Thursday, February 12, 2009

AL-HAMDULILLAH: Pada Karya Ada Puji Strategi Pemenangan Dakwah Politik

Al-hamdulillah, begitu Allah Swt. mengawali kalam-Nya yang mulia dalam surah al-Fatihah; menegaskan bahwa Dia memuji diri-Nya sendiri. Segala puji memang hanya untuk-Nya. Karena Allah satu-satunya Dzat yang Maha Tinggi yang berkarya akan ala mini dengan seluruh demensi dan keindahannya. Karya-Nya yang agung inilah yang mengkondisikan segala puji dan pengakuan bersimbah ruah untuk-Nya.
Setidaknya kata yang sama terdapat dalam awal surah al-An’am, al-Kahfi, al-Fathir, dan as-Shofa. Semua surah-surah itu, seperti halnya surah al-Fatihah menegaskan bahwa segalapujian harus ditumpah ruahkan untuk-Nya semata. Pujian itu, sesungguhnya merupakam konsekuensi logis dari kita ketika menyaksikan sebuah karya yang tak mungkin bisa ditandingi. Pujian itu merupakan pengakuan terdalam dari seorang hamba akan Pencitanya yang Agung dan Indah. Dan kita mendapat ketenangan dan kedamaian ketika lidah kita selalu basah mengucapkan al-hamdulillah.
Dalam konteks dakwah politik, realitas al-hamdulillah, seyogyanya menyadarkan para aktivis dan kader dakwah bahwa kata indah tersebut mengandung sebuah pesan dan diktum sosial yang sangat signifikan, dan karenanya harus dihayati oleh kita. Qaidah itu adalah “pada karya ada puji”. Jika engkau berkarya engkau akan menuai pujian, mendapat sertifikat pengakuan dan penerimaan. Begitu engkau selesai mewujudkan karyamu dengan sempurna, bersiaplah menerima takdirmu sebagai sosok manusia yang akan dipuji sepanjang sejarah. Inilah rahasia kebesaran para pahlawan, karena pada potongan waktu, mereka pernah memberikan pada sejarah sebuah karya yang agung dan itu menjadi dalil yang “memaksa” umat manusia menaruh kekaguman dan pujian kepada mereka.
Itulah sebabnya, dakwah ini tidak hanya membutuhkan pribadi-pribadi yang bisanya hanya berfikir dan berwacana. Dakwah ini membutuhkan orang-orang yang siap dengan konsep dan bekerja serta beramal secara ikhlas dan mengagumkan. Jika dakwah adalah sebuah mega proyek untuk meretas kembali peradaban Islam,maka hadirnya manusia muslim modern yang memiliki kemampuan beramal secara mengagumkan dan bermanfaat merupakan modal utama dan pertama menuju cita-cita besar tersebut. Nahnu kaumun ‘amaliyun la amaliyun; kami adalah kaum pekerja bukan penghayal.
Sebuah diktum sosial menyebutkan “...kelompok sosial hanya bisa eksis jika memberi mamfaat kepada masyarakat. Makin besar manfaatnya makin cepat eksisnya. Semua itu terkait dengan pengakuan masyarakat (social recognation). Inilah yang dimaksud oleh Anis Matta, alter ego saya, dalam bukunya menikmati demokrasi, bahwa kita harus berupaya menjahriyahkan amal-amal dakwah dan tarbawi kita kepada masyarakat. Usaha ini merupakan langkah dari dan untuk mengikuti logika massa, dimana mereka itu tidak bisa menjangkau hal-hal yang bersifar abstrak konseptual. Persepsi masyarakat lebih banyak dibentuk oleh fakta yang ril, tersentuh dan terjamah. Karena itu menampakkan amal kebaikan kepada masyarakat adalah dalam rangka menarik simpati dan kepercayaan (trust) merupakan aksioma dakwah, terlebih pada momentum pemilu tahun 2009 ini, untuk mendapatkan kemenangan. Kita harus menang, sebab kitalah yang paling berhak dan butuh atas kekuasaan. Karena kekuasaan pada substansinya akan memberi kita legitimasi mengatur masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Allah Swt. berfirman “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu. (Qs. At-Taubah: 105)
Rasulullah saw bersabda “Manusia yang paling terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat”.
Demikianlah petunjuk Allah dan Rasulullah tentang strategi memenangkan dakwah. Bahwa kontribusi amal yang mampu mewujudkan kemaslahatan umum adalah bukti dari keterlibatan dan tanggung jawab kita terhadap jama’ah dakwah. Hal ini juga menjadi dalil tentang siginifikansi sebuah manajemen strategi dakwah. Sebisa mungkin amal-amal dakwah dan tarbawi kita harus menusuk tepat di pusat jantung kesadaran massa, sehingga mampu menciptakan kesan kuat dalam struktur logika mereka, dan secara aktif mampu membuat mereka berafiliasi secara intelektual dan emosional terhadap gerakan dakwah. Disinilah pentingnya beramal secara cerdas dan kreatif yang harus merujuk pada pemikiran tentang efesiensi dan efektifitas gerakan. Maka pemahaman terhadap fqih al-awlawiyah (fiqh prioritas) dan fiqh al-waqi’ (fiqh realitas) bagi segenap da’i merupakan sebuah keniscayaan. Sebab kedua fiqh ini akan membimbing kita beramal secara lebih cerdas dan tepat.
Selanjutnya pembicaraan tentang fasal ini tidak akan sempurna kecuali kita berbicara tentang bagaimana cara yang tepat agar aktivitas dakwah yang kita lakukan dapat diketahui dan mampu memberi kesan yang menggugah dan menggetarkan jiwa masyarakat.
Di sinilah pentingnya media dan bagaimana cara bermua’amalah dengan media. Yang kita inginkan dari media adalah “apa yang kita lakukan, sebisa mungkin masyarakat harus tahu, apa yang kita sampaikan sebisa mungkin masyarakat harus paham, apa yang kita programkan sebisa mungkin masyarakat mendengar”. Sehingga ketika saatnya kita melakukan mobilisasi massa, mereka bersegara menyambut serua reformasi kita. Dan jika demikian halnya, segeralah bersiap menunggu takdir kita sebagai pemenang. Allahu Akbar.

No comments: