Sunday, April 13, 2008

MAHKUM ALAIHI

Konsep Dasar.
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’. jadi mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu zahrah menndevinisikan mahkum alaih dengan “orang mukallaf, karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dantermasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan
Secare etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampubertindak hukum,baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Dasar Taklif
Seorang mukallaf dianggap shah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua syarat:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Sementara kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang mempunyai akal itu dapat diterima pemahaman nya oleh akal mereka. Sebab akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu.
Jadi akal-lah yang menjadi raison de etre atau alasan utama adanya taklif dari Allah Swt. Imam al-Amidy mengatakan “Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan paham. Karena taklif adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak paham, seperti benda mati atau binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman global (mujnal) terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintaha atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau bahwa yang memerintah adalah Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu tuntutan dasar. Orang yang demikian dimaaafkan dalam hal tidak mampu memahami dalil taklif, karena talif tidak saja terganntung kepada pemahaman dasar tuntutan tetapi juga pada pemahaman yang terperinci (tafsiliy).”
Berangkat dari dasar filosofi hukum tersebut, maka pendidikan hukum di dalam Islam sangat menghargai nilai-nilai intelektualitas manusia, karena ketika Allah menurunkan aturan dan norma-norma obyekti kepada umat manusia, Allah Swt menjelaskan alasan dibalik pembebanan itu dengan melakukan dialog kepada akal manusia. Sehingga prilaku mukallaf di hadapan hukum Tuhan, bukan karena atas dasar paksaan, akan tetapi bertitik tolak dari pemahaman yang mendalam, bahwa semua itu dimaskudkan untuk memberikan kemaslahatan umat manusia. Inilah yang dimaksud dengan maqashid as-Syari’ah.
Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diindrawi secara lahiriyah, maka syar’i telah menghubungkan taklif dengan hal yang nyata dan dapat diindra, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yaitu kedewasaan. Maka orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempura untuk terkena beban hukum. Adapun indiksi kedewasaan manusia. Bagi laki adalah mimpi basah. Sedang bagi pereampuan keluar darah haidh. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nur: 59


“Apabila anakmu samapi umur baigh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti oarang-orang yang sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah orang gila dan anak-anak tidak dikenai baban hukum karena tidak adanya kal yang digunakan untka memahami apa yang dibebankan. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Sebagaimana Hadist Rasulullah:



”Diangkatlah pena itu( tidak dicatat amal perbuatan manusia)dari tiga orang: orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”.
Belaiu juga bersabda:


“Barang siapa yang tidur sampai tidak melakukan sholat (habis waktunya) atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia sholatketika dia ingat, karena sesungguhnya waktu ingatnya itulah waktu sholatnya”
Namun, dalam syarat yang pertama ini bukan tidak terdapat permasalahan, kerena dalam beberapa hal, anak kecil adan orang gilapun dikenakan beberapa kewajiban seperti membayar zakat dari hartanya. Imam al-Ghazali, al-Amidy, adan asy-Syaukni menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar zakat fitrah,nafkah diri mereka sendiri dan ganti rugi bila mereka merusak atau menghilangkan harta orang lain. Bahkan para ulama sepakat bahwa adanya wajib zakat atas tanaman dan buah-buahan mereka. Hal ini jelas suatu taklif, sehingga mereka tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak kena taklif. Hanya saja taklif itu, tidak berkaitan atau lahir dari diri pribadi perbuatan anak kecil atau orang gila tersebut, tetapi berkaitan dengan harta mereka. Karenanya menurut ketiga ulama ushul yang tesebut di atas, bahwa dalam kasaus tersebut yang bertindak membayarkan zakat pada harta mereka, mengambil nafkah untuk diri mereka dan ganti rugi (dhaman) yang disebabkan kelalaian mereka adalah wali mereka masing-masing.
Seperti yang telah diegaskan bahwa landasan taklif adalah akal yang ditanamkan oleh Allah kepada diri manusia, yaitu akal yang kemampuannya tidak hanya memahami maksud khitab syar’i secara global, melainkan juga harus secara terperinci. Sementara khitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab?
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan “adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nas-nash bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka”
Itulah sebabnya, dalam perspektif fiqh belajar bahasa Arab merupakan kewajiban yang bersifat individu (wajib ‘aini) dan kolektif (wajib kifayah), karena bahasa Arab-lah satu-satunya yang menjadi wasilah dalam memahami hukum-hukum Allah yang wahyukan dalam bahasa Arab. Maka jika kita diwajibkan atau diperintah menegakkan dan mengejewantahkan hukum-hukum Allah (tathbiiqu asy-syari’ah), maka tentu juga kita diperintah untuk menegakkan sarana-sarananya, dan salah satu suprastruktur fundamental penegakan hukum Allah adalah mempelajari dan memahami bahasa Arab dengan baik. Terlebih lagi pada mellenium yang ketiga ini, dimana ada upaya sistematis dan tidak kenal lelah untuk memojokkan bahasa Arab dengan melebelinya sebagai bahasa yang konservatif, ketinggalan jaman dan predikat-predikat buruk lainnya. Sungguh kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga keagungan bahasa Arab ini.

Qaidah ushul mengatakan

“Sesuatu yang tidak menjadi sempurna melainkan dengannya, maka dengannya itu juga wajib”

2. Mukallaf adalah haruslah ahli (harus cakap dalm bertindak hukum) dengan sesuatau yang dibebankan kepadanya.
Berdasarkan konsep ini, maka seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang gila.
Kerena pembahasan ahli lumayan panjang, maka akan kami akan dibahas secara terpisah dalam sub judul

Konsep Dasar Ahliyyah
secara etimologi, ahliyyah maknanya adalah ash-shalahiyyah; kepantasan atau kelayakan. bila ada sesorang yang memilki kemampuan dalam satu bidang maka dia dianggap ahli.
Secara terminologi, para ahli ushul mendefinisikan ahlyyah dengan:


”Suatu sifat yang dimiliki sesorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan ahliyyah dengan “kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya oarng itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain dan pantas melaksanakannya.”
Dari kedua devinisi di atas, maka ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh aktivitas dan prlikakunya memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum. Pada tahap ini dia telah menjadi subyek hukum yang harus bertanggung jawab secara indepennden terhadap amal perbuatannya sendiri. Maka jika dia berzina, dia akan dirajam sampai meninggal dunia, bila ia pezina mukhson (telah dan pernah menikah). Bila ia melakukan aktivitas perniagaan, maka dianggap shah.
Karena yang menjadai subyek hukum (muhkam alaih/mukallaf) adalah manusia, sedang manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah didesain oleh Allah Swt, maka kemampuan bertindak hukum seseorang tidak datang secara sekaligus, melainkan secara evolusi melalaui tahapan-tahapan tertentu, sesuai tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahilyyah kepada dua bagian.
1. Keahlian wajib (Ahliyyatul al-wujub)
Keahlian wajib Ahliyyatul al-wujub adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. misalnya ia telah berhak menerima hibah, akan tetapi ia tidak sah memberikan hibah. Ia telah dianggap berhak menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk menegakkannya seperti sholat, zakat, maupun ibadah lainya. Kalaupun dia menunaikannya, semua itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan dan pembiasaan
Karena itu ahliyyah al-wujub ini, merupakan kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali. Keahlian wajib ini merupakan konsekuensi logis dari sifat kemanusiaan manusia yang telah diberikan kemampuan memahami dan dianugrahi keunggulan konpetitif (baca: akal) oleh Allah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Akal yang ditanamkan itulah yang membuat manusia mendapatkan keistimewaan sehingga memiliki kelayakan dan kepantasan (ash-shalahiyyah) mendapatkan hak dan kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama fiqh disebu dengan adz-Dzimmah; yaitu sifat naluri manusia yang denngan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk orang lain pula.
Maka keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan, janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai maupun bodoh. Tidak ada manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena keahlian wajib merupakan sifat kemanusiaannya.
Berdasarka konsep ini, maka seseorang yang baru lahir, apabila ada orang yang berwasiat kepadanya,maka wasiat itu berhak ia terima. Demikian juga dengan seorang bayi, lalu ayahnya wafat, maka ia berhak atas pembagian warisan dari ayahnya. Hanya saja pengelolaannya tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang doberi wasiat memelihar hartanya), karena mereka belum dianggap cakap dan mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Jika kehalian wajib ini hibungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua bagian, yaitu:
a. Keahlian Wajib yang tidak sempurna.
Yaitu mukallaf layak mendapatkan hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam kandungan. Janin sudah dainggap memiliki Ahliyyatul al-wujub, tetapi belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak keturunan dari ayahnya, memperoleh bagian waris mendapatkan wasiat dan mendapatkan seperempat yang ditujukan kepadanya namun dia tidak wajib melaksanakan kewajiban itu bagi orang lain.
b. Keahlian wajib yang tidak sempurna
Yaitu jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini berlaku bagi seorang anak ayang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara umum, baik ia cakap atau tidak cakap.
Perlu ditegaskan, bahwa dalam status keahlian wajib (ahliyyatul al-wujub), baik yang sempurna maupun yang tidak, seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah maupun yang bersifat hukum-hukum duniawi. Namun demikian, menurut ksepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukakn tindakan yang berkaitan dengan hukum perdata yang merugikan orang lain, maka mereka wajib mempertanggungjawakannya dengan memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Akan tetapi jika perbuatannya berkaitan dengan tindak hukum pidana, sepert seorang anak kecil yang melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum aaak kecil yang memilkiki ahliyyatul wujub tersebut, belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia belum dia dianggap cakap bertindak hukum, sehingga hukumannya-pun cukup dengan dikenakan diyat.
Adapau bagi oarng yang memiliki status ahliyyah al-ada’, apabila melakukan tindakan hukum perdata mapun pidana,maka ia beratnggung jawab secara penuh. Ia bahkanbisa diqishah jika membuh nyawa manusia.

2. Keahlian Melaksanakan (ahliyyah al-ada’)
Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknakan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang lain kerena pebrbuatannya.
Jadi, keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana seorang mukallaf telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di hadapan hukum.
Para ulama ushul telah sepakat bahwa masa datanganya Ahliyyatul al-ada’ menurut syara’ adalah bersamaa dengan tibanya usia taklif yang ditandai dengan akal dan baligh. Dalam hal ini mereka mendasarkan pendapanya dengan merujuk kapada surah an-Nisa’: 46



“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudia jika menurut pendapatmumereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka”
Menurut ulama ushul fiqh, kalimat cukup umur dalam ayat ini merujuk pada pengertian seseoramg yang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan haid bagi perempuan.
Jadi Tolak ukur ahliyyah al-ada’adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.
Manusia sebagai subyek hukum, bila dikaitka dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada tiga bagian, yaitu:
a. Terkadang tidak memiliki keahlian sama sekali
Keadaa ini dimilki oleh anak kecil dan orang gila, karema keduanya belum memiliki, sehingga mereka belum memilkiki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakuakan akad jual beli, akad mereka dianggag batal. Maka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum perdata maupun hukum pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat harta, bukan pada fisiknya. Inilah makna aksioma yang dirumuskan oleh ahli fiqh

“Kesengajaan anak kecil atau orang gila termasuk keliru
b. Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna
Keadaan ini terjadi pada bayi di uia tamyiz sampai dewasa termasuk oarng yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk konsdisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap shah melakukan pengeloloaan yang bermamfaat (possitif0 untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya
c. Terkadang manusi memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang baligh dan berakal sehat. Pada fase ini, aeluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’; 5.

Penghalang Keahlian (awarid al-ahliyyah)
Karena yang menjadi subyek hukum itu adalah manusia dimana alasan penetaapan taklifnya adalah adanya akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia dan kondisi mereka yang telah balig. Akan tetapi karena manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah digariskan oleh Allah,di mana mungkin saja, manusia itu pada satu titik kehidupannya, akal mereka melemah, berkurang bahkan mungkin menghilang, sehingga mereka kemudian dia dianggap tidak layak dan pantas bertindak hukum. Disini kita menemukan sisi humanistik hukum Islam. Islam dalam berbagai demensinya sepanjang sejarah kemanusiaan, akan tetap sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Allah yang telah menciptakan kita, maka tentu saja Dia pulalah yang lebih tentang kebutuhan kita.
Sesungguhnya keadaan manusia yang demikian itu, terkadang menyebabkan mereka terhalang dari aktivitas-aktivitas hukum. Para ulama ushul memabagi sifat pengalang itu kepada dua bagian, yaitu:
1. ‘Arid Samawiy, yaitu halangan yang datangnya dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan dan diusahakan oleh manusia, seperti gila
2. ‘Arid Kasbiy, yaitu halanganyang disebabkan oleh manusia. Halangan ini ada sumbernya ada dua:
a. dari diri sendiri, yaitu mabuk, alpa
b. dari orang lain seperti dipaksa




KESIMPULAN & PENUTUP

Mahkum alaih merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam disiplinn ilmu ushul fiqh. Dikatakan penting karena dalam pokok bahasannya dijelaskan beberapa konsep penting dan fundamenntal yang terkait dengan eksistensi manusiasebagai pelaku atau subyek hukum. Dalam konsep ini ditegaskan posisi manusia di mata hukum. Ada dua syarat yang harus mereka miliki, sehingga mereka baru dianggap shah melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki implikasi-implikasi hukum. Konsep ini akan memberikan gagasan, ide dan referensi bagi para mujtahid , fuqaha, dan dan para qadhi dalam menilai aktivitas-aktivitas manusia.
Manusia sebagai subyek hukum, dalam konsep ini diperlakukan sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Konsep ini menegaskan bahwa penerapan hukum Ilahi kepada manusia selalu disosialisasikan dengan selalu melibatkan nilai-nilai intelektualitas manusia. Manusia senantiasa diajak berdialog untuk memahami kehendak Ilahi dibalik semua hukum-hukum itu. Karena itu Allah selalu menantang manusia untuk mencari adakah hukum selain hukum Allah yang paling baik. Sesungguhnya norma-norma obyektif yang diturukan oleh Allah tidak lain melainkan untuk kemaslahatan manusia.
Akhirnnya hanya kepada Allahllah kita serahkan segala urusan kita dan salah satu bentuk penyerahan itu adalah kita senantiasa selalu damai dan bahagia diatur oleh hukum-hukum Allah. Maha benar Allah dalam perkataannya “dan tiadaklah Aku mengutusmu hai Muhammad, melainkan untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam”

Surabaya 3/04/2008
Penulis

1 comment:

benazirfathia said...

syukron atas postinganx yach..lumayan bwt tugas kul nih...
benazirfathia.blogspot.com