Thursday, February 12, 2009

REVOLUSI KURIKULUM Menuju Pendidikan yang Mencerahkan

By: Umar Hadi bin Makka

Dan ketika Allah Swt. berfirman dalam kitab-Nya “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS: 4. 141), maka masyarakat yang dikehendaki oleh al-Qur’an adalah masyarakat yang agung dan mulia; sebuah masyarakat yang memiliki semua persyaratan sebagai masyarakat terbaik, sebuah masyarakat yang tidak menyisakan tempat bagi sebuah kelemahan. Masyarakat Islam bukan kumpulan individu para pecundang yang terpinggirkan dalam sejarah. Islam menghendaki umatya tidak mengalami marginalisasi periferalisasi dalam percaturan peradaban dunia. Karena itu saya ingin menegaskan doktrin teologis kita sebagai masyarakat terbaik yang harus keluar menjadi pemenang dalam semua epos sejarah kemanusiaan. Ayat itu , secara implisit, berusaha menjelaskan visi eksistensial kita yang harus menjadi pemimpin dan soko guru peradaban umat manusia. Dalam ayat lain, al-qur’an menyebut masyarakat terbaik itu dengan kata “khaira ummah”.
Tetapi gambaran ideal ini terpasung dalam kenyataan sekarang. Bukannya menjadi pemenang, sebaliknya dalam beberapa hal kita telah menjadi masyarakat pecundang yang kurang diperhitungkan lagi oleh sejarah. Dalam perspektif teologis idiologis, tentu saja, fenomena ini bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah bentuk penghianatan terhadap visi eksistensial kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Bahwa ketika kita telah kehilangan atau mungkin saja sengaja menghilangkan peran kesejarahan kita sebagai khaira ummah akibat kelalaian atau kejahilan, maka itu satu bukti yang jelas betapa umat telah kehilangan kekuatan, izzah, kharisma dan keagungannya, sehingga umat ini terpinggirkan dalam panggung sejarah. Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa umat telah mengidap penyakit inferiori complex dan dalam ilmu pengetahuan kita telah mengalami imperialisme epistimologis.
Ini merupakan suatu bentuk krisis lain dari fakta tidak adanya hubungan, yang seharusnya simetris, antara keagungan ajaran Islam dengan keagungan para pemeluknya. Jelasnya, agama Islam tidak hanya mencukupkan dirinya dan merasa puas dengan para individu biasa yang tidak memiliki nilai kontribusi. Sejak awal, Islam hanya memasrahkan dirinya pada pribadi-pribadi yang berpikir dan berjiwa besar. Itulah satu-satunya fakta yang bisa menjelaskan kenapa nabi Muhammad Saw begitu besar keinginannya agar salah seorang di antara dua umar dimasukkan oleh Allah ke dalam barisan Islam. Dan itulah sebabnya pula, ada banyak pahlawan yang lahir dari rahim Islam yang membawa bendera perubahan dalam seluruh struktur kehidupan umat manusia. Bahwa Islam dalam sejarahnya telah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan tidak akan pernah dapat terjelaskan kecuali dengan dalil bahwa semua itu hanyalah berangkat dari kesadaran para pemeluk Islam awal akan tanggung jawab moral dan intelektual mereka sebagai pemeluk agama yang agung ini. Artinya, seharusnya umat ini harus mampu memanifestasikan nilai-nilai Islam yang universal dalam seluruh domain kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan konsep Insan Kamil; manusia paripurna yang telah melalui tahap internalisasi dan eksternalisasi seluruh ajaran Islam. Dan ciri pokok dari insan kamil itu adalah cara berpikirnya yang bersifat civilizational; bersusaha menghadirkan keindahan Islam pada demensi ruang dan waktu (peradaban)
Pemikiran inilah yang menjadi fokus kajian konseptual filsafat pendidikan Islam. Menjadi manusia yang multidemensi yang secara integral dan koheren mampu mencerminkan seluruh aspek dari keuniversalan Islam adalah tujuan pendidikan Islam. Gagasan utama ini berangkat dari fakta bahwa manusia berkat anugrah Tuhan merupakan makhluk yang memiliiki potensi dan keunggulan-keunggulan kompetitif dalam menyerap sifat-sifat ketuhanan (manusia Rabbaniy) dan karenanya secara potensial manusia mampu memanifestasikan dirinya dalam semua disiplin kehidupan. Itulah sebabnya, manusia diberi kesempatan dan amanah mengelola bumi, setelah semua makhluk lain tidak sanggup karena tidak memiliki persyaratan sebagai khalifah Allah.
Berangkat dari gagasan ini, maka bangunan kurikulum sebagai sarana strategis dalam mencapai tujuan tersebut, haruslah dirancang dan didesain dengan menyerap dan merujuk pada semangat manusia paripurna. Inspirasi dan model utamanya adalah Rasulullah saw. sebagai insan kamil pertama dalam sejarah. Kurikulum ini harus memiliki kemampuan bertanggung jawab dalam menterjemahkan visi-misi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah, yang dalam bentuk kongkritnya adalah dibentuknya satuan bahan ajar yang mampu mewujudkan manusia muslim yang memiliki kualifikasi khaira ummah.
Dengan demikian ada dua pendahuluan awal yang harus dipahami dalam mereformulasi kurikulum pendidikan Islam. Pertama; pemahaman yang benar terhadap seluruh ajaran dan konsep-konsep kunci dalam Islam, sebagai basis dan sumber bahan ajar atau materi kurikulumnya. Kedua; pemahaman yang shahih terhadap manusia dalam seluruh aspeknya sebagai subyek dan objek dari pendidikan Islam. Dua pendahuluan awal ini haruslah juga memiliki relevansi dengan kebutuhan dan dinamika jaman yang kita sebut dengan prinsip pragmatis (mashlahat ) pendidikan Islam, dan ini terkait dengan fiqh waqi’ (fiqh realitas), yaitu kemampuan mengidentifikasi kebutuhan umat, dimana ijtihad adalah metodologinya. Dua pendahuluan di atas menjelaskan demensi lain dari kurikulum Islam, dimana secara hirarkis kurikulum islam itu dibagi dalam dua bentuk yaitu kurikulum fardhu ‘ain dan kurikulum fardhu kifayah. Karena itu ide dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak menemukan tempatnya dalam paradigma metafisika dan epistimologi pendidikan Islam.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dan diskusi awal, semua pemikiran awal tersebut di atas hanyalah merujuk pada ide utama bahwa reformulasi kurikulum haruslah berasaskan tauhid sebagai basis utama metafisika pendidikan Islam. Tauhid sebagai basis metafisika pendidikan Islam menegaskan satu fakta penting tentang adanya sebuah revolusi hidup; sejenis transformasi radikal dari pribadi yang jahili menjadi individu cerdas dan mencerahkan (ana wa ghairihi). Intinya dengan landasan tauhid yang benar, kita ingin bertanggung jawab merekonstruksi manusia muslim yang memiliki kemampuan mengejewantahkan seluruh nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan.
Persis seperti Muhammad Saw. di gurun sahara yang mampu mengubah para gembala menjadi pemimpin dunia, maka aku yakin begitulah adanya dan seharusnya peran kependidikan kita. Dan setelah kau baca kata demi kata dari tulisan ringkas ini, aku harap kamu menemukan keyakinanmu pada kata “jika tauhid yang telah merekah indah dan menghunjam kuat dalam palung hatimu yang terdalam, maka bersegeralah menunggu datangnya keajaiban; sebuah drama revolusi dahsyat yang mampu mengubah peta kehidupan umat: semua manusia tertunduk pasrah keharibaan Tuhan. Inilah kebebasan sejati dan inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan revolusi. Dan kurikulum pendidikan Islam menemukan tempatnya yang paling terhormat sebagai sufrastruktur pertama yang mampu mengembalikan manusia kepada kesadaran primordialnya....

No comments: