Wednesday, May 20, 2009

KURIKULUM INTEGRAL DAN ISLAMISASI ILMU



Jika merujuk pada sejarah lahirnya konsep kurikulum integral, maka fakta yang kita dapati, adanya semacam kekhwatiran dari pemikir muslim akibat mewabahnya fenomena sekulerisme Barat yang menggerorogoti kehidupan umat Islam, dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik maupun pendidikan. Dalam politik misalnya, kita dipaksa mendengar dan menerima adagium “Islam Yes, Partai Islam, No” yang pernah dilontarkan oleh penggagas pertama gerakan sekulerisasi di Indonesia. Begitu juga dalam bidang pendidikan, yang salah satu akibat pengaruh buruk sekulerisme dalam pendidikan adalah kita diperkenalkan dengan istilah dualisme kurikulum yang berusa memisahkan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum (sains).
Fakta inilah yang melatar belakangi lahirnya konsep kurikulum integral. Konsep ini berusaha mengintegrasikan kembali dua kurikulum tersebut. Dengan kata lain, kurikulum integral adalah antitesis dari dualisme kurikulum yang berusaha menyodorkan suatu paradigma baru pendidikan dengan berbasiskan tauhid sebagai basis centralnya, sehingga dikotomi keilmuan tidak lagi mendapatkan tempatnya dalam semua aktivitas pendidikan dan pengajaran individu muslim.
Dalam paradigma kita, integrasi dua kurikulum sebagai sebuah proses dari kurikulum integral tersebut, tentu tidak hanya sekedar menggabungkan atau secara bersamaan mengajarkan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan sains dalam skema dan strategi pengajaran dan pembelajaran muslim. Karena jika hanya sekedar mencampurkan, itu tidak berarti bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pengetahuan barat moder lantas sesuai dengan pandangan hidup Islam. Sekedar mencampurkan atau memasukkan dua kurikulum tersebut dalam silabus, tidaklah akan menghindarkan kita dari virus-virus pemikiran Barat. Karena itu apa yang kita pahami dengan integrasi ini adalah sebuah proses islamisasi ilmu pengetahuan.

Ilmu Tidak Bebas Nilai; Sebuah Alasan Islamisasi Ilmu
Wacana Islamisasi ilmu bermula pada awal 1980-an yang didasarkan pada kesadaran bahwa semua disiplin ilmu sosial merupakan kontruks budaya peradaban Barat dan sebetulnya tidak memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim (Sardar: 2005). Ilmu sebagai sebuah produk budaya merupakan kontruksi pengetahuan yang dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu. Itulah sebabnya, secara epistimologis, sains Barat modern sebagai sebuah ilmu tidaklah bebas nilai, karena lahir dari tradisi intelektual dalam budaya dan masyarakat Barat yang menafikan peran wahyu sebagai salah satu sumber ilmu. Sebagai akibatnya, sains modern dalam tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan, sehingga akhirnya menjadi sekuler dan anti Tuhan. (Hamid: Islamia, 2008). Contohnya adalah pandangan Barat terhadap alam yang mereka gambarkan sebagai sebuah mesin raksasa (mekanisme) yang didasarkan atas pandangan filsafat Newton. Dalam filsafat ini, Tuhan tidak lagi memiliki peran terhadap alam, tetapi alam sebagai sebuah mesin raksasa telah memiliki mekanisme hukumnya tersendiri yang mereka sebut dengan hukum alam. Pandangan inilah yang menimbulkan paham deisme; suatu paham yang didasarkan atas teori “clock maker teory (teori pembuatan jam)” yang berarti bahwa Tuhan, setelah menciptakan alam, tidak lagi berurusan dengannya. Lambat laun kesimpulan ini menyeret ilmuwan barat lebih jauh untuk kemudian mencurigai “jangan-jangan Tuhan memang tidak pernah ada”( Kertanegara: Mengislamkan Nalar, 2007). Akhirnya deisme berujung pada atheisme.
Jadi, ada perbedaan epistimelogis yang sangat fundamental antara Barat dan Islam karena adanya perbedaan pandangan hidup, dimana perbedaan itu akan memiliki pengaruh terhadap ilmu pengetahuan yang nantinya akan dihasilkan. Bahwa setiap ilmu memuat pandangan hidup tertentu. Al-Attas sebagai orang pertama diantara sarjana muslim kontemporer yang mengganggap bahwa ilmu tidaklah bebas nilai, menegaskan bahwa “Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahan yang berbeda mengenainya, meskipun diantaranya terdapat perbedaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu dalam sehingga tidak bisa dipertemukan”( Daud: Filsafat, 2003).
Bahwa telah terjadi westernisasi ilmu yang begitu parah karena merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme, mengangkat keraguan sebagai kerangka metodologi bahkan epistimelogi yang sah dalam keilman, dan yang paling fatal, menolak peran wahyu dalam seluruh aktivitas intelektual. Westernisasi ilmu dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan renungan filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. (Armas: Islamia, 2005, Al-Attas: Islam dan Sekulerisme, 1981). Adanya latar belakang keilmuan Barat yang memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan Islam, baik secara ontologis maupun epistimelogis, menjadi raison de etre program Islamisasi ilmu. Para ilmuwan muslim menyadari bahwa pengetahun Barat modern, telah menjadi tantangan yang serius bagi kehidupan dan peradaban Islam. Sehingga proyek islamisasi dimaksudkan sebuah jihad dan ijtihad intelektual yang berupaya menghilagnkan apa yang dikatakan oleh al-Faruqi dengan “Malaise of Ummah”atau apa yang diistilahkan oleh Al-Attas dengan “The Corruption of Knowlegde”. Islamisasi ilmu merupakan agenda intelektual yang memberi harapan besar pada kebangkitan peradaban Islam

Islamisasi Ilmu; Konteks Kurikulum Integral Hidayatullah
Walaupun Islamisasi ilmu meripakan isu dan wacana yang paling kontroversial, tetapi ia telah menjadi semacam revolusi epistimologis yang berusaha memberontak terhadap keadaan umat Islam yang telah lama tersisihkan secara keilmuwan dan peradaban oleh peradaban Barat. Sebagai sebuah revolusi, misi yang diemban oleh proyek ini adalah mengembalikan kembali kejayaan Islam. Di sinilah, signifikansi Islamisasi ilmu yang juga harus direspon Hidayatullah sebagai salah satu gerakan yang ikut andil dan ambil bagian dalam rekontruksi peradaban Islam. Bahwa substansi dari peradaban adalah ilmu pengetahuan, sehingga aktivisme intelektual yang mewujud dalam suatu komunitas ilmiah merupakan prasyarat mutlak bagi gerakan peradaban. Dan islamisasi ilmu merupakan bagian aktivisme intelektual muslim yang bertugas memelihara orisnalitas (ashalah) kekhasan dan merupakan revivalisme peradaban Islam.
Islamisasi pengetahuan yang dipahamai sebagai antitesis westernisasi ilmu, berarti sebuah usaha membersihkan (purifikasi) elemen-elemen dalam ilmu pengetahuan Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Karena ilmu pengetahuan modern diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis peradaban Barat, maka Al-attas menyebutkan ada lima unsur dalam sains barat yang menjiwai peradaban Barat yang harus dibersihkan, yaitu 1) Pengandalan Barat terhadap akal yang mampu membimbing umat manusia, 2) Sikap Barat yang dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler, 4) membela doktrin humanisme, dan 5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Karena itu, orang yang bertugas melakukan gerakan Islamisasi ilmu adalah orang yang mengusai dua pengetahuan substantif; pertama pengetahuan terhadap ajaran dan pandangan hidup Islam, dan kedua pengetahuan terhadap budaya dan peradaban Barat. Dua pengetahuan ini merupakan sebuah keniscayaan, karena dengan begitu kita akan mampu mengidentifikasi dan membersihkan virus ilmu modern dan pada waktu yang sama mampu memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci ke dalam setiap sains modern yang relevan; semacam adaftasi dan modifikasi ilmu modern yang disesuaikan dengan ajaran Islam (Armas: Islamia, 2005).
Pengetahuan lain yang harus dikuasai adalah penguasaan terhadap metodologi ilmiah islami, karena produksi dari islamisasi pengetahuan tergantung pada munculnya metode yang Islami (Safi: Ancangan Metodologi Alternatif, 2001)
Kata “menguasai atau penguasaan terhadap pengetahuan substantif yang kita maksudkan bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan sebuah istilah yang relatif. Istilah ini hanya untuk menunjukkan adanya pengetahuan yang telah dapat dicapai oleh sarjana, terbatas pada waktu dan tingkat perkembangan yang telah dicapai dalam disiplin itu (Safi: 2001). Ini untuk menunjukkan bahwa program Islamisasi ilmu ini bersifat ijtihadi dan karenanya merupakan program dinamis yang akan selalu mengalami perbaikan pada beberapa aspek dan produknya.
Nah, merujuk pada beberapa persyaratan teoritis-praktis di atas, maka pertanyaannya adalah “Sejauh mana Hidayatullah telah memiliki sejumlah ilmuwan tersebut.?Inventarisasi terhadap sejumlah ilmuwan yang kita miliki adalah dimaksudkan untuk memastikan bahwa kurikulum integral yang kita berlakukan dalam pendidikan, bukanlah sebuah labelisasi semata. Tetapi sebuah rumusan konfrehensif yang telah melalui sejumlah syarat-syarat tersebut di atas. Di samping itu, juga dimaksudkan sebagai amunisi intelektual agar kita memiliki kesiapan dan kekuatan berhadapan dengan serangan pemikiran Barat. Dalam kerangka ini, maka strategi pendidikan Hidayatullah sebaiknya dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah stok ilmuwan, cendikiawan dan pemikir yang menguasai seluruh disiplin keilmuan. Sebab, kita tidak mungkin membayangkan membuminya kembali peradaban Islam, tanpa kehadiran para intelektual yang hebat. Seperti nabi yang merindukan keislaman Umar, karena beliau sadar agama ini membutuhkan lebih banyak orang-orang yang terbaik.
Satu hal yang juga perlu digaris bawahi, walaupun proyek Islamisasi ini tidak terwujud dalam bentuk penulisan buku-buku paket yang akan dijadikan referensi bahan ajar untuk semua jenjang pendidikan yang ada di Hidayatullah, tetapi satu fakta yang tidak harus kita abaikan bahwa Islamisasi ilmu ini harus menjadi ide, gagasan dan kesadaran umum di kalangan pendidik kita. Dengan kata lain, Islamisasi ini harus mewujud dalam bentuk islamisasi pikiran, jiwa, akal dan bahasa para pendidik dan da’i Hidayatullah agar kurikulum integral yang kita terapkan benar-benar mencerminkan atau sebuah tafsiran yang benar terhadap pandangan Islam mengenai ilmu dan pendidikan, dan pada waktu yang sama para pendidik kita juga mampu menghilangkan atau membersihkan beberapa konsep atau materi dalam buku-buku rekomendasi Diknas yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
Akhirnya, semoga Allah memudahkan urusan kita dengan mega proyek ini.

No comments: