Sunday, April 13, 2008

REVITALISASI PERAN PESANTREN

Oleh Umar Hadi

Zaman telah menemukan takdirnya dalam suatu fase sejarah yang baru.; globalisasi. Dalam faseini, batas batas territorial dan geografis suatu bangsa sudah tidak memiliki fungsi dan makna lagi. Betapa tidak, karena dalam abad –yang biasa disebut dengan abad informasi- sejarah telah dan akan menyuguhkan drama baru sepanjang sejarah kemanusiaan. Di mellinium yang ke tiga ini, suatu bangsa, masyarakat, komunitas dan individu saling terkoneksi dalam satu jaringan internet global yang sangat memungkinkan mereka saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Maka dunia dalam abad ini hanyalah sebuah global village. Dunia tak ubahnya seperti selebar daun kelor. Maka kita-pun akan menyaksikan the end of history; akhir sebuah sejarah dengan kematian konsep nation state. Maka manusia dalam abad ini mendapatkan dinamika baru dalam hubungan inter-relasi sosial kemasyarakatan mereka.
Sesungguhnya loncatan sejarah ini, lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan yang sangat pesat dan dahsyat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi informasi dan transfortasi yang terjadi di negara-negara barat, utamanya amerika dan Eropa. Sejak ledakan itu jadilah kita sebagai sebuah masyarakat global dengan budaya global yang baru. Tentu saja, budaya global ini lebih banyak diwarnai oleh budaya barat, dan ini tidak mengherankan. Karena merekalah yang memegang kendali dalam bidang teknologi dan informasi. Maka budaya global itu pun kemudian disebut oleh para sosilolog dengan westerenisasi, dan karena Amerika yang paling dominan, maka mereka juga mengistilahkan budaya global ini dengan Amerikanisasi.
Disinilah masalahnya, budaya global itu tentu saja dalam banyak bagiannya, tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan budaya kita sebagai seorang muslim. Secara pribadi saya merenung, bahwa fakta ini merupakan suatu ironisme dalam posisi sebagai khaira ummah. Seharusnya kitalah yang bertugas menwarnai dan mengarahkan jalannya sejarah. Sungguh kita adalah sebuah anomali dalam puisi Iqbal.

BARAT DAN BUDAYA GLOBAL
Budaya adalah suatu konsep multidemensi yang tidak dapat dengan mudah dideviniskan. Konstruksi suatu budaya memungkinkan untuk berada di setiap level yang berbeda-beda disemua populasi, baik di desa, kota pedalaman dan metropolis. Budaya juga melampaui batas suatu idiologi dan substansi identitas individual dalam masyarakat (Al-Roubaei, majalah Islamia 2005)
Budaya global yang disebarluaskan globalisasi adalah budaya barat yang bertujuan menebarkan suatu produk yang homogen. Penyebaran budaya barat, dalam hal in yang paling dominan adalah Amerika, dengan budaya hedonisme, konsumerisme yang bertitik tolak dari pandangan hidup yang positivistik materialistik, telah melanda dunia. Parahnya, tidak sedikit yang terpengaruh dengan budaya ini. Maka globalisasi (baca: amerekanisasi) ini telah melakukan, apa yang disebut oleh Pfof .Amer al-Roubaie dengan- “imprealisme budaya” (cultural imprealisme) yang ditandai dengan homogenisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (pakaian), dan though (pemikiran). Tentang imprealisme budaya ini, seperti yang dikutip oleh Adian, lebih jauh dia mencatat “Telah dipahami secara luas bahwa gelombang tren budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan poduk Barat menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media massa dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahan budaya (culural imprealisme) penjajahan media (media imprealism), penggusuran kultural (culural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency) dan penjajahan elektroik (electronik colonialsm) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global Baru serta berabagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat (Adian, 2005).
Globalisasi budaya global ala amerika, telah menjadi kiblat generasi muda muslim. Kitapun menyaksikan gaya anak muda muslim yang telah terbaratkan, jauh dari nilai-nilai Islam. Banyak dari mereka yang menjadi penganut mazhab free sex dan mazhab free-free lainnya. Dalam mazhab kebebasan berpikir dan berekspresi misalnya, kitapun dikagetkan dengan pernyataan bahwa homoseksual dan prilaku seksual menyimpang yang lainnya, adalah sah-sah saja sepanjang tidak merusak dan mengganggu orang lain. Mereka kemudian menganut filsafat relativisme, tidak ada kebenaran mutlak walaupun nilai-nilai itu dari agama.
Penyebaran atau penyerangan yang dilakukan oleh negara dan Amerika dengan budaya global, tidak hanya terjadi dalam ranah yang bersifat material, tetapi juga bersifat immeterial; pemikiran. Bahkan program penyebaran virus dalam bidang ini, mendapatkan perhatian yang cukup lebih. Negara-negara barat, menghabiskan dana jutaan dolar untuk membiayai program ini. Di bukalah program beasiswa seluas-luasnya yang ditawarkan kepada mahasiswa muslim untuk belajar di negeri-negeri mereka. Program islamic studies misalnya, salah satu program yang ditawarkan oleh Barat untuk menghacurkan bangunan pemikiran Islam. Kontruks epistimologi Islam yang taken for granted kemudian ingin di dekontruksi dan menggantinya dengan epistimologi Barat yang berbasis pada filsafat humanisme, rasionalisme, dan positivisme Sehingga tidak sedikit, lulusan program ini banyak yang meragukan kebenaran Islam. Bahkan yang lebih parah, mereka menghujat Islam, misalnya mereka dengan lantang mengatakan bahwa kitab suci al-quran tidak otentik dan tidak terjamin orisinalitasnya. Maka Barat-pun telah melakukan apa yang diistilahkan oleh Ziauddin Sardar dengan “Kolonialisme epistimologis”. Inilah serangan budaya pemikiran yang secara sistematis, strategis dan terencana oleh Barat untuk menghancurkan seluruh khazanah bangunan keagungan peradaban Islam.
Untuk memuluskan program penyebaran virus pemikiran ini, Barat juga pada waktu yang sama menghabiskan biaya jutaan dolar untuk membantu pendanaan lembaga-lembaga dan proyek orientalisme yang berusaha dengan sekuat tenaga mempelajari tentang cara berpikir, kekayaan intelektual, budaya, dan peradaban kita. Gerakan orientalisme kemudian dikesankan sebagai gerakan intelektual murni karena menggunakan metodologi penelitian ilmiah dan obyektif. Padahal, tujuannya dalam rangka memuluskan proyek penjajahan mereka di negara-negara muslim. Karena dengan mengetahui cara berpikir kita, mereka akan tahu cara bertindak kita. Di sinilah kita menemukan keterkaitan yang erat antara gerakan orientalisme dan imprealisme, kata Anis Matta
Karena itu sifat alami dari proses budaya globalisasi ini adalah untuk menyatukan pemikiran dan memfokuskan pandangan masyarakat dunia untuk menggunakan kode etik, nilai-nilai dan pandangan hidup (worldview) yang besumber dari Barat. Semua itu dimaksudkan untuk meneguhkan dan memperkuat hegemoni intelektual dan kebudayaan mereka. Dengan demikian, globalisasi yang melibatkan seluruh kekuatan media elektronik komunikasi, jaringan industri per-filman, merupakan agenda penting Barat dalam melakukan pencucian otak (intellectual brainwashing), yang pada akhirnya kita dan masyarakat dunia lainnya akan menilai dan menerima budaya dan peradaban barat dengan lapang, dengan menganggapnya sebagai sebuah peradaban yang agung lagi luhur.
Imprealisme ini telah meluluhlantakkan budaya-budaya lokal yang sebelumnya dipegang teguh oleh masyarakat muslim. Bahaya dari budaya global ini berbentuk pemaksaan untuk digunakannya idiologi asing, konsep dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan nilai-nilai barat yang tidak islami. Serangan budaya Barat menghantam seluruh sisi kehidupan kita, mulai dari aspek aqidah samapi muamalah. Dalam bidang politik, kita dipaksa untuk menggunakan demokrasi liberal. Sungguh posisi kita sebagai seorang muslim dalam pertarungan ini, kalah telak. Konsekuensinya banyak dari kita kemudian terbaratkan (westernized) bahkan lebih barat dari orang barat sendiri.
Tetapi tentu saja, sebagai seorang muslim kita memiliki tanggung jawab sejarah yang harus kita tunaikan. Kita boleh kalah tetapi haram untuk menyerah, sehingga kita menerima dan mengamini budaya dan peradaban Barat yang bertentangan dengan wahyu.

REVITALISASI PERAN PESANTREN
Pesantren adalah kubu pertahanan mental umat, kata Dr. Muhammad Natsir. Jika zaman ini kita diperang dalam bidang pemikiran dan budaya, maka tentu peran pesantren sebagai lembaga pendidikan vital sangat penting peranannya dalam peperangan ini. Kita harus mengulang kembali ide kita tentang pesantren dengan memaknainya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang perannya tidak hanya bertanggung jawab menghasilkan sosok manusia yang hanya ahli dalam bidang agama saja, tetapi juga bertanggung jawab menelurkan manusia-manusia muslim yang memiliki kualifikasi manusia muslim abad 21
Yang kita maksud dengan manusia muslim abad 21 adalah invidu muslim yang memiliki kemampuan berdebat dengan zamannya. Mereka memilki keunggulan dalam sistem pertahanan kepribadian mereka sehingga tidak akan terkontaminasi dengan budaya barat. Bahkan pada waktu yang sama , dengan kepribadiannya mampu menebarkan pesona dan aura sehingga manusia yang tertarik mengikuti dan meneladinya. Semua itu karena mereka telah memiliki kekuatan spritual yang dahsyat, sebab iman di dalam struktur hati dan jiwa mereka telah tertancap kokoh. Iman mereka telah melalui tiga stadium; teoritis, emosional dan aplikatif. Iman inilah yang menjadi sunber imunitas, menjadikan mereka memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit pemikiran dan budaya. Dalam kaitannya dengan ini pesantren harus mampu mengembangkan metode pendidikan ruhani (tazkiyyah an-nafs) yang shahih yang mampu memupuk rasa keimanan yang kokoh di setiap insan muslim. Sungguh iman adalah cerita tentang keajaiban. Saat naiknya iman adalah saat kejayaan, saat turunnya iman adalah saatnya kemunduran dan kehinaan, kata imam an-Nadawi
Manusia muslim abad 21 ini juga harus memiliki kekuatan intelektual yang kuat, sehingga mereka mampu menyampaikan argumentasi secara rasional dan menyakinkan secara emosional tentang kebobrokan budaya dan peradaban Barat, dan pada waktu yang sama mereka juga memiliki keterampilan yang canggih dalam menjelaskan keunggulan dan keagungan peradaban Islam
Mereka juga memiliki kompetensi dan perfomance dalam mengaplikasikan konsep-konsep islam dalam tataran praktis. Misalnya mereka punya keterampilan dan keahlian dan mengejawantahkan konsep Islam dalam bidang ekonomi, sehingga mampu mematahkan seluruh argumentasi sistem ekonomi kapitalis, baik dalam tataran fondasi filosofisnya maupun fondasi teoritis praktisnya. Singkatnya, manusia muslim abad 21 ini, seperti kata Anis Matta, haruslah memiliki tingkat afiliasi, partisipasi dan kontribusi yang sempurna dalam mega proyek rekontruksi peradaban Islam.
Tentu saja semua itu sangat mungkin bisa terwujud, karena dalam paradigma metafisikan pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai khalifatullah yang bisa ditanamkan dan diwujudkan di dalam dirinya sifat-sifat Tuhan. Karena sifat-sifat ini mempunyai dimensi tidak terbatas, maka kemajuan intektual, moral, spiritual dan fisikal (psikomotorik) manusia juga tidak terbatas. (Ashraf, 1984). Lihatlah sejarah, maka disana pasti kau lihat manusi-manusia muslim tidak hanya memiliki satu demensi. Mereka adalah ilmuwan yang menguasai tran-disipliner.
Untuk mewujudkan sasaran pendidikan itu, maka pesantren harus merancang dan mendesain kurikulum, metodologi pengajaran, sarana dan prasarana, alat bantu mengajar dan lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan kondisi dan tantangan jaman, dibawah panduan metafisika, nilai-nilai dan pandangan hidup Islam. Jadi semua unsur-unsur kurikululum itu harus bertitik tolak dari epistimologi pemikiran pendidikan Islam dan tuntutan kebutuhan kontemporer kaum muslimin. Harapannya, dengan desain kurikulum ini, kita akan mampu menghasilkan intelektual muslim kaffah, eksiklopedis, profesional dan memiliki semangat pengabdian yang tulus terhadap Islam. Mereka memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu yang dengan ilmu mereka mampu merespon persoalan jamannya secara cerdas. Hal itu karena tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam sangat besar sekali.
Pesantren juga harus mampu merumuskan dan mendakwahkan prisip-prinsip epistimologi Islam kepada masyarakat Islam. Filsafat sains Islam yang secara diametral sangat bertentangan dengan Barat, haruslah mampu dipahami oleh setiap generasi muda muslim, sehingga mereka tidak terpengaruh dengan epistimologi Barat. Generasi muda muslim harus mampu menjelaskan keunggulan dan keistimewaan epistimologi Islam, dan pada waktu yang sama mampu menemukan kesalahan-kesalahan fundamental epistimologi Islam. Rangka pikir epistimologi Islam ini sangat mendesak untuk segara dirumuskan dan diajarkan kepada generasi muda muslim, mengingat ilmu-ilmu yang ada, seluruhnya dibangun berdasarkan atas filsafat ilmu barat yang sekuleristik yang menyebabkan kerancuan ilmu atau dalam bahasa Al-Attas “The corruption of knowledge”. Akibat problema epistimologi ini, banyak ilmuwan-ilmuwan yang kebingungan dan mengalami kelumpuhan pikiran (paralysis of mind). Para ilmuwan itu tidak mampu memahami setiap realitas yang mereka temui, karena ilmu mereka tidak memiliki persepsi dan basis yang kuat pada fondasi nilai-nilai ketuhanan, ketuhanan dan kemanusiaan yang benar. Inilah yang menyebabkan peradaban Barat tidak mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan bagi masyarakat dunia. Dengan demikian, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang secara tanpa kompromi besifat universalis dimana semua cabang ilmu pengetahuan dikembangkan di dalam kerangka etik dan metodologis yang tak tak diragukan lagi bersifat Islami (Sardar, 1998)
Di samping itu, peran pesantren yang juga harus segera ditunaikan adalah menumbuhkan semangat jihad dalam maknanya yang utuh. Semangat jihad ini harus ditumbuh kembangkan di semua lapisan masyarakat muslim, utamanya di kalangan generasi muda muslim. Jihad merupakan daya kreatif yang akan mengaktifkan seluruh potensi manusia muslim. Semangat jihad harus ditanamkan dalam struktur kepribadian seorang muslim, yang membuat mereka memiliki ghirah dan elan vital yang dahsyat untuk menunaikan amanah mereka sebagai abdullah dan khalifatullah. Jihad ini penting mengingat situasi politik global yang senantiasa menempatkan seorang muslim yang layak diperangi. Samuel Huntington, dalam tulisannya di majalah Newsweek Special Davos Edition yang berjudul The Age of Muslim Wars, dia menegaskan bahwa “politik global masa kini adalah perang terhadap muslim”.
Jadi, semangat jihad, merupakan usaha sungguh-sunguh dan kreatif dalam usaha merekonstruksi kembali peradaban Islam, karena hanya dengan membangun peradaban, baik dalam level suprastruktur dan infrastrukturnya, kita bisa berbuat adil terhadap Islam. Islam akan bisa memainkan peranannya dalam abad ini, jika Islam mampu menjadi peradaban yang sejajar atau bahkan lebih dibanding dengan peradaban Barat dengan memberikan solusi terhadap seluruh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern. Itulah sebabnya, peradaban yang kita konstruksi haruslah mampu menampakkan keunggulan dan keistimewaan bila dibandingkan dengan peradaban yang lain. Peradaban yang kita bangun itu haruslah bertitik tolak dari epistimologi Islam, karena epistimolologi merupakan elan vital yang berfungis sebagai operator mayor yang menstransformasikan visi pandangan dunia (worldview) ke dalam realitas. Di sinilah ijtihad harus ditumbuhkembangkan kembali, sebab ijtihad merupakan istitusi strategis Islam yang memiliki kemampuan dalam menjawab segala persoalan dan dinamika jaman. Ijtihad, kata Iqbal, adalah the principle of movement in Islam
Peradaban Islam juga harus memiliki sistem pertahanan yang kuat sehingga ketika terjadi benturan peradaban, kita tidak terseok kalah. Kita telah mendapatkan sertevikat kemenangan dari Tuhan dengan janji-janji-Nya yang terdapat dalam wahyu-Nya (QS. 21: 105/58: 21). Marilah kita membutktikan kebenaran itu dalam dunia fakta-fakta. Kebenaran normatif haruslah menjadi kebenaran historis.
Dengan demikian, Pesantren harus segera memikirkan ide dan mempunyai dana yang cukup untuk bagaimana melahirkan SDM-SDM yang berkualitas; sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi sebagai manusia muslim abad 21. di sini pesantren harus menjadi basis kaderisasi yang kokoh bagi terwujudnya insan-insan muslim yang berkuaalitas. Karena peradaban adalah kehidupan itu sendiri, maka pesantren harus mampu melahirkan SDM-SDM dalam seluruh jenis profesi dalam semua keahliannya, dimana semangat keislaman mereka dan pengetahun mereka terhadap konsep-konsep fundamental Islam, tidak diragukan lagi. Inilah tujuan strategis pesantren dalam konteks usaha merekontruksi peradaban Islam pada zaman modern ini. Konsekuensinya, model pesantren yang tidak mampu mengakomodasi beberapa hal yang tersebut di atas, harus segera direformasi dan disesuaikan dengan pandangan Islam tentang ilmu dan lembaga pndidikan.
Seorang muslim lulusan pesantren haruslah memiliki kesadaran politik terhadap situasi global. Dia harus senantiasa melakukan pengayaan dan penguatan-penguatan pada visi misi politik Islam. Kesadaran itu muncul karena ia adalah khalifatullah yang bertanggung jawab memakmurkan dunia. Dia adalah adalah khaira ummah yang harus mengarahkan, membimbing dan mengawal jalannya sejarah. Dia adalah ustazatul alam yang harus membimbing umat manusia kepada jalan tauhid. Maka dia harus mampu merespon situasi global itu secara cerdas. Atas dasar tuntutab inilah, seorang muslim abad 21 haruslah memiliki kemapuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang baik, selain bahasa Ibu dan bahasa Arab, sehingga mereka memiliki kesempatan mengakses seluruh informasi-infotmasi kontemporer dan mampu menjelaskan posisi dan perspektif Islam terhadap problem itu. Misalnya, manusia muslim abad 21 harus menyampaikan gagasan Islam tentang lingkungan dalam perspektif syariah -yang kita sebut dengan fiqh enviromental- dalam kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming).

PERAN PESANTREN HIDAYATULLAH
Pesantren Hidayatullah sebagai fenemona pendidikan pesantren yang memiliki jaringan luas dan kader-kader yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, dalam mengahadapi budaya global, tentu saja memiliki peran dan kontribusi yang sanggat signifikan, strategis dan fundamental. Pesantren Hidayatullah harus menjadi yang terdepan (fastabiqul khairat) dalam cita-cita mengobati penyakit pemikiran dan budaya yang telah menggorogoti umat.
Lihat dan tengoklah sejarah, ternyata pesantren itu mampu memainkan perannya dalam melakukan gerakan ishlah di tengah-tengah ummat yang mengalami penyimpangan dalam kehidupan beragama mereka. Sebutlah misalnya madrasah Qadariyyah yang didirikan oleh syekh Abdul Qadir Jailany. Madrasah ini yang paradigma pendidikannya banyak merujuk kepada pendapat imam al-Ghazali, karena syekh Abdul Qadir Jailani merupakan salah satu murid imam al-Ghazali mampu melahirkan kader-kader pemimpin ummat dalam segala kehidupan. Bahkan pesantren inilah yang menjadi rantai islah yang mulai padu dengan munculnya tokoh-tokoh penguasa yang sadar akan pentingnya ishlah seperti sultan Nuruddin Zanki dan diteruskan oleh putra angkatnya; sultan Shalahuddin al-Ayyubi, dimana dari tangannyalah kaum muslimin mendapat kemenangan dalam perang Salib. Patut dijelaskan, bahwa banyak alumni madrasah Qadariyyah ini yang menjadi penasehat politik dan militer bagi sultan al-Ayyubi, seperti Ibn Naja (Al-Kilani, 2007)
Dengan konsep SNW yang berfunsi sebagai basis idiologi dan metodologi yang canggih, pesantren Hidayatullah harus mulai beranjak dari sekedar berpikir dari memproduk ulama, tetapi juga harus mulai memiliki ide bagaimana mampu mengukhrijatkan pemimpin-pemimpin ummat dalam segala aspek kehidupan; ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Bukankah ending dari surah a-Fatihah adalah terwujudnya sebuah kehidupan yang menerapkan Islam secara kaffah.Ringkasnya, pesantren Hidayatullah dalam basis kaderisasimya harus bertotak tolak dari gagasan Islam Kaffah, karena Islam adalah agama yang kaffah, maka para kadernya harus juga mencerminkan univesalitas Islam. Hanya dengan inilah, pesantren Hidayatullah akan mampu mewujudkan visi misinya membangun peradaban Islam.

No comments: