Thursday, February 12, 2009

TAFSIR ISLAM ATAS REALITAS

Jika Islam adalah agama yang memiliki tingkat relevansi pada setiap tempat dan waktu (shalih likulli zaman wa makan), maka Islam dalam karakteristiknya sebagai agama universal dan pedoman bagi umat manusia, tentu memiliki tafsiran tersendiri atas realitas ke-kinian dan ke-disinian. Bahwa Islam sebagai agama wahyu memiliki paradigma teoritis tertentu terhadap seluruh kenyataan empiris dan obyektif manusia. Islam dalam posisinya sebagai referensi transendental manusia, memaklumkan dirinya sebagai sebuah agama yang sarat dengan nilai-nilai ontologis, epistemologi, dan aksiologis dalam mengobyektifikasi dan menginterpretasi seluruh kenyatan vertikal dan horizontal. Fakta ini secara jelas ditegaskan di dalam kitab suci, bahwa tidak ada bagian sedikit-pun yang terlewatkan oleh al-Qur’an. Ayat itulah yang menjadi hujjah perkataan Abu Bakar “seandainya aku kehilangan tali kekang kudaku, niscaya akan aku mendapatkannya dalam al-Qur’an”.
Hanya saja, penjelasan Islam atas berbagai realitas tidaklah semuanya bersifat rinci, melainkan sebagian besar dibangun atas kerangka umum dan global. Karena itu, diperlukan adanya akal-akal kreatif muslim untuk melakukan derivasi dan elaborasi dari berbagai kerangka-kerangka umum dan konsep-konsep kunci tersebut tersebut menjadi sebuah teori ilmu yang bersifat praksis-aktual. Dalam kerangka ini, kita berusaha mempertemukan antara kebenaran idealisme wahyu dengan kebenaran realitas dalam dimensi ruang dan waktu. Ide pokoknya adalah bagaimana denga seperangkat teori derivatif dari tersebut, kita mampu mengkontruksi atau bahkan pada tingkat mengestimasi kemungkinan sebuah kenyataan dengan tepat dan memberikan jawabannya.
Langkah pertama dari semua usaha itu adalah menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sebuah paradigma. Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn, bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh sebuah mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode knowing tertentu pula. Imanuel Kant menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut dengan “skema konseptual” (Kuntowijoyo: 2008). Diharapkan dengan paradigma ini kita akan mampu memahami dan menangkap sunnah-sunnah Rabbaniyyah (sunnatullah) yang mengatur seluruh sistem pergerakan dan perubahan pada seluruh sruktur kehidupan umat manusia. Hal ini dimaksudkan untuk memprediksi signifikansi dan kemana orientasi peristiwa-peristiwa tersebut mengalir, dan di satu sisi mengetahui sifat yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut (Muhammad Quthub: 1996). Jika akal-akal muslim mampu menguasai disiplin ini dengan baik, maka kita berhasil menemukan teori-teori ilmu sosial yang bersifat universal, dimana medan aplikasi dan aktualisasi dari ilmu tersebut bersifat mondial. Keyakinan ini berotal dari premis awal bahwa seluruh persepsi islami atas semua tingkatan realitas dibangun di atas altar sumber otoritas tertinggi, dan karenanya secara substansial, studi ini sepenuhnya adalah obyektif dan ilmiah murni.

Pemahaman terhadap Dua Sumber Otoritas: Sebuah Pendekatan

Pemahaman terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan titik tolak dari seluruh persepsi dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan fakta bahwa keduanya adalah kalamullah, cukuplah menjadi bukti yang terbantahkan bahwa keduanya memuat segala informasi yang valid tentang berbagai fenomena dan ilmu pengetahuan, karena sumbernya adalah Allah; Dzat yang Maha Mengetahui apa-apa yang terjadi dilangit dan bumi, yang berdemensi fisika maupun metafisika. Sehingga usaha intelektual yang shahih berdasarkan metode tafsir dan ta’wil untuk memahami al-qur’an merupakan study yang akan selalu menghasilkan temuan baru yang spektakuler. Itulah sebabnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam mampu menghasilkan ribuan ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu. Hal itu karena agama ini dengan dua perangkat utamanya, telah menyediakan skema konseptual bagi pengembangan ilmu.
Agar dua sumber otoritas yang telah menyediakan skema konseptual itu terpahami sehingga mampu dijadikan sebagai sebuah paradigma untuk menafsirkan realitas, maka salah satu pendekatan - diatara beberapa pendekatan yang telah disampaikan oleh beberapa ilmuwan yang lain - yang disodorkan oleh Kuntowijoyo adalah pendekatan Sintetik-Analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan dari dua sumber tersebut terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama; berisi konsep dan bagian kedua; berisi kisah-kisah sejarah (Kuntowijoyo: 2008, 549).
Untuk bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita akan menjadikannya sebagai data dan referensi dalam mendevinisikan serta menafsirkan realitas. Sebutlah, misalnya, konsep jahiliyah. Istilah ini mengacu pada kondisi peradaban manusia yang kehilangan visi eksistensialnya, sehingga manusia melakukan penyembahan kepada selain Allah (syirik). Dengan demikian, konsep ini tidak hanya merujuk pada kondisi sosio-historis masyarakat Arab waktu itu, tetapi lebih merupakan sebagai sebuah paradigma al-Qur’an dalam menjelaskan kondisi manusia yang mengalami ”the lost of tauhid”. Dengan mengacu pada sifat dan karateristik jahiliyah yang gambarkan oleh al-Qur’an, tentu bukanlah sebuah kesalahan jika realitas umat sekarang bisa dikatakan sebagai sebuah kondisi yang berada dalam kondisi jahiliyah seperti yang ditegaskan oleh Sayyid Quthub.
Demikian juga halnya dengan konsep pembangunan yang disitilahkan oleh a-Qur’an dengan kata “Taghyir”. Konsep ini bukanlah pembangunan pada aspek fisik dan ekonomi semata, melainkan dimulai dari pembangunan individu yang memahami kedudukannya di hadapan Tuhan. Maka dengan analisa konseptual ini, kita akan berkesimpulan bahwa usaha pembangunan yang tidak dimulai dari jiwa manusia, hasilnya akan sia-sia. Beginilah tafsir islam atas realitas pembangunan
Dengan konsep-konsep tersebut, dalam kaitannya dengan tema tafsir Islam atas realitas maka, maka kita harus mampu memiliki pemahaman yang utuh, benar dan konfrehensif tentang unsur dan elemen yang membentuk realitas. Unsur-unsur itu antara lain pengenalan terhadap Allah sebagai penguasa alam (Rabb al-Alamin) yang mengendalikan seluruh tata alam dengan prinsip-prinspi sunnah-Nya yang tetap. Selanjutnya pemahaman yang utuh tentang hakekat manusia (miskrokosmos) sebagai pelaku utama sejarah dan peradaban dan alam (makrokosmos) sebagai medan aplikasi yang memuat berbagai tata aturan ilahi. Serara ringkas, al-Qur’an dan as-Sunnah harus kita jadikan rujukan utama dalam menjelaskan rumusan filosofis tentang apa itu tuhan (filsafat tentang Tuhan), apa itu manusia (filsafat tentang manusia) dan apa itu alam (filsafat tentang alam). Ketiga elemen ini harus terjelaskan secara devinitif kepada manusia muslim.
Adapun untuk bagian yang kedua, yang berisi tentang kisah-kisah sejarah, kita akan menjadikannya sebagai referensi untuk menemukan hukum kesejatian sejarah (fisafat sejarah). Dengan referensi ini kita akan menemukan sebab-sebab utama dari, misalnya, jatuh bangunnya sebuah peradaban dan lain-lain, sehingga semua itu akan kita jadikan sebagai paradigma untuk aksi menafsirkan realitas peradaban umat manusia.
Dalam a-Qur’an banyak sekali disebutkan kisah-kisah untuk mengenal arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal, misalnya kisah kezaliman Fira’un yang menggambarkan arche-type mengenai kejahatan tiranik pada masa paling awal yang pernah dikenal oleh manusia. Al-Qur’an memaksudkan penggambaran-penggambaran arche-type itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa fenomena itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan data historisnya yang penting, tapi pesan moralnya. Bukan bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan tapi ta’wil subjektif-normatifnya. Inilah yang dimaksud dengan pendekatan sintetik. (Kunto: 2008, 552).
Dengan paradigma wahyu ini, mungkin kita bisa mengajukan pertanyaan bagaimana tafsir Islam atas realitas peradaban Barat, atau bagaimana posisi intelektual Islam atas tesis yang diajukan oleh Samuel Huntingtong dengan “class of civilization”-nya. Pertanyaan lain yang mungkin bisa diajukan adalah bagaimana tafsir Islam atas serangan yang dilancarkan oleh Israil terhadap Palestina, mungkinkah nantinya disepakati adanya sebuah perjanjian yang permanen.
Sesungguhnya semua realitas kontemporer umat bisa ditafsirkan melalui paradigma al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya, untuk kasus keinginan membuat perjanjian damai yang permanen antara pihak Israil dan Palestina yang notabene adalah muslim. Menurut penulis, hal itu sangat mustahil. Di samping mengingat perangai Yahudi yang digambarkan oleh al-Qur’an sebagai sebuah komunitas para pengkhianat, pendusta, pembunuh para Nabi dan predikat buruk lainnya, juga berdasarkan penjelasan al-Qur’an bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah ridha sampai kita (umat Islam) mengikuti millah mereka, dan karenanya menurut konsepsi Islam antara kita dengan Yahudi (baca: negara Israil) tercipta sebuah, merujuk pada Istilah al-Attas, konfrontasi yang permanen, atau adanya, dalam bahasa al-Qardhawi, sunnah tadaafu’ (sunnah pertarungan) (Qs. al-Baqarah: 217).
Dengan paradigma yang sama untuk menafsirkan realitas ekonomi umat sehingga mampu mengambil sikap yang tepat. Seharusnya, berdasarkan firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 75, umat Islam tidak boleh mempercayakan urusan harta atau uang mereka kepada negara Amerika yang pasar modal dan uang mereka dikuasai oleh Yahudi dan Nashrani, karena terbukti dalam sejarah mereka adalah bangsa yang menghianati Bretton Woods - sebuah perjanjian dan kesepakatan yang menegaskan kepada negara anggotanya agar setiap uang yang dicetak (money creation) harus memiliki cadangan emas yang seharusnya - dengan cara mengeluarkan uang yang melebihi kemampuan cadangan emasnya, bahkan secara sepihak tidak lagi mengijinkan mata uang disetarakan terhadap emas atau harus dengan dolar. (Baca “Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham”, Muhaimin Iqbal: 2007, 25).
Demikian juga realitas kebangkitan umat Islam yang indikasinya mulai tampak pada penghujung abad 20. Realitas ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang menggambarkan tentang gerak sejarah umat yang terbagi dalam empat fase, maka semua itu akan menjelaskan pemahaman yang preskriftif kepada kita bahwa kebangkitan Islam merupakan sebuah sunnatullah dan aksioma sejarah. Dengan fakta estimatif ini, setidaknya bagi akal muslim haraki akan menjadi telaga dan mata air harapan dalam menyongsong kebangkitan umat dan tegaknya kembali peradaban Islam atas manhaj nubuwwah (Manhaj Propetik).

Ijtihad Basyari: Instrumen Memahami Realitas
Dalam struktur pemahaman agama, akal manusia menempati posisi yang sangat agung, mulia dan strategis dalam memahami kehendak Tuhan. Akal muslim berupaya menjembatani dan mempertemukan antara nilai-nilai konseptual dengan kontekstuanya, antara nilai-nilai normatif dengan sosio historis empirisnya. Bisa dikatakan bahwa akal-akal muslim merupakan ujung aktualisasi dan realisasi dari seperangkat ide dan gagasan yang terdapat dalam agama. Itulah sebabnya, akal menempati posisi nomor urut kedua dalam hirarki epistemologi Islam.
Perlu kami jelaskan bahwa akal yang dimaksud tidaklah sama dengan pemahaman Barat yang berupaya memisahkan antara ratio dan intelellec. Menurut al-Attas, para pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio sebagai sesuatu yang terpisah dari intellectus. Dua konsep itu merupakan kesatuan organik dari ‘aql. ‘Aql adalah padanan qalb, dan karenanya ia adalah substansi ruhaniyah yang dengannya diri rasional dapat memahami kebenaran dari kepalsuan (al-Attas: 1994, 36). Dengan pemahaman yang seperti ini, maka wilayah jelajah akal tidak hanya berhenti pada fenomena, melainkan berlanjut juga pada neomena.
Manusia berdasarkan kemampuan akalnya, secara primordial memiliki kemampuan berijtihad dalam memahami dan menafsirkan realitas. Hanya saja perlu juga ditegaskan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip epistimelogi Islam, selain khabar shadiq baik wahyu maupun informasi mutawatir, saluran pengetahuan tidak hanya didapatkan melaui akal semata, tetapi juga melalui saluran yang lain; yaitu intuisi dan panca indra.
Seluruh saluran ini harus dipakai sesuai dengan posisinya dalam hirarki ilmu. Tentu saja, sumber otoritas tertinggi harus ditempatkan pada posisi teratas yang berfungsi sebagai pedoman dan paradigma yang untuk aksi ijtihad basyari menafsirkan dan memahami realitas. Sumber otoritas tertinggi itu harus dijadikan, merujuk pada istilah Kuntowijoyo, sebagai “unsur konstitutif” sehingga kadar obyektifis dari interpretasi itu dapat terjaga dari prakonsepsi atau prejudice manusia. Itulah sebabnya, sebagai sebuah ijtihad basyari, tafsirnya atas realitas kemungkinan mengalami kesalahan dan kekeliruan. Sekalipun begitu, orientasi penafsiran ini memiliki tingkat akurasi dan kedekatan kebenaran yang jauh lebih baik daripada penafsiran yang hanya bersandar pada hawa nafsu. Hal ini seperti yang diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an (Qs. Al-Mukminun: 71).

No comments: