Wednesday, May 20, 2009

PERTARUNGAN KEABADIAN Strategi Pemenangan Islam

Dalam buku “Percakapan antar Generasi; Pesan Perjuangan Seorang Bapak”; sebuah dokumen yang merekam pemikiran Moh. Natsir, di situ pendiri DDII ini menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, di samping tantangan liberalisasi, kristenisasi dan sekulerisasi, yang tidak kalah beratnya adalah tantangan nativisasi. Nativisasi didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang tersistematis atau tidak, yang berupaya menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dalam pembentukan budaya bangsa Indonesia. Bahwa Islam tidak menjadi ruh yang menjiwai budaya bangsa ini merupakan target dari tantangan nativisasi ini.
Dalam bahasa lain, nativisasi ini diistilahkan oleh Kuntowijoyo dengan alienasi, marginalisasi dan periferalisasi Islam (Kuntowijoyo: 2008). Dan semua usaha itu telah berlangsung sejak lama, sejak kolonialisme Barat menjejakkan kakinya di Nusantara. Maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi aktor dari aktivitas peminggiran peran Islam itu adalah Barat dan konco-konconya. Kata konco mengisyaratkan bahwa meskipun secara realita, bangsa-bangsa Barat tidak lagi melalukan kolonialisasi dan penjajahan, tetapi itu tidak berarti bahwa program nativisasi ini telah berhenti. Melainkan sebaliknya, usaha itu akan terus berjalan, karena seperti yang dikatakan oleh Muhammad Quthb, bahwa negara-negara Barat tidak akan meninggalkan daerah jajahannya kecuali telah menyiapkan kader-kader yang telah terbaratkan dan mengikuti semua kehendak Barat.
Demikianlah seterusnya arus sejarah Islam di Indonesia akan selalu mendapat tantangan nativisasi, di samping tantangan sekulerisasi, liberalisasi dan kristenisasi. Dan sesungguhnya semua tantangan itu tujuan hakikinya adalah satu; mereka agar Islam tidak menjadi basis identitas pada idiologi dan jati diri bangsa Indonesia.
Di sinilah kita menemukan interpretasi al-Qur’an terhadap fakta-fakta ini, bahwa menurut paradigma al-Qur’an, antara kita dengan Barat yang notabene Kristen dan Yahudi, telah tercipta-seperti yang dinyatakan tegas oleh al-Attas-konfrontasi yang permanen. Secara histories, Islam sejak awal kemunculan telah dijadikan lawan abadi oleh Barat, karena memang tidak ada kekuatan lain yang bisa mengungguli peradaban Barat, melainkan kekuatan Islam. Barat memandang Islam sebagai saingan yang sesungguhnya di dunia, sebagai satu-satunya kekuatan yang kekal yang dihadapi, dan yang menantang kepercyaan-kepercayaan dan prinsip-prinsip dasar Barat (Islam dan Sekulerisme, Al-Attas: 1981). Barat (baca: Yahudi dan Nashrani) tidak akan pernah ridha terhadap Islam, sampai umat Islam mengikuti ajaran mereka, demikian tafsiran al-Qur’an terhadap realitas kekinian dan kedisinian umat. Maka pertarungan atau benturan peradaban (the class of civilization) adalah sebuah keniscayaan.
Sesungguhnya benturan peradaban adalah pertarungan keabadian. Dalam konteks Indonesia, benturan itu akan berujung pada satu kesimpulan kekuatan manakah yang paling banyak mewarnai dan mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang? Islam atau kekuatan yang lain. Bahwa memang secara normatif di dalam al-Qur’an, Islam mendapat jaminan kekekalan dan kemenangan, itu tidak dapat ditafsirkan bahwa Islam di Indonesia akan menang melawan liberalisasi, kristenisasi, sekulerisasi dan nativisasi, terkecuali kita “menyiapkan kekuatan sampai batas maksimal melawan mereka”. Karena faktanya, Islam di Andalusia telah menjadi masa lalu, tidak menjadi masa depan. Dan kita harus belajar pada sejarah kelam itu. Kita harus belajar merekaya masa depan Islam untuk menjadi kekuatan penentu dan kebijakan dalam seluruh sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyiapkan Kekuatan dan Strategi Pemenangan
Kosa kata yang harus senantiasa kita tanamkan ke dalam seluruh struktur skema berpikir dan bertindak kita adalah kata perang dan pertarungan. Bahwa kita senantiasa melakukan pertarungan dan peperangan. Memang bentuknya, untuk sementara, bukan dalam bentuk fisik, tetapi perang pemikiran (ghazwul fikri). Salah satu bentuk perang pemikiran ini, seperti yang ditegaskan oleh Ziauddin Sardar, bahwa Barat senantiasa melakukan imprealisme epistimologis; semacam penjajahan intelektual terhadap cara berpikir kita, yang secara organis akan berpengaruh pada cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak kita. Di sinilah brainwashing (pencucian otak), misalnya melalui program pertukaran pelajar dan pemberian beasiswa belajar bagi para mahasiswa muslim untuk belajar di perguruan tinggi Barat, menjadi sarana strategis Barat dalam melumpuhkan kekuatan Islam dari dalam. Hasilnya, kita kemudian tidak lagi sibuk berperang dengan Barat semata tapi juga dengan “saudara-saudara” kita sendiri. Betapa banyak dari sarjana yang kita miliki, setelah menempuh studinya di negara-negara Barat, begitu pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi, berubah 180 derajat menjadi corong Barat dalam menghancurkan Islam dengan cara menolak konsep-konsep Islam yang telah final, mengusung ide dekonstruksi syari’ah, menggagas hermeneutika sebagai metode tafsir dan sejumlah ide-ide gila lainnya. Komunitas ini kemudian dikenal dengan JIL yang sering dipelesetkan dengan Jaringan Iblis Laknatullah. Faktanya memang mereka ini mengidap deabolisme pemikiran.
Kosa kata kedua yang harus kita tancapkan pada akal-akal raksasa yang kita miliki adalah kata kekuatan. Bahwa kita harus memenehui sejumlah kekuatan-kekuatan yang mampu memenangkan kita dalam pertarungan ini. Pertarungan ini adalah medan ikhtiyar manusiawi. Maka kata kuncinya menjadi pemenang dari konfrontasi yang permanen ini adalah kita harus memiliki besaran kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan lawan. Dan inilah problem kita. Sebutlah misalnya, sementara Barat dan boneka mereka memiliki sejumlah sarjana dan intelektual (setingkat doktor) yang begitu melimpah, pada waktu yang sama kita punya berapa? Bahkan Hidayatullah, yang punya cita-cita ingin merekontruksi peradaban Islam, untuk sementara hanya memiliki satu orang doktor saja. Semoga lima tahun ke depan, ormas ini telah memiliki segerombolan intelektual setingkat doktor.
Merujuk pada pemikiran Sayyid Quthb, bahwa kekuatan-kekuatan yang harus kita miliki dalam menghadapi narasi besar yang bernama Barat dengan segenap kekuatannya adalah kekuatan aqidah, ekonomi, militer dan beberapa kekuatan lainnya. Nampaknya kita semua sepakat pada solusi itu. Dan itu memang benar pada semua bagiannya. Hanya saja, pola penyelesaian yang benar, seperti yang ditekankan oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani, jangan sampai kita meloncati waktu. Kita seringkali melupakan dan melalaikan rentang waktu antara “dari masa sebelum” dengan “dari masa sesudah dan akhirnya menjadi”.
Rentang waktu itulah yang kita sebut proses. Dan kita semua sepakat bahwa proses yang bisa menghantarkan kita pada sejumlah kekuatan tadi hanya melalui pendidikan dan pembinaan (tarbiyah dan dakwah) yang harus berjalan secara simultan, konsisten, komprehensif dan terpadu. Yang saya maksud adalah melakukan mobilitas horizontal dan vertikal. Program unggulannya adalah kaderisasi kepemimpinan umat pada semua lapisan profesi dan jabatan-jabatan yang strategis. Maka sudah saatnya kita mulai mengajar kader-kader untuk bercita-cita menjadi orang nomor satu di negeri ini. Harus tiba pada suatu kurun dalam sejarah Indonesia, Islam tampil menjadi pedoman bagi sistem berbangsa dan bernegara, dan itu tidak mungkin terjadi kecuali kita mampu menyiapkan. Jadi, kosa kata ketiga yang harus kita hafal adalah kata pendidikan dan kaderisasi.
Kaderisasi yang kita maksud adalah membangun inti lapisan umat yang kita sebut dengan pemimpin. Alasannya adalah berdasarkan filosofi dan hukum sejarah, bahwa sesungguhnya sejarah itu kebanyakan merupakan hasil karsa, karya dan rekayasa dari orang-orang yang berpikir dan berjiwa besar. Sejarah adalah produk para pemimpin yang kemudian orang-orang itu kita namakan para pahlawan.
Pemimpin yang kita maksud, merujuk pada bimbingan al-Qur’an, adalah insan kamil atau khaira ummah (umat yang terbaik). Model yang akan kita contoh adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Maka konsep dan desain pendidikan kita harus merefleksikan manusia universal (Al-Attas: 1996) yang visi misinya adalah melahirkan insan kamil atau khaira ummah tadi dimana mereka harus memiliki kekuatan transendental (kekuatan aqidah: tu’minuwna billah) sehingga mampu memerankan peran kesejarahannya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Substansi dari ide ini, seperti yang ditegaskan oleh Anis Matta dalam bukunya dari gerakan ke negara, adalah bagaimana agar kualitas yang kita miliki secara simtetris berbanding lurus dengan keagungan agama kita. Agama yang besar harus dipeluk dan dijalankan oleh akal-akal rasksasa muslim sejati.
Jadi, seperti imam al-Ghazali yang menyiapkan generasi Salahuddin yang baru mewujud setelah 50 tahun lebih melalu proses pendidikan dan pemikiran yang benar dan tidak tercemar dengan virus-virus pemikiran yang menyesatkan umat dari agamanya, kita juga hendak berupaya menuju terwujudnya sebuah generasi baru muslim kaffah yang akan menjadi aktor sejarah di nusantera.
Akhirnya sebuah generasi yang akan meraksasa, baik secara intelektual, emosional dan spritual, akan mampu melahirkan dan mewujudkan ramalan Dr. Yusuf Qardhawa, bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara akan dipimpin oleh bangsa Indonesia. Saat itu semoga, kita mampu meluluhlantakkan tantangan liberalisai, kristenisasi, sekulerisasi, dan nativisai. Bahkan mampu memenangkan pertarungan keabadian. Insya Allah.

No comments: