Wednesday, May 20, 2009

PERUBAHAN

Perubahan. Kata itu sendiri pada setiap suku dan siku huruf-hurufnya mengandung makna ”pemberontakan”, revolusi, anti kemapanan, perjuangan menuju dan menjadi. Mungkin ada senadung jihad dalam kata itu. Perubahan sebagai sebuah konsep, ide, memang umum pada semua lapisan maknanya. Dia tidak memuat ide tunggal.
Perubahan. Kata itu telah menjadi sakral, magis, mengandung sihir yang mampu menarik perhatian ribuan massa. Kata itu menjadi statemen politik yang sering dikhotbahkan oleh para politisi yang ’katanya’ mau melakukan perubahan. Kata itu telah menjadi ide universal bagi setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Tidak hanya para politsi yang sering membasahi bibirnya dengan kata itu. Para tukang becak, juga sering meneriakkan perubahan. Pada karakternya sebagai sebuah bahasa, kata itu memang bukan hak monopoli pribadi. Tapi apapun, kata ini memang punya magnet. Bahkan karena kata inilah Barrack Obama, mampu menuju kursi presiden Amerika pertama dari kulit hitam. Kata itu, sungguh begitu dahsyat. memang
Perubahan. Aku mendebat perubahan. Karena setiap kali mendengar kata perubahan, aku tidak pernah mendapat penjelasan definitif mengenai perubahan; perubahan sepertia apa? apa yang dirubah. Pada basis ontologi dari kata itu sering kali terlupakan. Kita terlalu sering meloncat pada ranah epistimologinya. Bahkan itu-pun kalau cara yang kita lakukan benar.
Tapi aku bukan orang yang apriori. Maka mari kita diskusikan.
Perubahan. Sebagai mahasiswa yang didaulat oleh sejarah sebagai agen of change, kata itu demikian akrab dalam struktur berpikir dan skema konseptual kognitif kita. Tetapi, aku berani bertaruh, tidak banyak di antara kita yang paham tentang konsep perubahan yang kita teriakkan.....sekali lagi mau merubah apa?????
Perubahan, secara derivatif kata itu berasal dari kata rubah-merubah-perubahan. Orang Inggris menyebutnya dengan change. Sedang orang Arab mengistilahkannya dengan taghyir.
Merubah merupakan kata kerja transitif (fill muta’addi) yang membutuhkan obyek. Maka pertanyaan yang akan mengemuka ketika kata itu kita teriakkan kira-kira seperti ini ”Cong, mau merubah APA”
”Apa” adalah obyek yang akan menjadi area dari perubahan yang akan kita jalankan. Itu adalah wilayah aksi ketika kita menemukan otoritas, wewenang dari apa yang kita sabdakan. Ketika saya menyebut wewenang dan otoritas yang saya maksudkan adalah otoritas ilmiah, emosional, spritual dan kekuatan jasmani; semacam kapasitas kepribadian yang paripurna atau paling tidak mendekati target minimal dari konsep insan kamil, yang akan memberi kita alasan untuk bertindak di wilayah itu. Alasannya, tentu saja, karena aku tidak mau bertindak pada sesuatu yang aku tidak pahami. Dalam bahasa hadits, akan terjadi kehancuran (assa’ah) bila sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Menyerahkan tugas perubahan dalam bidang hukum tata negara di Indonesia kepada saya, tentu saja dinilai tidak tepat, bahkan ngaco.Ingat itu!!!!!
Itulah sebabnya, saya ingin menegaskan satu fakta, bahwa antara apa yang akan kita kerjakan dengan kemampuan yang kita miliki, merupakan dua kutub ekstrem yang terkadang tidak terjambatani oleh karena kita tidak memilliki kemapuan analisa pada besaran kapasitas internal kepribadian yang kita miliki dengan besaran tantangan eksternal yang akan kita hadapi. Suatu mimpi perubahan akan terwujud bila wilayah idealisme kita mendapat dukungan yang lebih besar dari kapasitas kepribadian yang kita miliki. Pada konteks ini, setelah kita menyisakan ruangan takdir, saya termasuk orang yang percaya bahwa realitas itu sesungguhnya adalah variabel yang bersifat dependent dalam konteks perubahan. Asalkan kita memenuhi seluruh syarat-syarat perubahan dalam seluruh ruangan kemanusiaan, maka apa yang kita inginkan terjadi, pasti terjadi, yang tentu saja setelah kita menyisakan satu ruangan takdir tadi. Artinya jika memang itu tidak terealisasi, maka memang takdirnya ketika itu. Tapi takdir esok, setelah ”ketika itu” itu adalah takdir lain yang masih misteri. Dan itu memang memiliki dua kemungkinan. Tetapi secara logika kemenangan kita pasti menang mewujudkan perubahan itu. dan karenanya kita punya hujjah untuk berharap.
Nah, sebelum kita pergi ke sana; ke pulau Sapeken untuk melakukan kerja-kerja perubahan, mari kita di sini dulu; disini kita perlu berbisik kapada hati, akal dan jiwa kita masing-masing tentang tema kita ”sekali lagi tentang perubahan?. ini semacam pendahuluan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Pada intinya, saya tidak ingin kita mempolitisasi kata ini hanya karena dan dengan tujuan memamerkan bahwa kita adalah gerombolan mahasiswa; sang lokomotif perubahan. Padahal pada waktu yang sama, kita sebenarnya bingung, apa yang akan kita rubah di pulau kita.
Kita bingung adalah sebuah indikas bahwa kita sebenarnya, mungkin tidak pernah punya waktu untuk memikirkan masa depan pulau kita. Ada semacam keterputusan antara kegiatan berpikir kita dengan pulau sapeken. Kata kuncinya adalah, sejauh mana kosa kata SAPEKEN ada dan mengalir dalam setiap ide dan gagasan besar yang kita miliki.
Kita bingung karena kita tidak mampu memetakan pada wilayah mana kita akan melakukan perubahan di pulau SAPEKEN. Saya percaya bahwa kerja-kerja perubahan itu harus dibangun di atas asas kebertahapan (tajarrud fid-dakwah), dan itu menjadi dalil bahwa saya tidak setuju dengan konsep revolusi dalam melakukan perubahan. Di samping itu, pada bagian lain dari episode dari drama perubahan yang akan kita pertontonkan, prinsip skala proritas tentu menjadi pedoman.

No comments: