Wednesday, May 20, 2009

ISLAM DAN ISU KETERWAKILAN UMAT

Dinamikan perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2009, cenderung memanas. Ada banyak isu yang dimunculkan dalam menggalang suara untuk mendapatkan kemenangan-kekuasaan pada perhelatan akbar yang akan berlangsung pada bulan juli mendatang. Di antara isu yang masih sering dipentaskan dalam pangung demokrasi Indonesia adalah isu keterwakilan umat Islam. Isu ini memang masih memiliki pamor yang cukup kuat dalam menarik simpati suara umat Islam. Alasannya jelas, umat Islam secara kultur jumlahnya adalah mayoritas dan dalam perspektif komunikasi massa isu secara emosional masih bisa dimainkan melalui sentiment keagamaan. Walaupun, mungkin sebagian kita masih belum yakin apakah isu ini dapat mengubah takdir seorang kandidat priseden yang mungkin sebelumnya dipastikan menang menurut beberapa lembaga survei, akan tapi karena dia tidak mengindahkan isu ini, dia terpental jatuh dan kalah. Karena faktanya, perolehan partai-partai Islam, kecuali PKS, pada pileg tahun ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Meskipun hal ini juga tidak lantas dapat disimpulkan bahwa Islam telah kehilangan “nilai jual”nya di Indonesia. Bukankan partai-partai nasionalis sekuler juga mengalami nasib yang sama; jumlah perolehan suara mereka merosot tajam.
Isu keterwakilan Islam kembali mengemuka ketika presiden SBY disinyalir, bahkan dipastikan akan menggandeng cawapres-nya dari kalangan nasionalis yang mungkin calon kuatnya adalah Bodiono. Akhirnya, komposisi pasangan yang akan diusung oleh partai Demokrat adalah pasangan nasionalis kuadrat. Kesimpulannya, akan bisa direduksi bahwa SBY dalam pilpres 2009 ini tidak memperhatikan aspirasi umat Islam. Karena wakil yang dipilihnya bukan berasal dari kalangan Islam. Dan fakta ini sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai, merujuk pemikiran dan istilah Kuntowijoyo, aksi marginalisasi dan periferalisasi politik Islam; semacam usaha sistematis peminggiran umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, seharusnya sebagai kekuatan mayoritas di nusantara, umat Islam mestilah wajib dilaksanakan aspirasinya, termasuk dalam soal pasangan capres dan cawapres ini.
Isu inilah yang kemudian yang membuat partai Demokrat dan ketua dewan pembinanya mengalami dilema dan buah simalakama yang cukup parah. Ada semacam kebingungan dalam menentukan arah koalisi dengan partai-parta politik lain yang masih tersisa. Di satu sisi ada kemauan memperhatikan aspirasi umat islam dengan harus memilih salah satu pasangan cawapres yang di usung oleh masing-masing partai peserta koalisi yang berbasis Islam. Namun, pada sisi yang lain, tawaran menggiurkan dengan memilih Boediono sebagai cawapres SBY, akan menjadi jembatan strategis yang bisa merekatkan hubungan antara partai Demokrat dan PDI-P yang selama lima tahun terakhir diwarnai ketegangan politik yang cukup dahsyat.
Adanya kegamangan pada kubu SBY, disamping akan semakin menguatkan kesan publik bahwa SBY adalah sosok pemimpin yang peragu dan pelaku pertimbangan yang sangat ekstrem karena menganut mazhab politik pencitraan yang sangat fanatik, pada waktu yang sama ini juga merupakan suatu fakta politik yang tak terbantahkan dan cukup memberikan hujjah bahwa isu ini masih menjadi salah satu variabel politik yang harus diperhatikan oleh para politikus di Indonesia jika ingin keluar menjadi pemenang pada pilpres bulan juli mendatang.
Selanjutnya, fakta politik ini juga bisa dijadikan bantahan yang cukup telak kepada para pengamat politik, bahwa aktor penentu pada pilpres bukanlah semata monopoli pemenang pileg kemarin, dalam hal ini partai demokrat, yang mengantongi suara 20 persen lebih, tetapi juga partai-partai menengah. Ini merupakan konsekuensi logis, bahwa pada pileg kemarin tidak ada satu partai-pun yang menjadi pemenang mutlak. Perolehan suara 20 persen oleh partai demokrat, bukanlah angka yang aman. Mereka akan dipaksa oleh keadaan untuk wajib berkoalisi dengan partai-partai lain untuk membangun pemerintahan yang kuat di pemerintahan dan parlemen.
Sementara, bahwa partai yang tersisa adalah partai berhaluan Islam, maka partai-partai ini seharusnya mampu menjalinkan persatuan yang cukup solid dalam mewakili keterwakilan umat Islam. Partai Islam harus memberikan satu pelajaran politik kepada bangsa dan dunia international, bahwa kekuatan Islam masih dan akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuatan sekuler di Indonesia. Partai Islam harus mampu menjadi kekuatan penentu dan pemutus agar marginalisasi dan periferalisasi Islam, tidak terjadi pada pilpres kali ini. Sesungguhnya fakta-fakta politik yang terjadi menjelang pilpres ini, harus ditafsirkan sebagai salah satu rekayasa Allah yang memberikan kesempatan kepada partai Islam untuk tetap mengawal aspirasi Islam dan umatnya. Partai Islam harus memiliki pemikiran bahwa kalangan Islam-lah, bukan kalangan nasionalis, dalam pilpres kali ini yang harus menempati posisi cawapres. Jika tidak, partai Islam harus berani bersikap dengan cara membuat poros baru yang bisa mewujudkan aspirasi politik Islam. Kalaupun misalnya kalah, yang penting partai-partai Islam telah mencatatkan sejarah bahwa mereka tidak mengkhianati amanah konstituen mereka yang nota bene adalah muslim. Manfaat lain, sejarah ini juga akan menjadi pelajaran politik yang sangat berharga bagi generasi muslim selanjutnya tentang bagaimana etika dan prinsip politik Islam; bahwa Islam dan aspirasi umat adalah di atas kepentingan segala-galanya.

No comments: