Wednesday, May 4, 2011

KEUTAMAAN ILMU PRASYARAT REKONTRUKSI PERADABAN ISLAM




مُسْلِمٌ رَوَاهُ. الجَنَّةِ إِلَى طَرِيْقًا لَهُ اللهُ سَهَّلَ عِلْمًافِيْهِ يَلْتَمِسُ طَرِيْقًاسَلَكَ وَمَن:قَالَ اللهِ رَسُوْلَ أَنَّ هُرَيْرَةَ أَبِى عَنْ
“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

A. Tafsir Ijamli
Ketiga hadits tersebut menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan pengaruh serta dampaknya yang baik. Hadits pertama yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda:“Dan barang siapa menempuh satu jalan utk mendapatkan ilmu maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga”. Para ulama menafsirkan bahwa makna “Menempuh Jalan” disini mencakup
1. Jalan secara indrawi: yaitu jalan yg dilalui kedua kaki seperti sesorang pergi dari rumahnya menuju tempat utk menimba ilmu baik berupa masjid, madrasah ataupun universitas dan lain sebagainya. Termasuk juga di dalamnya adalah rihlah Tarbawiyah; seseorang yang rihlah dari negerinya ke negeri lain utk mencari ilmu. Itulah sebabnya para sahabat berdasarkan inspirasi hadits ini rela menempuh puluhan kilometer untuk mencari ilmu. Salah satu contohnya adalah Jabir bin Abdillah Al Anshori. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang mengadakan rihlah dalam tempo satu bulan di atas onta beliau untuk menempuh perjalanan dari negerinya ke negeri yg lain untuk mendapatkan satu hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Unais dari Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad No. 746
2. Jalan yg bersifat maknawi yaitu mencari ilmu dari pendapat, perkataan para ulama’ dalam kitab-kitab mereka. Maka orang yang menelaah kitab-kitab untuk mengetahui dan mendapatkan hukum permasalahan syari’at walaupun dia duduk di atas kursinya maka dia dikategorikan sebagai orang yang telahmenempuh satu jalan mendapatkan ilmu. Dalam hadits ini terdapat dorongan spirit utk “tholabul ilmi” tanpa diragukan oleh seorangpun. Maka sudah sepantasnya bagi manusia utk segera mempergunakan kesempatan.
Ringkasnya hadits singkat di atas menegaskan keutamaan ilmu karena ilmulah yang mampu membimbing kita kepada realitas dan kebenaran sehingga mendorong kepada taqwa. Dengan demikian, ilmu lebih utama dibanding banyaknya harta bahkan sekalipun bersedekah dgn harta yg luar biasa banyaknya



B. KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu pengetahuan. Islam sangat memperhatikan aspek ini karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan peningkatan taraf hidup manusia, pembentukan peradaban dan lain sebagainya. Al-Qur’an mengajak kaum muslimin untuk mencari, mendapatkan, dan mengkaji ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi pada derajat yang sangat tinggi. Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat penting, sehingga mencari ilmu itu hukumnya wajib. Islam juga mengajarkan bahwa dalam menuntut ilmu berlaku prinsip tak mengenal batas – dimensi – ruang dan waktu. Artinya di manapun dan kapanpun (tidak mengenal batas tempat dan waktu) kita bisa belajar
Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan seluruh derivasinya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw, menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surat al-‘Alaq ayat 1-5: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang Mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS: al-’Alaq: 1-5).
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komprehensif dan mendalam yang ditemukan di dalam al-Qur’an ialah konsep ilm. Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan turunnya sekitar 780 kali. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain yang memiliki konsep pengetahuan dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengajarkannya dengan amat tekun seperti itu.
Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu, menurut Syamsul Arifin (1996:21) didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut: Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yakni teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam, pada diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah swt. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah swt dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
Ketiga, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan spiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah swt dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah swt.
Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yakni sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah swt. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam strategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas.
C. KONSEP ILMU DALAM ISLAM
Kalaulah disepakati bahwa kemajuan suatu peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dnegan kemajuan tradisi keilmuan ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam, lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu ontology dan aksiologi.
Konsep Awal Ilmu (ONTOLOGI)
Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang denganna sesuatu atau seseorang dikenal.] Dalam menjelaskan ilmu secara terminologyi, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna sesautu atau obyek ilmu. Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual
Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji. Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.
Selanjutnya, dalam pemilahan (bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya. Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah.Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya, al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.] Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing kategori ilmu yang kedua.
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya. Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam, sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja. Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka. Maka di sinilah letak integralisasi ilmu antara iilmu fisik empiric dengan metafiska- ilmu dalam Islam.
Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini, al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l) sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa. Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing. Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda fisik [4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1] Eksistensi nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia inderawi dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup mimpi, visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi), yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu. Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat” sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau eksistensi.
Dengan hirarki tersebut, epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan segala-galanya sebagai obyek pengakajian.
Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya
Sudah disinggung di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui: [1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah). [2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum. [3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound reason/ratio), dan ilham (intuition).
Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek fisik (mahsusat).[ Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera. Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental logika. Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui perantara sehingga sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas yang ada. Metode ini bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal, akan tetapi melalui iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya bukan dengan mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih, akan tetapi dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran dosa-dosa. Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan ini dengan ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.
Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.” Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Islamisasi Ilmu
Wacana Islamisasi ilmu bermula pada awal 1980-an yang didasarkan pada kesadaran bahwa semua disiplin ilmu sosial merupakan kontruks budaya peradaban Barat dan sebetulnya tidak memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim (Sardar: 2005). Ilmu sebagai sebuah produk budaya merupakan kontruksi pengetahuan yang dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu. Itulah sebabnya, secara epistimologis, sains Barat modern sebagai sebuah ilmu tidaklah bebas nilai, karena lahir dari tradisi intelektual dalam budaya dan masyarakat Barat yang menafikan peran wahyu sebagai salah satu sumber ilmu. Sebagai akibatnya, sains modern dalam tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan, sehingga akhirnya menjadi sekuler dan anti Tuhan. (Hamid: Islamia, 2008). Contohnya adalah pandangan Barat terhadap alam yang mereka gambarkan sebagai sebuah mesin raksasa (mekanisme) yang didasarkan atas pandangan filsafat Newton. Dalam filsafat ini, Tuhan tidak lagi memiliki peran terhadap alam, tetapi alam sebagai sebuah mesin raksasa telah memiliki mekanisme hukumnya tersendiri yang mereka sebut dengan hukum alam. Pandangan inilah yang menimbulkan paham deisme; suatu paham yang didasarkan atas teori “clock maker teory (teori pembuatan jam)” yang berarti bahwa Tuhan, setelah menciptakan alam, tidak lagi berurusan dengannya. Lambat laun kesimpulan ini menyeret ilmuwan barat lebih jauh untuk kemudian mencurigai “jangan-jangan Tuhan memang tidak pernah ada”( Kertanegara: Mengislamkan Nalar, 2007). Akhirnya deisme berujung pada atheisme.
Jadi, ada perbedaan epistimelogis yang sangat fundamental antara Barat dan Islam karena adanya perbedaan pandangan hidup, dimana perbedaan itu akan memiliki pengaruh terhadap ilmu pengetahuan yang nantinya akan dihasilkan. Bahwa setiap ilmu memuat pandangan hidup tertentu. Al-Attas sebagai orang pertama diantara sarjana muslim kontemporer yang mengganggap bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, menegaskan bahwa “Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahan yang berbeda mengenainya, meskipun diantaranya terdapat perbedaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu dalam sehingga tidak bisa dipertemukan”
Bahwa telah terjadi westernisasi ilmu yang begitu parah karena merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme, mengangkat keraguan sebagai kerangka metodologi bahkan epistimelogi yang sah dalam keilman, dan yang paling fatal, menolak peran wahyu dalam seluruh aktivitas intelektual. Westernisasi ilmu dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan renungan filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. (Armas: Islamia, 2005, Al-Attas: Islam dan Sekulerisme, 1981). Adanya latar belakang keilmuan Barat yang memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan Islam, baik secara ontologis maupun epistimelogis, menjadi raison de etre program Islamisasi ilmu. Para ilmuwan muslim menyadari bahwa pengetahun Barat modern, telah menjadi tantangan yang serius bagi kehidupan dan peradaban Islam. Sehingga proyek islamisasi dimaksudkan sebuah jihad dan ijtihad intelektual yang berupaya menghilagnkan apa yang dikatakan oleh al-Faruqi dengan “Malaise of Ummah”atau apa yang diistilahkan oleh Al-Attas dengan “The Corruption of Knowlegde”. Islamisasi ilmu merupakan agenda intelektual yang memberi harapan besar pada kebangkitan peradaban Islam
Walaupun Islamisasi ilmu meripakan isu dan wacana yang paling kontroversial, tetapi ia telah menjadi semacam revolusi epistimologis yang berusaha memberontak terhadap keadaan umat Islam yang telah lama tersisihkan secara keilmuwan dan peradaban oleh peradaban Barat. Sebagai sebuah revolusi, misi yang diemban oleh proyek ini adalah mengembalikan kembali kejayaan Islam. Di sinilah, signifikansi Islamisasi ilmu yang juga harus direspon Hidayatullah sebagai salah satu gerakan yang ikut andil dan ambil bagian dalam rekontruksi peradaban Islam. Bahwa substansi dari peradaban adalah ilmu pengetahuan, sehingga aktivisme intelektual yang mewujud dalam suatu komunitas ilmiah merupakan prasyarat mutlak bagi gerakan peradaban. Dan islamisasi ilmu merupakan bagian aktivisme intelektual muslim yang bertugas memelihara orisnalitas (ashalah) kekhasan dan merupakan revivalisme peradaban Islam.
Islamisasi pengetahuan yang dipahamai sebagai antitesis westernisasi ilmu, berarti sebuah usaha membersihkan (purifikasi) elemen-elemen dalam ilmu pengetahuan Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Karena ilmu pengetahuan modern diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis peradaban Barat, maka Al-attas menyebutkan ada lima unsur dalam sains barat yang menjiwai peradaban Barat yang harus dibersihkan, yaitu 1) Pengandalan Barat terhadap akal yang mampu membimbing umat manusia, 2) Sikap Barat yang dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler, 4) membela doktrin humanisme, dan 5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Karena itu, orang yang bertugas melakukan gerakan Islamisasi ilmu adalah orang yang mengusai dua pengetahuan substantif; pertama pengetahuan terhadap ajaran dan pandangan hidup Islam, dan kedua pengetahuan terhadap budaya dan peradaban Barat. Dua pengetahuan ini merupakan sebuah keniscayaan, karena dengan begitu kita akan mampu mengidentifikasi dan membersihkan virus ilmu modern dan pada waktu yang sama mampu memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci ke dalam setiap sains modern yang relevan; semacam adaftasi dan modifikasi ilmu modern yang disesuaikan dengan ajaran Islam (Armas: Islamia, 2005).
Pengetahuan lain yang harus dikuasai adalah penguasaan terhadap metodologi ilmiah islami, karena produksi dari islamisasi pengetahuan tergantung pada munculnya metode yang Islami. (Baca buku Safi “Ancangan Metodologi Alternatif, 2001)
Kata “menguasai atau penguasaan terhadap pengetahuan substantif yang kita maksudkan bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan sebuah istilah yang relatif. Istilah ini hanya untuk menunjukkan adanya pengetahuan yang telah dapat dicapai oleh sarjana, terbatas pada waktu dan tingkat perkembangan yang telah dicapai dalam disiplin itu (Safi: 2001). Ini untuk menunjukkan bahwa program Islamisasi ilmu ini bersifat ijtihadi dan karenanya merupakan program dinamis yang akan selalu mengalami perbaikan pada beberapa aspek dan produknya.

No comments: