalui dalam menyerukan dan mensosialisasikan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Wallahu al musta'an.

B. PRINSIP-PRINSIP APLIKATIF

Untuk memperbincangkan pelaksanaan syariat secara total dan gradual ada beberapa prinsip yang perlu dikemukakan, yaitu:

1. Prinsip Kesepahaman
Pelaksanaan syariat Islam adalah persoalan setiap muslim secara individual, setiap organisasi Islam baik sosial maupun politik, dan setiap pemimpin Islam di semua tingkatan. Tetapi, sebagai bentuk dari proses perubahan yang direncanakan tentu ada kalangan yang berperan sebagai pengatur dan aktif memperjuangkannya. Mereka adalah para pemimpin umat di lembaga-lembaga sosial maupun politik. Adanya kesepahaman di antara mereka mengenai hal-hal penting dalam pelaksanaan syariat merupakan keniscayaan. Hal-hal yang perlu dirumuskan di atas prinsip kesepahaman adalah:

- Batasan pelaksanaan syariat.
- Sifat aplikasi syariat sekaligus atau gradual.
- Urutan materi syariat yang diaplikasikan menuju aplikasi total secara legal-formal.
Diskusi tentang masalah ini akan disampaikan pada tahap kristalisasi ide dan konsep.

2. Prinsip Klasifikasi
Dengan prinsip ini perlu diklasifikasikan apa saja yang merupakan wilayah pelaksanaan individual, mana yang lebih tepat menjadi wilayah aplikasi bagi unit-unit sosial atau organisasi sosial Islam, dan apa-apa saja yang harus merupakan wilayah aplikasi legal-formal, bahkan mana yang mesti ditangani oleh negara.

Klasifikasi ini akan mempermudah agenda kerja, karena ada fokus tentang materi yang masih harus diperjuangkan secara politis. Adalah tidak mungkin menyerahkan aplikasi syariat seluruhnya kepada masyarakat semata, begitupun tidak tepat menyerahkan semuanya kepada pemerintah.

3. Prinsip Mencermati Realita
Sebagaimana tidak ada paksaan untuk mengimani atau menganut Islam, pelaksanaan syariatnyapun tidak harus berarti memaksakannya kepada realita sosial dengan keputusan legal atau dekrit sekalipun. Karena jika itu dilakukan seperti kata Umar bin Abdul Aziz justru masyarakat akan menolak seluruhnya dan itu adalah suatu bencana. Karenanya mencermati realita atau fiqh al waqi menjadi penting. Di atas bentangan realita masyarakat Nusantara, sejumlah hal signifikan meminta untuk dicatat :

a. Realita keberagaman agama dengan pekanya isu SARA dan kecemburuan dunia (Barat) Salibi terhadap setiap isu Islamisasi.

b. Tingkat pemahaman kaum muslimin tentang agamanya yang masih sangat bervariasi dan belum terstandarisasi.

c. Fenomena yang muncul belakangan ini yaitu mengemukanya potensi disintegrasi yang tidak berhubungan dengan isu syariat tapi ekonomi, politis dan budaya.

d. Tidak boleh terlewatkan juga untuk dicatat fenomena meluasnya kesadaran Islam di masyarakat, sebagai bagian dari gejala global kebangkitan kesadaran Islam atau shahwah Islamiah.

e. Begitu pula bukti kegagalan sistem sekuler yang telah mengantarkan bangsa kita pada keterpurukan akibat krisis multidimensional, telah membuka peluang untuk menawarkan sistem kehidupan Islam secara menyeluruh dan sungguh-sungguh.

4. Prinsip Prioritas
Isi syariat Islam tidak sama bobotnya. Kondisi ini terefleksikan dalam hukum syara' yang diklasifikasikan kepada lima, yaitu fardhu atau wajib, sunat/nadab, jaiz, makruh, dan haram. Di antara perkara yang wajib pun ada yang asasi dan merupakan pilar-pilar syariat ada juga yang di luar itu. Dan ada yang dikategorikan wajib 'ain (individual) dan wajib kifayah (sosial). Laksana membangun rumah, pelaksanaan syariat juga harus dimulai dari perkara yang fundamental, disusul yang merupakan pilar-pilar dan didahului oleh tiang pancangnya yaitu shalat, kemudian kewajiban individual lainnya, diikuti dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sosial. Setelah itu barulah perkara yang anjuran. Di antara perkara yang wajib sebagian ulama menyebut kewajiban-kewajiban berskala besar al wajibat al kubra,dan dari analisis waktu Ibnu Qayim menyebut Faraidh al Waqti kewajiban yang mendapat desakan waktu untuk dilaksanakan.

5. Prinsip Alternatif Model
Perjuangan untuk melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dunia Islam telah mencatat beberapa model. Ada model Iran yang mengaplikasikan versi mazhab Syi'ah meski terdapat komponen masyarakatnya yang bermazhab Sunni, digulirkan secara top-down sebagai bagian dari program revolusi. Ada model Pakistan yang memunculkan kerjasama antarpara pakar melalui Komisi Islamisasi dengan pemerintahan almarhum Presiden Ziaul Haq, tetapi tidak diwarisi semestinya oleh pemerintahan berikutnya.

Ada pula model Sudan yang mengandalkan perjuangan politik melalui Front Kebangsaan Islami pimpinan Dr. Hasan Turabi yang memakai pendekatan zona. Zona yang mayoritas Kristen dibebaskan dari Undang-Undang Syariat.

Ada lagi model Afganistan yang mencoba menerapkan wajah Islam puritan yang terkesan kurang mencermati tuntutan modern. Patut dicatat juga model Yaman dan Malaysia yang tengah memproses aplikasi syariat melalui pendidikan atau penyuntikan Islam kedalam tubuh kehidupan termasuk birokrasi, penerapan secara otonom di sementara wilayah, semuanya ditempuh setelah mencantumkannya dalam konstitusi.

Untuk Indonesia tidak mesti menempuh model yang mirip dengan salah satu model tersebut, namun tetap harus dirumuskan.

C. Langkah-langkah Menuju Aplikasi Total dan Formal

Ada beberapa langkali menuju aplikasi syariat secara total dan legali formal, yang secara urut harus ditempuh.

1. Kristalisasi Ide dan Konsep
Setidaknya ada tiga tataran yang dapat disebut berkenaan dengan aplikasi syariat, yaitu:

a). Aplikasi ritual
Sementara kaum muslimin boleh jadi telah merasa at home dengan kebebasan melaksanakan ibadah ritual dan acara-acara seremonial keislaman. Dengan begitu telah merasa melaksanakan syariat Islam. Pandangan ini sangat mungkin masih ada bahkan dominan di kalangan awam dan tradisional.

b). Aplikasi behavioral-kultural
Sebagian kaum muslimin juga lebih percaya dengan efektivitas Islam kultural daripada Islam legal-formal. Istilah mereka yang lebih penting substansinya bukan formalitasnya. Dan setiap upaya melegalkan ajaran syariat hanya mengundang perlawanan dan disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multi agama. Pandangan seperti ini masih cukup kuat di kalangan intelektual muslim nasionalis.

c). Aplikasi legal formal
Memandang bahwa aplikasi Islam secara ritual adalah batas minimal yang tidak bisa ditawar. Dan aplikasi Islam kultural merupakan wilayah usaha swasta yang bersifat suka rela memanfaatkan peluang yang diberikan oleh otoritas (situasi) politik. Namun aplikasi Islam secaratotal dan melembaga tidak bisa tidak dilakukan secara legal-formal. Dan ini adalah sebuah perjuangan panjang.
Untuk konteks Indonesia, pelaksanaan syariat secara ritual sudah selesai atau tidak ada masalah. Pelaksanaannya secara behavioral-kultural sedang berjalan dalam proses memperluas wilayah sosial yang taat. Dan alhamdulillah predikat santri tidak lagi membuat seseorang inferior bahkan boleb jadi bangga. Tapi pengalaman berbicara bahwa untuk keperluan memperkuat posisi pernikahan Islami dan Peradilan Agama saja, harus ditempuh langkah legalisasi.
Begitupun dengan keperluan memperkuat posisi penerimaan zakat. Ini menunjukkan bahwa yang relevan sekarang dalam mendefinisikan aplikasi syariat itu adalah aplikasi secara total dan legal-konstitusional. Dengan itu maka aplikasi syariat dalam definisi pertama dan kedua dikokohkan dan dikukuhkan, dan ajaran-ajaran sosial Islam dapat dilaksanakan bahkan bilamana perlu dilembagakan.
Sifat pelaksanaan syariat, apakah sekaligus atau bertahap (gradual). Alternatif pertama terlalu sulit kalau bukan hal yang tidak mungkin. Jika cara gradual yang dipilih, masih harus disepakati beberapa hal yang terkait :

1) Tahapan materi syariat yang diaplikasikan.

2) Sasaran-sasaran apa yang hendak diunggulkan dan sekaligus merupakan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan syariat.

3) Tahapan langkah-langkah ke arah aplikasi total dan legal.

Materi Syariah
Mengenal materi syariat yang hendak diaplikasikan dapat dijelaskan dengan menyebutkan struktur kandungan syariat itu sendiri yang terdiri dari:

a. Pilar-pilar: menegakkan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan melaksanakan haji. Khitthah pelaksanaan syariat harus mampu mengangkat posisi rukun (arkaan)tersebut dari urusan pribadi menjadi urusan umat. Umat harus dapat memerintahkan individu untuk menegakkan shalat dan memberi sangsi terhadap siapa pun yang tidak menghormatinya. Demikian halnya dengan pelaksanaan puasa. Sedangkan untuk zakat, peran amilin yang mewakili umat harus punya otoritas untuk memungutnya dengan teknik jemput bola : (khudz), bukan hanya menerima zakat yang datang.

b. Bangunan kehidupan islami: Pola dan sistem komunikasi sosial antar orang Islam dan terhadap non-muslim, kehidupan ekonomi, kehidupan berbudaya dan berpolitik. Pelaksanaan syariat menuntut dimasukinya wilayah-wilayah ini bukan hanya dengan sentuhan etis-moral dan bersifat individual. Melainkan juga dengan ahkamnya yang mempunyai otoritas legal. Komitmen umum terhadap akhlak dan etika sosial merupakan pintu gerbang bagi disiplin aturan dan sadar hukum. Upaya ini harus berjalan seiring dengan penguburan sumber-sumber maksiat, yaitu segala jenis khamar, segala macam perjudian dan segala cara perzinahan.

c. Aspek penyangga: Dilaksanakannya aturan kepidanaan lslam, amar makruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Sistem legal Islam berkulminasi pada hudud yang sangat sensitif dan masih mengundang resistensi yang kuat. Karenanya prinsip pentahapan dan penjadwalan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dan konsep "penolakan hukuman karena hal yang kurang meyakinkan (syubhat)" dapat diperluas pemaknaannya sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ibnul Khatthab. Pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar bukan saja secara personal melainkan juga secara institusional, sehingga tidak ada lagi suatu kemunkaran yang di luar jangkauan. Dalam konteks ini lembaga kepolisian diperkuat peranannya dengan fungsi hisbah dalam fikih Islam. Dan dengan memasukkan konsep jihad kedalam fungsi kemiliteran maka tentara nasional bersama-sama rakyat menghadapi ancaman dari luar, masing-masing sebagai kekuatan reguler dan cadangan.

Gerakan amar ma'ruf nahi munkar ini berjalan seiring dan saling menunjang dengan dakwah. Aplikasi syariat secara legal formal juga memberi kekuatan bagi pelaksanaan dakwah. Yang sebelumnya merupakan kerja swasta sukarela, meningkat posisinya menjadi tugas pemerintah bersama masyarakat. Mengutip komentar Fi Zhilalil Qur`an tentang surah Ali Imran ayat 104.
"Mesti ada segmen masyarakat yang secara khusus menjalankan tugas dakwah dan beramar ma'ruf-nahi munkar, begitupun mesti ada penguasa formal yang memikul tugas dakwah dan amar ma'ruf-nahi munkar. Kesimpulan ini diambil dari makna nash Al-Qur`an sendiri yang menyebutkan dakwah dan am run wa nah yun. Jika pelaksanaan dakwah dimungkinkan tanpa kekuasaan formal maka untuk memerintahkan dan melarang dalam konteks masyarakat dan bangsa tidak bisa dijalankan kecuali oleh pemerintah.

Sasaran-Sasaran Utama
Al-Mawardi menyebut Sepuluh Kewajiban Negara, yang lebih relevan dengan situasi kita dan perlu diangkat melalui pelaksanaan syariat, adalah hal-hal berikut:

1) Terjaminnya keamanan umum di semua wilayah negara, bagi jiwa, kehormatan dan harta benda setiap warga.

2) Terciptanya kepastian dan wibawa hukum, dan hukum syariat berpotensi besar untuk menciptakannya.

3) Terwujudnya pemerintahan yang cerdas, bijak, dan menjunjung tinggi syura. Sehingga bersama-sama rakyat secara bertahap dapat mengatasi masalah-masalah yang ada.

4) Tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Sumber daya alam kita khususnya dan faktor-faktor ekonomi secara umum sangat mendukung, tinggal pengelolaannya yang cerdas dan sesuai nilai0nilai Islam.

5). Memasyarakatnya nilai-nilai etika dan adab (akhlakul karimah), dan terealiensasinya model-model akhlak yang tercela.

6). Terpenuhinya perasaan at home bagi umat non-muslim, karena merasa diperlakukan secara adil dan lebih baik hidup di bawah sistem sosial Islam.

7) Terangkatnya wibawa serta nilai dakwah, dan hidupnya semangat beramar ma'ruf-nahi munkar di masyarakat.

Ketujuh hal tersebut harus menjadi isu-isu sentral pada tahap kristalisasi ide dan konsep.

2. Penerangan dan sosialisasi
Proses penerangan dan sosialisasi ini ditempuh baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kepada kalangan muslimin yang sudah punya semangat ke arah pelaksanaan syariat maupun mereka yang masih menyimpan suatu keraguan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dakwah dengan variasi bahasa hikmah/pencerahan, mau'izhah hasanah dan diskusi mengupas sisi-sisi yang masih perlu dikristalisasikan dan diklarifikasikan lebih jauh sesuai batasan pelaksanaan syariat yang telah dirumuskan.

Sosialisasi eksternal akan menekankan bahasa pencerahan dan diskusi/dialog untuk mengeleminasi kerancuan-kerancuan yang ada seputar isu aplikasi syariat. Perlu dipersiapkan secara khusus sosialisasi kepada umat non-muslim, agar sekalipun tidak mendukung minimal tidak merintangi dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang menghantui. Tidak kurang pentingnya mempersiapkan dialog khusus dengan dunia kampus, kalangan nasionalis atau sekuler. Semua itu untuk sosialisasi pada level masyarakat, sedang pada level kelembagaan formal tema-tema sosialisasi disesuaikan dengan posisi dan peran kelembagaan yang bersangkutan dalam konteks aplikasi syariat secara total dan formal.

3. Afirmasi dan Ekstensi
Pemahaman dan pengamalan syariat pada tingkat individu dan rumah tangga relatif sudah berjalan secara linear. Secara kuantitatif barangkali masih sebagian kecil yang memenuhi standar kewajiban, dan secara kualitatif mayoritas nampak masih belum beranjak dari level ritual seremonial.

Pada tingkat perilaku sosial masih banyak kelemahan. Hal ini akibat masih lemahnya mutu pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat, begitupun dengan kualitas da'wah Islam yang secara umum belum memiliki pola dan sistimatika yang maju.

Betapapun kondisi yang ada harus dijadikan modal yang bisa diafirmasi dan berkembang meningkat seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan dan dakwah. Selain mempertajam realisasi asas integrasi antara ketiga aspek kognitif, apektif, dan motorik, pendidikan dan dakwah hendaknya lebih sungguh-sungguh menampilkan sosok-sosok keteladanan dan membina milieu yang kondusif. Dalam kaitan ini akan dapat membantu jika usaha pendidikan dan dakwah mencanangkan kualitas-kualitas yang hendak dicapai, misalnya:

- Sasaran pembinaan pribadi muslim yang berkualitas : Lurus akidahnya, benar ibadahnya, kuat / sehat fisiknya, cukup wawasannya, mampu bekerja/aktualisasi diri tanpa bergantung kepada orang lain, bisa membina diri, mencermati waktu, teratur dalam urusannya, dan berguna bagi sesamanya.

- Sasaran pembinaan keluarga: mempunyai persepsi yang islami tentang pasangan hidup yang ideal, mengetahui serta memenuhi hak dan kewaiban suami-isteri dan sesama anggota keluarga, terpeliharanya etika Islam dalam semua wajah kehidupan rumah tangga, mampu mendidik anak dan pembantu sesuai prinsip dan nilai-nilai Islam, dan mampu membawa keluarganya sebagai keluarga dakwah serta contoh bagi lingkungannya.

- Sasaran pembinaan lingkungan: tersiarnya nilai-nilai yang baik, teralienasinya nilai-nilai yang tidak baik, terbinanya publik opini yang Islami dan wajah kehidupan sehari-hari yang etis, tingginya apreasiasi terhadap da'wah dan semangat beramar ma'ruf nahi munkar.

Dalam ungkapan lain, suatu target kebangkitan moral niscaya didahului oleh kebangkitan spiritual, dan diawali dengan suatu kebangkitan ilmu dan intelektual di masyarakat melalui pendidikan dan dakwah.

4. Legalisasi
Upaya legalisasi aspek-aspek syariat yang hendak diaplikasikan secara positif bagi Al-Qaradhawi merupakan realisasi fungsi advokas (himayah) sebagai bagian dari fungsi masyarakat terhadap nilai-nilai Islam yang dianutnya. Urutannya setelah fungsi sosialisasi dan afirmasi. Fungsi advokasi ini dijalankan melalui dua jalur:
1). Jalur kontrol terhadap opini publik agar tetap berada dalam koridor mendukung yang ma'ruf dan menolak yang munkar.
2). Jalur legalisasi, baik untuk mencegah kemunkaran sebelum terjadi maupun memberantasnya setelah terjadi.

Langkah legalisasi sedemikian penting, tidak bisa diwakili oleh langkah konstitusionalisasi sekalipun. Sebagal contoh soal, Mesir yang sudah lama melakukan konstitusionalisasi syariat, belum juga merealisasikan pelaksanaannya secara menyeluruh, karena upaya legalisasi (taqnin) selalu kandas di tengah jalan. Demikian hal dengan Tap MPR seperti GBHN bisa dianggap tidak dengan sendirinya operasional sebelum dibuat Undang-Undang pelaksanaannya.

Untuk ini organisasi-organisasi massa dan politik Islam, bersama-sama pemikir dan cendekiawan muslim, berkewajiban mendorong dan memberi input konseptual yang diperlukan. Kalaulah kebiasaannya proses legalisasi berjalan secara top-down, maka untuk pelaksanaan syariat perlu dicoba pendekatan bottom -up.

5. Institusionalisasi
Setelah legalisasi berhasil ditempuh, dengan sendirinya diikuti dengan pelembagaan eksekusinya sesuai perintah Undang-Undang atau Peraturan Pelaksanaannya. Tetapi, di luar institusi pemerintah yang bekerja sesuai perintah legislasi, lembaga-lembaga sosial non pemerintah milik umat harus menjadi mitra yang proaktif bahkan jika dimungkinkan lebih aktif dari lembaga pemerintah. Di negara-negara maju lembaga-lembaga swasta peranannya lebih luas dan lebih besar, dan lembaga pemerintah berfungsi sebagal fasilitator.

Lain dari pada itu yang lebih penting dari formal adalah kinerjanya, dan hal ini terkait dengan kualitas Sumber Daya Mnusia yang mengisinya. Dalam hubungan ini organisasi dan lembaga milik ummat perlu antisipatif terhadap kebutuhan SDM berkualitas tersebut dan turut aktif mengisinya.

D. Penutup

Kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi setiap pemeluknya merupakan aksioma agama dan keberagamaan. Tetapi jika hanya diserahkan pada keimanan dan kesadaran moral, pelaksanaannya tidak akan melebihi taraf suka-rela dan bersifat individual belaka. Pengamalan Islam secara behavioral dan kultural, tanpa dukungan otoritas legal formal, tidak cukup mampu membawa kepada pengamalan yang kaffah sebagaimana diperintahkan. Karena itu seperti dirawikan dari Utsman bin Affan: "Allah niscaya menundukkan dengan kekuasaan negara apa-apa yang tidak dapat ditundukkan dengan Al-Qur`an."

Pelaksanaan syariat secara behavioral, kultural, dan legal formal, merupakan tugas dan target dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Pencapaian semua itu memerlukan kesatuan tekad (tauhid anniyyah), kesamaan ide dan konsep (tauhid al-fikrah), dan kesatuan langkah (tauhid al-amal) antara komponen umat. Dan untuk keperluan ini perlu direkomendasikan hal-hal berikut :

1. Meredusir pertentangan khilafiah di kalangan ulama dan pertentangan politis antara pemimpin komponen umat, dengan merumuskan dan menajamkan visi bersama dan suatu kerangka kerja sama.

2. Memperkokoh ikatan sosio-kultural dan politis antardaerah untuk meredam potensi disintegrasi yang menggejala akibat kesalahan-kesalahan politis yang kontra produktif. Masih diyakini bahwa tiada pengikat yang kuat bagi Kaum Muslimin daripada ikatan iman Islam, dan tidak ada kepentingan yang lebih besar daripada pelaksanaan ajaran Islam, bila mana hal itu telah difahami dan disadari. Allahu almuwafiq ila aqwamith-thariq.

Islam dan Politik

Oleh: Dr. Yusuf Al-Qardhawy

Para imperialis dan kaki tangannya terus berusaha untuk menanamkan satu pemikiran bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan politik dan negara. Sementara pada saat yang sama orang-orang yang hendak melakukan pembenahan yang dipelopori Ustadz Hasan Al-Banna, juga berusaha mati-matian untuk mengajarkan "Universalitas Islam", atau dengan istilah lain, untuk mengembalikan kepada mereka apa yang sudah ada dan ditetapkan selama tiga belas abad sebelum ini, tepatnya sebelum masuknya rnissi imperialisme dan invasi pemikiran ke negeri mereka. Artinya, Islam meliputi seluruh sisi kehidupan manusia, dengan syariat dan petunjuknya, yang secara vertikal dimulai semenjak dia dilahirkan hingga meninggal, bahkan sebelum dia dilahirkan dan setelah dia meninggal. Sebab di sana ada hukum-hukum yang berkaitan dengan janin dan hukum-hukum yang berkaitan dengan manusia setelah meninggal dunia. Adapun secara horizontal, Islam menunjuki orang Muslim dalam kehidupan individualnya, keluarga, sosial dan politiknya, dari adan istinja' hingga ke penerapan hukum serta hubungan antara perdamaian dan perang.

Hasil dari jihad ini jelas sekali, yaitu adanya pijakan yang luas untuk mengamankan universalitas dan seruan kepada Islam, akidah maupun syariat, agama maupun daulah, yang berlaku untuk semua wilayah Islam. Kembalinya orang-orang yang menjadi mangsa invasi pemikiran yang sengaja dilancarkan orang-orang Barat dan munculnya shahwah Islam yang memadukan pemikiran dan politik, telah membalik timbangan kekuatan. Keadaan ini memaksa pihak asing yang datang dari Barat maupun Timur berusaha menyelenggarakan berbagai seminar, konggres dan studi fenomena Islam yang dianggap berbahaya ini, dengan dukungan dana yang melimpah. Menurut Ustadz Fahmy Huwaidy, pertemuan serupa yang mereka selenggarakan sejak beberapa tahun belakangan ini mencapai seratus dua puluh kali atau bahkan lebih.

Inilah yang mendorong para kaki tangan Barat dan budak pemikiran mereka berusaha menghentikan fajar yang akan menyingsing atau matahari yang akan terbit. Mereka ingin mengembalikan roda sejarah kembali ke belakang, ke masa gencar-gencarnya imperialisme, sambil berseru, ”Tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik." Mereka ingin mengembalikan keadaan ini hingga ke akar-akarnya. Padahal era itu sudah berlalu sekitar setengah abad yang lampau. Sehingga para budak Barat itu disebut "Orang Muslim yang perlu dikasihani", yang tidak mengenal Islam kecuali lewat kaca mata masa imperialisme, Islam seperti yang dilihat para ahli fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits dan teologi yang berkembang di setiap madzhab, yang hanya berkutat pada kitab thaharah hingga ke jihad, yang membahas Islam sebagai akidah dan syariat, Islam AI-Qur'an dan Sunnah, yang juga disebut Islam politik. Namun dengan model Islam ini mereka ingin membuat manusia alergi terhadap politik, karena memang banyak orang di negeri kita yang alergi terhadap hal-hal yang berbau politik. Sebab tidak jarang dunia politik hanya mendatangkan bencana dan kesulitan bagi mereka.

Lalu apa akal kita jika memang Islam sebagaimana yang disyariatkan Allah adalah sesuatu yang berbau politik? Apa akal kita jika Islam seperti yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak ingin membagi kehidupan dan manusia antara Allah dan kaisar? Bahkan dengan lantang Islam menegaskan bahwa Kaisar, Kisra, Fir'aun dan semua raja di bumi harus menjadi hamba bagi Allah semata.

Ada seorang penulis yang menghendaki agar kita berlepas diri dari Kitab Rabb kita, Sunnah Nabi kita, ijma' umat kita, petunjuk warisan peninggalan kita, agar selanjutnya kita menciptakan Islam modern, pasrah kepada para pemimpin dunia yang ada di seberang lautan. Dia menghendaki "Islam rohani" atau "Islam ala pendeta", yang cukup hanya dengan membaca AI-Qur' an di sisi orang yang sudah mati bukan dibacakan kepada orang yang hidup, memohon barakah ke tembok-tembok yang dihiasi ayat-ayat AI-Qur'an, atau AI-Qur'an itu hanya cukup dibacakan pada awal pertemuan, sepotong dua potong ayat-ayat yang mudah dibaca, kemudian menyerahkan kepada Kaisar agar menetapkan hukum semaunya serta berbuat semaunya.

Islam yang disebutkan di dalam AI-Qur' an dan Sunnah, yang dikenal umat salaf maupun khalaf adalah Islam yang saling melengkapi dan utuh, tidak menerima pemilahan, yaitu Islam yang bermuatan rohani, akhlak, pemikiran, pendidikan, jihad, sosial, ekonomi dan politik. Semua sektor tercakup di dalamnya, karena Islam mempunyai tujuan dalam semua sektor itu, yang juga menyertainya dengan hukum dan petunjuk.

AI-Imam Hasan AI-Banna berkata tentang hubungan agama dengan politik, "Tentunya engkau jarang menemukan orang yang berbicara tentang politik dan Islam. Kalau pun ada, paling banter dia menyajikan sedikit uraian antara keduanya, lalu meletakkan masing-masing pada dua makna yang berdiri sendiri-sendiri, karena memang keduanya tidak pernah bertemu dan berkumpul menjadi satu menurut pandangan orang banyak. Oleh karena itu organisasi semacam ini disebut organisai Islam nonpolitis, atau organisasi keagamaan di luar politik. Sehingga tidak jarang dalam butir- butir aturan berbagai macam organisasi Islam ditemukan satu poin yang berbunyi: "Organisasi tidak akan bersinggungan dengan masalah politik."

Sebelum memaparkan lebih jauh tentang pandangan ini, kami ingin mengalihkan pandangan ke dua masalah yang penting, yaitu:
1. Ada perbedaan yang jauh antara partai dan politik. Kadang keduanya bertemu dan kadang berpisah. Seseorang bisa disebut politikus dengan segala pengertian yang terkandung di dalam kata ini, tanpa ada kaitannya sedikit pun dengan suatu partai. Seseorang bisa disebut partisan (aktivis atau pengikut partai) dan sama sekali tidak mengenal politik. Dua sebutan ini bisa berkumpul menjadi satu, sehingga seseorang disebut politikus dan partisan atau partisan politikus. Kalau kami berbicara tentang politik, maka yang kami maksudkan adalah politik secara mutlak, yaitu pandangan tentang kondisi internal dan eksternal umat, tanpa terkait dengan partai, dalam keadaan bagaimana pun.
2. Tatkala orang-orang non-Muslim tidak mengetahui Islam, atau mereka bisa menyadari masalah Islam, keberadaannya di dalam jiwa para pemeluknya, kemantapannya di dalam sanubari orang-orang Mukmin, kesiapan setiap orang Muslim untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, memang mereka tidak berusaha melukai jiwa orang-orang Muslim dengan nama Islam, penampakan dan penampilannya, tetapi mereka justru berusaha membatasi maknanya dalam lingkup yang sempit, sehingga tidak ada lagi artinya sisi-sisi yang kuat dan praktis yang terkandung di dalamnya. Maka setelah itu muncul sebutan-sebutan kosong melompong bagi orang-orang Muslim, yang sama sekali tidak bermanfaat dan tidak bisa mengenyangkan perut yang sedang kelaparan. Dengan begitu mereka memberikan suatu pengertian bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah sosial adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah undang-undang adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu dan masalah peradaban secara umum adalah sesuatu yang lain, bahwa Islam adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari urusan politik.

Tolong beritahukan kepadaku wahai ikhwan tentang Rabb kalian, jika Islam merupakan sesuatu di luar politik dan di luar masalah sosial, ekonomi dan peradaban, lalu Islam macam apakah itu? Apakah Islam itu berarti rakaat-rakaat yang tanpa disertai hati, ataukah hanya sekedar untaian kata seperti yang dikatakan Rabi'ah AI-Adawiyah: Istighfar yang membutuhkan istighfar berikutnya. Untuk inikah AI-Qur'an diturunkan sebagai tatanan yang komplit, penuh kandungan hukum yang pasti dan terinci wahai Ikhwan? Sementara Allah telah befirman,
"Dan Kami turunkan kepadamu AI-Kitab (AI-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (An-Nahl: 89).

Pengertian yang rendah tentang pemikiran Islam dan pembatasan sempit yang diberikan terhadap makna Islam ini, sengaja diupayakan musuh-musuh Islam untuk mengungkung orang-orang Muslim, lalu mereka tinggal tertawa-tawa jika orang-orang Muslim berkata, "Kami telah meninggalkan kebebasan agama demi kalian. Undang-undang juga telah menetapkan bahwa agama negara yang resmi adalah Islam. "

Kami sampaikan secara lantang dan gamblang dari atas rnimbar ini wahai Ikhwan, bahwa Islam tidak seperti pengertian ini, tidak seperti yang dikehendaki para kaki tangan musuh-musuh Islam, dengan cara mengebiri dan membatasinya. Islam adalah akidah dan ibadah, negara dan kebangsaan, keluwesan dan kekuatan, akhlak dan materi, peradanan dan undang- undang. Dengan status ke-Islamannya, setiap orang Muslim dituntut membantu setiap urusan umat. Siapa yang meremehkan urusan orang- orang Muslim, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang Muslim.

Kami yakin, orang-orang salaf di antara kita memahami Islam seperti pemahaman ini. Dengan pemahaman seperti ini mereka menetapkan hukum, demi Islam mereka berjihad, di atas landasannya mereka bermu'amalah, dalam batasan-batasannya mereka menyusuri setiap urusan kehidupan yang praktis sebelum menyusuri urusan akhirat dan rohani. Semoga Allah merahmati khalifah yang pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berkata, "Andaikata ada tali onta yang hilang dariku, tentu aku bisa mendapatkan hukumnya di dalam Kitab Allah."

Seorang sejarawan yang handal, Dr. Dhiya 'uddin Ar -Rais berkata di dalam bukunya, An-Nazhariyyatus-Siyasiyah AI-Islamiyah, "Di sana tidak ada keraguan bahwa tatanan (daulah) yang didirikan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dan orang-orang Mukmin yang bersama beliau di Madinah, jika dilihat sisi penampakannya secara praktis, lalu diqiyaskan dengan politik pada zaman sekarang, maka tatanan itu bisa disebut politik, dengan seluruh pengertian yang terkandung di dalam kata ini. Namun pada saat yang sama juga berorientasi agama, jika pertimbangannya tertuju kepada tujuan, pendorong dan landasan spiritualnya. "

Jadi pada saat yang sama suatu tatanan (daulah) bisa disifati dengan dua sifat, sebab hakikat Islam itu bersifat universal, menghimpun segala masalah dari dua sisi, material dan spiritual, meliputi amal manusia di dunia dan di akhirat. Bahkan filsafatnya bersifat umum, mengakomodasikan antara keduanya, tidak mengenal perbedaan di antara keduanya kecuali hanya dari sisi pandang, tapi dari segi dzatnya tetap menjadi satu paduan yang tak terpisahkan. Hakikat tabiat Islam ini sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut atau bukti penguat, yang bisa dilihat dari hakikat-hakikat sejarah dan merupakan keyakinan orang-orang Muslim di setiap masa pada zaman dahulu. Masalah ini sudah diketahui para orientalis, sekalipun mereka tidak berdekatan dengan lingkungan Islam.

Justru di sana ada segolongan orang dari para pemeluk Islam, yang menyebut dirinya sebagai "Mujaddid" (Pembaru) yang terang-terangan mengingkari hakikat ini. Mereka menyatakan bahwa Islam hanya sekedar dakwah agama.
Dengan kata lain, Islam hanya sekedar suatu keyakinan atau hubungan spiritual antara seseorang dengan Tuhannya, tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan material di dalam kehidupan dunia ini, seperti urusan perang, pengaturan harta benda, terlebih lagi politik. Di antara perkataan mereka, "Sesungguhnya agama adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain."

Untuk menyanggah perkataan mereka ini, tidak tepat jika ,kami menukil pendapat para ulama Islam. Karena cara ini tidak membuat mereka merasa puas terhadap pendapat para ulama itu. Kami juga tidak akan menyodorkan hakikat-hakikat sejarah, karena dengan sikap angkuh mereka mengecilkan hakikat-hakikat ini. Tapi kami cukup menghadirkan sejumlah pernyataan para tokoh orientalis berkaitan dengan masalah ini. Mereka telah menjelaskan pendapatnya lewat ungkapan-ungkapan yang jelas dan pasti. Sebab para pembaru ini tidak mungkin mengaku bahwa mereka lebih dapat dipercaya dalam konteks zaman modern, dan tidak lebih hebat dalam penggunaan metode pengkajian kontemporer serta ilmiah. Inilah di antara pendapat para orientalis itu.

1. Dr. V. Fitzgerald berkata, "Islam bukan hanya sekedar agama (A Religion) , tetapi ia merupakan tatanan politik (A Political system). Sekalipun pada dekade belakangan ini muncul beberapa orang Islam, yang biasa disebut " Modernis " , berusaha memisahkan dua sisi ini, tetapi semua pemikiran Islam telah membangun suatu landasan bahwa dua sisi ini saling bertautan, yang satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lain.”
2. C.A. Nallino berkata, "Pada waktu yang sama Muhammad telah membangun agama (A Religion) dan daulah (A State). Batasan-batasan di antara keduanya saling berdampingan selama hidupnya."
3. Dr. Schacht berkata, "Karena Islam itu dipahami lebih dari sekedar agama, maka ia juga menggambarkan teori-teori hukum dan politik. Dari sejumlah pendapat menyatakan bahwa ia adalah tatanan peradaban yang komplit, mencakup agama dan daulah secara berbarengan.”
4. R. Strothmann berkata, "Islam adalah fenomena agama yang berwawasan politik. Sebab pendirinya adalah seorang nabi dan sekaligus seorang politikus yang bijak, atau disebut pula seorang negarawan."
5. D. B. Macdonald berkata, "Di sana (di Madinah) berdiri negara Islam yang pertama dan di sana diletakkan dasar-dasar pemerintahan untuk undang-undang Islam."
6. Sir T. Arnold berkata, "Pada saat yang sama, nabi adalah seorang pemimpin agama dan pemirnpin negara. “
7. Gibb berkata, "Dalam keadaan seperti itu nyatalah bahwa Islam bukan sekedar keyakinan agama secara individual, tetapi ia mengharuskan berdirinya sebuah masyarakat yang merdeka, mempunyai tatanan tersendiri dalam hukum, undang-undang dan sistem secara khusus."
Siapa yang belum merasa puas dengan pernyataan orang-orang Barat ini, berarti dia layak disebut orang yang sombon

Thursday, June 7, 2007

Membangun Peradaban Islam III

Problem pendidikan Islam

Selain problem keilmuan yang berasal dari masuknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat Islam juga memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama adalah lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang mapan.

Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah, sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir dari pandangan hidup Islam.

Oleh sebab itu, klassifikasi ilmu yang dicanangkan al-Ghazzali yang berupa farÌu ‘ayn dan farÌu kifaiyah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu farÌu ‘ain dapat diartikan sebagai compulsory subject bagi mahasiswa atau pelajar Muslim yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya. Tingkat universitas misalnya Tafsir, hadith, syari’ah, teologi (ilmu Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu farÌu ‘ain. Ilmu FarÌu KifÉyah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama, kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb. Pembagian ilmu faÌu ‘ayn dan farÌu kifayah ini tidak perlu difahami secara dikhotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam perspektif kesatuan integral atau tawhidi, di mana yang pertama merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.

Tapi masalahnya dalam kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu farÌu ‘ayn yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu farÌu ‘ayn dan farÌu kifayah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan konsep ilmu (epistemologi).

Untuk mengidentifikasi problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam.

Sistem pendidikan pesantren
Pesantren di Indonesia terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh fi al-din, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara kurikuler dalam bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut “ilmu pengetahuan umum”. Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu farÌu ‘ayn terpaksan mengorbankan ilmu farÌu kifayah dalam pengertian ‘ulum al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu fardhu ‘ayn dengan kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap kajian disiplin ilmu fardhu kifayah di lembaga pendidikan Islam lainnya atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren tradisional takhashush pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku, sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardu ayn dan farÌu kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak ada, kajian ‘ulum al-’aqliyyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu farÌu ‘ayn dan farÌu kifayah tidak nampak jelas, bahkan ilmu farÌu kifayah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.

Pesantren modern yang memahami tafaqquh fi al-din dalam bentuk gabungan ilmu farÌu ‘ayn dan farÌu kifayah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan merupakan hasil integrasi ‘ulum al-naqliyyah dan ‘ulum al-’aqilyyah yang didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu fardhu ‘ayn dan fardhu kifayah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan dikhotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabadi’ al-’ulum (ilmu-ilmu kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asatidzah-nya.

Sistem Pendidikan Madrasah

Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus. Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan tertentu yang memisahkan ilmu farÌu ‘ayn dan ilmu farÌu kifayah dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang “ilmu-ilmu agama” masih tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang “ilmu-ilmu umum” pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.

Sistem Perguruan tinggi Islam

Terlepas dari peran kemasyarakat yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional disebut khawash dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang, kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha untuk menghidupkan program Ma’had ‘aly sebagai lanjutan pendidikan pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.

Jenjang pendidikan tinggi dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas agama (fardhu ‘ayn) tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi fakultas-fakultas umum (fardhu kifayah), ia justru dimarjinalkan.

Membangun Peradaban Islam I

Membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam dimasa lalu, kedua, memahami kondisi ummat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas di atas, dimana telah digambarkan mengenai cara-cara bagaimana kejayaan peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan yang kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman. Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.

Kondisi Ummat Islam

Setelah perang dunia kedua banyak negara Islam yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang telah hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa ini masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn Khaldun ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak dan sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan figur-figur pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang sains seperti pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf dunia, peraih hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an dan Hadith yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:

Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga?

Jadi, secara optimistik sejatinya kondisi ummat Islam secara umum pada dekade ini tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap introspektif maka akan kita temui bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi seperti, apalagi mengungguli, prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini lebih banyak menguasai ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Berikut ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti ummat Islam saat ini dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk segera diambil dalam rangka membangun peradaban Islam.

Identifikasi Masalah Umat

Salah satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi ummat.

Jika digambarkan secara umum pemikiran pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka akan kita dapati beberapa kelompok. Pertama, Kelompok cendekiawan yang berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la al-Maududi dan sebagainya;

Kedua, kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman ulang ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Di antara kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru yang ada di Barat.

Ketiga, kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839) hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan sebagainya. Mereka menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik untuk membangkitkan ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan ilmu teknik, yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.

Keempat, adalah kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb. di antara tokohnya adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.

Keempat trend pembaharuan tersebut tidak dapat dipahami secara rigid, artinya kelompok yang menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok. Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.

Tidak sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia menyatakan :

Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.

Apa yang disimpulkan oleh al-Attas di atas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.

Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.

Jadi tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan dijelaskan problem ekternal dan internal sekaligus.

Membangun Perdaba Islam II

Tantangan Pemikiran dan Dampaknya

Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa. Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pemnbentukan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.

Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan pluralisme agama adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia. Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban Barat modern dan postmodern berikut diagram tentang modernisme dan postmodernisme.



Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio - dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Istilah-istilah yang digunakan adalah murrni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid, tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru).

Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah “menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya” kemudian diperkuat dengan idenya tentang “liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam” dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.

Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga, sekularisasi adalah proses penduniawian. Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia dan tinggi serta harus dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya memuliakan dan mennggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat (kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan.

Sekularisasi justru mendorong orang untuk tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.

Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisisme (secularizationism).
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis berjudul “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Latar belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama dilingkungan IAIN.

Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah. Asumsinya bahwa teologi ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah teologi rasional Mu’tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash’ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash’ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu’tazilah.

Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa, peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari al-Ma’mun pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:

But with his ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science and scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The best work of translation was done during his regn. He was generous patron of scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under alk-Mutawakkil.

Kritiknya terhadap teologi Ash’ari yang hanya difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan terhadap teologi Mu’tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam Rasional yang berjudul :”Masalah Akal dan Akhlak” ia tidak menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berfikir rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu dan kita hampir tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan keduanya secara teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih dalam tingkat gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut sebagai Neo-Mu’tazilah.

Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persmaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan orientalis di Barat.

Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam dengan pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal, kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat. Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam. Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.

Walhasil, Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang menekuni khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadahi untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung mengkopi konsep-konsep Barat modern dan postmodern. Kerancuan di sana sini tidak dapat dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu yang di miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat. Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang lain akan ikut dengan sendirinya.

Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih menghadapi problem internalnya.

Tuesday, June 5, 2007

Makna Peradaban Islam


By: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi

Islam yang diturunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata din itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah din itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.
Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi, Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawa’) ditolak dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek “sa uhajim al-ruum min uqri baiti” (Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ketangan Alexander the Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun 711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim. Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh lima faktor: pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh Lombards; ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat.
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai din yang menghasilkan tamaddun yang dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek surat Nabi sambil berkata :”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku”, Nabi pun berkomentar pendek “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa sesudah itu putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi, Nabi tidak keluar rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia. Nabi hanya menyerbarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki konsep ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umran besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umran bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tauhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam, Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview bagi kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”. Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu. Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn . Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains. Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-Islami, al-mabda al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut din, yang di dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami Nahzariyat (Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur al-Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep ‘ilm yang dalam al-Qur’an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashab al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah, Abu Dzarr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abd Allah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad ibn al-hanafiyyah (w.81/700), Umar ibn ‘Abd al-’Aziz (w.102/720) Wahb ibn Munabbih (w.110,114/719,723), Hasan al-Bashri (w.110/728), Ja’far al-Sidiq (w.148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al-Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari konsep ‘Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual. Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris (fara’idh), geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi (’umran) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban (hadharah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.