Sunday, January 31, 2010

Menjadi Muslim Indonesia Renungan Pikir Dzikir di Penghujung Akhir Tahun (Refleksi Seorang Anak Kepulauan Indonesia)



Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian kita menyebut dengan bangga nama Negara ini. Kita menyebut kata “kesatuan” sebuat isyarat bahwa walau berbeda agama, adat, budaya, dan bahasa, tapi kita terikat dalam satu rasa nasionalisme yang sama; rasa cinta terhadap tanah air, tumpah darah kita. Kita bersatu karena kita punya kesatuan sejarah yang sama; bersama kita pernah menumpas para penjajah, bersama kita membangun bangsa, bersama kita mempertahankan keutuhan bangsa. Maka mari kita berproklamasi “Aku bangga jadi orang Indonesia”.
Islam, begitu Allah Tuhan kita menyebut nama agama ini. Sebuah agama yang dari makna namanya sendiri membawa pesan keadamaian dan perdamaian bagi seluruh ummat manusia. Sebuah agama yang selalu menyadarkan pentingnya kasih sayang dan keadilan. Sebuah agama revolusioner yang mampu merubah jarum jam sejarah. Sebuah agama yang pertama kalinya dalam sejarah melakukan perang untuk membela hak-hak orang miskin. Maka mari kita lantang berkumandang“ Kita bangga jadi seorang muslim”.
Muslim, begitu Allah memanggil kita. Begitu indah bukan. Nama itu, sungguh sarat dengan pesan-pesan kebaikan dan perbaikan. Muslim adalah sebuah sikap moral yang selalu tunduk kepada nilai-nilai Tuhan. Ketundukan itu bersifat aktif dan secara kreatif bekerja dalam diri kita untuk selalu tampil sebagai sosok manusia yang selalu tampil menawan, karena kita selalu diperintah dan dibimbing agar selalu menebar kebaikan. Muslim adalah rahmat bagi seluruh alam.
Kita paham bahwa menjadi seorang muslim punya tanggung jawab kesejarahan yang sangat besar. Di pundak kita ada amanat besar untuk memanusiakan manusia agar potensi kebinatangannya tidak menjadi raja dalam dirinya. Kita sadar harus menyadarkan para manusia bahwa struktur dan komposisi diri kita bukan hanya sekedar materi. Tapi ada ruh yang ditiupkan oleh Tuhan. Bahkan ruh itulah yang menjadi pusat dan inti atom manusia. Maka idzinkan aku berfilosofis bahwa kata “Aku” bila kita sebut, sesungguhnya tidak merujuk pada potensi fisik kita yang aktual tapi merujuk pada inti spritual kita yang walaupun tidak kasat mata tapi dia sangat eksistensial. Sungguh nilai kemanusiaan kita diukur menurut nilai dan kualitas rohani kita. Bukan realitas fisik yang bersifat relatif bahkan manifulatif.
Menjadi seorang muslim di Indonesia berarti memiliki tanggung jawab yang besar terhadap negara ini. Seorang muslim harus menjadi manusia unggul dan dan berkualitas. Masa depan bangsa ada di tangan kita. Secara historis kenyataan itu memiliki bukti sejarah yang tidak akan pernah terbantahkan. Bukankah sejarah Indonesia modern dihantarkan oleh umat Islam, dengan tokohnya Dr. Mohammad Natsir yang terkenal dengan mosi integralnya yang berupaya untuk menyatukan seluruh kepuluan Nusantera dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Sungguh kitalah yang paling berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap arah perjalanan bangsa.
Menjadi seorang muslim Indonesia haruslah seorang pribadi yang memililiki ilmu dan kecakapan ilmiah yang hebat. Sebagai sebuah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mak tidak layak jika seorang muslim menjadi orang yang terbelakang dalam ilmu dan pendidikan. Islam tak pernah berhenti memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencintai dan menuntut ilmu. Bahkan dalam pandangan Islam, orang yang berilmu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada orang yang hanya pandai ibadah tapi tidak berilmu.
Dengan ilmu, wawasan dan keterampilan yang luas, kita akan mampu menemukan dan mengidentifikasikan inti masalah yang menggerogoti bangsanya. Seorang muslim harus mampu menjadi problem solver. Seorang muslim mestilah seorang pahlawan. Bukan pecundang.
Menjadi seorang muslim Indonesia berarti kita tidak boleh berasyik masyuk dan menikmati iman kita sendiri. Harus ada proyek “imanisasi” yang mesti kita jalankan. Agar dengan program “imanisasi” tadi terbentuk sistem kekebalan kolektif yang bisa menghindarkan penduduk negeri ini dari virus-virus yang bisa mematikan fitrahnya. Harus ada kesadaran serius dari seluruh anak bangsa untuk mempertahan kesadaran primordialnya sebagai seorang hamba Allah. Seorang muslim tidak boleh menutup mata dengan lingkungan sekitarnya. Iman yang benar adalah iman yang menciptkan rasa sensitifitas hati yang tinggi, peka, empati,dan simpati terhadap lingkungan sekitar. Dalam Islam kualitas iman harus berbanding lurus dengan amalan sosialnya (QS. al-Ashri:1-5). Itulah sebabnya seorang muslim harus segera menceburkan dirinya ke jantung pusat persoalan dan kemudian dengan gagah dia berjihad dan berjuang menyelasaikan krisis dan problem yang membelit bangsa ini. Sungguh takdirmu adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam
Muslim yang terbaik adalah yang paling banyak memberi manfaat, begitu pesan Sang Nabi. Tugas menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran harus menjadi bagian integral dalam seluruh struktur aktivitasnya. Untuk itu jangan kita biarkan penduduk bangsa ini potensi kebinatangannya menjadi aktual persis seperti yang dipertontonkan oleh para pejabat korup yang tidak punya moral. Kita tidak boleh membiarkan didemontrasikannya prilaku-prilaku yang amoral yang akan menciptakan krisis spiritual yang akhirnya akan berakibat pada hancurya masa depan bangsa ini. Bagi seorang muslim merupakan sebuah pengkhianatan terhadap fitrah jika dia membiarkan segala angkara murka merajalela di atas persada tanah Air. Sungguh seorang muslim memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga fitrah bangsa ini agar tetap suci. Jangan lagi ada jiwa-jiwa yang keruh.
Menjadi seorang muslim indonesia memang tidak mudah karena persoalan yang melilit bangsa ini sangat begitu banyak dan menghantam seluruh sendi bangunan bangsa. Bukan hanya sekedar krisis ekonomi. Tapi, juga krisis-krisis yang lain, salah satunya adalah krisis spritual dan moral. Bahkan krisis inilah yang menjadi muara yang kemudian menciptakan krisis kepemimpinan dan krisis-krisis lainnya.
Sebagai seorang muslim yang memegang tampuk kekhalifahan di muka bumi, dia memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk selalu menata dan memperbaiki dunia. Khususnya di tengah-tengah bangsanya maka amanah di pundak kita tak lain dan tak bukan kecuali menata kembali taman Indonesia. Mari kita tata taman ini dengan wejangan-wejangan Tuhan. Tentu langkah pertama kita mulai dari diri kita sendiri. Mari kita selalu merekontruksi struktur kepribadian kita sehingga lebih baik dan memenuhi kategori sebagai manusia paripurna dengan menjadikan Nabi sebagai tokoh idola dan alter ego kita.
Maka urutan-urutan penanganan dari semua krisis adalah mulailah dari diri kita sendiri. Kata ‘diri” merujuk pada inti kepribadian kita; jiwa. Maka berilah gizi kita kita sesuai dengan petunjuk Tuhan. Sungguh hanya Sang Penggenggam-nyalah yang paling tahu apa yang paling tepat bagi jiwa-jiwa kita yang mungkin sedang sakit.
Mereformasi jiwa kita merupakan titik tolak kebangkitan. Begitu kita selesai, segerahlah pergi memperbaiki keluarga, masyarakat dan negara.

Struktur hidup ini hanya tiga
Manusia, Waktu dan Tanah
Manusia adalah pelaku
Waktu adalah dimensi ambang batas sejarah
Tanah adalah medan persemaian kesejarahan kita
Sungguh Manusialah yang paling penting dari ketiganya
Karena kata Tuhan “Aku Angkat Kamu sebagai khalifah”
Dan jiwanya yang agung adalah inti kehidupannya
Jika jiwa mati maka matilah
Jika jiwa hidup maka hiduplah
Begitu kata Sang Nabi dalam sabdanya

No comments: